Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• CHAPTER 6 : Mendekat •

Haloha ...
Gimana kabar kalian semua?
Di tengah pandemi luar biasa saat ini, aku mau mengajak kalian semua (yang mungkin lagi baca ceritaku) untuk ikutin gerakan social discanting juga gerakan hidup bersih dan sehat demi memutus mata rantai penyebaran covid 19 ini.
Stay safe ya teman - teman.
Ikuti protokol kesehatan yang diminta oleh pemerintah dan dinas kesehatan.
Sambil #dirumahaja yuk like dan komentar cerita ku ya.
Terima kasih.

Golden University, New York.

Cafetaria.

Aroma daging asap di dalam lasagna milik Alex mendadak kalah dengan bau penasaran yang muncul dari Sophia dan Lance. Keduanya kini duduk di sisi Alex dengan bersemangat demi ikut mengetahui apakah isi dari surat yang diberikan Louis tadi.

"Dia hanya menuliskan nomor ponselnya?" Sophia yang duduk di sisi kiri Alex, menatapnya tak percaya. "Apakah dia berharap kau mau menghubunginya lebih dulu dan mengajakmu berkencan?"

Lance mencebik. "Alih-alih memikirkan kencan, surat ini tampaknya tidak mirip dengan surat yang kau temukan di dalam loker. Bukan begitu, Alex?"

Gadis bermata biru itu melihat Lance lalu ke Sophia sebelum mengangguk setuju. "Tidak ada stiker hati dan tidak tertera nama pengirimnya. Louis dan good boy pasti orang yang berbeda," tebaknya.

Sophia menggumam pendek dan menyilang kedua tangannya di dada. "Tapi bagaimana dia bisa terang-terangan mengatakan bahwa dia adalah penggemarmu? Maksudku, Louis adalah murid terkeren di kampus ini setelah Liam." Ia kemudian mengangkat kedua bahunya acuh saat Lance mendelik sinis ke arahnya. "Kau memang keren, tapi tidak cukup popular, Lance," pungkasnya seolah mengklarifikasi ucapannya barusan.

Lance menyentuh punggung tangan Alex sekali lagi dan menepuknya perlahan. "Jangan terlalu dipikirkan, bagaimana jika kau izin saja dan pulang lebih awal?"

"Ya, Alex. Kau tampak buruk dengan lingkaran hitam di bawah mata dan kulit yang memucat itu." Sophia menyedot teh hijau miliknya sebelum melanjutkan, "Bagaimana jika Lance mengantarmu pulang?"

Alex tersenyum tipis dan menggeleng cepat. "Tidak perlu, aku akan pulang sendiri." Tubuh semampainya pun bangkit tanpa menunggu siapapun menginterupsi. "Sampai jumpa besok kawan - kawan."

Gadis itu berbalik dan segera meninggalkan cafetaria. Asumsinya tentang siapakah penggemar rahasia yang mengiriminya pesan - pesan misterius di dalam loker terus berkecamuk dan mengganggu konsentrasinya. Alex bahkan sampai kehilangan nafsu makan dan hasrat untuk sekadar memejamkan kedua matanya karena masalah ini.

Pertanyaan seperti, bagaimana jika sosok 'good boy' yang mengaku sebagai pengagum rahasianya memang membunuh Wayne atau bagaimana jika Wayne mengakhiri hidupnya karena merasa terluka oleh Alexa terus melintas di otaknya seperti kaset rusak. Bagaimana pun juga, kedua alasan itu berkaitan dengannya. Atau secara tidak langsung, Wayne mati karena Alex.

Tubuh Alex limbung dan hampir jatuh ke lantai saat tubuh seseorang dengan tiba-tiba menabraknya dari arah belakang. Beruntung, tangan kekar seseorang berhasil menangkap tubuh Alex dari depan dan menahannya agar hal buruk tidak terjadi.

Gadis itu mendongak perlahan dan menemukan wajah Liam dalam jarak beberapa senti saja.

"Apa kau baik- baik saja?" Liam menatap lurus-lurus lawan bicaranya yang masih terdiam. "Kau tampak seperti mayat hidup."

Mata Alex membelalak tak senang mendengar ucapan Liam barusan. Ia lantas menepis kedua tangan Liam yang masih memegangi kedua lengannya kasar. "Itu bukan urusanmu," katanya ketus.

Liam terkekeh pendek. "Aku bertanya-tanya, kenapa kau bersikap dingin padaku? Apa kau sangat membenciku, Alex? Jika iya, apakah kau punya alasan kuat untuk itu?"

Dahi gadis itu mengerut seketika. "Apa yang kau bicarakan?"

Liam maju satu langkah dari posisinya dan mencondongkan wajahnya yang tampan pada Alex, "Kenapa kau terus menghindariku?" hingga gadis itu tampak gugup. "Bukankah aku cukup tampan di matamu?"

Alex tercenung, membalas tatapan Liam dengan pandangan tak suka.

"Baiklah, baiklah. Mari lupakan soal wajahku yang memang terlahir sempurna ini," sambung Liam sembari mengembalikan tubuhnya ke posisi semula. "Aku ingin memberi tahumu sesuatu tentang Wayne."

Wajah sang lawan bicara mendadak antusias, "Wayne?" dan sangat penasaran. "Ada apa?"

Meski terdengar sengaja menahannya, Liam bisa menebak bahwa Alex sangat ingin tahu. Ia lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan mengangkat bahu acuh. "Kenapa aku harus memberitahumu? Kau bahkan belum membuat keputusan."

Alex lalu mendecak tak sabar. "Katakan apa yang kau ketahui tentangnya."

"Katakan bahwa kau setuju untuk bergabung denganku."

"Apa itu penting sekarang?"

Liam tersenyum. "Tentu. Aku tidak bisa membocorkan sembarang informasi pada orang lain, bukan?" kemudian menggeleng kuat-kuat. "Kau harus bergabung denganku terlebih dahulu."

Alex ingin langsung meninju laki - laki di hadapannya sampai babak belur karena kesal. Sayangnya, ia harus mengurungkan niat jahatnya itu demi menguak kebenaran dan menemukan jawaban bahwa Alex tak terlibat dalam kematian Wayne. "Baiklah, aku akan bergabung denganmu," ucapnya terpaksa. "Jadi cepat katakan apa yang kau ketahui tentangnya."

Bukannya langsung menjawab, Liam justru mengulurkan tangannya pada Alex. "Ponselmu?"

"Apa?"

"Berikan ponselmu padaku sekarang."

Kedua alis Alex pun bertaut. "Untuk apa?"

"Kau mau aku memberi tahumu kebenarannya atau tidak?" Liam mengedikan bahunya sekali lagi. "Kalau tidak mau, tidak apa. Aku akan pergi sekarang."

"Tunggu," sergah Alex buru-buru. Tangannya yang berbalut banyak gelang suede lantas merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel dan memberikannya pada Liam. "Aku melakukan semua ini karena Wayne."

"Ya, ya, terserah." Liam mengembalikan ponsel Alex setelah mengetikkan sesuatu di sana. "Aku baru saja mengirimkan nomormu ke ponselku. Kau bisa menyimpan nomorku dan menghubungi aku jika menemukan sesuatu."

"Jadi, apa informasi yang kau ketahui tentangnya? Cepat katakan," titahnya tak sabar.

Liam berdeham pelan sebelum merendahkan suaranya di dekat telinga Alex. "Detektif suruhanku tidak menemukan apapun di atap."

"Maksudmu, dia sungguh melakukannya karena keinginannya sendiri?" balas Alex dengan suara yang tak kalah pelan.

"Mereka baru akan menganalisis video yang tersebar di ruang obrolan anonim itu hari ini dan hasil autopsi akan dirilis besok."

Alex mengangguk paham. "Soal videonya... apakah mungkin orang yang merekam terlibat? Dia bahkan tidak mencoba berteriak atau menahan Wayne."

Liam kemudian menggumam pendek. "Bisakah aku minta bantuanmu kali ini, Alex? Kau bilang kau bergabung, bukan?"

"Bantuan?"

"Catat nama orang - orang terdekat Wayne dan kita akan menyelidikinya satu persatu."

"Bukankah polisi yang akan melakukannya?"

"Jika polisi tidak dapat menemukan barang bukti dan hasil autopsi merilis hasil yang tidak kita inginkan, apakah kau akan puas dengan keputusan akhirnya nanti?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro