[12] Pulau Mov
[Bagian 12 | 2828 words]
ROMBONGAN kereta kuda tampak melintas keluar perbatasan wilayah kerajaan keluarga Romano.
Ya, itu aku. Kami, lebih tepatnya. Setelah melalui perdebatan ini itu, dan pasrah mengorbankan kelas kuliah—hanya aku, sih—akhirnya kami memutuskan untuk pergi saja ke Pulau Mov. Yang mana tentunya bukan hal yang mudah.
Kami hanya mengajukan izin yang entah bagaimana diterima begitu saja. Aku juga tidak begitu mengerti. Tapi rupanya, Adnan membujuk orangtuanya dalam perizinan ini. Mungkin kami dikira hendak piknik, atau pergi berlibur ke luar negeri. Entahlah, aku benar-benar tak tahu sebab Adnan tidak membicarakannya. Dia yang mengatur.
"Sudah, tidak perlu dipikirkan. Intinya, waktu kita hanya seminggu, oke?"
Aku, sih, oke-oke saja. Setidaknya bukan aku yang bertanggung jawab.
Kembali pada perjalanan. Kini rombongan kami mulai memasuki hutan yang tak begitu lebat. Saat aku melongok ke luar, suasanya cukup terang berkat sinar matahari. Sehingga kami tidak perlu khawatir akan jalan setapak yang tak terlihat. Hutan ini tidak begitu liar.
Omong-omong, ini pertama kalinya aku berpergian di dimensi ini.
Kiara memekik senang. "Aku sudah tidak sabar! Kapan sampainya?"
Rylo menggeleng sambil tersenyum geli. Ya, cowok itu memang ikut bersama kami. Jendral Ryno sendiri yang menyuruhnya. "Kita bahkan baru berangkat, Kiara."
Untuk menjawab rasa penasaran kalian, biar kuperjelas yang ada di sini. Kerta kuda yang kami naiki berisi lima orang. Aku, Kiara, Adnan, Rylo, dan Lilan—salah seorang pelayan kerajaan. Sementara di luar, empat gerobak kuda yang berisi masing-masing lima pengawal terbagi menjadi dua gerobak berada di depan untuk memimpin jalan dan dua lagi di belakang untuk berjaga. Jadi, total pengawal hanya ada dua puluh orang.
Ini sudah termasuk sedikit. Sebab tadi sempat terjadi perdebatan mengenai berapa jumlah pengawal yang akan ikut. Para menteri bahkan Jendral Ryno mengusulkan jumlah dari tiga puluh hingga enam puluh orang. Tentu saja segera kutolak. Menyebalkanya mereka juga ikut menolak saat aku meminta lima pengawal saja.
Oke, jangan bahas hal itu. Aku malu ketika mengingat perjalanan ini butuh banyak orang. Kesannya aku seperti anak kecil yang tak tahu jalan walau nyatanya memang begitu.
Lilan tampak tenang sambil memandang keluar. Tetapi ia tampak tak nyaman di saat yang bersamaan, mungkin karena ia duduk di sebelahku. Sementara Kiara tengah asik berbincang mengenai perjalanan kami bersama Adnan dan Rylo.
Aku melamun. Perjalanan ini masih lama dan aku mulai bosan. Tetapi aku terlalu malas untuk ikut bergabung dalam percakapan kosong itu.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Segera saja kurogoh tas kulit pemberian Jendral Ryno yang kubawa kini. Kukeluarkan sebuah buku tebal dengan sampul kaku dan berukiran. Aku tersenyum tipis. Tidak akan kuberitahu judulnya pada kalian.
Lilan menoleh sekilas untuk memastikan apa yang kulakukan, lalu kembali memandang hutan di luar. Bagus, kurasa aku bisa membunuh waktu dengan ini.
Baru kubuka halaman pertama, aku sudah disuguhkan oleh teori sihir-sihir kuno dan tingkat atas. Oh, ya. Ini adalah buku sihir kuno hebat yang kupinjam kemarin dari perpustakaan. Bukan tanpa sebab aku meminjam ini. Aku sedang mencari sesuatu.
Kubalik halaman seterusnya, membaca sekilas. Begitu berulang-ulang hingga sampai ke tengah buku. Sesekali aku menemukan sihir yang menarik perhatianku.
"Wah, Segel Sidik Keturunan. Sepertinya ini yang digunakan pada peti kemarin," gumamku pelan.
Aku berniat untuk menghafalnya ketika mendadak teringat tujuanku membaca buku ini. Kepalaku menggeleng. Bukan ini yang kamu cari, Viona.
Aku membalik halaman seterusnya. Sempat berputus asa tatkala tak menjumpai yang kucari. Namun, mataku sontak membulat saat melihat apa isi halaman selanjutnya itu. Senyumku tersungging lebar. Ini yang aku cari!
Sihir Henti Waktu.
"Mengapa Putri tampak senang sekali?"
Suara Lilan membuyarkan senyumku. Aku segera mendongak dan mendapati Lilan serta ketiga temanku sudah tertoleh padaku. Kepalaku menggeleng, menutup buku dan mengganjalnya dengan ibu jariku agar halamannya tidak hilang.
"Ah, tidak apa. Buku ini seru sekali." Aku beralasan.
Mata Kiara memicing, menaruh curiga padaku. "Apa yang kamu baca? Sini kulihat—"
"Tidak. Tolong jangan menggangguku." Bukunya langsung kujauhkan dari manusia kepo ini. Hampir saja ia merebutnya.
Kiara berdecak. "Ya, terserah kamu saja. Kuharap kamu tidak baca yang tidak-tidak."
Aku meliriknya sengit. "Mungkin itu kamu."
"Aku tidak, ya!" bantah Kiara.
Kedua bola mataku terputar. Dirasa Kiara sudah tidak menaruh perhatian, kulanjut membaca buku itu.
Sihir Henti Waktu bukan sihir yang mudah. Sihir ini tergolong rumit dan menguras banyak energi bagi yang menggunkannya. Tergolong sihir kuno dan sudah cukup terlarang digunakan karena bisa sangat berbahaya jika berada di tangan yang salah. Kira-kira begitulah yang kusimpulkan.
Sihir ini banyak variasinya. Tergantung waktu mana yang ingin kamu hentikan. Aku merapalkan salah satunya. Sebetulnya aku kurang mengerti, tapi kucoba saja karena mengandung kata 'dimensi lain'.
Bibirku bergerak pelan, mengikuti mantra yang tertulis.
Tepat di kata terakhir yang kuucap, ada sebuah ledakan kecil dari telapak tangan kananku. Aku yang terkejut langsung melepas buku begitu saja, membuat seisi kereta kuda menatapku aneh. Kupandang telapak tanganku yang berselimut cahaya putih sebelum akhirnya cahaya itu melesat ke atas, menembus atap kereta kuda.
Aku sangat penasaran, tentu saja. Kuambil buku yang jatuh sebelum mereka membacanya dan menyimpan kembali dalam tas dengan tangan kiri. Kucek tangan kananku, ada sebuah benang emas yang terikat di telunjukku. Benang itu memanjang, kukira terhalang atap, tapi baru kusadari benang emas ini menembusnya.
"Apa yang kamu lihat, Viona?" tanya Adnan.
Aku menoleh pada mereka sebelum teralih pada benang yang menembus langit-langit kereta kuda. "Kalian lihat benang yang menembus atap ini?"
Alis Lilan mengerut, oh, bukan hanya dia, tapi ketiga temanku juga. "Benang apa, Putri?"
"Benang emas," kataku. "Lihat, benangnya terikat di telunjukku." Aku menunjukkan telunjukku.
"Aku tidak mengerti." Rylo menggaruk tengkuknya.
Kiara mengangguk, menyetujui ucapannya.
"Kalau gitu, kalian tidak lihat tadi ada sesuatu yang meletup di tanganku ini?"
Mereka menggeleng.
Aku membelalak. Jadi hanya aku yang bisa melihat ini?
"Lilan, bolehkah bergeser? Aku ingin duduk di tempatmu."
Lilan tertegun. "Eh, j-jangan, Putri," ia terbata. Lalu kurasa ia luluh saat melihat tampang memohonku. "Memangnya Putri tidak apa duduk dekat pintu?"
"Ya, bukan masalah."
Dengan ragu, akhirnya Lilan menurut padaku. Ia bergeser dan aku segera berpindah di tempat duduknya. Bukan tanpa alasan aku ingin duduk di sini. Maka, aku bergegas menyingkap tirai penutup dan menatap langit cerah yang tertutup kanopi daun renggang.
Dugaanku benar.
Benang emasnya menembus atap kereta kuda, terus hingga berakhir di langit. Betul-betul di langit. Tampak lingkaran kecil dari awan yang sedikit bergelombang di sekitar benang itu.
Aku tersenyum takjub.
Ini keren—
Badanku mendadak tertarik masuk ke dalam kereta kuda. Wajah Adnan panik. "Kamu mau bunuh diri?"
Bukan wajah Adnan saja yang panik. Tapi juga Rylo, Kiara, dan Lilan. Aku menyengir. "Aku hanya melihat langit."
"Seharusnya kamu bertukar posisi denganku tadi." Kiara menggeleng, ia duduk dekat jendela.
Aku meminta maaf saja sebelum pembicaraannya bertambah panjang. Lalu aku membuka buku tadi kembali, kali ini berpura-pura membaca. Sebetulnya aku tengah memperhatikan jari telunjukku, lebih tepatnya benang emas yang terlilit di sana. Membuatku penasaran bukan main.
Anehnya, aku tidak bisa menyentuh benang itu langsung; selalu buyar. Rasanya seperti kamu menyentuh air. Terasa, namun tak bisa digenggam.
Untuk memastikan, kembali kubuka halaman tadi. Tetapi tidak ada satupun yang menyebut benang. Membuatku gemas.
Sebenarnya, ini apa?
※
Malamnya saat kami beristirahat, benang itu masih ada. Masih terlilit cantik di telunjukku. Jika kalian bisa melihatnya, aku tampak seperti sedang membawa balon yang sudah terbang hingga menembus langit.
Bahkan sepanjang malam kuhabiskan menatap benang yang melewati tenda sebelum akhirnya tertidur kelelahan.
Sampai paginya ketika kami melanjutkan perjalanan kembali, benang emas ini masih ada. Bila diperhatikan terus, aku menjadi merasa jengkel dengan eksistensinya sekaligus khawatir. Ada tanda tanya besar di kepalaku.
Ini apa?
Apakah ini berbahaya?
Seseorang, tolong jawab aku!
Kemisteriusan benang emas ini rupanya sanggup membuat suasana hatiku memburuk. Aku kesal sebab tak ada penjelasan mengenai hal ini, ditambah kekhawatiran mulai membayangiku dengan bagaimana jika ini sesuatu yang berbahaya? Apakah Sihir Henti Waktu-ku gagal?
Lebih kesal lagi karena tidak ada yang bisa melihat hal ini. Kepada siapa aku harus bercerita? Aku bahkan tidak bisa berbagi kebingunganku.
Kasihannya, Adnan dan Kiara yang terus mencecarku karena aku tampak tak sebaik biasanya harus kena semprot keketusanku. Mereka jadi diam, dan itu malah membuatku kesal dengan rasa bersalah.
Aku tidak marah, oke? Aku hanya tak punya teman berbagi.
Ingin rasanya aku melontarkan kalimat barusan. Tapi sayangnya ia malah terbenam kembali dalam tenggorokkan.
Terlepas dari itu, perjalanan berlangsung damai. Pengawal bilang kami sudah keluar dari wilayah hutan utara Pulau Merah—julukan yang mereka berikan untuk wilayah milik Keluarga Lorare di Kota Rugby—dan kini sedang berada dalam hutan yang menjadi perbatasan Kerajaan Rugby dan Diamondly.
Setelah sempat sesekali berhenti untuk beristarahat dan memakan bekal, sorenya kami sampai di perbatasan dengan laut lepas. Ada sebuah daratan yang menjorok dan memanjang hingga membentuk jalan yang katanya berujung di Pulau Mov. Jalan itulah yang harus kami lewati untuk sampai di sana.
Aku menjadi penasaran dan sedikit antusias dengan bagaimana rupa pulau itu. Sebab pulaunya tidak terlihat dari tempat kami berhenti. Dinginnya suasana membuat kabut tebal sepanjang jalan sehingga menutup akses pandangan jarak jauhku. Kalau boleh bilang, jalan di depan kami tampak sedikit menyeramkan karena tak tampak apapun di ujung sana.
"Bagaimana Putri? Haruskah kita beristirahat sejenak atau langsung saja? Tapi, tampaknya kita tidak bisa beristirahat di sini—"
"Tidak, jangan," potongku pada pengawal yang memimpin jalan. "Kita terus saja. Lebih baik kita beristirahat di sana. Di sini tampaknya kurang aman. Aku tidak mau ambil resiko sebelum sampai tujuan."
Para pengawal mengangguk. Kami melanjutkan perjalanan.
Aku antusias, namun kusembunyikan dan berusaha senatural mungkin. Kusingkap tirai penutup pintu kereta kuda, menampilkan sebuah pemandangan putih berkabut dan hawa dingin yang memenuhi kereta kuda.
Adnan berdecak. "Tutup tirainya, Viona."
Alih-alih merespon, aku diam dahulu. Pemandangan di luar memang monoton, namun aku suka sebab suara debur ombak yang menghantam batu-batu karang di sepanjang jalan ini membuatku tenang. Airnya memercik dan mengenai tubuhku. Kabutnya juga terasa berair saat mengenai kulitku. Wajahku mendingin, tapi aku menikmatinya. Untuk sejenak aku melupakan keberadaan benang yang merusak suasana hatiku.
"Di sini sejuk, menenangkan," balasku pada Adnan.
"Di luar memang sejuk, Putri." Lilan angkat bicara. "Tetapi jika terlalu lama terkena hawa dingin ini, kau bisa demam."
Senyum cerahku luntur. Dengan kesal kututup tirainnya, memutus kontak dengan kabut dingin. Yah ... bagaimana pun Lilan benar.
Kiara melepas tangan yang sedari tadi ia gunakan untuk memeluk dirinya sendiri. Ia menghela napas, sedikit beruap. "Begini lebih baik."
Kereta kuda kami terus berjalan. Setelah menempuh jalan berkabut, akhirnya kami sampai di Pulau Mov. Mungkin belum sampai di kotanya, namun kami kini berada di dalam wilayah hutannya. Untung saja kondisinya jauh lebih hangat.
Aku menyetujui usul agar kita bermalam di sini saja sebelum pergi ke kotanya besok. Di akhir perjalanan, aku malah kembali teringat dengan esksistensi benang emas. Aku kembali kesal. Kukira sudah hilang tadi. Namun rupanya masih terlilit di telunjukku. Karena itu, kuputuskan untuk tidur lebih cepat.
Paginya, beberapa pengawal yang sempat keluar dari hutan berkata bahwa mereka melihat benteng besar yang diyakini pusat kota. Tidak terlalu jauh. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Mendengar itu, aku jadi bersemangat. Bergegas aku bersiap-siap dan mengajak ketiga temanku, Lilan, dan tiga pengawal turut serta. Sisanya kusuruh menjaga perkemahan di hutan.
Saat aku dan yang lainnya keluar dari hutan di sisi lain, benar saja. Pulau ini memang tampak sepi, tapi aku bisa merasakan hiruk pikuk di balik benteng yang besar nan tinggi itu.
Tak mau berlama-lama, kami menghampiri penjaga didekat gerbang masuk yang tak kalah besarnya. Mereka tampak was-was di balik pelindung dan baju zirah yang kedua penjaga gerbang kenakan.
"Siapa dan apa tujuan kalian ke sini?"
Mendengar itu, aku merogoh tasku. Kuserahkan amplop yang tempo hari datang dari sini kepada mereka. "Aku ke sini untuk ini."
Salah satunya menerima amplop kulit itu dan membaca suratnya. Ia menatapku sebelum memberikan amplop pada rekannya dan mengembalikan padaku.
"Baik, kalian boleh masuk," katanya yang membuatku lega. "Tapi hanya yang perempuan saja."
"Eh?" Kiara menyuarakan kebingungannya. "Kenapa?"
Salah satunya menggeleng. "Maaf, tapi itu aturan di sini."
Kutatap manik hitam obisidian milik kedua penjaga itu, mencari kebohongan atau hal yang mencurigakan. Namun tak kutemukan. Malah, aku mendapati sebuah fakta mengejutkan. Belakangan aku sadar bahwa kedua penjaga ini perempuan.
"Baiklah," putusku. Memang jalan terbaik adalah menuruti peraturan yang ada. "Kalian kembali saja ke perkemahan. Aku akan pergi bersama Kiara dan Lilan."
"S-saya, Putri?"
Aku tersenyum kecil serta mengangguk menanggapi Lilan. "Kalian boleh kembali."
Adnan dan Rylo saling berpandangan. Kedua cowok itu pasrah dan pergi pada akhirnya.
Usai mereka tak terlihat, kedua penjaga baru membukakan celah gerbang untuk kami. Sebegitu antinya mereka pada cowok?
"Kalian lurus saja, ikut jalan setapak. Serahkan undangan tadi pada pelayan di kuil utama."
Kami bertiga masuk lewat celah gerbang yang mereka buka seukuran tubuh kami. Aku sempat kesal dengan hal ini, namun pemandangan di depan kami membuatku termangu.
Ini ... indah.
Jalan setapak yang perlahan kami lalui hanya mengarah lurus hingga sebuah kuil besar yang tak jauh lagi. Jalan setapak ini dipagari sepanjang jalannya, melindungi taman lavender yang ungu dan harum. Aku hanya bisa takjub, begitupun Kiara dan Lilan yang mengikuti di belakangku.
Sebuah fakta kembali kuketahui saat baru berada di sini. Semua penduduk yang ada di dalam benteng merupakan gadis dan wanita muda dengan manik mata indah berwarna ungu yang cukup mengintimidasi. Aku sendiri hanya merasa tak enak saat beberapa gadis bermata ungu yang tengah menyiram taman lavender menatap kami. Ada rasa ingin tahu dan kesombongan yang terpancar dari sana.
Tak hanya si gadis penyiram bunga, kudapati berapa perempuan yang sedang berlalu-lalang menatap kami demikian.
"Kamu melihatnya Viona? Mereka seperti tak suka." Kiara berbisik didekatku.
"Ya, aku tahu." Kepalaku mengangguk. "Itu karena warna mata kita."
Kami sampai hingga bangunan yang tampaknya mereka sebut kuil utama. Bangunan itu merupakan bangunan terbuka yang terbuat dari kayu. Ada simbol-simbol hewan dengan lima warna yang berbeda, salah satunya berwarna ungu di tengah terpajang pada dinding. Lengkap dengan patung entah apa yang penuh dengan sesembahan dan harum dupa yang terbakar.
"Maaf, kalian cari siapa, ya?"
Kami menoleh, dan mendapati seorang pelayan yang tersenyum geli ke arah kami. Aku jadi kesal dipandang remeh hanya karena warna mata.
"Kami ke sini untuk ini." Kuserahkan amplop kulit itu padanya.
Raut wajah pelayan bermanik hitam itu berubah. Wajahnya melunak. Ada serbekas rasa malu dan bersalah ketika mengembalikan benda itu padaku.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau Anda Ratu dari Kota Goldey." Ia menunduk sedalam-dalamnya.
"Panggil aku Putri Viona saja," kataku anggun. "Bisa kau bawa aku ke orang yang ada di undangan ini?"
Ia mengangguk. "Tentu, Putri. Mari lewat sini."
Kiara memandangku sejenak sebelum aku mengajaknya serta Lilan mengikutiku. Kami bertiga melewati jalan di sekitar kuil hingga sampai di belakang bangunan tua itu. Barulah tampak bangunan-bangunan lain yang terbuat dari kayu. Bukan rumah, semacam bangunan yang memanjang dengan pintu-pintu kertas. Jalananya bersih dengan bunga lavender yang tumbuh secara acak di pekarangan bangunan. Ah, aku suka suasananya.
"Kami baru pertama kali datang. Jadi bisakah kau menjelaskan bangunan yang ada di sini?" tanyaku.
"Ya, aku juga penasaran," sahut Kiara.
Pelayan itu menunduk sopan. Ia menjelaskan sambil kami berjalan. "Bangunan di samping Anda adalah kamar-kamar yang ditempati gadis berbakat di sini. Kuil utama yang tadi kalian lihat adalah kuil yang paling sering kami gunakan untuk berdoa. Sedangkan bangunan besar yang di sana adalah akademi."
"Akademi?" Kiara bertanya lebih cepat dariku.
Pelayan itu kembali mengangguk. "Ya, Nona. Akademi adalah tempat untuk melatih bakat para gadis bermanik ungu di sini."
Kepalaku mengangguk mengerti. Rupanya Pulau Ungu bukan pulau sembarangan.
"Apa saja bakat yang mereka punya?"
Pelayan itu tersenyum, lalu menunduk. "Banyak, Putri. Tetapi maaf, kami tidak bisa memberitahu begitu saja. Namun, gadis yang akan Anda temui mungkin akan memberitahu bakatnya."
Mendengar itu, aku jadi mengunci mulutku rapat-rapat. Enggan bertanya lebih jauh. Dan kurasa Kiara juga mengerti, ia diam.
Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan yang sama persis dengan lainnya. Kukira itu adalah kamar-kamar seperti yang diceritakan pelayan, namun rupanya ini hanyalah bangunan memanjang yang bersekat-sekat, ada pintu masuk kertas di dua sisi.
Kami bertiga masuk ke dalamnya. Di ruangan sempit ini, hanya ada sebuah meja kotak yang terletak di tengah, sebuah lampu gantung sederhana dan bantalan untuk duduk.
Aku bersimpuh. Agak sedikit tidak nyaman sebab aku tidak pernah duduk dengan posisi ini sebelumnya.
Entah karena apa, Kiara tiba-tiba menahan tawa. Sontak saja aku dan Lilan menatapnya heran.
Ia menutup mulut. Kentara sekali berusaha menahan tawanya yang seperti akan meledak.
"Kamu tahu, Viona?" Sepertinya ia sengaja bicara dengan bahasa kami agar Lilan tak mengerti. "Andai saja kamu menyanggul rambutmu dan memakai kebaya, kamu langsung cocok menjadi pesinden."
Kutatap ia sengit, namun tindakkanku barusan hanyalah membuatnya tertawa geli. Kuputar kedua bola mataku, berusaha mengabaikannya. Sementara Lilan hanya tersenyum tipis tak mengerti.
Di tengah ramai yang dibuat Kiara, pintu di depan kami terbuka. Tampak sesorang masuk dari sisi lain bangunan. Kami sontak terdiam. Hingga seorang gadis melangkah masuk dan duduk di hadapan kami.
Bukan tanpa alasan kami bertiga terperangah menatapnya.
Gadis di hadapan kami tampak begitu muda, mungkin usianya sekitar lima atau enam belas tahun. Kulitnya sawo matang dengan manik ungu yang tajam dan mata bulat. Bibirnya merah. Rambutnya yang hitam legam terurai bergelombang hingga punggung, poni pendek menutupi dahinya.
Kurasa kini aku mengerti mengapa tidak boleh ada satupun laki-laki yang masuk ke kota ini.
"Salam kenal. Aku Fai, Si Pembaca Dua."
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
yosh, mereka sampai di Pulau Mov. kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya?
deg-degan banget euy deadline udah deket T-T. aku bahkan belum nulis konflik besarnya.
mau nangissss. :')
keep suppporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro