Part 7
Pagi ini, Nurifah sudah berada di depan rumah kontrakan milik dosen tampan yang kini masih bertelanjang dada saat membukakan pintu untuknya.
“Oh, Nur? Duduk dulu, masuk gih. Aku ganti baju dulu ya. Habis ini kita sama-sama ke tempat Shaffiyah.”
“Ah, oh, iya Mas. Mmm ... Mas nggak serumah sama Mbak Shaffiya? Kirain suami istri.”
Rizwar terkekeh. “Belum, baru calon. Dia tinggal sama anaknya. Anak dari suami pertamanya dulu.”
“Oh ... jadi ng ... Mbaknya pisah sama suaminya?” gumam Nurifah. Rizwar hanya tersenyum dan mempersilakan tamunya duduk sebelum ia kembali masuk ke rumah.
Sembari menunggu, wanita yang merupakan ibu kandung dari Ruqayya itu mematut diri di jendela milik tuan rumah. Ia pede sekali memoleskan tambahan lip tint membuat bibirnya sedikit glossy. Dari dalam rumah, Rizwar yang tengah mengenakan baju terkekeh pelan. Entah kenapa Nurifah terlihat begitu lucu dengan kepolosan yang ia sajikan.
Setelah mematut diri, wanita itu memainkan ponselnya. Wajahnya menegang saat seseorang mengiriminya pesan. Dari rumah sakit jiwa, tempat dimana ibunya dirawat sejak setahun lalu. Ada nominal tagihan yang harus ia bayarkan dan ia harus memutar otak mencari uang. Sang kakak menyalahkannya karena dia lah sumber segala kekacauan ini.
Hampir satu setengah tahun lalu, ia mendapati dirinya mengandung karena perbuatan terlarang diluar nikah. Ada dua laki-laki yang pernah berbuat hal itu padanya, setelah melakukan penyelidikan dan perhitungan ia akhirnya tahu jika anak yang ia kandung adalah anak Rafael. Semua berawal dari pesta yang digelar saat pernikahan atasan Nurifah dulu menikah. Ia larut dalam pesta hingga mabuk dan gila.
“Semua ini gara-gara Hafsah, kalau dia nggak cabut dari kantor, gue nggak harus jadi bawahan Mas Raymond dan semua ini nggak akan terjadi. Baru mau gue bales, sialnya dia malah nikah ama kakaknya Mas Raymond. Satu-satunya cara adalah pake Koh Rafael buat ngebales dendamku ke Hafsah. Dia udah ngehancurin hidupku.”
Monolog Nurifah membuat Rizwar mengamatinya. “Ngehancurin apa?” tanya pria itu sembari menenteng sepatu yang akan ia kenakan. Nurifah segera berdiri dan mempersilakan Rizwar duduk. “Aku bisa duduk sini,” ucap pria itu.
Tanpa diminta, Nurifah berjongkok dan membantu Rizwar memakai sepatunya. Ia sudah terbiasa menjilat orang dengan cara seperti itu. Ada dua kemungkinan yang ia dapatkan, pertama ditolak mentah-mentah dan kedua dibiarkan melakukannya dan si majikan akan semakin menyukainya. Dan, Rizwar adalah diantara keduanya.
“Hei, nagapain?”
“Saya bantuin, Mas. Ma-maaf, anu saya, saya cuman mau bantuin aja,” ucap Nurifah dengan wajah dibuat penuh sesal.
“Terima kasih, tapi saya bisa sendiri. Kamu duduk aja, tunggu bentar lagi kita berangkat.”
Nurifah mengangguk.
“Andai Shaffiya yang nawarin, pasti aku biarin dia ngelakuin itu. Manis juga ya kalau pakai sepatu aja dipakein. Nggak mikir apa-apa sendiri,” batin Rizwar.
Tak lama pria itu siap.
“Anu Mas, boleh bantuin benerin dasinya?”
“Dasi? Nggak rapi ya?”
Nurifah mengangguk, ia kemudian mengulurkan tangan dan membenahi dasi Rizwar. Sebenarnya itu hanya modus saja. Rizwar sudah memakainya dengan sangat baik. Kedekatan keduanya membuat sang pria bisa menatap wanita yang jauh lebih pendek darinya itu.
“Andai Shaffiya begini. Selama ini dia cuman protes dan nunjuk-nunjuk aja kalau dasiku nggak bener letaknya atau kancing lenganku belum benar posisinya.”
Kejadian bak drama itu segera berakhir dan keduanya pergi menaiki motor matic hitam milik Rizwar.
“Mas udah lama pacaran sama Mbak Shaffiya?” tanya Nurifah.
“Kami dulu teman sekampus, di Jogja.”
“Oh, Jogja? Dimana? Aku juga kuliah di sana.”
“Yang bener? Dimana? Aku di itu tuh yang punya gerbang satu milyar di boulevard, kalau anak Jogja pasti tahu.”
“Serius? Kita satu almet dong! Aku ambil Sastra Indonesia tapi.”
“Hei, jangan mengada-ada. Seriusan kamu? Adik tingkatku dong? Anak Sasindo juga? Angkatan berapa?”
Nurifah merasa di atas angin, siapa sangka pria itu adalah kakak tingkatnya. Ia sampai menunjukkan kartu alumni HMJ dan universitas mereka. Rizwar semakin ngobrol ngalor ngidul dengan Nurifah membahas Jogja dan jurusan mereka. Hingga saat tiba di warung milik Shaffiya, wanita itu segera memasang wajah malu-malu, ia mengucap salam, mencari simpati.
“Fi, nih, Nur mau bantu-bantu kamu.”
Shaffiya melongokkan kepalanya. “Eh, sini-sini masuk. Ayo semua sarapan dulu. Yuk, sini-sini.”
Sambutan Shaffiya tak ia sia-siakan. Nurifah terlalu pintar mengambil celah. Ia mengucao terima kasih berkali-kali pada Shaffiya.
“Fi, tau nggak sih, Nur itu adik kelas kita. Adik tingkat kita, sama-sama anak bimbingan Pak Dibyo.”
“Oh ya? Masyaallah, kebetulan banget. Tapi, kenapa kamu memutuskan untuk kerja serabutan?” tanya Shaffiya.
Tak ada maksud apapun dari Shaffiya hanya omongan biasa, tetapi hati Nurifah sangat tersinggung. “Ini semua gara-gara Hafsah dan kamu, Mbak,” batin Nurifah.
“Makan dulu aja makan. Eh, Nur bisa bikinin aku teh susu nggak, aku trainning kamu.”
Nurifah mengangguk, Shaffiya menunjukkan tempat membuat minumnya. Wanita itu menyiapkan makanan untuk Rizwar.
“Tumben rapi banget dasinya,” ucap Shaffiya.
“Oh, ini. Ya, dibantuin Nur tadi.”
Shaffiya menatap Rizwar serius. “Ha?” tanyanya seolah retoris. Rizwar sengaja memberi umpan dan ternyata, kebaperan yang ditimbulkannya kemarin sudah mulai merasuk ke dalam hati Shaffiya hingga sang wanita taks sadar dirinya seolah cemburu pada Nur.
“Kenapa? Dia bantuin aku, nggak cuman ngomong doang kayak kamu.”
“Kita bukan mahram dan belum sah, aku cukup tahu adab meski bukan anakKyai,” tegas Shaffiya.
Rizwar terkekeh. “Ummah cemburu?”
Shaffiya tak menjawab, ia beranjak pergi tetapi Rizwar menarik tangannya pelan.
“Sini temenin aku makan, jangan cemberut gitu. Aku bukan playboy yang bisa berpindah hati secepat itu, Fi. Tenang, nggak usah cemburu.”
Shaffiya diam saja, ia duduk sembari mengambil kerupuk dan menggigitnya. Cemburu? Jelas tidak, hanya saja ia cukup heran dengan Rizwar yang bisa cepat dekat Nur. Bagaimana bisa si orang aneh yang selalu tertutup dengan perempuan bisa secepat itu dekat dengan orang yang baru kemarin ia kenal.
“Mas ini teh susunya, Mbak, ini tehnya.” Nurifah menyajikan minuman untuk dua orang di sana.
“Makasih, Nur. Kamu bikin juga dong, makan sekalian ya?” ucap Shaffiya ramah. Ia menepis wajah juteknya tadi pada Rizwar. Nurifah mengangguk, ia segera kembali mengambil air putih dan nasi dengan sayur ala kadarnya.
“Ih pake ayamnya juga tuh, kok cuman sayur aja. Makan dulu, katanya kamu mau bantu-bantu.” Shaffiya berdiri dan mengambil sepiring sajian ayam bakar di sana menyodorkan pada tamunya.
“Tenang aja ambil, nanti Rizwar yang bayar,” ucap Shaffiya.
“Pake cinta ya,” sahut Rizwar sembari terkekeh.
Shaffiya mengerucutkan bibir. “Ya kali, emang bisa kenyang pake cinta?”
Nurifah melihat kemesraan dua orang itu. Merasa diperhatikan Shaffiya menyudahi obrolan bucinnya dengan Rizwar.
“Riz udah ih, ada Nur malu ih.”
“Loh, nggak apa-apa Mbak, lanjut aja. Saya seneng kok liatnya. Cocok banget, satu cantik satunya ganteng.”
“Ih, bisa aja. Eh iya kamu tinggal dimana? Kamu beneran mau bantuin di sini? Aku cuman bisa gaji kamu ala kadarnya loh, gimana? Kalau kamu adik tingkat kami, harusnya kamu kan kerja di perusahaan atau apa gitu. Bukan jadi bantu-bantu di sini.”
Nurifah mulai menunjukkan bakat aktingnya. Matanya berair, bibirnya bergetar.
“Saya ... saya dulu juga kerja di perusahaan Mbak. Tapi, satu setengah tahun lalu saya ... saya mengalami hal pait. Saya diperkosa orang, saya hamil di luar nikah. Ayah saya meninggal karena terkena serangan jantung dan ibu saya sekarang di rumah sakit jiwa.”
“Astagfirullah,” ucap Shaffiya dan Rizwar bersamaan.
“Saya ... saya nggak tahu harus gimana lagi. Anak saya diambil sama orang itu dan entah kemana mereka. Saya dijauhin sama keluarga saya. Sedang, biaya perawatan ibu saya semuanya saya yang tanggung. Kakak saya nyalahin saya karena semua ini ... salah saya.”
Shaffiya segera mendekap Nurifah. Hati perempuan mana yang tega mendengar kisah semiris itu. Nurifah menangis. Ia meletakkan sendoknya. Rizwar pun bergetar hatinya. Nyatanya Nurifah memang sosok yang luar biasa di matanya. Kepedihan ternyata menaungi wanita baik hati dan manis di mata Rizwar tersebut.
“Dek, udah dong jangan nangis. Ayo makan lagi. Kamu sekarang tinggal dimana?”
“Di rusun sana, Mas. Yang deket pasar itu.”
“Kamu kalau mau istirahat di sini bisa, nanti kerjanya seenakmu aja. Misal ada kerja di tempat lain kamu nggak ke sini juga nggak apa-apa, kalau mau ke sini ya datang aja, gitu. Ya? Jangan dijadiin beban.”
Shaffiya benar-benar tulus berempati pada wanita yang dipeluknya itu. “Udah, makan lagi. Riz, nanti kamu bisa antar Nur pulang nggak? Kasian kalau sore-sore dia baliknya bisa kemaleman.”
“Gampang, nanti pulang ngajar aku ke sini.”
“Kamu tenang aja ya, kita bisa saling bantu. Semangat terus ya, Nur. Kamu kuat, insyaallah akan ada kebahagiaan yang nunggu kamu. Allah adalah sebaik-baiknya perencana. Tenanglah.”
Nurifah mengangguk dan tersenyum, ia mengusap air matanya. Senyum kelegaan terpancar dari wajahnya. Lega, karena ia bisa merebut hati dua orang itu.
“I got you,” batinnya.
Wanita itu kemudian mulai mempelajari tentang kehidupan Shaffiya. Tentang anaknya yang bernama Amr dan satu hal lagi, ia ternyata juga mengasuh seorang bayi yang bernama Ruqayya.
“Shaf, titip Ru dulu ya, Ummi mau ke rumah sakit dulu.”
“Siap Ummi, sayangnya Ummah, dadah ke Ummi dulu.”
Nurifah memperhatikan wanita itu dengan seksama, ia membatin kenapa bisa seorang wanita yang terlihat sudah cukup berumur memiliki bayi.
“Itu tadi Umminya, Mbak?” tanya Nurifah selepas Ummi Hanifa pergi.
“Iya, Ruqayya sering dititipin di sini. Ummi sama Abi sibuk soalnya, ngurus cucu mereka yang baru lahir di rumah sakit. Kabarnya sih operasi kemarin. Aku juga belum sempat nengokin, soalnya susah kalau bawa Amr. Dia nggak boleh masuk ke RS. Di bawah 14 tahun kan nggak bisa masuk RS. Makanya mau nengok kalau udah dibawa pulang aja gitu.”
Ruqayya bersenandung khas anak bayi. Ia sudah mulai bergerak lincah ke sana ke mari ketika Shaffiya membiarkannya bermain di dalam kamar.
“Mbak nggak repot ngurus bayi?”
“Enggak kok,udah kebiasa ngurus Amr dulu. Sambil dagang juga. lagian Ruru ini anteng banget. Dibanding Amr sih. Dia nggak rewel kecuali kalau lagi haus atau laper.”
Nurifah tak tahu jika bayi itu ada putri yang dilahirkannya hampir enam bulan lalu. Ia tak tahu karena bukan Rafael yang mengantarnya ke sini.
“Mbak mau nikah ya sama Mas Rizwar?”
Shaffiya tersenyum. “Baru istikharah kok, belum tahu nanti jawabannya gimana.”
“Mas Rizwar pasti cinta banget ya sama Mbak Shaffiya, kan jarang-jarang ada laki-laki mau sama orang yang sudah punya ekor. Aku pun, aku nggak berharap lagi Mbak ada yang mau sama aku. Aku udah bekas. Ya tahu diri aja sih. Gimana juga pasti namanya bekas orang pasti menjijikkan. Udah pernah diobok-obok sama orang. Aku sadar diri,” ucap Nurifah.
“Aku nggak bakal mau nikah lagi, apalagi kalau yang ngelamar masih perjaka. Ngerasa dosa dunia akhirat. Dih, kasian, harusnya dia dapat yang lebih layak dari aku. Beda kalau yang nikahin duda. Tapi, jaman sekarang, duda pun cari yang masih gadis. Bukan yang udah pernah dilewatin sama bayi.”
Kalimat panjang Nurifah seolah menampar Shaffiya. Meski begitu Shaffiya tak berburuk sangka. Ia mengira itu ungkapan hati Nurifah, bukan untuk menyindirnya.
“Jodoh orang nggak tahu, Nur. Siapa tahu nanti kamu juga ketemu dengan jodohmu, pria baik-baik yang akan menerima kondisimu.”
Satu kalimat balasan Shaffiya untai dengan senyum. Sementara Nurifah mencari sorot yang ia inginkan, sorot gelisah yang muncul di netra wanita semampai itu.
“Ya pantes sih, kamu tinggi, putih, cantik meski udah tua. Tapi, tetep aja, kamu bikin Koh Rafael jadi nggak ngerespon aku padahal aku jelas-jelas hamil dan ngelahirin anaknya,” geram Nurifah dalam hati.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaaaaa
Lanjut???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro