Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• CHAPTER 7 : Ingin berhenti. •

Golden University, New York.

The Next day.

Audi A5 hitam milik Alex berhenti tepat di sudut parkiran kampus. Mata birunya menemukan jam yang menempel di atas dashboard sudah mengarah ke angka sepuluh, atau sepuluh menit sebelum kelas pertamanya dimulai.

Gadis dengan sweater oversized berwarna putih dan celana jogger hitamnya itu kemudian bergegas turun dari mobil untuk langsung berjalan menuju gedung utama yang letaknya ada di seberang area parkir.

Suasana kampus masih terbilang cukup kondusif, meski garis polisi masih tampak terbentang di lapangan utama saat Alex melewatinya.

Sesekali gadis itu melirik ke atap, membayangkan sosok Wayne yang berdiri di sana untuk terakhir kalinya sebelum kematian menutup segala kebenarannya rapat-rapat.

"Alex?"

Suara berat yang khas milik Liam menarik perhatian Alex hingga pandangannya beralih dari atap dan langkahnya seketika terhenti. 

"Beruntung sekali aku bertemu denganmu di sini," katanya antusias. "Hasil autopsinya akan dirilis hari ini. Aku ingin mengajakmu menemui James dan Baron, petugas yang bertanggung jawab atas kasus ini. Jadi bagaimana jika kita pergi sekarang?"

"Aku tidak pergi," ucap Alex ragu-ragu.

Dahi Liam pun saling bertaut. "Apa?"

"Aku tidak akan pergi, Liam," ulangnya. "Aku tidak akan pergi kemanapun."

"Ada apa?" tanya Liam gamam. "Bukankah kau bilang kau akan bergabung?"

Gadis berambut pirang itu mengangkat kepalanya, menatap sang lawan bicara tanpa keraguan seperti beberapa detik sebelumnya. Mata biru itu tampak redup dan tak percaya diri. "Aku ingin berhenti, Liam."

"Berhenti?"

"Aku tidak akan mencari tahu kebenaran apapun tentang Wayne."

"Tapi, kenapa?" Suara Liam naik satu oktaf.

Alex menghela napas panjang dan menyilang kedua tangannya di dada. "Liam, aku tidak perlu memberi tahumu sesuatu yang tidak perlu kau tahu. Aku hanya ingin berhenti dan kau cukup menghargai keputusanku," katanya tak kalah ketus.

Liam mendengus pendek dan menyeka wajahnya frustrasi. "Kupikir kita sudah cukup akrab sejak kemarin. Tapi ternyata aku salah."

"Pergilah, Liam," pinta Alex baik-baik. "Mungkin Wayne memang ingin mengakhiri hidupnya sendiri dan seseorang tidak sengaja merekamnya. Berpikirlah dengan sudut pandang yang lain. Aksi pembunuhan hanya ada di dalam film, itu tidak nyata."

Tanpa mengucapkan apapun, Liam berbalik dan meninggalkan Alex di depan lokernya sendirian. Gadis itu hanya berdiri dan menatap punggung Liam yang semakin lama semakin menjauh hingga sosoknya hilang di ujung koridor.

Sejujurnya Alex tak berniat mengatakan apapun pada Liam. Ia tidak ingin berhenti di sini, ia ingin tahu kebenaran apa yang ada di balik kematian Wayne, ia ingin tahu apakah seseorang sengaja merekam dan menyebarkannya. Ia sungguh ingin mengetahui segalanya. Namun mengetahui sesuatu yang mungkin berakhir buruk, juga tidak akan bagus untuknya.

Alex merasa tak terlibat dalam kematian laki - laki yang sudah lama menyukainya itu dan ia harus berusaha agar tetap tak terlibat sampai kasusnya resmi ditutup. Ia tak boleh mengambil risiko, ia hanya perlu diam dan pura-pura tidak tahu.

Satu helaan napas keluar dari mulut gadis itu sebelum tangannya yang berbalut banyak gelang suede akhirnya membuka pintu loker. Namun sesuatu mengejutkannya;surat misterius itu kembali terlihat di sana.

Alex pun buru-buru mengambil surat dengan amplop merah muda dan stiker hati yang disimpan di atas buku-buku lainnya itu dan segera membacanya,

"Untuk Alex, kau tampak cantik dengan gelang warna warni itu di tanganmu. Jadi, aku membelikan satu dengan warna kesukaanmu. Pakailah dan buat aku senang saat melihatmu." Netra biru Alex beralih ke dalam loker. Ada gelang suede berwarna biru langit tergeletak di atas buku--atau tepatnya di bawah surat misterius--di dalam lokernya. "Bagaimana dia tahu warna kesukaanku?"

Bunyi bel yang nyaring menggema ke seluruh sudut kampus. Jika kampus lain tak menerapkan kelas yang sama, Golden University justru mengikuti sistem pembelajaran di sekolah SMA;mengatur jam kelas untuk masing-masing jurusan. Sehingga dosen maupun mahasiswa di kampus tersebut memiliki jadwal yang terstruktur dan pendisiplinan dapat diterapkan dengan baik.

Alex lantas meremas surat misterius itu dan membuangnya ke tempat sampah sebelum Sophia atau Lance melihatnya. Sementara gelang yang diberikan oleh penggemar rahasia itu dibiarkan oleh Alex tetap di dalam loker tanpa sedikitpun minat untuk membawanya.

Alex lalu masuk ke dalam kelas musik beberapa menit sebelum dosen datang. Ia duduk di sebelah Sophia dan Lance sampai kelas berakhir.

"Kapan kau akan mengerjakan tugasnya, Alex?" tanya Lance, sembari merapikan buku-bukunya dari atas meja.

"Entahlah, mungkin lusa," jawab Alex sekenanya. "Apa kalian mau mengerjakan tugas ini bersama?"

Sophia pun mengangguk dan meraih tasnya dari meja. "Tentu. Bagaimana jika lusa di rumah Alex?"

"Ide bagus. Rumahku cukup dekat dengan Alex, aku akan membawa camilan untuk kita," timpal Lance bersemangat. "Bagaimana menurutmu, Alex?"

Alex tersenyum kecil dan mengangguk setuju.

Tidak lama setelahnya, sosok Louis muncul dari luar kelas dan tubuhnya yang atletis menghampiri Alex. "Hey, Alex," sapanya ramah.

"Astaga, Louis!" seru Sophia heboh. "Sepertinya kau sangat menyukai Alex sampai repot-repot menjemputnya ke sini."

Louis tersenyum dan mengangguk kecil pada Sophia. "Ya, aku sangat menyukainya." Ia kembali pada Alex yang hanya diam di tempatnya. "Alex, bagaimana jika kita makan siang bersama? Kudengar ada cafe baru di dekat sini."

"Tentu! Alex akan sangat menghargainya," sela Sophia. Ia mengedipkan satu matanya pada Alex dan tersenyum lebar. "Bukankah begitu, Alex?"

"Itu--"

"Kudengar mereka menyajikan makanan kelas atas," potong Louis. "Kurasa tidak buruk."

Alex melirik Sophia dan Lance bergantian sebelum akhirnya mengangguk pasrah, "Baiklah." dan tubuhnya berlalu bersama Louis di belakangnya. "Aku akan menghubungi kalian," kata gadis itu sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

"Lance, kau tidak cemburu, 'kan?" tanya Sophia jahil.

"Aku? Ti--tidak, kenapa aku harus cemburu?" katanya terbata bata. Ia kemudian berdeham dan meraih tasnya dari atas meja. "Lagipula tidak akan ada yang berani mengganggu Alex."

Sophia berkerut kening. "Bagaimana kau bisa sangat yakin? Tampaknya Louis cukup agresif dan kuat. Dia bisa melakukan apapun pada Alex, bukan?"

"Entahlah, aku hanya sangat yakin dengan ucapanku barusan." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro