Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[3] Portal

[Bagian 3 | 1681 words]

SETELAH kejadian kemarin, aku langsung menyuruh Kiara dan Adnan pulang karena kedua orang itu tampak khawatir. Namun, aku masih tidak mau bercerita.

Di kampus, mereka juga berkata bahwa aku terlihat semakin mengkhawatirkan. Bahkan beberapa dosen juga mengatakan hal yang sama, lagi. Terbukti dari melamunnya aku di salah satu kelas pagi.

"Viona, mengapa kamu melamun?" tegur dosen di kelas pagiku waktu itu.

Aku yang sedang melamun, tentu saja terkejut. Temanku yang lain menatap ke arahku, ingin tahu. Kiara yang duduk di depanku juga menoleh ke belakang, raut wajahnya benar-benar khawatir.

Aku belum menjawab hingga dosen itu menambahkan, "saya bisa memaklumi kalau kamu sedang ada masalah. Tapi yang seperti kamu tahu, saya tidak suka ada yang melamun di kelas saya. Mengerti?"

Tidak tahu harus berkata apa, aku mengangguk pelan. Lalu pelajaran kembali berlanjut dengan aku yang masih sulit berkonsentrasi, tapi aku memperhatikan agar tidak kembali kena tegur.

Sampai aku tidak tahan karena Kiara dan Adnan yang mencecarku dengan berbagai pertanyaan, membuatku pening. Bisa kulihat bahwa mereka sebenarnya tahu bahwa aku tidak mau diganggu, namun raut wajahku yang mengkhawatirkan membuat mereka terpaksa melakukannya.

Aku juga kesal karena aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresiku ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus membuatku memasang tampang seperti ini.

Akhirnya setelah mengambil kembali laundry-anku, aku menyuruh kedua makhluk yang sering bertengkar itu datang ke rumah. Tentu saja mereka langsung datang. Dapat dilihat dari keduanya yang meminta penjelasanku di ruang tamu.

Aku menatap mereka dengan malas. "Apa jaminan kalau kalian percaya dan menganggapku masih waras?"

Kiara membelalak, tak percaya aku mengatakan hal barusan. Aku sendiri tidak tahu apa yang salah dari ucapanku.

"Kamu bercanda? Kami akan berusaha membantumu, Viona."

"Kamu ini kenapa," kata Adnan yang lebih terdengar seperti pernyatan, kepalanya menggeleng pelan.

Aku menghela napas. Lantas menyodorkan amplop putih kemarin yang kubaca pada mereka. "Bacalah. Dan kalian akan tahu bahwa yang kuhadapi adalah sesuatu yang berada di luar nalar."

Mereka berebut mengambil amplop itu sebelum akhirnya sepakat untuk membacanya bersama. Setelah menghabiskan dua menit lamanya, mereka memberikan ekspresi terkejut. Lalu mengembalikan benda itu padaku.

"Ini keren," kata Kiara yang membuat keningku berkerut. "Orang tuamu raja dan ratu?"

"Ini serius? Apa kamu sudah pergi ke kota itu?" Adnan bertanya yang membuat keningku berkerut, lagi.

Astaga, respon mereka jauh dari dugaanku. Jadi, apakah aku harus senang? Kukira mereka akan menganggapku gila.

Aku melongo tak percaya. "Kalian tidak takut aku membual?"

Mereka balas menatapku tidak percaya sebelum akhirnya Kiara bersuara, "astaga, Viona. Kami percaya padamu, dan kami tahu bahwa inilah penyebab murungnya wajahmu. Semustahil apapun, selalu ada peluang jika hal aneh terjadi di sekitar."

Ah, aku memang tidak salah pilih teman.

Adnan tersenyum. "Jadi, apa kamu tidak penasaran?"

Aku bingung apa maksudnya. Lagi, sebelum aku sempat bertanya, ia menambahkan, "memangnya kamu tidak ingin mencari tahu lebih lanjut?"

Aku tersenyum kecil, menguatkan hati sejenak bahwa yang kulakukan ini tidak salah, sebelum aku berdiri dan tersenyum, "ayo."

Aku membawa serta keranjang seprai itu lantas menuju kamar Ibu dan Ayah. Di belakang, mereka mengikuti penuh rasa ingin tahu.

Setelah membuka pintu, aku menaruh keranjang di bawah ranjang tidur. Mungkin aku akan memasang seprai dan tirainya kapan-kapan.

"Jadi ini lemarinya?"

Aku menoleh dan ikut menghampiri kedua temanku yang sudah berada di depan lemari. Aku mengangguk tak yakin. "Mungkin?"

Adnan menyodorkan tangan padaku. "Mana kuncinya?"

Seolah tersadar dan tahu apa yang harus kulakukan, aku mengambil kunci emas itu dari dalam kantong (kalau kalian mau tahu, aku selalu membawanya ke mana-mana). Lantas menancapkanya pada lubang kunci di lemari kayu seolah itu adalah kuncinya. Tanpa kuduga, ukurannya pas. Dan setelah terdengar bunyi ceklekan, sesuatu yang ajaib terjadi.

Lemari kayu di hadapan kami berpendar kekuningan terang. Cahayanya lembut, tak menyakiti mata. Lalu rambut kami berkibar pelan seolah ada angin sepoi darinya.

Alih-alih terbuka, pintu lemari itu hilang perlahan. Lenyap, yang terlihat seperti dilahap oleh cahaya emas yang menjalar dari lubang kunci. Bagian dalam lemari terlihat, namun hanya kosong dan tak ada penyekat apapun. Saat pintunya benar-benar lenyap, kusaksikan bahwa kunci emas itu mengatung di udara.

Aku mengambilnya. Bersamaan dengan itu, muncul sebuah titik putih yang perlahan membesar di dalam lemari tanpa pintu, dan perlahan lubang itu berubah warnanya menjadi emas yang lembut.

Warnanya mengingkatkanku pada mata Ayah dalam bingkai foto.

"Apakah itu portal?" Kiara bertanya. "Seperti yang sering muncul dalam novel fantasi?"

"Mungkin."

Aku membiarkan Adnan yang menjawab karena aku sendiri tidak tahu apa itu. Masih bergeming, apa aku harus masuk ke dalamnya?

"Apa lagi yang kamu pikirkan? Ayo kita masuk, Viona."

Aku mengangguk untuk menanggapi ajakan Kiara. Mungkin ia benar, kami harus memasukinya.

Tanpa berpikir lebih lama lagi, aku mendekati lubang itu. Seketika aku bisa merasa seperti tersedot ke dalamnya. Aku menjerit, namun kemudian sadar bahwa suaraku tak terdengar sama sekali.

Di belakang, aku tahu bahwa mereka mengikuti. Aku berusaha tenang dan tidak panik. Namun sensasi aneh di perutku membuatku geli sekaligus mual di waktu yang bersamaan. Sehingga, aku hanya bisa menggigit bibir agar tak sungguhan muntah.

Aku memejamkan mata ketika melihat cahaya terang di kejauhan. Dan saat membuka mata, tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar. Sebuah kamar luas, dengan ranjang berkelambu besar dan dinding dengan perpaduan warna emas dan merah.

Aku mengerjap sebelum merasakan dorongan kuat dari belakang hingga jatuh ke depan. Bersamaan dengan dua bobot tubuh yang tidak bisa dikatakan ringan menimpaku. Uh, rasanya ususku akan keluar.

Mendengar aku yang mengaduh, Kiara dan Adnan segara bangun dan langsung menarikku untuk berdiri. Baguslah jika mereka sadar bahwa bobotnya bisa membuat organ tubuhku keluar dan tewas seketika.

Aku baru sadar bahwa di belakang kami ada lemari kayu besar. Kurasa kira berasal dari sana.

"Tempat apa ini?" Kiara mengedarkan pandangan.

Seolah mempertanyakan hal yang sama, aku juga mengedarkan pandangan. Kudapati bingkai besar yang memuat foto kedua orang tuaku, sama persis dengan foto yang berada di kamar orang tuaku di rumah.

Selain pigura besar, aku juga menyadari bahwa furnitur lainnya dengan ukuran yang juga besar, lebih besar dari furnitur di rumah.

"Ini kamar orang tuaku," kataku lebih kepada diri sendiri.

Mataku menjelajah ke setiap sudut kamar. Terpana dengan kemegahan bercampur ketidakpercayaan di mana aku sedang berada saat ini. Setelah menghabiskan menit demi menit hanya untuk mengamati setiap detail kamar, Adnan memecah keheningan. Cowok itu selalu sedikit lebih tanggap di saat aku dan Kiara terlalu fokus pada sesuatu.

"Ayo kita lihat ke luar."

Aku dan Kiara mengangguk. Dengan langkah pelan seperti pencuri, kami membuka pintu kayu besar yang rupanya tidak terkunci. Adnan menyembulkan kepalanya ke luar dan memastikan bahwa tidak ada orang sama sekali.

Mendengar itu, kami beranjak keluar dari kamar, lantas menutup pelan pintu besar—untung saja tidak ada suara decitan.

Dengan rasa penasaran, kami menyusuri koridor panjang di sisi kiri. Sambil berjalan, aku mendongak untuk mengamati. Sepanjang koridor, terpasang lampu gantung berlian. Cukup besar dan beberapa meter selanjutnya terpasang lampu yang sama. Dinding di koridor ini berwarna merah gelap di bagian atas, lalu berwarna emas di bagian bawah. Ada tanaman berpot emas, dan pigura berukuran raksasa yang tergantung di dinding.

Puas mengamati foto dengan wajah asing bagiku, Adnan yang berada di paling depan mendadak berhenti. Membuat aku dan Kiara ikut berhenti. Lantas, cowok itu berbalik menghadap kami.

"Kalian dengar itu?"

Aku mengerutkan kening, merasa tak mendengar apapun. Sedangkan Kiara di sampingku menggeleng pelan.

"Ada yang datang," katanya, "dari sana."

Adnan menunjuk ke arah koridor yang masih panjang di depan kami. Dan benar saja, di kejauhan aku melihat ada sesuatu yang bergerak. Tidak, bukan sesuatu. Melainkan segerombolan sesuatu yang bergerak, menuju kami. Ketika aku menajamkan mata, barulah terlihat.

Di depan sana, segerombolan orang dengan pakaian berwarna kelabu dan merah berjalan tergesa. Ada pedang yang menggantung di sabuk bewarna emas mereka. Kusimpulkan, mereka adalah penjaga kerajaan.

"Apa tidak seharusnya kita pergi?" Kiara bertanya dengan nada cemas. Matanya mengamati segerombolan penjaga dengan was-was.

"Hitungan ketiga, kita kembali ke kamar tadi." Adnan bersiaga yang menular padaku. "Satu ..., tiga!"

Bodohnya, aku sempat melongo terlebih dulu mendengar hitungan aneh Adnan sebelum bergegas lari. Seolah tersadar, penjaga itu langsung berseru. Selanjutnya, juga terdengar banyak langkah kaki yang mengejar kami.

"Penyusup! Tangkap mereka!"

"Apa mereka mengatakan sesuatu?" Kiara berseru disela larinya.

"Tidak tahu!" Adnan balas berseru.

Aku mengerutkan kening. Memangnya mereka tidak mendengar?

"Mereka bilang, kita penyusup. Salah satunya menyuruh menangkap kita!" jelasku.

Adnan menatapku aneh. "Kamu mengerti?"

Aku balas menatapnya dengan pandangan tak mengerti. "Apa maksudmu?"

Sebelum aku mendengar maksud pertanyaan dari Adnan, pintu kamar orang tuaku lebih dulu terlihat. Kami memacu laju lari lebih cepat. Dan ketika pintu besar itu di hadapan kami, Adnan segera membukanya. Tiba-tiba ia mematung.

"Cepat buka!" desak Kiara.

Adnan menggeleng. "Pintunya terkunci."

Kenyataan itu sukses membuatku terkejut luar biasa hingga mematung. Maksudku, bagaimana bisa? Sementara tadi pintunya begitu mudah kami buka?

Tak ada pilihan lain, kami membiarkan penjaga itu menghampiri kami. Raut wajah mereka terlihat begitu marah. Masuk ke kerajaan ini diam-diam tampaknya membuat mereka marah bukan main.

"Siapa kalian? Dari mana kota kalian?!"

"Astaga, mereka bicara apa," lirih Kiara seperti putus asa.

Aku sendiri tak paham mengapa Kiara dan Adnan berkata bahwa tak mengerti ucapan mereka. Jelas-jelas mereka berkata begitu lantangnya.

"Jawab! Siapa kalian?"

"Kami bukan berasal dari sini," balasku dengan tatapan tak suka karena mereka terus membentak.

Ajaibnya, perkataanku barusan membuat Kiara dan Adnan menatapku seolah aku adalah alien yang turun ke bumi. Risih, dengan pandangan itu, aku bertanya, "apa?"

Tapi, mereka tak menjawab.

Para penjaga itu sendiri, tampak tak puas dengan jawaban yang kuberikan. Alih-alih bertanya baik-baik, mereka tampak lebih marah.

"Kalian tidak mau jujur rupanya," ketus salah satu penjaga yang kusimpulkan adalah pemimpin penjaga itu. "Kalian, bawa mereka ke penjara bawah tanah! Aku akan panggil Jendral."

Perintah itu pun disanggupi para penjaga. Si pemimpin menjauhi kami dan pergi entah ke mana. Sementara, anak buahnya mulai membawa kami.

Adnan berontak, begitupun denganku. Hanya Kiara yang menjerit tak terima. Suaranya bergema sepanjang lorong.

"Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan ak— aw! Jangan pelintir tanganku!"

Penjaga yang membawa Kiara nampaknya kesal karena ia berisik. Terbukti dari wajahnya yang mengeras karena Kiara tak mau diam dan terus berontak.

Aku sendiri diam, pasrah. Entah ke mana mereka akan membawaku pergi. Namun, kata 'Jendral' yang diucapkan Si Pemimpin tadi meyakiniku bahwa kami tidak akan salah jika ikut dengan mereka.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

aku lagi ngejar target end, buat cerita ini. jadi kupikir cast dan segala penghias cerita termasuk trailer akan kukasih belakangan ya ;)

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro