Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[20] Perjalanan Terakhir

[Bagian 20 | 2184 words]

"VIONA? Viona!"

Kurasakan diriku bagai keluar dari ruang dan waktu lampau yang kembali berukuran normal dengan cepat, lantas tersentak bangun dengan kesadaran yang memenuhi diriku. Kubuka mata bersama napas yang memburu seolah aku habis dari perjalanan panjang, dan kurasa memang begitulah kenyataanya.

Guncangan Adnan di bahu-lah yang berhasil membawaku kembali. Wajahnya tepat di hadapanku. Perlahan, ingatanku memulih. Ada kepingan memori yang terputar di benakku, membuatku hampir bingung di mana diriku sekarang. Akhirnya tersadar bahwa aku masih berada di puing-puing sisa peradaban kerajaan. Wajah teman-temanku tampak khawatir memandangku.

"Apa yang terjadi padamu?"

Kutepis tangan Adnan, lantas kudapati tubuhku merosot, duduk memeluk lutut. Kutenggelamkan wajahku dalam-dalam. Saat itu juga, air mataku tumpah. Aku menangis kencang dan membuat teman-temanku kebingungan.

Bagaimana kisahnya? Gema Ruang Kisah terdengar di benakku.

Kepalaku kembali memutar memori-memori lalu yang telah ditunjukkan Ruang Kisah padaku. Kejadian beribu tahun yang lalu, jeritan, tangisan, pengkhianatan, dendam, Kegelapan yang perlahan bangkit, perkelahian, dan ... dan ...

o-orang tuaku yang terbunuh.

Tangisanku semakin kencang ketika peristiwa berdarah itu terus terekam di benakku. Ada secercah rasa bersalah ketika aku yang hanya berwujud kesadaran melihat tragedi itu di depan mata dan tak dapat melakukan apapun.

Dan hal yang membuatku murka adalah aku tahu siapa pembunuhnya. Aku melihatnya. Aku mengenalnya.

Sekarang kau paham bukan dengan semua yang terjadi dan mengapa kau ada di sini?

Y-ya, balasku sesenggukan dalam kepala. Kini semuanya terasa masuk akal. Aku juga memahami apa arti ramalan dari Fai.

Maka, bangkitlah. Selesaikan semuanya sebelum terlambat. Aku yakin kau mengenal pembunuhnya. Sebisa mungkin jauhi ia.

Aku tidak merespon. Kusedot kuat-kuat ingus dan berusaha menahan air mata agar tak kembali mengalir.

Pergilah ke Tanah Gersang, Nona. Letaknya di sebelah selatan pulau ini. Kau dan teman-temanmu hanya perlu mengikuti di mana Sungai Dongker akan berakhir dan di sanalah Ia berada.

Aku tidak menjawab. Masih kesulitan mengendalikan senggukan.

Aku turut berduka atas kematian itu, Nona, sungguh. Sekarang bangkitlah. Salah satu hal yang harus kau syukuri sekarang adalah keberadaan teman-temanmu.

Setelah mengucapkan itu, aku menunggu Ruang Kisah bersuara lagi. Namun, ia tak terdengar setelah aku menunggu lama.

Ketika tangisku mulai memelan dan hampir berhenti, kurasakan tepukan di bahu diikuti suara Kiara yang menyemangatiku. Kuhapus jejak air mata di wajah sebelum menatap mereka.

"Apa kau sudah baikkan, Viona?" Kiara bertanya pelan.

Aku mengangguk sambil membersihkan seluruh sisa air mataku. Pandanganku melamun sejenak. Hatiku masih terasa perih dan sesak kala tak sengaja teringat kejadian itu. Tak ingin kembali menangis, aku menepisnya.

"Sudah, sudah." Tangan Kiara terulur untuk mengelap bulir mataku yang lolos.

Elva tampak tersenyum kecil, tangannya mengusap bahuku. "Ayo kita keluar dari sini terlebih dulu."

Kami berlima kembali memanjat puing agar bisa keluar dari Ruang Kisah. Karena Adnan dan Rylo yang telah menelusuri semua celah serta ruangan tersembunyi, mereka berdua bilang tidak ada hal yang penting lagi. Jadi, kami semua keluar dari sisa kerajaan istana itu.

Di luar, aku, Kiara, serta Elva duduk sejenak. Rylo beserta Adnan meminta kami untuk menunggu di sini, mereka bilang mendengar sesuatu dan ingin memeriksanya.

Kuhela napas untuk menetralisir senggukanku lantas berdeham sedikit. "Memangnya apa yang terjadi padaku?"

Kiara dan Elva menoleh padaku. "Tadi kamu melamun," cerita Kiara. "Awalnya kudiamkan saja karena kukira kamu tengah asyik meneliti lukisan. Tapi aku mulai curiga ketika setelah beberapa kemudian kamu tidak bergerak sedikitpun."

Kiara menjeda sejenak. "Saat itulah aku melihat kamu 'mematung' dalam artian sesungguhnya. Matamu terpusat hanya pada lukisan itu. Aku hampir tidak bisa merasakan napas di hidungmu. Aku panik, jadi kupanggil saja yang lain."

Mataku memejam sekilas. Kurasa aku tahu penyebabnya.

"Apa kau mau bercerita, Viona? Kami akan mendengarkan." Elva berkata pelan.

Kugelengkan kepala. Kurasa, biarlah aku menyimpan fakta itu sendirian. Aku tidak perlu menyeret mereka lebih jauh.

Aku tersenyum. "Apa mataku tampak begitu sembap?"

Kiara dan Elva saling pandang sejenak, lantas tersenyum ketika tahu aku tidak ingin membahas hal itu.

"Tidak terlalu," jawab Elva.

Tiba-tiba dari arah gerbang, Rylo dan Adnan datang tergopoh-gopoh. Mereka tersengal sejenak sebelum berkata:

"Ada yang datang!"

Kami bertiga sontak bangkit. Pikiranku langsung menebak-nebak. "Siapa yang datang?"

Adnan menggeleng. "Tidak tahu."

"Tampaknya mereka rombongan dari kerajaan. Aku kenal iring-iringannya." Rylo memberitahu. "Mereka menuju ke sini."

Tak mau menunda rasa penasaranku lebih lanjut, aku menyusul temanku yang sudah berlari keluar gerbang lebih dulu.

Rupanya di luar gerbang memang terdengar sedikit ramai. Saat kulihat, banyak pengawal dengan gerobak besar dan ada kereta kuda milik kerajaan. Mereka memarkir, salah seorang pengawal tengah membuka tirai lantas mempersilahkan sesorang untuk turun, tepat di depan kami. Saat itulah, aku cukup tidak menyangka saat mengetahui siapa yang telah datang.

Pangeran Rayne.

"Oh, Putri Viona?" Ia tampak sama terkejutnya. Lalu, ia membungkukan badan sedikit sebagai tanda hormat. "Senang bertemu denganmu di sini."

Aku balas membungkuk, disusul temanku. "Ya, senang bertemu denganmu juga," balasku sekenanya tapi masih tetap sopan.

"Apa kau juga akan mengambil kristal kerajaan?"

"Ya." Sudah kubilang bukan sejak awal bahwa aku kurang suka padanya? Dan sekarang aku telah tahu alasannya. "Kau ke sini untuk itu juga?"

"Tentu saja." Pangeran Rayne tersenyum. Entah mengapa aku merasakan Kiara mencengram kuat tanganku. "Aku harus segera mengambilnya karena memang sudah tugasku."

Aku mengangguk-angguk saja. Terpikir olehku untuk segera lari dari momen tak enak ini.

"Oh, benang apa itu?"

Pandangan Pangeran Rayne tertuju pada telunjukku, matanya mengikuti hingga benangnya berakhir di atas sana. "Warna yang sangat cantik."

Tentu aku terkejut bukan main mendengar pernyataan itu. Sementara teman-temanku menatap tak mengerti. Kepalaku sibuk menduga-duga banyak alasan hingga semuanya mengerucut oleh satu penyebab. Kusimpan dugaanku itu untuk diriku sendiri.

"Kau bisa melihatnya?"

Pangeran Rayne mengangguk. "Kau terlalu cepat menggunakan kekuatanmu, ya."

Dahiku mengernyit tak mengerti. Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun kuurungkan. Tembok gengsi dan rasa tak suka membentang lebar.

"Dan, untuk apa kau menutupi matamu?" tanya Pangeran Rayne sambil tertawa kecil.

Aku menggeleng dengan alis tertekuk. "Aku tidak—"

Raut wajahku berubah. Bagaimana ia bisa mengetahuinya?

Setelah itu, Kiara di belakang berbisik di telingaku. "Mata apa, Viona?" Aku balas menggeleng.

"Tidak perlu ditutupi, tak ada gunanya pula kau merasa malu." Pangeran Rayne menggeleng.

Aku mendengkus tawa dalam hati. Buat apa ia menasihatiku begitu jika saja ia juga menutupi warna asli matanya?

Tapi tentu pemikiran itu hanya kusimpan dalam kepala. Sementara bibirku menyungging senyum palsu, badanku membungkuk. "Terima kasih. Tapi maaf, kami tak punya banyak waktu. Kami harus pergi sekarang."

"Ah, iya. Maaf telah menyita waktumu."

Aku tersenyum sekenanya dan segera mengajak teman-temanku untuk pergi dari sana. Tidak ada gunanya berlama-lama. Lagi pula, urusan kami telah selesai di tempat itu.

Adnan menghela napas. Ia berjalan beberapa di langkahku. "Entah kenapa aku tidak suka dengan Pangeran itu."

Kami baru berhasil keluar dengan menyingkap tirai daun, dan kini berada di jalan setapak yang penuh tanaman bercahaya.

"Aku suka," balas Kiara sambil menyusul, bersisian dengan Adnan. Matanya menatap cowok itu jenaka.

"Monyet saja bahkan kamu suka," cibir Adnan. Aku sedikit geli mendengarnya karena ternyata Adnan tidak mendengar arti lain dari Kiara.

"Tidak, ya!" balas gadis itu tak terima. "Itu 'kan seleramu!"

Adnan merotasikan kedua bola matanya. "Percaya saja, deh."

Dorongan Kiara yang tampak kesal malah membuat Adnan tertawa walau ia tampak bergeser beberapa langkah. Yah, kalian tau lanjutannya. Tapi aku senang melihat mereka kembali berdebat lagi.

Kuhirup aroma hutan yang lembap ketika kami sudah sepenuhnya keluar dari jalan setapak yang penuh tanaman bercahaya. Elva kembali memimpin jalan, ia menemukan bebatuan besar dan gelondongan kayu yang bisa kami duduki, beristirahat sejenak.

"Kita telah mendapatkan benda pusakanya. Sekarang, ke mana tujuan kita?" Rylo bertanya.

Entah mengapa semua mata tertuju padaku. Aku yang ditatap penuh arti hanya bingung tak mengerti. "Kenapa?"

"Ke mana kita setelah ini?" ulang Adnan padaku. "Apa kita kembali pulang?"

"Masalah kita belum selesai." Aku menggeleng. "Kita akan ke Tanah Gersang setelah ini."

"Tanah—apa?" Kiara mengernyit.

"Tanah Gersang," ulangku padanya. "Elva, kau tahu tempatnya?"

Elva memandangku penuh curiga sebelum akhirnya menjawab, "ya, aku tahu. Tapi, bagaimana kau tahu tentang pulau itu?"

"Bukan hal penting." Aku menolak menjawab. "Bagaimana cara kita ke sana?"

"Hanya perlu mengikuti Sungai Donger." Elva berpikir sejenak. "Kurasa jika kita berangkat sekarang, kita akan sampai besok pagi."

Aku mengangguk. Oke, keputusanku sudah bulat.

"Ayo kita bergegas," putusku sambil berdiri, membuat yang lainnya melakukan hal serupa. "Kau tahu letak sampan yang kemarin kita gunakan?"

"Ya, kita hanya perlu berjalan ke barat untuk menemukan sungainya."

Bibirku tersenyum. "Tunggu apa lagi? Ayo kita berangkat sekarang!"

"Eh? Secepat itu?"

"Tentu saja," kataku sambil mengangguk padanya. "Kita tidak boleh terlambat."

Satu fakta yang kuketahui dari Intunerîc adalah seluruh tanamannya bisa bicara (bisik lebih tepatnya) dan untungnya bersikap baik padaku. Di saat Elva kebingungan menentukan arah mata angin untuk kita pergi, pohon-pohon di sana memberitahu serta menuntun kami keluar dengan mudahnya.

Elva menyimpulkan bahwa kami telah keluar dari Intunerîc sejak beberapa jam yang lalu. Ia mengetahui itu dari berkurangnya jumlah pohon bakau, sungai yang mulai melebar, dan daun yang tidak merapat di atas sana. Langit bersinar terang, menunjukkan bahwa hari masih siang.

Sampan bergerak dengan kecepatan sedang tanpa ada yang mendayung, tentu karena sihir dari Elva. Dan dengan sihirnya pula, pohon berbuah di seberang sungai melayang ke arah kami, menjadi santapan siang.

"Sihir membuat semuanya semakin praktis, ya?" Adnan memakan habis buah bagiannya. "Viona, aku masih lapar. Bisa kamu ambilkan buah di seberang sana?"

Aku yang sedang menggigit buah, segera menatapnya sengit. "Mau kusihir?"

Adnan sedikit menyindirku, sebetulnya. Itu karena aku belum bisa menggunakan sihir selancar Elva. Tadi aku sempat mencoba mengambil buah di seberang sana. Namun alih-alih berakhir dalam perut, buahnya berakhir jatuh dalam sungai.

Kiara tertawa mendengar balasanku. "Diam, Adnan. Tentunya kamu tidak mau berakhir jadi patung bukan?"

Ketiganya tertawa, lagi-lagi menyindirku akan peristiwa itu. Kupalingkan wajah sambil fokus saja pada apel yang kumakan. Sementara mereka berempat lanjut berbincang heboh.

Menjelang malam, langit tak secerah biasanya. Awan kelabu menutupi bulan di atas sana hingga suasana tampak sedikit lebih gelap. Sampan kami baru saja keluar dari Sungai Dongker. Kami kembali berlayar di lautan luas. Elva memelankan kelajuan sampan, sehingga kami bisa beristirahat dan bergantian terjaga di malam ini.

Paginya, bayang-bayang pulau terlihat di kejauhan. Namun, ada yang sedikit aneh. Semakin kami mendekati pulau itu, angin laut berhembus dengan hawa panas. Kabut tipis menyelimuti sekitar, mempertipis jarak pandang, seolah ada yang tengah membakar sampah di sekitar sini.

Kami disambut oleh ilalang tinggi di pinggir pulaunya. Elva turun lebih dulu dan bergerak gesit seperti biasanya. Adnan menyusul, diikuti Kiara lalu Rylo.

Aku mengaduh kala merasa sesuatu menusuk lenganku. Keempat temanku lantas menoleh dan bertanya mengapa.

"Daun-daun ini tajam," kataku sambil sedikit menjauhkannya dari lengan.

Bisa kurasakan teksturnya. Keringnya ilalang ini membuat permukaannya menjadi terasa tajam. Ujungnya tumbuh sangat lancip sehingga aku menjadi was-was akan posisinya yang sedikit merunduk. Bisa-bisa serpihan tajamnya masuk ke dalam kulitku. Ditambah tingginya mencapai leherku.

Kami melewati ilalang di pesisir pulau dengan hati-hati dan teliti. Berkali-kali aku kesulitan menyingkirkan tumbuhan itu sebab terasa sangat kasar di kulitku. Aku mendesis tertahan. Sempat terpikir olehku untuk melibas semuanya hingga habis sehingga kami bisa melalui dengan mudah.

Cuma Elva yang tampak mencolok. Gadis itu bergerak lincah ke sana-sini. Ia berhasil menyingkap ilalang tebal hingga keluar dari sini. Kami berempat menyusulnya tak lama kemudian.

Adnan menghela napas sejenak. "Aku curiga Elva sering minum oli sampai bisa bergerak lincah tanpa kesulitan."

Mendengarnya, Kiara terbahak. "Kamu pikir dia manusia jadi-jadian?" Ia tertawa lagi.

Aku tidak mengerti kenapa tawanya Kiara bisa menular padaku. Tanpa sadar aku pun tertawa kecil.

Usai itu, kami perlahan berjalan kembali dalam kabut tipis sampai menjumpai hutan yang ... tampak mengerikan. Pepohonnya botak, tidak ada satu pun daun pada rantingnya. Ketika kami mencoba untuk melewatinya saja, pandangku kufokuskan untuk mendetail sekitar.

Tanahnya sedikit retak, namun lembab. Mengerikannya, ini berwarna hitam. Kami berusaha berhati-hati saat menjumpai kubangan lumpur hitam yang tampak mencurigakan.

Hanya perasaanku saja, atau kabut di sini mengalirkan hawa panas? Belakangan aku tahu sebab teman-temanku juga merasakan hal yang sama.

Seluruhnya bewarna hitam dan tanahnya retak.  berkabut, mengaliri hawa panas. terdengar suara burung gagak.

Aku sedikit merinding dengan keadaan kelabu gelap langit di atas sana. Suara burung gagak yang kudengar samar di kejauhan sukses membuat bulu kudukku meremang. Aku memeluk lenganku sendiri.

Untung saja kami segera bisa keluar tak lama setelahnya. Barulah di hadapan kami tampak sebuah tanah yang sangat lapang. Keadaanya sangat kering dan gerasang—sama seperti warnanya. Dan di kejauhan sana, aku—lebih tepatnya kami semua melihat siluet sebuah pohon.

Kami saling pandang ketika melihat betapa mengherankannya pohon itu bisa tumbuh berdaun lebat sementara di sekitarnya saja sangat tandus. Kepalaku membuat banyak tanda tanya mengetahuinya. Tak mau penasaran lebih lama, Elva mengajak kami untuk mendekatinya.

Semakin dekat kami dengan pohon besar itu, aku sadari ada dua orang yang tengah membelakangi kami. Rasa kewaspadaanku seketika meningkat, firasatku bilang bahwa ada yang tak beres di sini.

Ketika jarak kami dengan mereka sekitar dua meter, aku bersitatap dengan Rylo, menyuruh cowok itu memanggilnya. Rylo merotasikan kedua bola matanya kala tahu aku menyuruhnya. Tanpa bisa ia tolak, ia tetap melaksanakan permintaanku.

"Permisi? Siapa kalian?"

Dan ketika mereka berbalik, detik-detik itu terasa sangat mencengangkan bagiku. Mataku membeliak menyadari siapa mereka. Napasku tertahan untuk sejenak.

Kurasa aku tidak salah melihat, sebab aku bisa mengenali bahwa kedua orang itu adalah Menteri Tumo, yang bersama Pangeran Rayne.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

duh, rayne meresahkan. masa ada di tanah gersang secepat itu coba?😭

oke, satu bab lagi sebeluk epilog. ya, ini bab bab terakhir.

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro