Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ SECRET ] Boyfriend

LDR, panjangnya 'Long Distance Relationship'.

Banyak pasangan di dunia ini terjebak dalam situasi hubungan itu. Dimana sang kasih tinggal begitu jauh dikarenakan kondisi tertentu, entah bekerja, sekolah, dan lain sebagainua.

Situasi hubungan seperti ini tak mudah.
Dua sisi harus saling percaya, bahwa salah satunya tak berpaling saat tak bisa sepenuhnya memerhatikan satu sama lain.

Meski teknologi sudah begitu maju, tetap saja, tak ada yang bisa mengobati rindu selain bertemu secara langsung.

Walaupun dia sukar sekali untuk bertemu.
Fobia sosialnya selalu menyerangnya meski dengan tatap saja.
Kondisi hubungannya denganku—tidak semudah jika dibanding dengan yang orang lain alami.

Idia Shroud, aku jatuh cinta padanya saat kami tanpa sengaja bertemu dalam game MMORPG online yang tengah hangat dimainkan para gamer hari itu.

Saat itu, aku yang tengah melawan Boss Monster seorang diri dengan level yang terhitung kecil, nyaris saja terbunuh mati dengan skill ultimate yang hendak lontarkan Boss Monster padaku.

Hingga dia muncul tiba-tiba.

Dengan armor yang begitu tebal. Senjata bintang lima di tangannya. Dan peliharaan pendamping langka yang memberinya buff begitu besar.

Dia...

Dia ksatria penyelamatku.

Setelah Boss Monster itu musnah. Dia sempat mengomentari build senjata-ku dengan fitur chat.
Aku tak tau apa-apa, jujur saja, ini pertama sekali aku menyentuh game MMORPG satu ini. Tak bisa kupungkiri sistem dan fitur didalamnya jauh lebih beragam dan rumit untuk kupahami.

Idia saat itu sempat terdiam. Lantas dia mengetik...

'Kalau kau mau, aku bisa membantumu leveling sampai kau bisa bertualang sendiri.'

Satu ajakannya sungguh sebuah pertolongan besar dalam kehidupan gaming-ku.

Mulai sejak itu, setiap luang, aku langsung menuju laptop ku hanya untuk bertemu dengannya yang sudah muncul disana.

Berbeda dengan gamer lainnya yang cenderung mengabaikanku karena newbie, Idia menggandengku secara virtual melewati dungeon untuk leveling ataupun farming.

Level ku begitu cepat bertambah. Seiring waktu berjalan, aku nyaris mendekati levelnya. Tapi aku tak pernah sehebat dirinya.

Idia adalah gamer sejati.

Dia selalu meraih rank tertinggi di lingkup internasional.

Tak hanya itu, selain game ini, dia juga memainkan game lain yang juga ditaklukkannya dengan mudah.

Sedari itu, aku kagum padanya.

Sosok ksatria ku sungguh manusia yang begitu hebat—bahkan mengalahkan player manusia lain di tiap game yang dijelajahnya.

Idia Shroud. Aku mulai menyukainya.

Setiap langkahku berjalan secara virtual di dekatnya. Ku selalu berharap perasaan berdegub-degub ini juga bisa terutarakan padanya.

Tapi, apalah aku?

Dibandingkan Idia, dia jauh lebih hebat.

Dibandingkan player wanita lainnya, mereka jauh lebih cantik—mungkin salah satunya memenuhi kriteria Idia.

Bahkan aku sempat pernah cemburu saat dia tanpa sengaja menyalakan in-game voice dan terdengar suara wanita idol yang tengah terkenal juga saat itu.

Aku sempat mencari, wanita itu sungguh berbakat.
Tak salah Idia begitu mendambakannya.

Tetapi idol tetaplah idol.
Mereka diciptakan untuk dicintai.
Meski aku pun memiliki idol kesukaanku juga.

Aneh.
Suatu ketika aku membawa topik soal idol favoritku pada Idia saat kami sedang farming bersama.

Dia merespon padaku.

Meski tak banyak. Hanya "Begitu kah?" "Terdengar menarik." "Yang mana yang kau suka?" "Ooh." "Hm."

Itu bukan lewat pesan chat. Tetapi secara dia menyuarakan diri dalam in-game voice, dimana aku pun ikut serta untuk menemaninya.

Dan setiap aku memanggil namanya, sejenak dia terdiam sebelum membalas.

Mulai dari situ, kurasakan sesuatu yang tak biasa.

Selang waktu berlalu, poin kedekatan karakter kami nyaris mencapai maksimal.

Dalam dunia MMORPG, dua karakter yang memiliki nilai kedekatan (sekian poin) dapat menjalin hubungan 'pasangan' dalam sistem 'pernikahan' dalam game.

Saat kami menyadari hal itu. Rasa canggung mulai menyergap.
Bahkan aku yang dibawanya ke dalam guild miliknya saja, bisa menyaksikan bagaimana rekan-rekan online Idia menggodanya tentang hubunganku dengannya.

Ini hanya game, tetapi..

Kenapa aku dan dirinya sampai secanggung ini?

Hari itu, di suatu waktu saat Guild tengah sepi pemain yang online—Idia mengajakku berjalan-jalan ke suatu tempat yang begitu indah.

Tak banyak player yang mampu menemukan cara sampai ke titik itu. Tetapi Idia, dia lebih jenius dari yang kukira.

Disana kami terdiam. Terduduk bersebelahan.
Sesekali kudapati dia mengetik—terhapus lagi—mengetik—hapus lagi.

Seakan dia mempermainkan jantungku. Pikiranku kemana-mana akan apa yang hendak di ketiknya.

Hingga dia menulis...

'(Y/n)'

Kubalas..

'Ya?'

Sungguh, jawabanku tak sesantai yang kutuliskan.
Lebih dulu aku bergelut dengan hangatnya pipiku saat itu.

Idia kembali mengetik...

'Kau tau, poin kedekatan kita sudah tinggi kan?'

Air liur kuteguk.
Astaga... seperti ingin dilamar atau gimana saja.
T-tapi, dialog ini memang biasanya menyasar kesana kan??

'Iya.'

Jawabku lagi.

Idia mengetik—dihapus lagi.

Mengetik lagi—dihapus.

Mengetik—hapus.

Diam...

Sejenak aku bingung. Kupertanyakan apakah dia baik-baik saja lewat chat box.

Tetapi dia tak menjawab.

Kala itu aku begitu panik.
JANGAN BILANG DIA PINGSAN?!

Aku hendak meng-spam chatboxnya.
Tapi itu bisa saja terdeteksi sistem spam dalam game itu.

Akhirnya kuputuskan untuk menyalakan mikrofonku.

"Idia? Idia, kau baik-baik saja? K-kau, kau nggak pingsan, kan??"

Jantungku berdegub kencang.
Kediamannya membuatku berpikir yang tidak-tidak.
Tetapi aku menunggunya, menunggu jawabannya.

Hingga dia menyalakan mikrofonnya juga.

"A-ah, maaf (y/n), tadi mie instanku meletup kebanjiran. Aku menyalakan apinya terlalu besar."

Seketika helaku terlepaskan.

"Syukurlah..."

Hembusku, yang terdengar di mic.

"K-k-kau, m-mengkhawatirkanku?"

Idia seperti biasa gugup dengan perkataannya. Aku sudah terbiasa.

"Jelas lah! Aku takut percakapan kita kali ini membuatmu kenapa-napa. L-lagipula, kau menggantungkanku tadi.."

Idia terdiam. Dia juga menghela.

"Maaf, sudah membuatmu khawatir, (y/n)."

Degubku yang nyaris kembali tenang, kembali dipompanya dengan kalimat selanjutnya.

"A-aku... K-k-kita ini... U-uhm!!"

"Tenang, Idia. Ikuti aku.. tarik nafas.."

Dia terdiam. Menarik nafas sepertiku juga.

"Perlahan... hembuskan.."

Dia menghembus. Begitu pun aku.

"Jadi... apa yang ingin kau bicarakan tadi?"

Nafasnya mulai tenang. Bibirnya mulai terbuka, kali ini tak terdengar bergumam.

"Maukah kau berpasangan denganku?"

Sudah kuduga dia akan mengatakan ini. Berpasangan dalam game.

Ingin kubalas pertanyaannya, tapi dia menimpanya lagi.

"T-tidak hanya disini!"

Huh? apa maksudnya?

Idia sekali lagi terdiam. Dia ingin bergumam lagi, tapi dia ingatnya caraku menenangkan diri tadi—berhasil mengurangi kegugupannya sedikit.

"A-aku... Aku ingin berpasangan denganmu juga di RL. A-aku! M-menyukaimu. (Y/n)! JADILAH PACARKU!!"

BRUAK!!!

Kursi beroda ku tergelincir ke depan saat kulengkungkan diri ke belakang—AKU TAK KUAT MENGHADAPI KEMANISAN INI!—alhasil, aku jatuh tertimpa kursi sendiri.

"(Y-y-y/n)?! Kau terjatuh! Apa terluka? Ah, apa yang harus kulakukan? First-aid? Betadine? Atau kukirimkan dokter terbaik di tempatmu?"

"T-tidak, tidak! Aku baik-baik saja, Idia! Nggak keseleo, nggak kenapa, tenang... aku cuma kaget tadi."

"Kaget? Aku mengagetkanmu? Oh astagaseharusnyaakutakmengatakannyasecepatini. Idiabodohidiabodoh, maafkanakumaafkanakumaafkanaku!!!"

Serangan paniknya kembali lagi. Ini sudah biasa dia dia lakukan. Bahkan teman satu guild berkata untukku bersabar menghadapinya. Mereka berharap aku bisa menenangkannya.

"Idia. Hey, sshh.. dengarkan aku."

Bisikku membuatnya diam.

"Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berbohong soal ini."

"Dan soal pertanyaanmu itu..."

Degub jantungku kembali memukul-mukul. Kali ini! Adalah kesempatan menyatakan perasaanku!

"Idia, soal itu aku—"

Dep!

....listrik mati di kosan ku.

Beruntung sekali dewi fortuna melihatku, laptop ini tak bisa menyala kalau tidak di charge.

"...huh..."

Helaku tak tersampaikan padanya. Kudapati layar ponselku masih menyala dengan angka 20% disana.

Kalau ku telfon sekarang. Nyampe nggak ya baterainya?

Kuingat ponsel ini masuk kategori kentang.
Baru saja ku upgrade laptopku, baterainya sudah bermasalah.
Ditambah kondisi sekarang, apa aku tetap memaksakan untuk menyatakan rasa?

Tidak ada kata menyerah!

Aku tak boleh jatuh karena hal ini saj—

'Maaf, pulsa anda tidak memenuhi. Silahkan isi ulang.'

Listrik mati. Wifi kosan juga mati. Pulsa bulan ini belum juga kuisi.

Pip..

Tubuhku meringkuk di atas kursi. Air mataku sedikit demi sedikit berlinang.

Rasanya tadi tinggal sedikit lagi. Sedikit lagi... aku bisa menyatakan rasa menjerit ini.

Selang dua jam, pemadaman listrik masih berlanjut.
Semua penghuni kosan keluar dari sarangnya, berjalan keluar agar tak mati kepanasan di dalam.

Di langit luar, aku melihat bintang meski agak samar.

"Idia." bisikku.

"Aku juga menyukaimu."

"Sejak hari awal kita bertemu. Aku sudah jatuh hati padamu. Aku mengagumimu, bahkan cemburu karenamu."

Linang kembali menyertaiku.

"Aku ingin menjadi pacarmu."

Satu bintang jatuh pada saat itu. Sinarnya membelah langit begitu cepat, secepat aku yang terkejut saat ponsel ku yang tiba-tiba membalas bersuara.

"Aku mendengarmu."

Suara itu—jangan bilang?!

Ponsel kurogoh, layarnya memantulkan wajah seseorang yang baru kukenal raganya.

Bibirnya biru menyala.
Begitu pun surainya yang seperti mewakilkan warna api biru.
Kulitnya nyaris pucat, tapi mimiknya tak berkata demikian.

Dia tersenyum tipis, agak canggung seperti biasa.

"M-m-maaf!! Aku menghubungimu seperti ini. Aku hanya—hanya—kautibatibakeluardarigamedanitumembuatkukhawatir! M-makanya, aku menyuruh adikku untuk menyambungkanku denganmu lewat koneksi satelit. Listrik di distrikmu sedang dalam perbaikan, kau juga sedang bergantung dengan wifi tempatmu saat ini, bukan? Maka dari itu aku mencari cara lain seperti ini. A-aku, a-aku juga tanpa sengaja mendengarmu tadi."

"A-apa itu benar j-jawabanmu?"

Sejenak aku terdiam.
Bibirku bergetar.
Kepalaku menunduk.

"Aku menyukaimu, idia..."

Kemudian menatapnya dengan sungguh.

"Sungguh-sungguh aku menyukaimu!"

Orang-orang kosan ku sempat melempar tatap. Aaahh, ini memalukan sekali.

"B-b-b-bisa kita ke tempat sepi? A-aku tak bisa—melihat mereka."

Kepalaku mengangguk. Kubawa ponsel pergi denganku. Menuju tempat yang jauh lebih sepi.

"Haaahh... ini lebih baik. Kau tau rasanya dilihat orang banyak itu tak menyenangkan."

Secarik senyumku terangkat.

"Benar. Aku juga pernah merasakannya. Apalagi saat itu benar-benar memalukan!"

Kekehku terlepas. Aku tak lagi menangis. Begitupun dia, tak lagi panik, bibirnya terangkat tipis.

"Jadi... boleh?"

"Hm?"

Idia mengusap punggung lengannya. Tatapnya menunduk, poninya menghalangiku melihatnya.

"Boleh—aku berkencan denganmu?"

Kali ini dia sama sekali tak gemetar.
Seakan dia mengatakannya dengan sungguh, dengan tanda tanya nya akan jawabanku kembali.

"Te—"

Zap!

Layar ponselku tertutup, gelap.
Di permukaannya muncul notifikasi 0% yang membutuhkan charger.

Setidaknya kepalaku tadi mengangguk, kan?

Dia... dia melihatnya meski sekilas, kan?

"Kuharap..." gumamku.

Serius, hari pertamaku dan Idia saling bertukar rasa tidak seberuntung itu.

Baru esok paginya sekitar jam enam, listrik kembali menyala.
Sayangnya aku tak bisa bermain dengannya. Ini sudah jam ku bekerja.

Berbeda dengan Idia yang melanjutkan jenjangnya ke pendidikan tinggi—selulusku dari sekolah, aku langsung bekerja.
Keluarga ku tak mampu membiayai, karena tersisa seorang saja dari mereka—seorang lagi sudah meninggalkan dunia lama sekali.

Dari pagi sampai malam, aku bekerja.
Malam ke pagi, waktunya bersenang-senang dan beristirahat.

Idia dan aku hanya bertemu di jam-jam tertentu, kecuali di hari liburku—kami menghabiskan banyak waktu secara online bersama.
Terkadang aku yang berjalan keluar dan memotret beberapa barang yang menyangkut gaming padanya.

Meski dia sudah mengetahuinya lebih dulu...

Tapi dia mengapresiasiku, bahkan menjelaskan banyak hal yang belum kuketahui.

Tak jarang aku selalu memuji, "Kau banyak tau sekali, Idia."

Dengan kata itu saja dia sudah tersenyum entah senang maupun congkak, tetapi dia senang.

Aku dengannya sering menggunakan panggilan suara, bukannya video.
Aku mengerti kondisinya, tak akan memaksanya juga untuk melakukan hal itu.

Meski sebenarnya, aku merindukan mimik lucunya itu.

Beberapa waktu berlalu, aku dan Idia terasa semakin dekat. Tanpa terasa dia mengatakan bahwa liburan semesternya sudah dekat.

Aku sungguh senang untuk itu. Dia bisa bermain sepuas yang dia mau. Semoga Ortho tak mengomelinya, itu saja.

Kupikir dia akan menghabiskan banyak waktunya saat liburannya datang, tapi tidak.

"B-bagaimana kalau kau kemari, (y/n)?"

Sungguh, aku tak pernah kepikiran untuk datang ke tempatnya.

"B-boleh. Di NRC kan?"

"Sebenarnya aku sedang di Island of Woe—rumahku. Tapi kalau kau mau ke NRC, aku bisa saja."

"Kakak! Kamarmu seberantakan itu, mana bisa (y/n) melihatnya. Bersihkan dulu sebelum dia datang!"

"K-kau ada benarnya juga, Ortho. Uhm, intinya, aku yang akan menjemputmu. Tetaplah disana dan ikuti arahanku nanti."

Pip!

....tak bisa kudeskripsikan pasti sebesar apa kebahagiaanku saat ini.

Aku bisa bertemu dengannya secara langsung.

Apakah dia lebih tinggi dariku?

Rasa penasaran ini ingin sekali kuungkapkan nanti.

Beberapa saat kemudian, Idia mengarahkanku ke suatu titik.
Di tempat yang nyaris tak ada siapapun, seorang lelaki dewasa menyapa dan menanyakan apakah namaku benar (y/n) atau bukan.

Setelah kujawab iya, dia menuntunku menuju sesuatu yang tak pernah kuduga.

Sebuah helikopter.

Belum pernah sekalipun dalam hidupku terpikirkan menaiki kendaraan elit militer ini.
Bahkan sampai lelaki tadi—bisa jadi bodyguard—membantuku untuk menaiki helikopter itu.

Dan terbanglah aku, menuju tempat Idia berada.

Itu sungguh momen yang tak bisa kupercaya.

Dan momen yang tak terlupakan... kali pertama bertemu jumpa dengannya.

==================

Ah, dan kalian jelas tau waktu terasa begitu cepat kalau momen bahagia sudah dirasakan.

Nah, itulah yang terjadi dengan hubunganku bersama Idia yang nyaris terhitung lebih dari satu tahun ini.

Asal kalian tau, awal aku bertemu dengannya dan kini bertemu dengannya seperti mulai berbeda.

Iya, dia memang memberikan yang terbaik saat mengajakku berkunjung kesana pada awalnya.
Tapi semakin hari, semakin biasa rasanya, Idia mulai menampakkan wujud pemalasnya.

Mulai saat itu mulai kuketahui kalau Ortho bekerja keras melakukan apapun, meski dia tak merasa lelah(tinggal di charge saja), tapi tetap saja Idia tak melakukan apapun selain duduk dan bermain gamenya.

Bahkan sering sekali saat kami bertemu, dia sama sekali tak siap.
Bisa dibilang orang yang suka kebersihan sepertiku nyaris dibuatnya jadi benci.

Maksudku... ayolah, jaket biru favoritnya itu nyaris tak di cuci berbulan-bulan!

Sampai pernah kukatakan, "Kalau kau tak menyucinya sekarang. Aku tak akan kesini lagi kedepannya."

Syukurlah dia langsung menuruti kata-kataku.

Apa yang selalu Ortho omeli soal kebersihan dan kehigienisan itu ada benarnya!
Dari sini dia mulai belajar menjaga hal itu agar Ortho tak perlu melempar tembakan lasernya dulu, juga gertakanku yang tadi itu.

Ah ya, pekerjaanku saat ini juga lumayan membaik.
Kali ini aku sudah mampu menyewa apartemen—bukan kos lagi.
Yah, walau tak sebesar apartemen-apartemen super elit. Setidaknya tempat ini lebih luas daripada kosanku sebelumnya.
Lebih bersih, asri, modern, bahkan yang kusuka adalah—Ini di dekat pusat kota!!

Barang-barang jadi mudah ditemukan.
Biaya transportasiku kesana-kemari jadi terjangkau.
Banyak tempat bagus yang bisa kukunjungi.
Bahkan~ aku bisa ke spa kalau ada uang lebih!

Bisa tinggal disini benar-benar anugerah!!

Di saat begini, aku tak lagi selalu pergi ke kantor. Jabatanku tak mengharuskannya. Bahkan mengerjakan dari rumah juga bisa asal semua beres nantinya.

Hal ini membuatku lebih enak buat jalan-jalan, apalagi curi waktu untuk hal lain.

Menuju weekend akhir bulan, Idia kadang mengajakku bertemu.
Sukanya aku yang kesana, bukan dia yang kemari.
Tapi kali ini, dia bilang 'gantian dia, tidak sopan kata Ortho kalau wanita terus yang pergi berkunjung, bukan pria nya.'

Itu ada benarnya sih.
Aku juga penasaran kalau Idia yang kemari apa jadinya.

Singkatnya aku cepat tidur malam agar besok siap menjalani kencan offline dengannya.
Banyak sekali pikiran bersenang-senangku yang kubayangkan bisa dilakukan bersamanya!

Semoga, besok hari baik-baik saja.

==================

Ding dong!

Hmmnn... siapa pagi-pagi begini dah depan pintu?

"P-permisi, pakeett."

Huh? Paket?
Sejak kapan aku pesan paket?
Perasaan gaji ku bulan ini belum turun, mana ada aku hedon di toko online.

"Iyaa, sebentar hoaaamnn~"

Apa punya boss kali ya?
Kiriman kantor? Weekend begini?
Harus banget pagi astaga... belum juga mandi.
Cuci muka gosok gigi cepet aja lah dulu, malu sama pak pos kumus-kumus gini.

Selesai bersih diri singkat. Kubukalah pintu apartemenku.

"Paket siapa ya mas.... ha?"

Jujur. Detik itu bingung sendiri.

Entah mata ngantukku yang salah lihat, atau iya memang benar dia orangnya.

Topi JNE, lengkap sama jaketnya.
Kotakan yang kupercaya isinya kosong.
Rambutnya jelas kelihatan kuncup keluar—keliatan banget siapa walau berusaha ditutupi pun.

Tapi kayaknya asik nih kalo dikerjain dikit~

"Oooh, paket ya, mas. Atas nama (y/n), ya?"

Dia menatapku, mengangguk refleks.

"Yodah mas, sini saya tandatangani dulu tanda terimanya. Bolpennya?"

Lucunya dia memberikanku bolpen, seakan sungguh dia mengirim paket.

Oh astaga, lucu sekali iniiii..
Tahan dulu, tahan dulu khkhkh.

Tanda terima kutandatangani lengkap dengan namaku. Kusodorkan kertas tanda terima padanya.

"Ini mas tanda terimanya. Makasih ya udah ngirim paketnya."

Kotak itu kubawa masuk.

Eh anjir, beneran ringan.
Kosong ini isinya wkwkwk

Dia hendak menahanku yang sengaja memperlambat diri menutup pintu apartemen.

"U-um! (Y/n)."

Kepalaku menoleh.

"K-kau tak tau aku?"

Bola mataku melihat langit-langit.

"Waduh, siapa ya? Bentar deh, mas. Saya lihat dulu."

Kupandang wajahnya dekat-dekat. Sampai dia agak mundur karena tingkahku yang benar-benar seakan memeriksanya seperti bu polisi dengan tersangka narkoboi.

"Hmm, nggak sih mas. Ah, mungkin mas nya ketemu orang yang mirip banget perawakan sama namanya sama. Biasa udah itu, mas. Aku pasaran emang. Eh, duluan ya saya, mas. Mau unboxing kiriman pak boss nih."

Sekali lagi mau kuputar langkah darinya.
Dia langsung memelukku dari belakang. Menutup pintu dan melepas penyamarannya dalam apartemen ku.

"Kau kejam, (y/n)." bisiknya.

Karena sudah lama nggak ketemu. Dia yang terus-terusan alasan ikut lomba esport sana-sini tapi nggak nyapa aku walau sedikit—kayaknya butuh dihukum nih.

"Eh? Eh?! Mas kok masuk apartemen saya!"

"H-ha? Aku kan pacarmu!"

"Ih, mas nya siapa, mentang-mentang bilang pacar saya, huh! asal masuk pula."

"Idia, (y/n). Ini Idia!"

"Wah, nggak bisa mas, nggak bisa nih. Saya lapor satpam, ah. Orang gak kenal, nggak pernah ketemu juga tiba-tiba muncul."

Telfon apartemen kuangkat. Kutekan asal nomer panggilannya.

"Halo, pak satpam?"

Pura-pura kujawab saja.

"Eeeh, iya pak, ini saya ada orang yang nggak saya kenal, tiba-tiba masuk gitu aja pak. T-tolong pak."

Gemetar pura-pura aku ketakutan.

"I-iya pak, masih di tempat saya. Tolong pak, segera, saya nggak kenal nih orang—nya!"

Wajahku surut saat membalikkan tubuh.
Di kala itu Idia merenggut ponselku. Dia tau aku tak menelfon siapapun.

Hawa sekitarnya berubah. Bersama dengan pandangnya yang berbeda.

"Cukup, (Y/n)."

Dua kata nya keluar.
Begitu dingin. Kaku. Penuh amarah yang dibenamnya daritadi.

Astaga... apa aku kelewatan soal tadi?
Sampai dingin hrrr gini lagi ngomongnya.

Berpikir! Gimana caranya nenangin dia kapan hari?

Tarikan nafas kuhembuskan.
Pertama tenangkan diri dulu, sebelum menenangkan orang lain.

Tanganku terbuka, memeluk dirinya yang lebih dariku.

"Selamat datang, Idia. Aku sudah menunggumu. Lamaaa sekali, sampai baru hari ini akhirnya kau kemari."

Idia terdiam. Tangannya lantas memeluk kembali diriku, merangkul punggungku, meletakkan dagunya di pundakku.

"Aku merindukanmu. Tidak hanya hari ini, tbh (to be honest/sejujurnya) sejak lama. Aku baru bisa mengunjungimu hari ini."

Bisikan suaranya begitu kurindukan.

"Jangan kerjai aku seperti itu lagi. A-aku takut kau sungguh melupakanku."

Tawa kecilku terlepas.

"Iya iya, maaf juga tadi aku kelewatan. Kau sih, pakai baju jne kemari, buat apa juga?"

Pelukan kami terlepas. Dua telunjuknya bersentuhan.

"I-i-itu! A-aku bisa jelaskan."

"Hee~ jelasin apa? Ah, mau ngerjain aku juga kah dari awal? Berarti kita impas—"

"BUKAN!"

Suara nyaringnya terdengar cukup kencang.

"I-itu, s-soalnya, a-anu.."

Kubiarkan dia menikmati waktu merangkai kata.

"T-tempat ini, tak kusangka ramai sekali. A-aku sudah mem-browsing nya kemarin. Sepertinya ini kota tak pernah mati."

Hela tawaku terdengar.

"Jelas lah, kan dekat pusat, nggak banget sih. Pokoknya semua terjangkau disini. Lihat, bahkan aku beli laptop baru saja sekarang lebih gampang nyarinya!"

Ibu jariku menunjuk laptop baru ku yang sudah didesain khusus untuk desain dan game bersamaan.
Aku cukup bangga karena membelinya dengan tabunganku sendiri!

"IMO(in my opinion / menurutku) sebagus-bagusnya laptop, kinerjanya masih lebih baik PC. Kerjamu sekarang juga jadi Art Consultant, kan? Bukannya PC multi-monitor lebih membantu?"

"A-ah... ahahaha. Jujur kalau PC multi-monitor itu adanya di kantor. Tapi aku malas saja kesana, isinya pasti barang-barang berantakan punya karyawan yang lembur."

"Kau bisa malas juga ternyata."

"Ehem!! Siapa ya yang awalnya ngemulai virus 'malas' ini duluan? Aku jadi ketularan nggak sembuh-sembuh nih, uhuk uhuk!"

"Alasanmu (y/n), kau farming saja buat event terbatas sebulan nggak ada niatnya sama sekali. Malah Ortho yang mainin."

"I-itu! M-mataku bisa sakit kalau lihat monitor terus. Mana mungkin kupaksakan."

"Kan ada insto."

"Bukan masalah it—"

"Aaahh~ tapi bagus sih. Kalau pemilik akunnya udah nggak perhatian lagi, akunnya bisa kujual biar lebih untung. Toh, nggak diperhatiin lagi, kan? Percuma juga item-item sama peliharaan langka disana dibiarin. Heh, savage (balas dendam)."

Aku baru ingat satu hal soal Idia.

DIA MASTERNYA BALAS DENDAM!
SAMPAI MUSUHNYA SEMUA DIBUAT BUNGKAM.

Hela lelah ku terlepas. Yang ini aku tak bisa menang darinya. Memang dia yang jarang mau ngalah.

"Iya iya, aku menyerah. Bendera putiiih. Idia Shroud lagi-lagi menang telak."

Idia menderetkan giginya.

"Leveling lagi sana."

"Haahh.. iya iya, kalau boss nggak ngasih tugas banyak, pasti."

Dia tersenyum.
Nah, kalau senyum yang manis gini, siapa sih yang nggak mau?

"Dah, niat apa nih mau kemari selain kangen? Mabar lagi?"

Kali ini Idia bertingkah aneh, dia agak... malu, bisa dikata?

"Bukan, BUKAN! A-aku ingin mengajakmu jalan, y-ya! J-jalan, sungguhan... Terserah kau mau kemana."

"Huh? Serius mau jalan beneran? Daritadi di luar saja bisa kutebak kau sudah ketakutan setengah mati. Benar apa benar?"

"A-aku tak s-setakut itu! K-kau yang mengada-ada saja. L-lihat, a-aku baik-baik s-saja."

Senyum miring kutujukan padanya.

Oh astaga...
Menjadi pacara orang ini sungguh tantangan yang berbeda level sudah.
Tapi mau gimana lagi, harus kutangani.

"Kalau gitu, ikut aku. Kemarin aku nemu tempat bagus. Tenang saja, nggak banyak orang jalan disana."

Segera saja aku berjalan menuju kamar mandi. Membersih diri, lalu mengganti baju, selagi dia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu.

Dari jauh bibirku terangkat. Manis sekali, batinku.

Seusai ganti baju. Aku dan dia berjalan keluar apartemen. Tentu saja tanpa kostum jne itu!!

Aku dan dia melangkah bersampingan. Kupilih jalanan yang cenderung sepi. Aku tak takut apapun, berhubung sudah belajar sedikit soal bela diri untuk menjaga diri di kota ini.

Jalan yang kupilih dekat dengan toko-toko kecil, tapi eksotik. Anggaplah hidden gem menurutku.

Idia cukup merasa tenang disana. Rautnya jauh lebih 'luwes' dari sebelumnya. Bahkan tempo bicaranya tak terlalu cepat, gugupnya juga menghilang.

Aku suka melihatnya yang begini.

Selang berjalan-jalan jauh, suatu gedung cukup besar menarik perhatianku.
Tempat yang begitu elegan, tinggi, modern tapi minimalis.
Yang kutahu, tempat itu hanya mampu di masuki dan di sewa oleh para VIP alias anak sultan.

"Aku tau tempat ini." kata Idia.

"Pernah masuk?" tanyaku. Dia menggeleng, "Kau mau masuk kesana?"

Sejenak aku terdiam. Tatapku beralih ke kiri, jelas nggak ada uangnya, gimana bisa masuknya?

Idia menatap kembali ke pintu gedung itu, "Ikut sini."

Aku tak sempat menjawab, dia sudah pergi duluan, mau tak mau mengikutinya.

Idia tanpa berbicara banyak mengeluarkan kartu andalannya—KARTU HITAM!—sebelum akhirnya dia memberikan tiket keduanya padaku, berupa kartu.

"Sekarang kau bisa lihat ke dalam." ujarnya.

Pandangku tak percaya, apa yang kini ada di tanganku jelas bukan hal biasa.

KARTU VIP KELILING GEDUNG!

Akhirnya, satu dari banyak mimpiku menjelajah banyak tempat keren terkabul satu.

"Terima kasiih banyaaak, Idia! Akhirnya... akhirnya aku bisa menjelajah tempat ini. Aku senang sekali~"

Idia sempat terdiam. Dia mengalihkan wajahnya. Sebelum aku berlari masuk lebih dulu saking girangnya.

Seperti yang dikatakan di internet, tempat ini memang memiliki kesannya tersendiri!

Dunia sejarah masa lampau berhasil menyatu padu dengan teknologi saat ini.
Entah bagaimana mereka menggabungkannya, jelas memiliki seni nya sendiri.

Tempat ini begitu luas, meski meninggi juga. Kudengar memang bergabung dengan hotel elite. Semua yang disini benar-benar menyilaukan mata finansialku.

"Sepertinya aku mulai menyukai tempat ini."

Kepalaku menoleh pada Idia.

"Tidak begitu ramai, suasananya tenang, teknologi disini juga yang paling terdepan. Kubaca di internet, tempat ini memang begitu di rekomendasikan. Banyak yang memasukkan tempat ini ke wishlist, tapi pihak disini ingin mempertahankan kedamaiannya dengan batas pengunjung mereka."

Lensaku membelalak. Meski kutahu Idia pasti akan mencari seluk-beluknya dulu di internet. Tetap saja, setiap dia menjelaskan panjang kali lebar, aku tak bisa tak terkesima.

"Kau juga menyukai tempat ini, kan, (y/n)?"

Kepalaku terangkat dengan, "Hm?"

"Corak seni dan estetika disini adalah sumber referensi yang bagus. Itulah kenapa kau ingin sekali kemari, tapi finansialmu tak memadai, apalagi belum gajian."

Jleb!! Itu ngenanya...

"A-ah, iya iya, aku mau jalan kesana, nggak keberatan kan agak mencar?"

"Keberatan."

Idia langsung menjawab tanpa gugupnya. Sama seperti saat kubuat kesal tadi.

"Kau sensitif sekali, (y/n)." ujarnya, aku hanya meringis... meringis gagal.

"Finansial bukan hal yang mudah dibicarakan, Idia. Meski aku sudah berhasil tinggal di kota pun, aku tetap punya masalah disana. Rasanya semuanya masih terasa mencekik, aku harus banyak menabung."

"Makanya build karakterku tak sebagus P2W(pay to win) sepertimu. Sudah kukatakan kan, aku F2P(Free to play). Itu alasannya."

Sekali lagi Idia menatapku kesal. Dia seperti... mengumpat sesuatu dalam diam.

"Masih ada proyek nunggu?"

"Nggak sih. Udah ku kelarin semua."

"Kalau gitu, malam ini nggak usah pulang."

"Eh? Lah, kenapa? Oh, mau kau ajak ke rumahmu kah?"

"Bukan."

Bibirku kembali tertutup. Aku tak mengerti maksudnya.

"I-itu, s-sebenarnya aku."

Tangannya merogoh saku dengan gemetar. Saking gemetarnya dia sampai menjatuhkan satu benda dari sana.

Kuraih langsung lebih dulu. Sebuah kartu yang terlihat unik. Disana tertuliskan nama Idia Shroud untuk kamar VIP.

Lensaku membelalak. Ku lihat lagi kembali padanya.

"B-baru saja kuniat buat untuk kejutan tadi. Tapi sepertinya kau sudah tau duluan."

"Aku menyewa kamar dan pelayanan VIP untuk kita berdua."

"Untuk... beberapa hari Saja. Aku tau kau sibuk. Mungkin saat liburanmu nanti akan kuperpanjang."

Kini aku yang terdiam. Tak mampu berkata apapun.

"(Y-y/n), kau baik-baik saja? (Y/n)?? Katakan padaku kau tidak lag 999+ m/s!"

Sayangnya aku sungguh lag, Idia.
Aku pernah iseng mencari tau soal harga satu kamar di hotel ini.

Harga kamar biasa saja selangit, APALAGI INI VIP!
Pake pelayanan spesialnya juga pula!!

"Idia.."

"H-hii!! Y-y-ya?"

Sejenak kutahan tangisku, menahan batin...

Kok bisa sih aku pacaran sama anak setajir ini, astaga..

Itu dompet apa samudera pasifik, nggak kering-kering.

Udah pake lucu pula nih orang. Dewi fortuna baik bener ngasih 'rate-up' pacar Ultimate Rare gini.
Berasa lucky banget anjir gweh~

Wajahku terangkat, bersama dengan lengkung bibir dan mataku. Lengan berjaket empuk birunya langsung kupeluk.

"Aku akan bersenang-senang denganmu!"

Waktu dan jarak selalu memisah kita.
Tapi sekalinya kita bertemu—ku tak ingin merusak sedetik pun waktu bersamamu.

Jika kau sudah menyiapkan ini dengan usaha begitu besar, tak seharusnya aku menyia-nyiakannya, bukan?

"....Idia?"

Ah, aku lupa soal yang ini.

Kalau aku bersentuhan dengannya terlalu tiba-tiba itu berarti...

CRITICAL IMOSIONEL DEMEK!! (Emotional damage)

Warna pucatnya seketika jadi hidup. Hangat, bahkan terlalu merah!!

"Idia? Idia?!"

Tiba-tiba saja dia menekuk lutut untuk menyembunyikan wajahnya sambil berkata, "Aaaaaaaaaaaaa...." dalam gumamnya.

"Idia, maaf, SUPER DUPER MAAF! Aku lupa yang ini!!"

Dia langsung mengangkat wajahnya, melihatku yang berjongkok disampingnya, dia menyentuh kepalaku.

"Tuan putriku manis sekali kalau senang begini. Kalau saja aku bisa melihatnya setiap hari."

Dengan segelas bom nuklir yang dijatuhkan, BOM BOM BAKUDAN!!

Aauuugghh, serangannya begitu kuat. Akankah aku kalah kedua kalinya?
Tidak, harus ku-tameng!

"Melebihi Precipice Moirai?"

Tatapnya langsung mendatar.

"Ketahui posisi-mu."

Ringisanku terdengar setelahnya. Bahan meme begini sudah masuk ke dalam katalog bincangan komedinya.
Karena itu juga kami nyambung satu sama lain.

Seiring waktu berlalu, kami akhirnya memilih untuk berjalan menuju kamar VIP yang dibookingnya.

Jelas aku terkejut, bagaimana tidak?

Kamar itu begitu lapang.
Bahkan punya double PC untuk berkencan game berdua.
Wifi dah kayak dikejar maling—cepet bener!

Terus televisi 49 inch layar lengkung, lengkap sama PS set-nya. (Aku tak pernah tau PS bisa di request disini. Dia pesan sendiri? Berapa harga yang dia keluarkan untuk dapat ini??)

Masih banyak lagi sebenarnya. Aku bisa merasakan keberadaannya, belum kujelajah saja.

Tapi satu hal yang membuatku bertanya-tanya..

Benda itu kuambil.

"Idia.... Ini—apa?"

Idia melihat kearahku. Langsung saja dia panik setengah mati.

"B-b-bagaimana sudah disini dulu??!! Akumemesannyauntuknantimalam gimanasihpelayanannya bintangsatusaja!"

Kalian ingin tau benda apa yang kupegang?

Tak lain adalah bantal bertulis Make love to me, YES NO.

Aahh, begitu rupanya, sekarang aku tau apa rencananya melakukan semua ini.

"(Y-y-y/n), MAAF! AKU SUNGGUH MINTAMAAF! uwaaahhhhhh, aku ingin menghilang saja sekarang!!"

Dia langsung menyembunyikan dirinya di pojokan, berjongkok dengan tudung jaket birunya.

Sejujurnya...

Jujur nih..

Aku menantikan hal itu.

Tapi aku masih tak yakin penuh.

Alisku mengerut, senyum miringku muncul, "Mau main mario kart?"

Dia menoleh.

=================

Bermain seharian dengannya memang tak pernah melelahkan. Walau lelah pun, senang tetap terasa.

Idia selalu menang di tiap sesi. Dia tak mudah dikalahkan. Maka dari itu kalau bertemu, aku suka sekali menggunakan cara curang agar bisa menang.

Contoh!

Duduk dipangkuannya secara tiba-tiba. Lalu mempermainkan hasrat lelakinya.

Dengan begitu dia langsung kalah telak.

Setelah menang, baru deh aku tinggal, alasan ke kamar mandi atau balik ke posisi sebelumnya. Sambil njulurin lidah, ngece ke dia.

Pokoknya asik kalau bisa ngerjain dia!

Jikalau kami satu tim, dia yang akan nge-carry satu tim.
Bagianku biasanya buff support, agar saat Idia mengeluarkan skill ultimate—poin damagenya akan bertambah.

Puas bermain, aku menariknya keluar kamar untuk berjalan-jalan.
Dan karena dia menyukai kucing, kuajak dia ke neko café yang tak banyak menerima tamu—alias terbatas.

Disana Idia—dalam hitungan detik saja—sudah dikerumuni banyak kucing.

Dia begitu menyukainya, bahkan sudah seperti Malika yang dirawat seperti anak sendiri. ((Heh, ngiklan))
Satu digendongnya, dua di saku jaketnya, dua lagi di kantung jaketnya, dan satu terakhir diatas kepalanya.
Lihat? Dia seperti baru saja masuk ke surga dan ditakdirkan menjadi induk kucing dari sini.

Melihat wajah manisnya saat nyaman di sekitar kucing jinak bersurai empuk, aku tak tahan untuk memotretnya sebagai kenang-kenangan.

Lama-kelamaan aku bisa cemburu juga sama kucing yang mendominasi daerah jaket Idia.

Itu tempatku, bola bulu!
Jangan seenaknya ambil alih atau kugiling kau jadi 'kucing guling'.

Kucing itu bukannya takut. Dia malah menyentuhkan tubuhnya lebih intim lagi pada Idia—seakan berkata, "Aku yang punya dia sekarang." dengan senyum polos songong itu.

"K-kau..." desisku.

Idia menoleh.

"(Y/n)? w-w-woaahh??!! a-apa yang kau lakukan!!"

Ujung pipi kuusapkan di lengan kanan Idia. Khayalaknya kucing yang ingin diperhatikan juga. Tanganku mengepal, menyerupai kepalan tangan empuk milik kucing.

"A-aku juga mau, ny-nya~"

OH ASTAGA DIRIKU.
KENAPA KAU MELAKUKAN HAL TER-MEMALUKAN INI??

KARENA KUCING?

HANYA KARENA CEMBURU DENGAN KUCING, KAU RELA DISURUPI KUCING!!??

Mau tau Idia gimana sekarang?
Bisa bayangkan seorang yang berniat jahat, ingin menyentuh, tapi memilih menarik kembali karena itu perbuatan dosa.

Sayangnya setan seperti ku ini sulit untuk menyerah, akhirnya kudekatkan ujung kepalaku ke tangannya—seperti kucing yang minta diusap juga.

Api biru Idia nyaris menjadi merah karena mengikuti emosinya. Awalnya dia hanya mengusap kepalaku sampai aku nyaman, tapi dia memilih memelukku bersamaan dengan kucing lainnya.

Aaah~ ini baru yang namanya nyaman.

Kutirukan dengkuran kucing yang senang. Sontak dia memperdayaku seakan aku juga kucing miliknya. Entah bermain mainan kucing yang tangkap-menangkap itu, diberi cemilan(ini cemilan manusia), diusap lembut..

M-maksudku, s-siapa yang tidak semakin senang dibuat begitu, bukan?!
Malah sekarang aku seperti kucing sungguhan karena kucing tadi!!!

((Kucing tadi sudah kabur dengan kerennya seperti berkata, "Sama-sama." DIA BERNIAT MEMBUATKU BEGINI TERNYATA!!))

Tiba-tiba hasrat Idia semakin tumbuh, semakin dia tau aku nyaman dan lemah dengan semua ini.

"Huh... Idia, kenapa berhenti..?"

Aaarghhh, akal kembali akal!!!
Ini cafe bukan kamar! Jangan disiniiiiii.

Dia merapatkan bibirnya. Pikirannya seperti berputar agak lama, sebelum dia memilih untuk pergi.

Eh? Eh?! Aku kelewatan lagi, kah?

Gawat... Gawatgawatgawat!
Harusnya tadi aku nggak langsung nyaman.
Lihat, sekarang dia illfeel jadinya.

Idia kembali setelah membayar sesuatu di kasir.

"Ayo kembali."

Dia berjalan lebih dulu. Hampir ku tertinggal dengan kucing lainnya yang masih melekat di kakiku.

======================

Hari semakin menuju malam. Malam itu petugas hotel sudah menyiapkan hidangan di teras yang menghadap ke pemandangan malam.

Seperti dinner idaman banyak pasangan.

Hanya saja, kali ini Idia lebih sering mengalihkan tatap. Dia bahkan makan terus menunduk, tak melihatku.

Tak ada topik satupun.
Hanya suara garpu dan pisau yang berbenturan dengan piring.

Mungkin aku tadi memang kelewatan, batinku, bagaimana aku memintamaaf padanya?

Hendak ku buka kata bicara, dia meletakkan alat makannya.

"B-b-boleh aku ke kamar mandi sebentar? K-kau boleh duluan, (y/n)."

Pundakku bergerak turun. Kepalaku mengangguk pelan. Dia pun pergi.

Sengatan hangat terasa di ujung netraku.
Tidak. Aku tak bisa melakukannya disini.

Meja kursi itu kutinggalkan. Beralih menuju kasur yang langsung kupeluk bantalnya.
Disana kubenamkan diriku dengan rasa begitu berat—rasa bersalah.

Bulir tangis perlahan turun, yang kukeringkan disana.

Nggak ada angin, nggak ada apa...
Seorang memelukku begitu erat dari balik punggung—membuatku terkejut dibuatnya.

"I-idia?"

Kubalikkan tubuhku padanya.
Tubuhnya sudah beraroma segar, terasa sekali dia baru selesai mandi tadi.

"Kau menangis, (y/n)?"

Air diujung netra kuusap. Tetapi jelas dia sudah mengetahuinya.

Tangannya mendekat ke pipiku, berjalan ke ujung netraku, dia membantuku mengusap cairan itu pergi.

"Aku pacar yang buruk, ya? Sampai buatmu menangis begini." bisiknya.

Perkataannya sungguh menohokku. Kepalaku menggeleng keras sebelum menunduk.

"Maaf."

"Hm?"

"Soal tadi. Semua yang terjadi hari ini. Aku sudah kelewatan, parah."

Bibir Idia terbuka sedikit menampakkan rentetan gigi tajamnya.
Tangannya menarikku, membenamku di titik yang kusukai—dalam pelukan jaket empuknya.
Matanya terpejam, sementara dia menikmati momen kami yang hanya mendengar detak satu sama lain.

"Aku masih menyukaimu meski begitu."

Nyaris saja aku kembali menangis, kalau tak langsung kututup mataku dalam lengan jaketnya.

Idia mendekatkan bibirnya diatas kepalaku—aku bisa merasakannya.

"H-hey, mau berpesta?"

"Pesta?" Kataku. Dia mengangguk.

"Aku menyewa DJ set."

Untuk kesekian kali aku dibuatnya terkejut, membatu.

Kepalaku mengangguk kaku. Aku menyukai sesi DJ setiap pergi ke event idol atau game bersamanya. Terkadang sambil ber-cosplay karakter yang kami sukai, bahkan kalau bisa, pasti karakter kami memiliki filosofi romansa juga.

Kali ini, tak perlu ke acara besar pun. Aku bisa menikmatinya.

Ah, mungkin harus kukoreksi.

Pokok bersama dengannya, aku menikmatinya!

≪ Potret DJ Idia ≫

=============================

Omake —

[ Rumah (y/n), sebelum jalan-jalan ]

(Y/n) : "Kamu udah mandi kan, Idia?"

Idia : "U-uhh!! J-jaket ku wangi, kan?"

(Y/n) : "...."

Idia : "A-aku tadi juga sudah gosok gigi!"

(Y/n) : ((Nyilangin tangan))

Idia : "A-air dingin pagi-pagi!!"

(Y/n) : ((senyumin, nyeret idia, lempar ke kamar mandi))

(Y/n) : "MANDI!!!"

=============================
Dan Author pun terbangun

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro