Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17

Selamat datang di chapter 17

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy weekend everyone

Happy reading

Hope you enjoy and like this story as well

❤❤❤

______________________________________________

Forget the past
There’s a reason it’s not coming back

—Ex
______________________________________________

“Kelemahanmu ada di sini, Regis. Perhatikan lagi kecepatan dan keseimbangan penggali kuburan[1] yang kaukendalikan saat akan menanjak. Kita semua tahu, dua menit free style sangatlah berarti bagi kita. Buatlah para juri terkesima dengan kemampuanmu,” tujuk coach Mattew pada layar TV yang menampilkan video Regis Mondru mengemudikan momster truck beberapa musim lalu sebelum vakum.

Wajah pria paruh baya itu tegas, tak kenal ampun dan sangat disiplin sehingga sukses menjadi pelatih tim The Crusher Hell. Kadang-kadang, ia diminta menjadi dosen terbang di universitas Monster Jam—tempat para pengemudi monster truck menimba ilmu dan mendapat sertifikat pasca menjalankan serangkaian tes berjam-jam dalam beberapa hari. Sama seperti Regis, sebelum melanjutkan ke universitas yang sama dengan Scarlett, Mia dan Siena.

“Sebentar lagi babak penyisihan, kuharap konsentrasimu tercurah penuh untuk hal ini,” kata coach Mattew lagi. Kemudian menatap wajah-wajah dalam ruangan yang mereka tempati saat ini. Yang tidak ada kebisingan sedikit pun karena kegiatan bengkel sudah berhenti sejak satu jam lalu. “Aku juga berharap tim kita bisa lebih memperhatikan tugas masing-masing.”

Beberapa saat kemudian, rapat evaluasi itu selesai. Beberapa kru keluar ruangan dengan obrolan masing-masing, termasuk coach Mattew. Jared King yang mengemasi papan mininya pun melihat Regis masih duduk dengan tatapan kosong. Memandang ke arah tempat di mana coach Mattew tadi berdiri.

“Hei, sepertinya kau tidak benar-benar menyimak penjelasan coach Matt,” komentar Jared.

Regis memejam sesaat sebelum menatap dan menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku mendengarkan dengan sungguh-sungguh,” sangkalnya. Meski demikian, ia benar-benar paham letak kelemahannya dulu, persis kata coach Mattew.

“Syukurlah, Reg.”

Regis tidak menjawab. Ia berdiri lalu berjalan keluar ruangan menuju kafetaria yang ada di bengkel besar tersebut sembari menyulut rokok diikuti Jared.

Tiba di sana, Regis dan Jared menduduki salah satu meja kosong setelah mengambil makan siang mereka. Berhubung penasaran, Jared pun bertanya, “Bagaimana akhir pekan kemarin? Kau jadi ke Bake Me Up?”

Dasar Jared sialan! maki Regis dalam hati. Alih-alih menyeru sahabatnya, ia lebih memilih mematikan rokok lalu mulai menyantap makan siangnya. Jujur saja ia lelah. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Dan, Jared dengan kurang ajarnya hampir bisa menebak apa yang terjadi secara tepat.

“Gagalkah?”

Regis mendesis. “Bellen datang ke apartemenku pagi-pagi sekali di saat aku belum bangun. Lalu dia merengek soal caraku memperlakuaknnya belakang ini. Bagaimana menurutmu aku bisa ke Bake Me Up?” tanya pria itu kasar, kelihatan frustasi. Lalu fokus pada makanannya lagi.

“Oh!” Jared benar-benar kaget sekarang. Namun, segera mengubah wajahnya menjadi cengiran lebar. “Haha ... ayolah, Dude. Kupikir kau pasti dapat R dan R dari Bellen. Rehat dan Rekreasi.” Kedua alis Jared naik-turun sewaktu mengatakan “Rehat dan Rekreasi”—istilah bagi para angkatan bersenjata ketika mendapatkan liburan akhir pekan yang mereka habiskan bersama pasangan ; kencan panas.

Andaikan Regis bisa, pikir pria itu kesal. Masalahnya semenjak Jared memberi informasi mengenai Scarlett yang hamil anaknya kala diusir, Regis menjadi takut menyentuh Bellen dengan cara dewasa walau sudah tersedia banyak alat kontrasepsi dan Bellen benar-benar memberinya kuasa penuh atas wanita itu. Namun, ia tidak melakukannya. Tidak di saat kegundahan hatinya belum tuntas. Dan tidak di saat mereka baru saja rekonsiliasi.

Sebenarnya Regis juga tidak bisa benar-benar menikmati akhir pekannya bersama Bellen. Setelah wanita itu memaksa memasak sarapan untuk mereka—yang tidak seperti Regis duga karena Bellen rupanya tidak terbiasa memasak, tunangannya lantas bersemangat mengajak Regis sarapan di luar tanpa membereskan sedikit kekacauan yang dibuatnya di dapur pria itu.

Seolah belum cukup menyiksa kejiwaan Regis yang masih agak rentan, Bellen mengajaknya ke Time Square karena ingin ditemani belanja pakaian musim panas. Kegiatan yang menurut Regis membuang-buang waktu dan tenaga. Namun, ia tidak tega menghancurkan kebahagiaan yang terpancar di wajah Bellen. Jadi, bagai kerbau dicocok hidungnya, Regis menurut.

Masalahnya, itu berkaitan erat dengan harga diri. Regis jelas tidak ingin mengakui hal-hal tersebut kepada Jared. Jadi, ia hanya berkata, “Begitulah.”

Kafetaria itu berisik dengan obrolan sana-sini. Para montir terlihat bersantai dengan kawan seprofesi mereka. Regis membawa pandangannya berkeliling dan mengamati suasana yang tidak jauh beda dengan bengkel milik tim ayah Scarlett dulu. Bisa dibilang khas pria. Nilai tambahnya, Scarlett tidak pernah malu menemaninya makan siang saat wanita itu sengaja membantu di bengkel sewaktu mereka liburan musim panas dan Regis digembleng untuk latihan.

Akhir-akhir ini pikiran Regis sedikit kacau, sesalnya pilu. Benakknya tak mau lepas dari Scarlett semenjak pertemuan mereka di pesta Bellen. Dan, sialnya ia benar-benar merasa terbebani dengan keputusannya melamar Bellen.

Mengesampingkan itu, Regis pun bertanya, “Apa menurutmu Scarlett mempertahan bayinya? Maksudku, bayi kami?”

“Eh?” Jared berhenti mengunyah, meraih gelas soda dan menenggaknya sedikit, barulah berpendapat, “Aku tidak tahu pastinya. Tapi berdasarkan penelitian di setiap negara, setiap wanita yang terpaksa hamil pasti ingin menyingkirkan bayi yang tidak diinginkan mereka.”

Kalau sampai itu terjadi, Regis bersumpah akan menyalahkan dirinya sendiri dan Scarlett. Bagaimana mungkin wanita itu tega menyingkirkan darah dagingnya? Darah daging mereka? Kendati dengan amat menyesal Regis pernah menjadikan Scarlett sebagai wanita yang ingin membunuhnya karena ia tidak—atau setidaknya belum, hingga sekarang—menginginkan bayi mereka.

Perlu dicatat, itu dulu. Sebelum pemikiran, umur, serta keadaan Regis menjadi lebih stabil dan matang. Ia menyesal. Sangat ... sangat ... menyesal. Jadi, tidak amasalah apabila ....

Regis menghentikan pikirannya yang kacau ketika Jared tiba-tiba bicara lagi. “Dude, kelihatannya kau harus benar-benar menuntaskan masalah ini agar konsentrasimu bisa tercurah penuh ke babak penyisihan.”

Regis menyetujui Jared. “Well, aku akan benar-benar akan pergi ke Bake Me Up minggu ini. Bagaimanapun caranya.”

“Bagaimana kalau dia sedang tidak ada di sana? Kurasa kita harus memakai sedikit taktik.”

“Taktik apa yang kaumaksud?” tanya Regis penasaran.

Jared pun mencondongkan tubuh, setengah berbisik untuk menerangkan idenya pada Regis. Dan pemilik manik abu-abu cemerlang itu pun menyetujuinya.

[1] penggali kuburan merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut monster truck.

Kenapa belum menelepon? Apa whoopie pie-nya belum sampai? Scarlett bertanya-tanya sembari memelototi layar ponselnya yang tenang, tidak ingin menunjukkan tanda-tanda akan berdering, atau melakukan aktifitas apa pun.

Ia jam digital yang menunjukkan angka dua belas lewat, lalu memutuskan beranjak dari ruang kerja menuju dapur untuk menemui Andy. “Andy ..., Andy ...,” panggilnya.

Andy yang hendak memasukkan kotak-kotak kue ke mobil boks Bake Me Up pun menghentikan kegiatannya untuk melihat Scarlett.  “Ya, Boss?” sahutnya.

“Aku hanya ingin menanyakan apakah whoopie pie yang kau kirim ke Cozivart sudah diterima?”

“Sudah. Aku sudah mengatakan pada resepsionis agar kuenya langsung diantar ke direktur.”

Scarlett kembali bertanya-tanya: kalau sudah, bukankah seharusnya William meneleponnya sekarang? Apakah pria itu sibuk? Ia tidak tahu, dan berusaha tidak mencari tahu sebab ingin William yang meneleponnya lebih dulu untuk mengomentari kue-kue yang kata Mia penuh taburan cinta itu.

Padahal Scarlett hanya sedang mengkombinasikan resep kuno whoopie pie dengan tambahan sentuhan modern, juga bagaimana ia sangat berhati-hati mengawasi kue-kue itu sejak dibuat hingga jadi, memastikan semuanya sempurna. Sama sekali tidak ada taburan cinta. Mia memang melebih-lebihkan.

Meskipun kau lebih cermat mengerjakan kue untuk William? Hatinya pun mengejek.

Baiklah, kue itu memang dibuat secara khusus, putus benaknnya untuk mengakhiri perdebatan diri sendiri.

“Oke, kalau begitu terima kasih, Andy. Kau boleh makan siang kalau belum,” kata Scarlett tenang.

“Yes, Mam.”

Selagi berbalik, dari toko bagian depan, Scarlett mendengar Hillary berteriak, “Boss ... ada telepon untukmu.”

Jangan-jangan, William meneleponnya dengan nomor kantor? Dasar pria itu! sangka Scarlett yang tidak bisa mencegah senyumnya terbit secerah mentari pagi. Ia pun menderap melewati pintu ganda dapur menuju Hillary.

“Dari siapa, Hill?” tanya wanita itu, sudah bergabung bersama banyak pelanggan yang  berkunjung pada makan siang ini.

“Mr. Chad Fulton.” Jawaban Hillary, jelas menjadikan senyum Scarett berubah kaku. Rupanya, bukan dari pria yang ditunggunya.

Scarlett pun menerima gagang telepon yang diulurkan Hillary. “Halo, selamat siang, dengan Scarlett Delillah di sini. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Scarlett mendengar desah lega di seberang sambungan sebelum menjawab, “Halo, aku Chad ..., Chad ... Fulton. Iya, aku Chad Fulton.”

Kedua alis Scarlett sontak berkerut. Sepertinya suara Chad Fulton ini tidak asing. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat atau waktu tertentu. Namun, di mana? Kadang-kadang, ia mengutuk diri karena pelupa. Terlebih dengan nama-nama pria.

“H-halo, Miss Delillah?” Suara Chad Fulton kelihatan gugup, tetapi Scarlett mengabaikannya.

“Ya, halo?”

“Aku ingin memesan kue.”

Guna mengatasi sifat pelupanya, Scarlett menjepit gagang telepon di antara pundak dan telinga untuk meraih memo di depan telepon beserta pena. Ia pun siap mencatat pesanan kue yang diinginkan Chad Fulton.

“Kue apa yang ingin Anda pesan, Sir?” tanya Scarlett.

“Aku sedikit kesusahan mendiskripsikannya. Apa boleh kita bertemu langsung? Agar aku bisa mencurhakan semua keinginanku terhadap kue itu? Atau melihat-lihat refrensi bentuk atau rasa kue di sana. Karena aku ingin kueku menjadi yang terbaik untuk orang terspesialku.”

“Tentu saja. Anda bisa langsung datang ke toko kami di Colombus Avenue. Dengan senang hati, kami akan menunggu kedatangan Anda,” terang pemilik toko roti tersebut yang sudah meletakkan memo dan pena lalu memegang gagang teleponnya lagi.

Scarlett mendengar suara pria lain berbicara di seberang telepon. Berhubung jauh, ia jadi tidak bisa mendengar dengan jelas. Hanya suara Chad Fulton saja.

“Kau bilang apa, Sean? Istriku datang? Tunggu sebentar, aku akan menyelesaikan panggilan ini. Tahan dia dulu.” Chad kemudian bicara kepada Scarlett. “Halo, Miss Delillah. Maaf tadi temanku. Berhubung sekarang aku sedang buru-buru, apa aku bisa ke datang ke sana Sabtu ini? Sekitar pukul sembilan pagi.”

Pelanggan adalah raja. Dan, raja selalu mendapatkan apa yang dimintanya. Scarlett pun menyanggupi. “Baiklah, kalau begitu sampai jumpa di hari Sabtu sekitar jam sembilan pagi di Bake Me Up.”

Dasar bodoh!” hardik William sembari menyentil kening Bellen.

Wanita itu pun merengek. “Aduh! Sakit, Will! Apa salahku?”

“Asal kau tahu saja, Bellen. Pria tidak suka menemani wanita berbelanja. Kau juga mengacaukan dapurnya lalu dengan kurang ajar tidak membersihkannya,” beber William secara blakblakan kemudian memotong steik dan mencelupkannya ke saus jamur sebelum menyupakannya ke mulut.

Steik medium rare di Wine Dive ini seharusnya terasa sangat lezat. Kenyataannya lidah William yang sudah terjerat rasa red velvet whoopie pie Scarlett mulai gatal dan merindukan makanan itu. Sehingga dengan terpaksa mengatakan makanan ini tidak semenarik tampilannya yang menggiurkan.

“Tapi dia diam saja dan menurut. Seharusnya tidak masalah, bukan? Aku pun senang larena dia meluangkan waktu untukku di hari liburnya,” bantah Bellen.

“Semoga,” komentar William acuh tak acuh karena berusaha menikmati steik pesanannya.

Sementara Bellen menggerutu, “Seharusnya aku tidak menceritakan ini padamu! Kau menyebalkan, Will. Untung aku belum menyebutkan nama tunanganku.”

“Ya ... ya ... merengeklah sana, Bellen. Aku akan membelikanmu hard candy dan cokelat. Lalu mengajakmu ke taman bermain. Kau puas sekarang?”

“William ...!” geram Bellen sembari berusaha mengusik pria itu menggunakan kakinya yang menendang William, tetapi tidak keras.

“Hahaha ... lihat dirimu. Persis seperti anak kecil. I’m gonna tell my mind. Kau belum cocok menikah. Putuskan saja tunaganmu dan kembalilah memakai popok.”

Bellen kembali menendang William. “Kau menyebalkan, Will! Lebih dari Loven!”

William tidak menggubris dan masih asyik mencerca Bellen. “Membuat sarapan saja kau tidak bisa. Bagaimana nanti kalau melayani suamimu?”

“Dia mencari istri, bukan koki, Will.”

“Apa kau tidak tahu kalau pria juga suka wanita yang pintar memasak?” Seperti Scarlett, tambah William dalam hati sambil membayangkan makanan-makanan sederhana masakan Scarlett yang malah bisa membuat lidahnya bergetar-getar karena bahagia. William pun berpikir harus menelepon wanita itu selepas makan siang ini untuk membicarakan whoopie pie yang menggiurkan tersebut.

“Memangnya kau iya?” Gantian Bellen yang bertanya acuh tak acuh dan memotong-motong steiknya.

William memelotot sambil menyeringai puas. “Oh tentu saja.”

“Hei! Lihat siapa ya bicara?” ledek Bellen. “Sejak kapan pria sepertimu menambah daftar pintar memasak ke dalam tipe wanita yang ingin kau kencani?”

William tidak peduli pada pendapat Bellen. Selama hidup, terkadang ia membuat aturan-aturan tersendiri di dalamnya. Kendatipun peraturan ayahnya tak pernah bisa ia langgar.

“Aku yakin kau hanya ingin menuntaskan objek fantasimu soal itu,” komentar Bellen lagi.

William hanya mengedikkan bahu ringan.

“Omong-omong, aku tadi melihat whoopie pie Bake Me Up di mejamu. Apa kau yang memesannya?” tanya Bellan lagi setelah asparagus panggangnya lolos ke lambung.

“Kenapa kau penasaran?”

“Will, kue itu tidak ada di Bake Me Up. Tentu saja aku penasaran. Mungkin aku bisa memesannya untuk pesta pernikahanku.”

“Bukannya tidak ada, tapi belum,” koreksi William. “Kue itu rencananya baru akan launching minggu depan. Tapi aku lebih dulu dapat bocoran.”

“Bagaimana bisa?”

“Aku tidak akan memberitahumu.” William menjulurkan lidah untuk menggoda Bellen.

“Kau menyebalkan, akan kurampas kue itu nanti!” ancam wanita berambut pirang sebahu itu. Dan ancamannya bukan main-main belaka.

“Oh, tidak bisa! Setelah makan aku akan mengantarmu ke kantormu.”

“Kau perhatian sekali.” Lagi-lagi Bellen bicara dengan nada meledek. “Coba kau terapkan itu saat kita pacaran dulu.”

“Sorry, Bellen. The past is in the past. Tidakkah kau nyaman dengan kita yang sekarang?”

“Kau benar. Sangat, Will. Aku menyukai kita yang sekarang. Kau jadi lebih banyak punya waktu untukku. Mendengar keluh kesahku, kau juga bisa makan siang dan minum denganku. Tidak seperti dulu. Dulu, kau bahkan tidak datang di kencan makan malam kita untuk pertama kali dan terakhir kalinya. Tapi lihat sekarang, aku seperti mendapat prioritas pertamamu. Aku bisa masuk kantormu sesuka hatiku dan yang paling penting, aku senang.”

William membela diri. “Ya tuhan, Bellen. Kau masih saja mempermasalahkan penyebab kita putus. Sudah kukatakan ponselku dibuang Dom waktu itu. Dan jangan terlalu percaya diri, Bellen. Aku sama sekali tidak memprioritaskanmu. Satu lagi, sudah kukatakan itu kantor, bukan taman bermain. Jangan seenaknya keluar-masuk begitu,” paparnya logis.

Bellen pun tidak peduli. “Terserah apa katamu, Will. Yang penting aku senang dengan hubungan kita yang sekarang.”

Setelah mengantar Bellen, William kembali ke kantor dengan perasaan riang. Ia segera menyantap kue-kue berharganya sambil—akhirnya—menelepon Bake Me Up.

“Halo selamat siang, dengan Hillary Fin di sini. Ada yang bisa saya bantu?”

“Hillary,” panggil William ceria dan Hillary sontak mengenali suara pria itu.

“William, kenapa kau tidak menelepon ponsel boss dan malah menelepon ke sini?”

“Tentu saja karena aku juga ingin bicara denganmu, Hill.” William melahap whoopir pie-nya khidmat.

“Dasar kau ini! Akan kupanggilkan boss sekarang.”

“Thanks, Hill. Kau memang yang terbaik.”

Untuk beberapa waktu yang singkat, suara yang ingin didengar William memenuhi pendengarannya. “Halo ....”

“Darl ... aku sudah menerima whoopie pie-nya. Ini enak sekali. Seperti ditaburi banyak cinta. Apa kau yang membuatnya sendiri untukku?”

“George yang membuatnya untukmu.”

“Uhuk ... uhuk ... uhuk ....” William langsung tersedak.

Air ... air ... ia membutuhkan air.

William meraba-raba gelas air mineralnya dimeja lalu meneguknya banyak-banyak.

“William, apa kau tidak apa-apa?” tanya Scarlett. Suara wanita itu syarat akan kekhawatiran.

“Yeah, aku tidak baik-baik saja. Aku butuh ciumanmu.”

“Kau mulai meracau.”

“Tidak, aku hanya mengingat tadi pagi.”

“Ekhm, baiklah. Hentikan, Will.”

William membayangkan pipi Scarlett yang bersemu merah seperi tadi pagi. Ketika ia melepaskan tautan bibir mereka. Peristiwa langka.

“Jadi, apa yang akan kaulakukan akhir pekan ini?” tanya William yang sudah ancang-ancang membuat rencana menemui Scarlett dan Jenna berdasarkan jawaban wanita itu.

“Ada salah satu pelanggan yang ingin mendiskusikan kue pesanannya denganku jam sembilan pagi, Sabtu ini di Bake Me Up.”

“Kalau begitu akan ke sana setelahnya.”

“Untuk?”

“Tentu saja untuk mengajak George berkencan karena telah membuatkan kue lezat ini untukku.”

Tawa Scarlett mengudara, membelai daun telinga William. “Kalau begitu, selamat berkencan dengan George akhir pekan nanti.”

“Kau menggemaskan sekali, Darl. Sampai jumpa di hari Sabtu.”

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Scarlett Delillah

William Molchior

Regis Mondru

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 26 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro