Chapter 22
Selamat datang di di chapter 22
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai juga kalau ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hope you like and enjoy this story as well
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Waktu penyembuhan trauma tiap orang berbeda-beda
—William Molchior
____________________________________________________
Dari balik kursi kemudi Chevrolet yang masih terparkir di tempat semula, Scarlett Delillah memperhatikan Regis Mondru masuk Buggati hitam edisi terbatas pria itu yang tak lama kemudian meninggalkan Bake Me Up. Barulah ia bisa leluasa mengosongkan paru-parunya sembari mengendorkan punggung ke jok. Tanpa tedeng aling-aling, air mata Scarlett merebak, mengancam tumpah. Sekujur tubuhnya pun masih gemetar diselubungi dingin dengan jantung bertalu-talu serta pikiran kalut.
Scarlett menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan serta membiarkan pertahanan dirinya bobol. Selagi menumpu kepalanya di atas stir, ia berpikir apakah tindakannya terlalu gegabah dengan menyetujui ide Regis? Bagaimana caranya nanti ia akan menjelaskan ini kepada Jenna bahwa Regis Mondru adalah ayah kandung putrinya? Mengingat pertama kali mereka bertemu, semuanya dalam keadaan kacau balau. Bahkan Scarlett masih bisa merasakan bagaimana cara putrinya menatapnya dengan tatapan benci waktu itu.
Kepala Scarlett mendadak didera rasa sakit. Seolah ada yang memukulinya dari dalam. Ia membutuhkan seseorang untuk bersandar. Ia membutuhkan ... William.
Scarlett pun berandai-andai pria bermanik mata hijau cemerlang itu ada di sana, di sisinya, menenangkannya seperti pekan lalu. Ide meminta William kemari mulai menggoda akal sehat Scarlett serta menuntunnya untuk melakukan itu—meski ragu pria tersebut akan menerima panggilannya. Scarlett sadar betul kemarin William memberikan jarak padanya setelah ia mengakui perasaannya—walau tidak semuanya. Namun, tidak ada salahnya mencoba, bukan?
William Molchior baru saja tiba di restoran Tribeca bersama Janet. Siang ini klien meminta pihak Cozivart berdiskusi soal penawaran kerja sama sambil makan siang. Berhubung proyek ini sangatlah penting, jadi sebisa mungkin William akan memenangkan penawaran itu.
Sebagai perusahaan penghasil batu bara, Cozivart telah mengembangkan bisnis ke berbagai ranah sesuai manfaat produk. Selain bekerja sama dengan perusahaan alat berat milik keluarga Thompson untuk mengangkut batu bara mereka, Cozivart juga telah menjalin kerja sama dengan industri aluminium, sektor pertanian untuk proses pembuat pupuk, Gemilang Pulp and Paper yang dulu bernama Utama Raya, dan perusahaan pembuat semen. Kini, Cozivart tentu ingin menyabet kerja sama dengan perusahaan material baja yang hasilnya akan sangat menjanjikan.
Jadi, William memusatkan konsentrasinya pada pertemuan ini. Oleh karena itu, ia mengatur ponselnya dalam mode senyap. Sehingga tidak tahu kalau Scarlett meneleponnya beberapa kali. William hanya memperhatikan lawan bicaranya berbicara kepadanya.
“Ini akan menjadi kerja sama yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Perusahaan kami akan mengembangkan baja menjadi pruduk apa pun dan batu bara memang sangat dibutuhkan dalam pembuatannya. Kalau kami harus jauh-jauh pergi ke Virginia Barat, rasanya sangat membuang-buang waktu. Beruntungnya ada Cozivart di Manhattan. Jadi, tidak mungkin kami akan menolaknya. Ini kesempatan langka yang tidak perlu dipikirkan dua kali.” Begitu kata direktur operasional yang mewakili perusahaan material baja. Melegakan William sekaligus Janet.
Perasaan bangga segera melumuri diri William. Sebagai anak terakhir alias si bungsu, Dominic kerap kali menganggapnya masih manja, si tukang pesta dan penghambur uang serta tak pernah serius bekerja. Namun, lihat sekarang! William telah berhasil meraih kerja sama yang akan sangat menguntungkan Cozivart. Bahkan belakangan ini, ia sama sekali tidak mengadakan pesta. Bukankah itu sesuatu yang bagus?
Dengan penuh semangat, William menyalami rekannya sebelum pria itu bersama sekretarisnya meninggalkan Tribeca. “Senang bisa berdiskusi dan bermitra dengan Anda.”
Pertemuan itu ternyata memakan waktu lebih lama dari dugaan William. Meski demikian, ia sangat puas akan hasil yang diperolehnya dan ingin segera mengatakan keberhasilan tersebut pada Dominic. Kalau bisa, ia juga akan sedikit menggoda kakaknya supaya hidup Dominic tidak selalu kaku. Namun, sewaktu mengecek ponsel dan membaca notifikasi telepon sebanyak lima kali dari Scarlett, William kontan dirundung waswas. Dengan segera, ia menghapus niat menelepon Dominic dan beralih menelepon Scarlett.
Pada sering pertama, wanita itu sudah mengangkat telepon William. Secara buru-buru, ia menjelaskan, “Maaf, tadi aku sedang makan siang dengan klien penting dan mengatur ponselku ke mode senyap. Jadi tidak tahu kalau kau menelepon. Ada apa?”
Scarlett tidak langsung menjawab. Ketika yakin mendengar wanita itu membersit hidung, William langsung tahu ada yang tidak beres dengan Scarllet. Pikirannya kontan bercabang ke mana-mana, ke sesuatu yang negatif semua. Jadi, William buru-buru melanjutkan, “Ada apa? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?”
Setelah itu, tangis Scarlett pecah kembali. Wanita itu pun masih berisikeras memaparkan, “Aku tidak yakin dengan apa yang terjadi, Will. Tapi bisakah kau ke sini?”
Jantung William berdetak sangat kencang. “Just tell me what’s going on,” tuntutnya sembari menaikkan ujung lengan suit hitamnya guna melihat jam tangan. Kurang dari sepuluh menit lagi jam makan siang habis. William juga melihat ke jalan raya untuk memastikan di mana ia sekarang. Dan mendapati prediksi akurat kurang sebentar lagi mobil yang ditumpanginya bersama sopir dan Janet akan segera tiba.
“D-dia datang lagi dan mencari Jenna. Dia mendesakku, jadi aku menjanjikannya menemui Jenna akhir pekan ini. Dia juga meminta alamat rumahku sebagai jaminanku menepati janji.”
Napas berat yang panjang sontak keluar dari hidung William. Rupanya bajingan itu kembali. Ia pun memejamkan mata sekilas sambil mendengar kelanjutan cerita Scarlett.
“Ta-tapi aku tidak memberinya. A-aku sangat takut ... aku takut, Will.”
“Di mana kau sekarang?”
“Di dalam mobilku, masih di parkiran Bake Me Up.”
“Tetap di sana. Jangan kemana-mana. Aku akan segera ke sana.”
William menutup telepon dan segera menepuk bahu sopirnya. “Tepikan mobilnya. Aku ingin turun. Ada urusan yang harus kuselesaikan. Kalian kembalillah ke kantor. Dan Janet, tolong minta Mr. Dan wakiliku memimpin rapat siang ini, terima kasih.”
Kala melihat Janet hendak melayangkan protes, William buru-buru turun dari mobil yang sudah berhenti di tepi trotar dan mencegat taksi. Beruntungnya ia membawa sopir karena berpikir tak mungkin berduaan dengan Janet. Sementara sekretarisnya itu mirip Target yang dengan senang hati membuka kakinya 24 jam per tujuh hari untuknya. Yang tentunya akan sangat berbahaya bagi William.
Sopir taksi itu cukup cekatan mengemudikan mobil membelah jalanan yang lumayan padat sehingga William tiba di Bake Me Up hanya dalam waktu sepuluh menit. Sebelum turun, William memberi kongkos pada sopir tanpa melihat nominal di argo. Ia hanya mengambil lembar mata uang terbesar dari dompetnya.
“Sir, Ini terlalu banyak,” teriak sopir taksi sambil meneleng ke belakang sewaktu William bergegas turun pasca mengecek dan yakin barang bawaannya tidak ada yang tertinggal.
“Semuanya untukmu,” balas William berteriak cepat-cepat. Secepat kakinya yang melangkah ke bangunan bagian samping Bake Me Up. Tempat parkir khusus mobil Scarlett. Kaca samping jok kemudi Chevrolet hitam itu pun segera menjadi sasaran William untuk diketuk-ketuk.
Scarlett menoleh. Mendapati William ada di sana membuatnya lega. Secara otomatis, ia membuka kunci pintu mobilnya. William pun mengitari bagian depan mobil untuk duduk di sebelahnya. Lalu tanpa ba-bi-bu sontak memeluk Scarlett. Tangisannya yang semula sudah mereda malah semakin tak terkendali.
“Tenanglah, Darl. Aku di sini,” ucap William sambil ngos-ngosan dan jantung berdebar tak karuan akibat lari-larian tadi.
“Terima kasih sudah datang, Will. Kupikir, kau tidak akan datang.” Perasaan Scarlett kembali membuncah saat pria itu memanggilnya ‘Darl.’ Apakah artinya William sudah kembali seperti sebelum ia pergi ke kediaman pria itu? Apakah jarak-jarak yang dibangun pria itu telah diruntuhkan? Scarlett sangat berharap demikian.
“Aku pasti datang, tenang saja, Darl.”
Scarlett seperti de javu ketika merasakan usapan tangan besar dan hangat William di punggungnya yang bergetar. Sekujur tubuhnya yang masih sedingin salju pun mulai mencair akibat kehangatan yang ditularkan pria itu dengan dekapan erat. Tempat ternyaman, teraman, sekaligus sangat berbahaya bagi Scarlett. Ia lantas membiarkan dirinya menangis lagi, sampai benar-benar reda.
Setelah membersit hidung, Scarlett mengaku, “Terima kasih sudah datang. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain itu. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya memikirkanmu lalu aku meneleponmu. Padahal kau harus bekerja. Padahal ada Hillary, Andy, dan George di dalam, tapi aku memilih meneleponmu.”
“Aku senang kau meneleponku.” Senyum hangat menghiasi bibir William. “Kau tak akan percaya aku benar-benar senang kau meneleponku. Terlepas dari kondisimu.”
“Maaf, sudah merepotkanmu, William. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku sangat cengeng.”
“Kau sama sekali tidak merepotkanku,” bantah William. “Darl, kau tidak cengeng. Kau hanya bertemu seseorang yang membuatmu trauma. Semua orang pasti seperti itu,” hibur William.
Scarlett tidak peduli William mengatakan itu sebagai bualan atau memang benar untuk menenangkannya. Terlepas dari semuanya, itu lumayan membuat Scarlett tenang. Lalu, ia mulai merasa ingin berkeluh kesah.
“Tadinya, aku mau menjemput Jenna di kelompok bermainnya setelah dia pergi. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi, bagaimana kalau dia tidak percaya dengan janjiku dan memutuskan membuntutiku sampai ke sana? Atau bahkan sampai rumahku? Jadi, aku menelepon guru Jenna untuk memintanya menjaganya. Dan aku masih bertahan di sini sambil berpikir macam-macam.”
Scarlett sangat bersyukur bisa menyekolahkan Jenna di kelompok bermain dengan fasilitas jaga seperti itu. Sangat cocok bagi wanita karier seperti dirinya.
“Tenanglah, jangan berpikir macam-macam. Kau hanya perlu berpikir jernih dalam kondisi tenang.”
William pun mengusulkan, “Apa kau tidak ingin melaporkan ini pada polisi?”
Pertanyaan William kembali menusuk-nusuk jantung Scarlett. Haruskan ia menceritakan yang sesungguhnya pada William? Namun, bagaimana kalau respons William tidak seperti yang diinginkan Scarllet? Atau parahnya, malah berbalik menyakiti Scarlett? Lalu benar-benar tidak memedulikan Scarlett lagi? Dan pergi dari kehidupannya serta Jenna?
Scarlett tidak ingin William pergi dari hidupnya. Ia kembali mengingat momen ketika mengungkap perasaannya dan William sontak memberinya jarak. Namun, bukankah pria itu datang ke sini untuknya karena masih peduli? Sangat, amat, peduli? Scarlett pun tidak ingin menambah beban William atau mengacaukan semuanya.
Jadi, ia hanya menceritakan versi umumnya. “Aku tidak bisa lapor polisi. Dia hanya memaksaku untuk mempertemukannya dengan putriku. Itu bukan tindak kejahatan, Will.”
“Itu kejahatan. Kau bisa melaporkannya dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan terhadap orang lain.”
“Kau benar, Will,” balas Scarlett lemah dengan tatapan menerawang. Jawaban yang sama sekali tidak disukai hatinya karena harus berurusan dengan polisi. “Tapi, aku tidak ingin melibatkan polisi.”
Saat sedang serius memikirkan bagaimana cara menghapus traumanya ini, Scarlett dikejutkan oleh William yang meraih lalu mencium punggung tangannya. “Tapi semua keputusan ada di tanganmu. Aku tidak ingin memaksamu. Bagaimanapun, aku akan selalu mendukungmu, Darl.”
Jantung Scarlett kembali berdebar-debar. Lalu sesuatu yang gila telah merasuki otaknya dengan cepat. Ia menghadap pria itu kemudian memanggilnya, “Hei, Will.”
William menjawab sambil membawa tangan Scarllet ke pipinya.
“Apa aku sudah bercerita kalau aku sexophobia?” tanya Scarlett.
Sepasang kelopak mata William melebar. Namun, hanya beberapa detik karena pada detik berikutnya ia sibuk mengingat-ingat dan tidak menemukan kepingan memori itu. Dan informasi baru yang didapatkannya membuat William memahami alasan Scarlett bisa jadi sangat defensif kemarin.
William menggeleng, sehingga Scarlett melanjutkan, “Aku tahu itu sangat memalukan. Tapi aku ingin membaginya denganmu.”
Pria itu sontak menjauhkan genggaman tangannya pada wajah Scarlett. “Darl, kau tahu, aku tidak akan memaksamu bercerita kalau kau tidak siap. Dan itu sama sekali bukan hal memalukan.”
“Aku tahu, tapi ucapanmu Minggu kemarin memang benar. Aku memikirkannya. Aku tidak bisa membuat orang-orang di sekitarku terus memaklumi traumaku.”
William jelas membantah, “Tidak. Seharusnya akulah yang meminta maaf. Harus kuakui kata-kataku sangat arogan.”
Bantahan William diabaikan Scarlett. “Sudah saatnya aku membaginya padamu. Sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan penolakanku kemarin.”
Akibat saling membantah, William akhirnya mengalah. Toh apa salahnya mendengarkan Scarlett? William jadi bisa lebih mengenal wanita itu. Meski pada kenyataannya ada sebagai dari dirinya yang tidak ingin mendengarkan alasan Scarlett karena cemburu pada si bajingan tolol itu. Namun, bagian lain hatinya yang memiliki sisi lebih kuat memutuskan untuk mendengarkan.“Baiklah, kalau itu bisa meringankan bebanmu, aku bersedia mendengarkamu.”
Sebelum memulai ceritanya, Scarlett menarik napas dan membuangnya secara perlahan sambil memejam sejenak. “Aku hanya pernah bercinta sekali di saat aku masih perawan. Dia pacarku waktu itu. Tapi dia sama sekali tidak menungguku siap untuk melakukannya dan memaksaku. Tidak ingin munafik, aku memang bersedia awalnya. Tapi karena melihatnya tersenyum dengan cara tidak biasa, aku mulai ketakutan.
“Aku spontan memintanya berhenti. Aku benar-benar ingin mundur. Tapi dia tidak pernah akrab dengan penolakan dan tetap memaksaku. Lalu, dia melakukannya. Rasanya sangat sakit. Seperti ditusuk-tusuk. Lalu aku juga melihat darah setelah dia selesai denganku. Dia tidak menenangkanku yang menangis dan malah mengataiku merusak suasana.
“Katanya semua wanita akan merasakannya. Aku hanya perlu menahannya sebentar dan semuanya selesai. Tapi, kenyataannya tidak. Rasa sakitnya baru hilang sampai seminggu. Dia tidak peduli sesakit apa aku harus menanggungnya, yang penting keinginannya harus dituruti di saat kami mendapat kesempatan untuk berduaan. Tapi aku selalu menolak karena sangat kesakitan.
“Dua bulan setelah jadwal menstruasiku tidak kunjung datang, aku langsung mendapati diriku hamil. Dan di saat aku ingin memberitahunya, aku malah memergokinya sedang bercinta dengan wanita lain lalu menyuruhku menggugurkan Jenna. Sejak saat itu sampai sekarang, aku sexophobia.”
Tangan William sontak mengepal erat ingin meninju bajingan tolol itu. Namun, di sisi lain, dirinya juga merasa tertohok, mengingat sejak sangat lama ia juga banyak mencampakkan wanita hanya setelah kebutuhan biologisnya terpenuhi. Yah, meski setidaknya ia cukup pintar untuk selalu menggunakan pengaman.
Tanpa sadar, William melepas napas berat yang sedari tadi ditahannya. “I’m sorry,” bisiknya. Nadanya dalam dan sedih tidak dibuat-buat. “Tapi, bukankah itu tindakan kejahatan? Kenapa kau tidak melaporkan bajingan tolol itu ke polisi? That was sexual harassment, wasn’t that?”
Scarlett berbalik tanya, “Apa itu termasuk karena aku menyetujui itu, meski awalnya?”
Dikarenakan tidak memiliki jawaban akibat pengetahuan yang kurang dalam bidang ini, William pun diam. Beberapa detik setelah kebisuan yang membungkam keduanya, ia mendengar Scarlett menukas, “Aku tidak bisa terus-terusan trauma seperti ini, kan Will?”
“I’m not gonna lie. Memang tidak, Darl. Tapi waktu penyembuhan trauma tiap orang berbeda-beda. Aku mengerti,” balas William realistis.
“Aku tahu. Tapi ... aku sudah memutuskan sesuatu.” Scarlett membasahi bibir dan meneguk ludah sebelum berkata, “Aku ... ingin melakukannya denganmu.”
Mata William membelalak lebar dengan mulut mengaga. Tubuhnya yang semula menghadap depan, kini diputar sepenuhnya menghadap Scarlett. Jantungnya pun berpacu lebih kencang. William meneguk ludah dengan susah payah. Jangan-jangan ia sedang bermimpi? Atau salah dengar? Atau salah terka? Jadi, dengan gelagapan ia memastikan, “M-maksudmu, me-melakukan apa?”
“Bercintalah denganku, Will.”
“A-APA?” Jadi benar itu maksud Scarlett? Ia tidak salah terka? Benar?
“Kumohon, aku ingin sembuh.”
Sekali lagi William menganga. Ia memandangi Scarllet penuh selidik. “A-apa kau yakin?” Tiba-tiba saja, sekujur tubuh William panas dingin. Bulu kuduknya pun merinding. Gejala apa ini sesungguhnya?
“Sangat yakin. Karena aku percaya padamu, William. Jadi, bercintalah denganku.”
____________________________________________________
Apa lagi yang ente ditunggu, Will? Gaslaaaah! Lampu ijo udah nyala tuh!
Yok mari kita semangati William gaes
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo
Kelen luar biasa
Btw Kelen tim siapa?
Scarlett Delillah
Sama William Molchior
Atau
Sama Regis Mondru?
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Selasa, 3 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro