Part 9
Mata berbulu lentik itu sudah terpejam ketika sebuah pesan masuk.
Mas Rafa
[Mah, makasih ya hadiahnya buat Ruru.
Cantik banget. Sorry tadi aku nggak turun. Cuma Ummi yang ambil Ruru.]
Shaffiya membalas pesan itu. Ia memang memberikan jilbab dengan dua telinga kelinci untuk Ruqayya. Satu set dengan gamis, meski gamisnya masih terlalu besar untuk tubuh si kecil, Shaffiya tetap saja memberikannya.
Ummah Amr
[Sama-sama, Mas. Honestly, itu gamisnya
Kembar sama punyaku.
Aku tuh jahitin baju dan kainnya sisa
Karena flowery pattern jadi aku keinget
Gadis kecilku hehe
Soalnya aku ga mungkinkan
Kembaran sama Amr
Ya kali dia pake bunga-bunga]
Mas Rafa
[Makasih ya, udah perhatian
Sama Ruru. Sayang sama Ruru.
Kamu belum ngantuk, Shaf?]
Ummah Amr
[Bau-baunya ada orang mau curhat nih.
Ada apa? Masalah kerjaan?
Soal kerja sama ama resto itu?]
Mas Rafa
[Ah. You know me too well.. LOL
Aku disuruh nikah. Ummi maksa.
Kira-kira aku harus gimana?]
Ummah Amr
[Bestie, tanyain ke dirimu sendiri.
Menikah bukan hal yang mengerikan.
Meski ya, ada banyak hal yg mgkn terjadi
Cuma, jangan jadikan pengalaman pahit
Orang lain ttg nikah, jd momok buatmu
Ummi menyarankan itu karena Ummi pasti tahu kalau kamu kerepotan jagain Ruru
Dan, aku pikir Ummi bener kok
Tapi, aku juga paham posisimu
Membuka hati lagi itu nggak mudah kan?
Rasanya kayak selingkuh
Karena belum bisa melepas masa lalu
dan takut melukai dia
yang menemani di masa depan.
Ya nggak?]
Mas Rafa
[100% right.
Apalagi ada anak. Aku takut istriku nanti nggak bisa nerima Ruru.
Ini sulit buat dijelasin rasanya]
Ummah Amr
[Hey, aku tau rasanya, kita sama
Aku punya Amr. Kamu punya Ruru
Dan, ya kita punya masa lalu
Yang hampir sama
Ketika cinta pertama kita harus pulang
Terlebih dulu dan meninggalkan
Kenangan yang masih melekat
Sampai kita nggak tau harus gimana
Move on rasanya jahat
Nggak move on rasanya nggak ikhlas
Ya nggak sih?]
Mas Rafa
[Shaf, kenapa kita sama?
Padahal aku kembarnya
Sama Bang Hamzah.
Tapi perasaan dan pemikiranku
Kembar sama kamu, Bestie]
Ummah Amr
[Tos dulu lah ya.
Semangat single parent!!
Eh tp move forward dong
Aku pun, berusaha buat nerima Rizwar
Ya gimana ya, dia deket sama Amr
Aku baru mau bawa dia pulang
Kenalin ke Abah sama Ibuku]
Mas Rafa
[Congrats ya.
But, Honestly, aku pusing
Kalau kamu nikah, aku titipin Ru kemana?
Aku harus nikah duluan kayaknya
sebelum kamu nikah.
Biar aku tenang duluan]
Ummah Amr
[Ya titipin aja ke aku
Nggak apa-apa loh, Mas
Rizwar juga udah mulai
kenal sama Ruru.
Kalian aja yang kek tom n jerry
Aneh deh. Sindir menyindir mulu
Aku tu suka horror
Takutnya kalian jatuh cinta
Soalnya hubungannya love hate gitu]
Mas Rafa
[Astagfirullah, amit amit
Aku normal hey.
Ya udah, sleep tight.
May Allah gives you His bless.
See you, Shaffiya]
Ummah Amr
[Okay, good night.
Jangan lupa baca doa
See you, Mas Rafa]
Shaffiya meletakkan ponselnya, kantuk sudah menggelayuti. Sang putra sudah tertidur dengan pulas di kamar sederhana itu. Meski tetesan air hujan sesekali jatuh dan menimpa mereka, tetapi itu bukan masalah.
Wanita berusia dua puluh enam, hampir dua puluh tujuh tahun tersebut berusaha memejamkan matanya. Sementara pria yang mengiriminya pesan tadi masih gelisah di tempat tidurnya.
Rafael, tak kunjung bisa tidur. Ia mengusap wajahnya beberapa kali.
"Apa iya aku harus nyari ibunya Ru? Tapi ... Dia bukan cewek baik-baik. Dia aja bahkan pernah beberapa kali meras aku ngancem mau ngerusak nama baikku dengan nyebar aib ini. Berapa kali juga dia bilang berusaha gugurin Ru. Argh! Kenapa malaikat kecilku harus lahir dari wanita seperti itu," kesal Rafael.
Balita yang sebentar lagi berusia enam bulan itu tertidur pulas di ranjang serba pink berpagar miliknya.
"Hey, Princess. Kamu mau mama yang kayak gimana? Papa bingung mau nyari mama buat kamu. Papa harus gimana, Princess?"
Rafael menyentuh pipi gembul putrinya. Baju tidur milik sang putri terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Pria itu tak pernah bosan memandangi wajah sang putri yang sangat serupa dengan dirinya. Meski tak begitu hapal tetapi ia yakin ibu biologis Ruqayya tak memiliki kulit putih, hidung mancung, dan bentuk wajah dengan rahang berbentuk V sempurna seperti itu.
Sebersit ingatan melayang di pikiran Rafael, bayangan tentang kejadian mengerikan malam itu dimana dia mendatangi pesta pernikahan sepupu yang juga adik dari Rachel, gadis yang ia cintai.
Rafael tengah mabuk, ya. Kebiasaannya ketika tak bisa menahan diri, menahan rindu pada Rachel. Tiap kali bertemu dengan Ricky, kembaran Rachel, Rafael selalu kalap. Hatinya selalu saja kembali menyerukan kepedihan. Kenapa Rachel pergi secepat itu, kenapa Rachel harus meninggal sebelum mereka sempat bahagia bersama.
"Rara! Ra!"
"Koh, Koko udah kebanyakan minum."
"Ra? Is that you?"
Rafael tak ingat pasti yang jelas kala itu dia masih sedikit sadar. Ia tidak memperkosa wanita itu seperti yang dituduhkan. Dia masih ingat berusaha pergi ke room-nya sendiri. Namun, wanita itu memapahnya dan melepaskan jasnya, sepatunya, dasinya, hingga semuanya.
"Kamu kayaknya banyak pikiran ya? Mau having fun? Kasih aku dua juta dan aku kasih kamu pelepas penat malam ini."
Suara itu terdengar jelas meski Rafael tak yakin benar atau tidak. Hampir setahun ini dia mengingat-ingat kejadian yang sebenarnya. Dua bulan setelah itu, seorang wanita bernama Nurifah datang, mengaku tengah hamil anaknya.
Ia menangis sejadi-jadinya dan mengatakan jika Rafael telah menghamilinya. Bahkan sepupunya, Raymond yang notabene atasan dari Nurifah, menanyainya perihal masalah tersebut. Rafael tak mau namanya tercemar. Ia menyuruh Nurifah melahirkan anak itu.
Meski awalnya drama sempat terjadi, semua bisa diselesaikan dengan uang. Nurifah hanya butuh uang dan uang. Ia selalu mengirimkan uang ke rekening wanita itu. Setiap bulannya. Hingga ketika bayi itu lahir, dua hari kemudian, ayah angkat Rafael membawanya ke rumah Rafael.
Si kecil Ruqayya yang masih merah, ditinggal di depan pintu. Nurifah hanya menyertakan sepucuk surat. Ia berkata jika ingin anak itu hidup dengan layak bersama Rafael.
Awalnya si pria jelas kebingungan. Dunia bisnis yang ia jalani cukup keras, dulu. Persaingannya harus dengan senggol menyenggol bahkan saling melukai dan membunuh jika perlu. Itulah hal yang membuat Rafael ragu mengasuh putrinya.
Namun, malaikat kecil itu mendatangkan rejeki bertubi baginya. Semenjak kehadiran Ruqayya, Allah memberikan beberapa kejutan dalam hidup Rafael. Salah satunya dengan bertemunya ia dengan saudara kembarnya lewat drama penculikan 'korban perdagangan manusia' oleh lawan bisnisnya.
Ia menggagalkan aksi perdagangan manusia dengan menculik wanita yang diculik musuh bisnisnya. Licik bukan? Ya itulah Rafael dulu. Tanpa dia tahu, wanita bernama Urwa itu ternyata menjadi sarana dirinya bertemu dengan keluarga kandungnya.
Selama ini, ia ternyata diambil oleh ayah angkatnya, Rommy Hwang. Yang menukar dirinya dengan putra kandung Rommy yang telah meninggal saat dilahirkan. Romny tega mengambil Rafael dan menukarnya, dengan bantuan salah satu tenaga medis kala itu.
Fakta itu terkuak setelah dua Puluh sembilan tahun. Semua kelam cerita hidup Rafael berakhir di sana. Ia kembali pada orang tua dan saudaranya. Memutuskan untuk berhijrah dan kembali pada jalan Tuhannya.
"Ya Allah, aku harus bagaimana? Kalau mencari Ifah, aku harus cari dimana?"
*******
Terik mentari mulai terasa, sudah seminggu Nurifah membantu di tempat Shaffiya. Wanita itu begitu luwes bercerita tentang hidupnya dan sesekali memancing majikannya untuk berkonflik dengan Rizwar.
"Fi, kenapa sih ngambek?" tanya Rizwar.
Shaffiya diam saja. Ia berusaha tak terpancing. Nurifah bercerita padanya jika Rizwar tanpa sengaja curhat tentang alasan dirinya ingin menikahi Shaffiya. Nurifah berkata jika dia hanya iba saja pada Shaffiya.
Padahal, lima hari lalu, keduanya sudah menghadap orang tua Shaffiya. Rizwar mengutarakan keinginannya meminang Shaffiya.
"Mbak, sebenernya Mas Riz itu tuh kasian sama Mbak. Mau ninggalin Mbak nggak enak. Padahal sih mahasiswinya aja banyak yang lebih cantik, yang gadis, yang bisa dipake kapanpun dia mau. Tapi, karena Mbak udah terlanjur baper, jadi Mas Riz nggak tega ninggalin Mbak. Benerkan kataku kemarin, harusnya Mbak nggak usah baper dan ngenalin Mas Riz ke keluarga Mbak."
Ucapan Nurifah kemarin jelas membuat Shaffiya seolah salah langkah. Ia terlanjur membuka pintu untuk Rizwar.
"Fi, kamu kenapa sih? Ngomong dong."
"Kamu sekarang sering curhat ke Nur ya?" tanya Shaffiya pada akhirnya.
Si pemilik nama pura-pura tak mendengar dan mengelap meja di luar warung. Ia sempat deg-degan karena gawat jika Shaffiya sampai cepu tentang kebohongannya kemarin.
"Kamu cemburu?" tanya Rizwar.
"Kenapa kamu nggak bilang langsung ke aku?" tanya Shaffiya menahan tangis.
"Apa salahnya sih? Nur kan temen kita?"
"Tapi nggak gitu juga, Mas. Kenapa Mas harus cerita tentang aib ke dia? Kenapa Mas nggak bilang aja langsung ke aku? Kenapa Mas nggak jujur dari awal soal ini?"
"Soal apa sih? Kok kamu ngelantur gitu. Fi, kita udah mau nikah loh. Aku udah bilang mamaku, nanti mama datang ke sini, aku mau omongin soal rencana pernikahan kita."
Shaffiya tak kuasa menahan tangisnya. Rizwar serba salah, ia ingin meredakan tangis Shaffiya tetapi wanita itu menepis tangannya.
Pria itu mendengkus kasar. "Aku kerja dulu, nanti kita bicara lagi. Jangan kayak anak kecil, Fi. Jangan terlalu cemburu sama Nur. Dia itu aku anggep adik sendiri. Aku berangkat dulu."
Sosok tinggi tegap yang kepalanya harus menunduk tiap kali masuk ke dalam warung membopong bayi yang akan dia titipkan pada Shaffiya. Ia melihat pertengkaran itu. Bahkan ia tau Shaffiya tengah menangis dan segera menghentikan isak saat melihat kehadirannya.
Rizwar menatap tajam pada Rafael. Namun, tak mengucap sepatah kata pun karena ia terburu-buru, ada kelas siang ini.
"Shaf, are you okay?"
"i'm good," jawab shaffiya berusaha tegar. Ia mendekati Rafael dan meminta Ruqayya.
Bayi itu segera berpindah tempat.
"Butuh tempat cerita?" tanya Rafael.
Shaffiya menggeleng dan tersenyum. "Udah sana kerja. Sukses buat launching second placenya, Papa."
Wanita itu menggerakan tangan Ruqayya seolah sang bayi yang berbicara.
"Ruqayya, udah dateng!" pekik Nurifah.
Rafael menoleh, matanya membulat dibalik kacamata hitamnya.
"Mas, ini Nurifah, dia yang bantu-bantu di sini. Udah seminggu ini dia di sini," ucap Shaffiya.
Pria itu mematung, begitu juga dengan Nurifah. Ia tak menyangka, bayi yang diasuh Shaffiya selama ini adalah anak Rafael, bukan anak Ummi Hanifa seperti yang ia kira.
Dia ... Adalah anak kandungnya, putrinya.
"Ifah," gumam Rafael.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaaaa
Marathon yuk?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro