Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17] Intunerîc

[Bagian 17 | 2146 words]

HAL pertama yang terlintas di benakku ketika memasuki Intunerîc adalah betapa gelap dan dinginnya hutan ini. Pikiranku langsung tertuju pada model hutan serupa di film-film fantasi yang pernah kutonton.

Bedanya, kali ini aku yang jadi tokohnya. Dan mungkin, ada sekelompok orang yang menonton kami.

Hutan ini penuh dengan pohon-pohon besar nan tua yang tampak begitu keramat. Kanopi daunnya begitu lebat sampai kami kesulitan menentukan kondisi langit saat ini. Kehidupan di bawah kanopi sangat lembab. Tak heran banyak jamur entah apa yang tumbuh cukup besar serta tanaman yang hidup di tempat lembap lainnya.

Sudah sekian jam sejak kami memasuki hutan yang bagai labirin ini. Tujuan kami adalah—aku masih tidak tahu. Intinya kami harus mencari tempat yang menyimpan benda pusaka. Aku bahkan tidak tahu rupa benda itu seperti apa.

"Dingin, ya?" Kiara memeluk dirinya. "Di sini agak menyeramkan. Apa hari sudah mulai gelap?"

Elva mengangkat bahu. "Sepertinya begitu. Aku juga merasakan suhu yang perlahan menurun."

Aku pun merasakannya. Suhu di sini lebih menurun dibandingkan awal kami masuk. Mungkin di luar sana memang sudah malam.

Kepalaku mendongak, menatap benang yang berpendar emas dan tidak bisa kujangkau lagi ujungnya; terhalang daun. Benangnya tidak terlalu terang, bahkan cenderung redup; salah satu penyebab aku menggunakan obor seperti yang lain. Tapi aku suka melihat pendarnya, indah.

"Kurasa lebih baik kita beristirahat," usul Rylo lebih kepada Elva yang memimpin jalan.

"Aku tahu. Ini aku sedang mencari tempat yang bebas dari tanaman liar."

Sama halnya dengan Elva, aku juga tengah mencari tempat yang sekiranya cocok karena sepanjang jalan yang kami lalui tadi penuh dengan tanaman liar yang lebat.

Dan sepanjang jalan yang kami lalui tadi, kami belum betul-betul beristirahat. Hanya duduk sejenak mungkin.

Di tengah keheningan dari percakapan serta suara serangga hutan, tiba-tiba Kiara berbisik, menyuruh kami diam. Mau tak mau, aku dan yang lainnya berhenti, saling tatap, serta memasang telinga. Kewaspadaanku meningkat.

Kiara menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Kalian dengar itu tidak?"

"Apa?"

Raut wajah Kiara begitu meyakinkan hingga aku hampir saja percaya dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya. Rasanya aku ingin melemparnya ke dalam Sungai Dongker.

"Suara perutku yang lapar." Kiara cengengesan.

Bisa kurasakan wajahku mendatar, kubalikkan badan hanya untuk menatap Kiara dengan raut tanpa ekspresiku. "Mau kusihir?"

"Lapar? Sobek saja daun di dekatmu itu," sinis Adnan yang sama kesalnya.

Rylo tertawa kecil, dan Elva menggeleng.

Aku sedikit lega Kiara hanya bercanda, punggungku yang menegak kini bisa sedikit santai. Tapi mengapa debaran jantungku masih terasa kencang? Membuat firasatku mendadak tak enak.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Elva mengangkat tangannya yang bercahaya tinggi-tinggi untuk menerangi jalan dan menyingkap daun yang tumbuh rendah. Untuk kedua kalinya aku merasa iri pada gadis di depanku ini. Aku juga ingin tanganku bisa mengeluarkan cahaya, tapi serius, aku melupakan mantranya karena kuanggap tidak terlalu penting. Kuingin bertanya, tapi terlalu gengsi.

Pertahankan saja gengsi yang malah menyulitkanmu ini, Viona. Hati kecilku bersuara.

Baru tak lama kami berjalan, Kiara kembali berhenti. Adnan yang berada di belakangnya mendengus kesal. Mengetahui itu, aku dan Elva juga ikut berhenti.

Kiara menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Kalian dengar itu tidak?"

"Sudah kubilang, ambil saja daun di dekatmu." Adnan tak acuh.

"Kalau kamu bilang suara perut lagi, aku akan sungguhan menyihirmu," ancamku.

Kiara berdecak, wajahnya tertekuk. "Kenapa kalian tidak percaya? Coba pasang telinga kalian."

Aku merotasikan kedua bola mata, masih tak acuh hingga menyadari Elva menegang. Hampir saja oborku membakar punggungnya saat berbalik.

"Ada yang datang."

Mendengar itu, bulu kudukku meremang. Darahku ikut membeku bersama punggung yang menegak. Sontak kuangkat obor tinggi-tinggi, menerangi sekitar.

"Matikan, matikan obornya!" seru Elva. Cahaya di tangannya lenyap seketika.

Tak ingin banyak bertanya, aku segera menjatuhkan oborku. Sekitarku menjadi gelap. Aku menelan ludah dengan jantung yang mulai menggila.

"Eh, kenapa dimatikan?" tanya Kiara.

Saat itulah, aku mendengar sesuatu. Kali ini Kiara benar. Terdengar sesuatu di dalam hutan sana, seperti ada sesuatu yang bergerak cepat dan membuat daun-daun serta ranting saling bergesekkan. Gemerisik itu terdengar mendekat.

"Ada apa?" tanya Adnan di belakang.

"Matikan obornya!"

Tepat pada saat mereka menjatuhkan obornya dan keadaan menjadi gelap gulita, Rylo yang berada di paling belakang berteriak. Kami sontak berbalik. Dan hanya menemukan kegelapan pekat.

Rylo menjerit dan meminta tolong. Suara gemerisik semakin kencang. Kuduga ia ditarik oleh sesuatu. Tapi apa?

Aku masih terbengong dengan ketiga temanku bagai idot sebab tak tahu harus melalukan apa. Jarak pandang kami terbatas, aku bahkan tidak tahu di mana Kiara. Namun tadi aku sempat melihat sesuatu melesat cepat. Kekhawatiranku bertambah saat suara Rylo perlahan menjauh.

Di saat itu juga, Elva kembali membuat cahaya pada telapak tangannya. Mataku sedikit silau dengan cahaya yang tiba-tiba itu, begitu pun Adnan dan Kiara.

"Kau bilang—"

"Tak ada cara lain." Elva menciptakan tiga obor yang melayang di udara dan menyerahkannya pada kami.

Aku menghela napas, menetralisir degup jantungku.

"Ayo bergegas!" Elva memimpin jalan dengan berlari, wajahnya tampak panik.

Mau tak mau kami bertiga juga ikut berlari.

Kami melesat cepat di dalam hutan yang gelap, tidak peduli dengan daun-daun rendah dan semak berduri tinggi yang menghalang, kami terobos saja.

Kiara dan Elva memimpin di depan, aku di belakangnya bersama Adnan. Walau begitu, Kiara adalah atlet lari perempuan di SMA kami dulu, kemampuan dan ketahannya tidak perlu diragukan. Sementara aku payah, baru berlari sebentar kakiku sudah mulai menjelma seperti balok kayu.

"Makhluk apa itu?" Kiara berseru disela larinya, sudah kubilang dia hebat.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi aku menduga satu makhluk."

"Apa itu?" balas Adnan.

"Lihat saja nanti!" seru Elva, ia tersengal namun tetap lari. "Ayo bergegas! Ia lewat sini tadi."

Ketiga temanku ini mempunyai stamina yang cukup kuat untuk berlari, tapi tidak denganku. Aku benar-benar sudah kesulitan bernapas. Peluh membanjiri dahiku, lariku melambat.

"Aku menyerah!"

Ketika aku ingin berhenti, di momen itulah Adnan mencengkram tanganku dan memaksaku lari cepat bersamanya. Aku sedikit terkejut dan mengeluh bahwa aku tak bisa. Tapi ia memaksaku lari walau Kiara dan Elva tampak jauh di depan yang gelap.

"Kamu harus bernapas lewat mulut jika lari, Viona, cobalah! Gunakan bagian depan kakimu, jangan berlari pakai tumit!"

Awalnya aku sedikit kesulitan mempraktekan seperti apa yang Adnan suruh, sebelum akhirnya aku menghela napas kuat-kuat lewat mulut. Pernapasanku mulai sedikit membaik. Aku juga mencoba untuk mengubah cara berlariku.

Tidak terlalu buruk.

Saat mengetahui aku sudah sedikit bisa menguasai lari, Adnan menambah kelajuan larinya dan tetap mengandeng tanganku hingga kami bisa menyusul Elva serta Kiara. Suara Rylo terdengar dekat dan ada ledakan cahaya yang kuduga berasal dari sihir yang Rylo gunakan.

Elva menerobos tirai daun dan langsung melayangkan serangan sihirnya begitu melihat makhluk kerdil yang menyerang Rylo. Kiara langsung sigap dengan panahnya. Adnan membantu Rylo bangkit, kondisinya sedikit buruk.

Sementara aku mematung sejenak sebelum ikut menyerang dengan sihir yang kubisa. Dua makhluk ini ... cukup kerdil. Bisa kukatakan ia tampak seperti manusia purba, dengan bulu-bulu seperti kera. Tubuhnya putih pucat dan berukuram kecil bagai kurcaci. Mereka hanya menggunakan penutup kemaluan dan ada kalung berbandul taring di lehernya. Tombak tajam tergenggam kuat dan mengarah pada kami.

Matanya menyipit kala aku mengarahkan obor ke arahnya. Tanpa diduga, ia tampak marah dan melemparkan tombaknya ke arahku. Aku yang terkejut mendadak terguling. Oborku jatuh dan padam dengan segera.

"Dia takut dan sensitif dengan cahaya!" seru Elva sambil menyerang dua makhluk itu. "Hati-hati, cahaya membuatnya agresif!"

Kedua makhluk kerdil dan tampak seperti itu mengaum tak jelas. Suaranya tak begitu kencang dan terdengar sangat serak, seolah mengindikasikan bahwa mereka benar-benar terganggu dan marah.

Dilayangkannya tombak salah satu dari mereka ke arahku. Aku menyerang dengan mantra gores ke arahnya dan menepis tombaknya dengan sihir cepat-cepat. Refleks tubuhku ikut mundur karena panik saat tombak itu hampir mengenai wajahku.

Aku mengerjap, dan mengusap wajah. Jantungku menggila, napasku mulai tak teratur. Oke, waktunya berhenti bermain-main dan mengeluarkan kartu as.

Kupusatkan serangan ke pada kedua makhluk kerdil itu. "Goldlîcia!"

Ledakan emas muncul dari telapak tanganku, mengarah tepat ke dua kepala makhluk itu. Seketika, mereka mengaum kencang dan ambruk dalam sekejap. Tubuh keduanya mengejang sebentar. Bisa kulihat sihir emas yang kulayangkan langsung membuat tewas seketika dan tumbang begitu saja.

Elva mendekati dengan tangan bercahayanya. Terlihat makhluk itu menghitam seolah terpanggang. Asap kelabu menguar darinya dan menciptakan hawa panas. Tapi tidak ada bau gosong.

"Wow." Elva tampak terpukau dengan kematian mengenaskan makhluk itu dan beralih padaku. "Sihir yang hebat."

Napasku memburu. Terasa sekali energi yang kugunakan untuk mengeluarkan sihir emasku: tubuhku perlahan melemas, aku menghela napas kuat-kuat.

Tapi ada perasaan puas tersendiri tatkala aku berhasil menumbangkan makhluk itu lebih cepat. Bibirku menyunggingkan senyum lelah untuk menanggapi Elva.

"Bisakah kita mencari tempat beristirahat? Kurasa aku ingin pingsan."

Retihan kayu api unggun mengisi kesunyian di tengah hutan.

Setelah serangan mendadak tadi, kami segera mencari tempat yang cukup jauh dari lokasi kematian makhluk entah apa itu. Kami menemukan tanah lapang dan segera membangun tenda; lebih banyak dibantu dengan sihir Elva, sebetulnya.

Saat ini, Rylo sedang beristirahat dalam tenda. Kondisinya sudah cukup membaik. Luka bekas tebasan tombak dari makhluk itu sudah dibalut sebersih mungkin. Rylo terbebas dari infeksi. Kami berempat pun juga sudah memulihkan diri.

Tenagaku sudah terisi kembali. Walau sihir emas memang menguras banyak tenaga, tapi aku tidak pernah benar-benar kehabisan tenaga hingga pingsan. Termasuk salah satu hal yang membuatku belum 'kapok' menggunakan sihir ini.

"Makhluk apa itu tadi?" Kiara menyuarakan pertanyaan yang sama denganku.

Elva menatap kami bertiga sekilas sebelum menunduk, ia tengah sibuk menatap api unggun yang meliuk-liuk. "Ebo. Itu suku pedalaman di sini. Kabarnya mereka kanibal. Aku sudah pernah mendengar hal itu sebelumnya. Tapi sama sekali tak menyangka bahwa mereka seganas dan secepat itu."

Kepalaku mengangguk pelan. Salah satu kebiasaan baru yang kutemukan selama berada di sini ialah menggunakan ranting untuk menggores garis-garis acak pada tanah. Untuk kesekian kalinya aku melakukannya lagi saat ini. Kugoreskan ranting hendak mengukir namaku. Namun struktur tanah di sini agak keras dan basah, aku kesulitan hanya untuk sekadar membuat garis.

"Apa mereka selalu seagresif itu?"

"Mungkin." Elva melempar ranting ke dalam api. "Mungkin karena sudah lama tak ada daging segar yang memasuki wilayah ini. Ditambah, lintasan kita tadi cukup dekat dengan tempat tinggal mereka, serta ada obor bersama kita. Ya, mereka seagresif itu. Dari yang kudengar, mereka kurang suka cahaya. Bahkan mereka tinggal di dalam gua ataupun celah pohon besar tanpa penerangan."

"Tidak heran kulitnya sepucat itu," timpal Adnan.

Aku mengangguk. "Terlebih lagi hutan ini cukup gelap. Kurasa aku mengerti mengapa mereka hidup di sini."

Kiara memandang kami bergiliran selama berbicara. Setelah ia terlihat seperti mendapat kesimpulan, ia baru bersuara.

"Apa kita aman di sini?"

"Kurasa begitu," sahut Elva sekenanya. "Tenang saja, aku sudah memasang pelindung, kok," tambahnya saat melihat Kiara yang memucat.

Temanku itu menghela napas lega, raut wajahnya kembali normal. Kurasa ia benar-benar takut dengan makhluk tadi.

"Baguslah. Aku belum kepikiran untuk menjadi makanan bagi siapapun."

Elva tertawa kecil. Setelahnya ia bangkit sambil menepuk celananya yang sedikit kotor.

"Nah, sebaiknya kalian istirahat. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi besok. Jangan dianggap remeh, hutan ini punya banyak makhluk aneh." Elva membuat ekspresi menyeramkan. Aku menatapnya datar, tidak terganggu untuk takut. "Jangan lupa matikan api unggunnya."

Malam itu, kami bubar. Adnan pergi duluan ke tenda bersama Rylo. Tak lama, aku mulai mengantuk dan memutuskan untuk memadamkan api dengan sihir air. Namun, Kiara terus-terusan menarik bajuku.

"Ayo cepat. Aku tidak mau melihat makhluk aneh. Dan kurasa barusan aku melihat sesuatu yang melintas." Ia begitu takut, membuatku sedikit iba padanya.

Paginya, sebelum berangkat. Kami menyempatkan diri untuk latihan sejenak. Rylo mengajarkan beberapa mantra sihir yang bisa digunakan untuk manusia biasa. Sementara, Elva membantuku mengeksplorasi kekuatanku lebih jauh. Tidak hanya sekedar menghapal, tetapi juga mempraktekannya secara langsung.

Kondisi pagi atau siang hari di sini tidak jauh berbeda dengan malam hari. Hanya sedikit lebih terang dan suhunya sedikit lebih hangat. Kicauan burung terdengar merdu di atas sana bersama serangga dan unggas lainnya. Bagai melodi indah yang sanggup membuatku fokus selama latihan.

"Kau bisa menggunakan pelitîka untuk menghasilkan cahaya," jelasnya menunjukkan sihir yang ia gunakan semalam. Bersamaan dengan itu, telapak tangan Elva berpendar putih, namun tidak terlalu menyilaukan. "Aku tahu kau ingin bertanya padaku tentang mantra ini semalam. Tapi kau urungkan."

Aku tersenyum kikuk.

"Padahal jika kau bertanya, aku akan memberitahumu."

Kuputuskan untuk tidak perlu menjawabnya sebab aku merasa sangat malu sekarang. Kalau aku tidak gengsi, aku juga sudah minta diberitahu, batinku.

"Sebetulnya ini sihir cahaya dasar dan merupakan sebuah mantra penyerang. Kau hanya perlu mengarahkannya ke objek, lalu—" darr! Cahaya itu melesat cepat dan meletus tepat di batang pohon. Bisa kulihat kulitnya sedikit mengelupas. "—begitu cara kerjanya. Cobalah."

Kuanggukan kepala dan membetulkan posisi bersiap. Namun, saat kulafalkan "pelitîka" cahayanya langsung menyambar pohon alih-alih mengumpul di tanganku.

Tubuhku berjengit saking kagetnya. Sementara Elva malah tertawa. Mau tak mau, aku juga jadi ikutan tertawa.

Selepas latihan singkat itu, kami memutuskan untuk mengemas barang-barang dan melanjutkan perjalan selagi hari masih terang. Kata Elva, sebaiknya kita menuju ke tenggara.

Kutatap benang emas yang melayang itu sambil tersenyum tipis. Walau tak berguna, kurasa benang entah apa ini akan menjadi saksi bisu perjalananku yang sudah sampai sejauh ini.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

wah, adnan viona mulai tanda-tanda, wkwk. menurutku sih iya.

kalian nyadar gak sih kalau rylo sedikit pasif di sini? ngomongnya pun jarang. hehe, maaf. walau tampak ga penting, nyatanya rylo penting hingga akhir //paansih.

dahlah, ga mau author note banyak-banyak.

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro