• CHAPTER 3 : Bencana itu baru saja tiba •
Golden University, New York.
03:00 pm.
Sophia meletakkan cangkir teh hijaunya dan menatap Alex tak percaya. "Maksudmu, Liam menghalangi jalanmu seperti ini dan dia bahkan tahu namamu?" Alex mengangguk cepat. "Lalu Lance datang dan bersikap seperti penyelamatmu?"
"Tidak, tidak seperti itu," sanggah Alex. Ia melipat kedua tangannya di dada dan mengerutkan keningnya. "Liam bertanya padaku apakah aku menyukainya dan mencoba menggodanya, lalu Lance muncul dan menjawab pertanyaan itu untukku."
Gadis bermata hijau itu sontak tertawa. Sembari menggeleng tak percaya, Sophia berusaha merendahkan suaranya. "Bagaimana Liam bisa mengatakan hal tak masuk akal seperti itu padamu? Aku tidak percaya dia adalah tipikal laki-laki narsistik."
"Kau seharusnya melihat wajahnya saat Lance tiba-tiba muncul dari belakang dan menjatuhkan harga dirinya," sambung Alex puas. "Dia benar-benar mengganggu."
Obrolan singkat mengenai kejadian yang terjadi di antara Lance dan Liam tadi pagi terpaksa berhenti karena getaran yang bersamaan dari ponsel Alex dan Sophia.
"Hey, aku mendapat pesan anonim," kata Sophia seraya membuka chat pada ponselnya.
"Aku juga, kurasa sebuah video," timpal Alex.
Mereka berdua beradu pandang sebelum kembali ke ponsel masing-masing dan tercengang dengan video yang ada pada ruang obrolan anonim tersebut. Mata biru Alex membelalak panik bercampur takut saat video itu selesai diputar dan pandangannya beralih pada Sophia yang duduk di hadapannya. "Apa kau--kau menerima video yang sama denganku, Sophia?"
Sophia tak kalah cemas. Ia balas menatap Alex dan mengangguk lemah. "Bukankah dia adalah Wayne, Alex?" tanyanya gugup. "Dia ... meninggal."
Gadis bertubuh kurus itu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya demi mencegah serangan panik sebelum beranjak dari kursi. "Kita harus memeriksanya, ayo!"
Video yang dikirim secara anonim melalui chat daring ke hampir seluruh mahasiswa di kampus tersebut pun menimbulkan kehebohan dan ketakutan di siang bolong. Pasalnya, seseorang bernama Wayne Smith ditemukan tewas setelah melompat dari atap gedung kampus beberapa menit yang lalu. Meski tidak disiarkan secara langsung, jasad penuh darah yang diduga adalah Wayne tersebut masih ada di lapangan utama kampus. Menjadi pemandangan mengerikan bagi seluruh mahasiswa di jam pulang mereka.
Tubuhnya menelungkup sementara bagian kepalanya hancur. Cairan merah segar yang keluar dari tubuhnya itu tampak seperti kubangan darah yang membasahi tubuhnya sekarang. Mayat itu benar-benar bermandikan darahnya sendiri.
"Astaga!" Sophia memekik dan menutup mulut dengan kedua tangannya sebelum menoleh pada Alex yang tampak syok di sebelahnya. "Itu sungguh Wayne, Alex," bisiknya.
"Bagaimana dia bisa melompat dari atas sana dan mati dalam situasi seperti ini?" Alex menengadahkan wajahnya ke atas, mencoba mencari titik atap yang kemungkinan menjadi lokasi Wayne mengakhiri hidupnya.
"Aku tidak tahan dengan darah, sebaiknya kita pergi dari sini." Sophia mencoba menarik tangan Alex, tapi tubuhnya justru terdorong ke arah lain oleh segerombolan mahasiswa yang juga penasaran dengan insiden mengerikan tersebut.
Sophia kemudian tak terlihat dimanapun, sedangkan Alex masih berdiri di barisan terdepan memerhatikan mata Wayne yang terbuka lebar dengan pandangan tak percaya. Bahkan sampai polisi datang dan memasang garis keamanan, Alex masih tidak bergeming. Ia berdiri di sana dan menatap Wayne penuh penyesalan.
Bukan tanpa sebab Alex bersikap seperti itu. Pasalnya, Wayne mati tepat satu hari setelah Alex menolak perasaannya secara mentah-mentah. Wayne memang sudah lama menyukai Alex, ia menempel seperti parasit dan terus menggoda sampai gadis itu benar-benar muak. Kemudian Alex memutuskan untuk mengambil sikap, mengatakan bahwa dia sangat risi dengan keberadaan Wayne dan memintanya untuk berhenti menganggu. Lalu hari ini, Wayne mati ... karena melompat dari tempat tinggi.
Apakah Wayne mengakhiri hidupnya karena perasaannya sangat terluka?
"Alex?" Liam muncul dan memecah lamunan gadis itu. "Apa yang kau lakukan di sini? Polisi akan mengevakuasi jasadnya, kau sebaiknya menepi seperti yang lain."
Alex meneguk salivanya dengan susah payah, berusaha kembali dari alam bawah sadarnya dan balas menatap Liam. "Bagaimana denganmu? Kenapa kau tak menyingkir seperti yang lain?"
"Polisi yang ada di sana," Liam menunjuk salah seorang polisi dengan mengangkat dagunya, "adalah suruhanku. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada korban."
Dahi Alex pun berkerut dalam. "Korban?"
Liam mengangguk. "Wayne belum tentu melompat karena keinginannya sendiri, dia bisa saja, kau tahu," ia lalu berdeham pelan dan merendahkan suaranya. "dibunuh oleh seseorang."
Netra biru Alex dibuat membelalak sekali lagi. Bagaimana presepsi itu bisa muncul dan keluar dari mulut seorang anak calon pejabat penting? Bukankah dia seharusnya berhati-hati dengan ucapannya?
"Kau sebaiknya menjaga ucapanmu," kata Alex dengan suara yang tak kalah pelan.
"Dia bisa saja dibunuh secara fisik, seseorang mendorongnya dengan sengaja dari atas sana atau dia mungkin dibunuh secara mental oleh seseorang yang pernah melukai perasaannya."
"Me--melukai perasaannya?" []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro