1
Alek-shin tertawa melihat adik laki-lakinya—Isai—yang berlari kecil mendekati pondok keluarga mereka. Tangan menggenggam keranjang anyam berisi bunga berwarna-warni. Sinar Elanor—matahari planet mereka—memang sudah mulai kembali cerah. Melelehkan salju-salju sisa musim dingin kemarin.
"Kakak! Kakak! Lihat! Es yang ada di timur hutan sudah cair! Aku berhasil mendapatkan wingsdroop!" ucap sang adik ketika sudah cukup dekat. Dia menyodorkan setangkai bunga putih dengan kelopak yang menunduk. Melengkung seperti helaian bulu.
Yang lebih tua terkekeh melihat antusiasme di wajah anak itu. Wajar, sebentar lagi Isai akan mendapatkan Nama Kedua-nya. Itu berarti dia sudah dianggap memiliki ikatan dengan alam di Anduna. Yah, walaupun sebenarnya usia Isai masih belum tua-tua amat. Namun, Alek-shin masih ingat ketika Ayah dan adik kecilnya itu mendarat di planet terpencil mereka delapan orbit yang lalu. Waktu memang berjalan dengan cepat.
Alek-shin mengintip isi keranjang Isai. Selain wingsdroop, adiknya itu berhasil mengumpulkan firestylus, monksrobe, dan beberapa kuntum sky's bulb. Warna jingga, kuning, putih, dan biru akan sangat cocok untuk mahkota bunga. Selaras untuk rambut hitam Isai.
"Apa ini cukup?" tanya Alek-shin. "Kalau sudah, kita bisa mulai mengeringkannya."
Isai mengetuk-ngetuk dagu. "Belum, Kak! Aku mau mencari reubelle!"
"Reubelle?" Alek-shin tersentak. Terbayang bunga liar kecil berwarna biru muda yang semakin gelap di bagian ujung mahkotanya. Wajah Alek-shin melembut penuh nostalgia. "Itu bunga yang kukenakan untuk Penamaan Kedua-ku dulu."
"Iya!" Isai menepuk dadanya. Senyum cerah terukir di wajah. "Aku mau sama denganmu!"
"Isaaai..." Mata Alek-shin melebar tidak percaya. Dia langsung tergelak. Tangan mengacak-acak rambut sang adik tanpa memperhatikan protes anak itu. "Kamu itu adik paling baik dan paling imut seantariksa!"
"Kakaaak!" Isai merengek sembari berusaha mendorong Alek-shin menjauh. "Hentikan! Nanti kuadukan pada Ayah!"
"Apanya yang diadukan padaku?"
Suara berat dari belakang menganggetkan mereka. Isai dan Alek-shin sontak menoleh. Sang Ayah—Yoru-lan—bersandar di ambang pintu pondok mereka. Senyum simpul terpatri dibalik jenggot dan kumis tebal. "Al, sebagai kakak laki-laki, kau jangan merundung adikmu."
"Ih! Siapa yang merundung?" dengus Alek-shin. "Ini cara aku menunjukkan sayangku!"
Sebelum Isai sempat angkat bicara, Yoru-lan mengangkat tangannya. "Cukup, cukup. Lanjutkan debatnya di dalam. Ibu kalian juga sudah selesai memasak. Cepat masuk, kalian pasti kedinginan."
Kedua anak itu meringis. Alek-shin langsung merangkul adiknya ke dalam pondok. Aroma semur daging yang menguar dari dapur menyapa mereka. Sukses membuat perut menggerutu tanda lapar. Ibu mereka—Pasha-ai—keluar dengan panci besar penuh makanan. Dia menaruh semua di meja, lalu menggosok hidung kedua anaknya yang memerah akibat dingin. Sementara api di perapian bergemeretak. Menghangatkan badan mereka.
Alek-shin senang dia tinggal di Anduna. Dia juga senang musim semi sudah tiba.
***
Elanor bersinar lebih terik lagi hari itu. Mencairkan lebih banyak salju yang tadinya menutup pekarangan pondok kecil di dekat bukit. Udara masih dingin. Peninggalan dari musim salju yang belum sepenuhnya selesai. Akan tetapi, Pasha-ai memutuskan udara sudah cukup panas untuk menjemur selimut dan baju-baju.
Belum sampai separuh cucian dia jemur, sebuah suara memanggil dari balik pagar rumah. Tampak wajah berbintik dengan rambut merah menyembul di sana.
"Nyonya Pasha-ai!" panggil sang anak dari pagar. Tangannya melambai. "Apa Isai ada?"
"Ah, Olan!" panggilnya balik. Mengenali anak itu sebagai teman anak bungsunya. "Iya, dia di dalam bersama Kakaknya. Sebentar, aku panggilkan—"
"Tidak perlu." Dari pintu pondok, Alek-shin dan Isai melangkah keluar. Yang lebih muda langsung melesat ke pagar. Menghampiri sang kawan. Keduanya langsung berceloteh. Membicarakan Perayaan Musim Semi dan Penamaan Kedua yang akan datang. Seakan tidak makhluk lain selain mereka.
"Begitu mendengar suaranya, Isai langsung berlari keluar," ucap Alek-shin. Dia berdiri di samping Pasha-ai. "Mereka benar-benar teman baik."
Ibunya terkekeh. Tangan yang basah dia keringkan dengan celemek. "Iya, anak-anak muda memang masih semangat. Kira-kira ada apa, ya?"
Sementara Ibu dan kakaknya mengamati, Isai mendengarkan berita yang dibawa oleh Olan.
"Nenek Kora-lin dan Kakek Musa-poi mengajak anak-anak untuk memanen winterfrun terakhir dari kebun mereka!" jelas anak itu bersemangat. "Mereka bilang, kita boleh makan sebanyak yang kita mau!"
"Begitu?" gumam Isai. Wajahnya berubah murung. "Tapi... hari inia aku mau pergi mencari bunga lagi. Aku belum mendapatkan reubelle."
"Yah..." Nada suara Olan turut berubah sedih. "Tidak seru kalau kamu tidak ikut!"
"Tidak apa-apa. Aku sudah sering diberi winterfrun dari kebun mereka selama musim dingin, kok!"
"Tapi biasanya panen terakhir itu yang palin manis!" protes Olan. "Dan ini bukan hanya soal buahnya saja! Tetapi juga soal bermain bersama yang lain."
Isai menunduk. Di satu sisi dia memang ingin ikut dan bertemu teman-teman. Namun, di sisi lain, dia juga menginginkan ruebelle untuk mahkota Penamaan Kedua-nya nanti. Sementara tidak banyak lagi waktu sebelum acara tersebut. Dia takut tidak dapat menemukan bunga tersebut tepat waktu dan tidak sempat mengeringkannya.
Merasakan keresahan sang adik, Alek-shin yang sedari tadi menyimak berjalan menghampiri Isai. Dia menaruh tangan lembut di atas bahu adiknya itu.
"Kalau kau mau pergi, pergi saja."
Isai sontak menoleh pada kakaknya. Mata melebar. "Tapi bunganya—"
"Untuk itu, kau tidak usah khawatir," ucap Alek-shin. Dia menunjuk dirinya sendiri. "Aku bisa mencarikannya untukmu."
Mata sang adik langsung berbinar. "Sungguh?"
"Tentu saja. Sebagai kakak aku harus—oomphf!"
Deklarasi Alek-shin terputus oleh Isai yang memeluknya. Anak itu tersenyum sumringah. Mungkin lebih cerah dari cahaya Elanor hari ini.
"Terima kasih, Kak! Terima kasih!"
Alek-shin tertawa. Mendekap balik adiknya. Olah ikut mengangkat kedua tangannya dan bersorak. Sementara Pasha-ai menggelengkan kepala. Wanita itu tersenyum melihat pemandangan manis yang tersaji. Cinta dalam hatinya membuncah.
Alek-shin dan Isai tahu mereka tidak sedarah. Namun itu tidak mencegah mereka untuk menjadi kakak-adik yang baik dan rela membantu satu sama lain.
***
Ada padang bunga yang cukup luas di dalam hutan yang berada di kaki bukit. Dari perkataan Olan, dia sempat melihat beberapa rumpun reubelle di sana. Letak tempat itu di barat dan sedikit lebih jauh daripada padang bunga di timur. Alek-shin harus bergegas ke sana jika tidak mau pulang setelah Elanor tenggelam.
"Penamaan Kedua masih beberapa rotasi," gumam Alek-shin. Tangan mengayun keranjang anyam yang dia bawa. "Tapi wajar Isai resah. Dulu aku juga gugup sekali..."
Alek-shin terkikik membayangkan saat dia kecil. Dibalut baju upacara berwarna hijau dan mahkota bunga yang bertengger miring di atas kepala. Hari itu cukup membuatnya merasa sedikit tertekan. Namun, semua berjalan dengan lancar. Dan sejak itu, Alek menjadi Alek-shin.
Dia tidak tahu nama seperti apa yang akan didapatkan Isai. Namun, dia bersumpah akan ada di sana untuk mendengarkan nama itu. Saat Penaamaan Kedua-nya dulu, hanya Pasha-ai yang ada menemaninya. Ayah kandung Alek-shin meninggal karena sakit.
Akan tetapi, keluarganya sudah berkembang sekarang. Dia punya Yoru-lan dan Isai. Mereka berdua banyak membantu dah mendukungnya. Hanya adil kalau dia juga mendukung mereka. Terlebih pada upacara yang sangat penting untuk Isai ini.
Selagi melamun, Alek-shin melihat ujung terang tempat padang bunga yang disebut oleh Olan. Samar-samar dia juga sudah mencium bau rumput segar dan—
Asap.
Ada asap membumbung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tepat di padang bunga.
Sontak Alek-shin berlari ke sana. Kepala langsung membuat skenario yang tidak-tidak. Dia merutuk.
Apakah ada kebakaran?!
Dengan sigap Alek-shin menembus pepohonan lebat. Tangan lincah menghalau ranting yang merintangi. Hutan itu memang tidak asing. Bahkan seperti rumah kedua baginya. Alek-shin sudah mempersiapkan diri untuk yang terburuk ketika kakinya menapaki padang bunga dan—
Yang dia lihat malah lebih tidak lazim.
Anduna adalah planet yang terpencil. Letaknya jelas sangat jauh dari planet-planet besar berteknologi tinggi seperti Coruscant. Tidak seperti banyak planet lainnya juga, penghuni Anduna jauh lebih dekat dengan alam. Namun, bukan berarti mereka anti-teknologi. Bahkan, kelas teknologi dan rekayasa adalah subjek wajib bagi anak-anak di sana.
Itu sebabnya, Alek-shin tahu betul bentuk ST-07 Assault Ship.
Pesawat yang kini mendarat di padang bunga di depannya.
Tampak asap membumbung dari plat-plat yang membangun tubuh mesin itu. Bewarna hitam pekat. Tiba-tiba, pintu besi berderak dan berdesing terbuka. Membuat Alek-shin hampir melompat.
Seseorang berjalan keluar dengan langkah berat. Mungkin dikarenakan armor logam yang dia pakai. Blaster di ikat pinggangnya berkilat terpapar Elanor.
Alek-shin terpaku. Otak memberi peringatan untuk lari. Tapi tubuh memutuskan tak bergeming. Walau pria tersebut memakai helm, Alek-shin dapat membayangkan tatapan tajam yang di arahkan padanya.
Siapapun orang ini, dia bukan seorang Andunian.
***
.
.
.
.
.
.
A.N. :
/Putting world-building through cheese grater/ What world-building? Never know 'em.
Disclaimer kalau world-build dan 'sains' yang kupakai di sini rada asal-asalan. Dan maaf-maaf aja kalau aku salah pakai canon Star Wars because let's be honest, it's confusing as fuck.
Anyway, hope y'all enjoy this chapter! Ada saran, pertanyaan, komentar saja!
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro