Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5

Kokok si raja pagi nyaring bernyanyi, sejuk tersisa, pasca hujan semalam. Aroma gurih yang menggelitik hidung, membuat perut menggeliat bangun dari tidur nyenyaknya. Sejak pukul tiga, wanita itu sudah sibuk menyiapkan dagangannya. Hari ini hari Minggu, tak banyak ia membuat sajian di warungnya, karena ia mulai hapal beberapa anak kos yang biasanya makan di warungnya ada yang tengah pulang kampung, ada juga yang menghabiskan waktu liburan mereka di luar kos sehingga tak makan siang di rumah.

Hanya sekedarnya saja jika hari Minggu, menu ayam goreng, ayam bakar, dengan berbagai macem sambal dan sajian soto yang menjadi menu berkuah hari ini. Ketukan terdengar di pintu belakang. Sosok setinggi 175 cm itu melongokkan kepala. Jika dilihat, Rizwar dan Shaffiya hampir sama tingginya, beda dua sentimeter saja.

            “Amr mana?”

            “Ayah Riz!” seru si bocah yang baru selesai mandi. Shaffiya menutup bibirnya lagi, yang tadi membuka berniat menjawab pertanyaan temannya. Pria itu menggendong jagoan Shaffiya dan memuji bocah kecil yang sudah pandai mengurus diri itu.

            “Masak banyak, Fi?” tanya Rizwar sembari melongokkan kepala.

            “Enggak sih, mau sarapan sekarang? Tapi tunggu, ayam bakar kesukaanmu baru mau dibakar, aku baru matengin Soto sama goreng ayam.”

            Wanita itu menunjuk ke panci berisi ayam yang sudah dibumbu bacem.

            “Jalan-jalan yuk? Ke kebun binatang. Mau?”

            Amr seketika bersorak kegirangan. “Mau! Mau! Ayah aku mau!”

            “Eh, Ummah kan harus jaga warung.”

            Bibir Amr mengerucut, menandakan ia kecewa. Rizwar paham, anak laki-laki yang berada digendongannya itu bersedih.

            “Kalau gitu, boleh nggak misal aku sama Amr aja yang pergi?”

            Shaffiya baru mau menjawab, dan sang putra sudah mendahuluinya. “Ayah Riz, aku nggak boleh ninggalin Ummah sendiri. Aku kan harus jagain Ummah. Aku kan gantinya ayahku, harus jaga Ummah.”

            Ucapan sang putra membuat Shaffiya terharu. Rizwar menatap kedua orang itu bergantian. Ia sejujurnya tengah berusaha untuk dekat pada Amr, karena menginginkan hati sang ibu. Berbagai cara dilakukan, karena menaklukan Shaffiya bukanlah hal mudah. Beberapa kali gelagatnya tercium sang wanita dan dia ditolak.

            “Ya udah, jam sembilan ya berangkatnya? Kasian kalau ada yang mau cari sarapan.”

            Wajah dua laki-laki di sana seketika sumringah. “Yeeeey! Ummah mau? Beneran?”

            Shaffiya mengangguk. Rizwar tersenyum lebar. “Gitu dong, sekali-sekali jalan-jalan kek. Kamu butuh hiburan juga, Shaf.”

            Obrolan itu tak sempat dijawab oleh Shaffiya karena ada pelanggan datang. Wulan dan keluarga kecilnya mampir setelah jalan-jalan pagi.

            “Wah, kirain yang pertama, ternyata udah ada yang duluan nih.” Wajah wanita yang lebih tua terlihat menggoda lawan bicaranya. Rizwar tersenyum, ia menyapa putra-putra dari pelanggan Shaffiya yang juga teman dari Amr.

            Rizwar dan suami Wulan bekerja di tempat yang sama, meski berbeda fakultas, keduanya adalah tenaga pengajar di universitas kawasan Shaffiya tinggal.

            “Ada yang udah berkembang kayaknya?”

            “Apa sih, Ummi?”

            “Eh, nikah lagi itu nggak dosa tahu. Justru kalau kalian tarik ulur terus terancam maksiat.”

            Ibu satu anak yang tengah mempersiapkan alat pembakaran untuk ayam-ayamnya menatap si lawan bicara. “Ummi, aku tuh nggak ada niat ke sana sama sekali.”

            “Tapi, pak dosen itu niat sama kamu. Dia kan sering cerita sama suamiku, tanya-tanya gimana baiknya.”

            Shaffiya melongo, percakapan bisik-bisik keduanya kini semakin memanas karena si lawan bicara memberikan clue-clue menarik dari hal yang tak Shaffiya ketahui. “Maksudnya gimana?”

            “Ya, dia nanya, gimana kalau dia nikahin janda. Nanti hubungannya sama keluarga mantan suaminya gimana, tanya soal iddah juga, tanya soal banyak hal tentang nikah. Dia orang baik kan? Kamu sendiri lebih tahu karena sudah lama kenal. Harusnya lebih paham tentang sosoknya.”

            Si objek pembicaraan mendekat. Rizwar tak tahu dua ibu-ibu itu tengah membicarakannya.

            “Soto empat, punya kakak nggak usah dikasih topping, punya dedek kasih dagingnya banyakan. Jangan lupa ya Ummah,” kata bidan itu sembari mengerlingkan mata.

            “Sini biar aku yang bakar ayamnya, kamu ngelayanin pembeli aja,” ucap Rizwar sembari merebut alat penjepit daging yang dibawa oleh Shaffiya.

            “Riz, ada Pak Ismail loh, kamu nggak malu? Nanti dikiranya kita ada apa-apa.”

            Rizwar tersenyum, giginya yang berderet rapi terlihat. Hidung mancung dan pipi berlesung satu di sebelah kiri, terpeta sempurna di wajah berdagu cenderung lancip. Lebih tampan dari ayah Amr. Jelas saja jika banyak mahasiswinya yang sering makan di warung Shaffiya, membicarakan ketampanan sang dosen.

            “Bagus dong, nggak usah kasih pengumuman kalau kita emang ada apa-apa nantinya. Ya kan?” tanya Rizwar.

            Wanita itu menyadari jika dirinya sudah terlalu lama menatap pria yang kini tengah tersenyum padanya. Kelopak mata itu membuka tutup beberapa kali seolah meyakinkan jika si pemilik tak tengah tertidur dan bermimpi.

            “Apa kata dunia kalau seorang dosen tampan ngelamar jan—“

            “Janda cantik nan saleha? Dosanya disebelah mana? Pandangan manusia nggak penting buatku, pandangan Allah yang menjadi dasar pegangan hidupku. Kalau menikahi janda beranak satu saja salah lalu mengapa Rasulullah menikahi janda beranak banyak seperti ummul mukminin Khadijah? Apa kamu juga akan menyalahkan beliau?”

            “Astagfirullah, Riz, nggak gitu maksudku, aku bukannya menyalahkan sunnah Rasulullah tapi aku ... aku nggak pantes buat kamu. Aku tuh barang bekas, Riz.”

            “Bekasmu bukan bekas hina. Bekasmu karena memang habis waktu jodohmu dengan terpisahkan lewat maut, bukan dengan perceraian karena hal-hal yang melanggar syariat. Fi, aku nggak mau debat lagi. Aku yakin kamu cukup paham maksudku. Kita udah sama-sama dewasa. Let me try,” pinta Rizwar sembari membolak-balik ayamnya.

            “Coba apa?” tanya Shaffiya berusah biasa saja agar tak terlihat tengah berperang dengan batinnya sendiri akibat baper yang ditimbulkan oleh Rizwar.

            “Coba meluluhkanmu. Kamu cukup diam, jangan nolak apapun yang aku sodorkan. Aku bakal buktikan kesungguhanku.”

            Takut, satu kata yang dapat menggambarkan perasaan Shaffiya kali ini. Ia segera mengangkat nampan berisi empat mangkok soto dan mengantarkan pada pelanggannya yang sudah menunggu.     

            “Monggo, silakan,” ucap Shaffiya mempersilakan pelanggannya untuk menikmati sajiannya. Ucapan terima kasih diterima si penjual dengan wajah sumringah.

            “Ummah Amr, enak ya kalau ada yang bantuin gitu? Insyaallah  akan jadi berkah jika ikatannya sudah halal. Suami membantu pekerjaan istri, pahalanya luar biasa loh.” Ucapan Ismail membuat lawan bicaranya tertawa.

           “Duh, Pak Is bisa aja. Jangan salah paham loh, kami berteman,” kilah Shaffiya.

            “Menikah akan jadi jalan terbaik, dari pada berteman dan menimbulkan banyak pertanyaan dari orang lain. Belum-belum kalau setannya keliaran dan membisikkan hal-hal yang menggoyang iman. Laki-laki itu kalau sudah serius, jangan diragukan. Apalagi dengan kondisi Ummah yang sudah berputra, dia pasti sudah mempertimbangkan dengan masak-masak segala resikonya. Dan, itu bukti keseriusannya. Coba saja, istikharah dulu, siapa tahu jodoh.”

            Shaffiya tersenyum dan berterima kasih atas nasehat dari Ismail. Ia benar-benar memikirkan tentang hal itu sepanjang hari. Ia yang berusaha menepis bayang Rizwar, kini justru melihat sosok sang pria dalam sisi berbeda.            

            “Ya Allah, kenapa aku jadi baperan? Tapi ... aku takut, jelas aku nggak pantes buat dia yang masih single dan berkarier cemerlang. Nggak mungkin orang spek Iphone milih barang second dari merk tak terkenal.”

           

            ****

            “Papapapa!”

            Balita berusia hampir enam bulan itu bernyanyi sembari mencoba berpindah tempat dengan menggulingkan tubuhnya. Rafael tak begitu memperhatikan pergerakan sang putri, ia pikir anaknya tak akan bisa berpindah tempat dengan cepat, hingga pada akhirnya suara ‘bukk!’ terdengar disusul tangisan keras dari sang putri.

            “Astagfirullah!” teriak Rafael dan melempar Ipad-nya, berlari ke arah sang putri yang sudah tergeletak di lantai dengan kepala membentur karpet. Segera Rafael membopongnya dan menenangkan sang putri. Si cantik berkulit putih itu terus saja menangis, hingga bibinya datang.

            “Kenapa Om? Ruru kenapa?” tanya Aisya sembari berjalan masuk ke dalam kamar sang ipar.

            Wanita berperut buncit itu mengulurkan tangannya berniat menggendong sang keponakan. Rafael tak langsung memberikan sang putri, ia ragu iparnya menggendong Ruqayya dalam kondisi hamil besar seperti itu.

            “Yakin kamu mau gendong Ru?” tanyanya.

            Di saat yang bersamaan Ummi Hanifa masuk dan mempertanyakan apa yang terjadi. Ia segera mengambil sang cucu dari gendongan putranya.

            “Ya Allah, ini jatuh? Liat nih jidatnya benjol. Duh, Rafa, kamu ini loh yang awas dong jagain cucu Ummi! Jangan ditinggal kerja terus. Makanya cari ibunya Ru. Nikahi dia, biar dia bisa ngurusin Ru. Kamu bisa fokus kerja! Ngurus anak itu nggak gampang. Ummi bisa bantuin tapi kan nggak bisa 24 jam, Nak. Aisya juga sekarang nih, udah mau lahiran. Dia akan repot ngurus anaknya sendiri.”

            Rafael hanya bisa diam. Ia tak pernah berpikiran untuk menikah. Sama sekali tidak. Di hatinya cukup satu cinta untuk Rachel, wanita yang tak akan pernah bisa ia nikahi karena telah berpulang lebih dulu. Sulit baginya menghempas cinta lamanya. Bukannya ia tak membuka hati, tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia. Banyak wanita mendekatinya, banyak juga yang sudah ia cicipi hingga salah satunya berbuah Ruqayya. Namun, tak ada sedikitpun rasa cinta di sana.

            Ia bahkan harus membuat dirinya setengah sadar dulu baru bisa menikmati permainan dengan para wanita itu. Membayangkan kekasih hatinya yang tengah membuainya dalam rasa. Bukankah itu gila? Namun, sejak hadirnya Ruqayya ia tak lagi melakukan hal itu. Tak sekali dua kali ia mencoba berdikusi dengan sang ayah, kakak kembarnya, bahkan dengan ibunya. Tak malu ia katakan tentang perasaannya, pemikirannya, soal cinta.

            “Kalau alasanmu karena kamu nggak cinta sama dia, coba lakukan demi Ruqayya. Cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Percayalah. Kakakmu sudah membuktikannya kan? Dia dan Aisya cinta karena terbiasa. Dan, buktinya keduanya sangat bahagia sekarang. Pikirkan itu baik-baik Rafa. Ummi akan merestuimu menikah dengan siapapun, siapapun, asal dia seorang muslimah.”

            Ucapan sang ibu kini membuat kecamuk di pikiran Rafael. “Oh God, honestly dari pada memikirkan tentang menikah, aku lebih ingin diberi beban memikirkan tentang pekerjaanku yang tak pernah selesai.”

            Rintihan sang ipar, membuat Rafael berhenti diceramahi ibunya. Aisya tiba-tiba memegangi perutnya. Beruntung Hamzah tengah menyusulnya, mereka segera membawa Aisya ke rumah sakit.

            “Jagain Ruqayya, Ummi antar kakakmu dulu ke rumah sakit. Kalau kamu repot, minta bantuan Ummah Amr,” pesan Ummi Hanifa sebelum pergi mengantar menantunya. Rafael hanya mengangguk-angguk saja.

            Perutnya keroncongan, ia sadar belum makan. Hari Minggu paginya tak berjalan begitu baik sepertinya, karena ketika ia membawa sang putri ke tempat Shaffiya, ia justru mendapati wanita itu tengah menaiki motor bersama seorang pria dan putranya Amr.

            “Mau kemana dia?”

            “Mamamamama!” pekik Ruqayya.

            Bayi yang duduk di babyseat itu sepertinya juga melihat pengasuhnya dari kaca samping tempatnya duduk manis sendiri dengan pengamanan ekstra yang diciptakan sang ayah untuknya agar nyaman dan aman di kursi tambahan itu.

            “Ru mau sama Ummah?” tanya Rafael. Anaknya merespon dengan bahasa aneh dan menunjuk-nujuk.

            “Kita ikutin yuk?” usul Rafael santai, ia hanya ingin sang putri tak rewel lagi karena cukup repot mengurus Ruqayya yang sudah paham arti kata bosan main sendirian. Sementara sang ayah jika terus berdiam di dalam kamar akan tertidur. Sedang Ruqayya tak suka jika didiamkan saja.

            “Ru, kamu itu kayak Ummah sih, cerewet nggak bisa diem. Kayak Bibi Ais juga kamu tuh, ceriwis. Makanya, papa tuh mikir-mikir kalau harus nikah. Kita berdua aja ya Ru? Kamu nggak apa-apa kan kalau cuman sama papa? Kalau papa sibuk nanti kamu dititipin ke Ummah, gitu. Oke?”

            “Mamahmamah?” Bayi itu bersuara.

            “Iya, sama Ummah.”

            Kekehan si bayi mengundang tawa Rafael juga yang kembali fokus menyetir. Tanpa terasa, keduanya sampai di daerah Kentingan, menuju ke timur sedikit dan sampai di tempat yang dituju oleh Shaffiya. Tiga orang tadi sudah masuk lebih dulu, Rafael perlahan mengikuti mereka sembari mendorong kereta sang putri yang selalu ada di bagasi mobilnya.

            “Ru, kita ke Zoo,” seru Rafael pada sang putri.

            Ruqayya tenang dalam strollernya karena botol berisi susu ada di tangannya. Apapun kondisinya selama ada susu dan diajak berjalan-jalan, Ruqayya akan tenang. Sementara itu, Amr tengah berseru menunjukkan kekagumannya pada hewan-hewan yang ia lihat.

            “Seneng banget tuh jagoan,” ucap Rizwar pada Shaffiya. Keduanya berjalan beriringan. Shaffiya sedari tadi memikirkan tentang ucapan Ismail, Wulan, dan orang-orang yang mendukungnya kembali menikah.

            “Aku hampir nggak pernah ngajak dia jalan-jalan. Kamu tahu kan?”

            “Mulai sekarang, kita bakal sediain waktu buat jalan-jalan bertiga.”

            Shaffiya diam menggigit bibir bawahnya, takut berkata-kata. “Riz, mending kamu obrolin dulu sama orang tuamu. Aku nggak mau berhubungan sama orang tanpa restu. Aku takut, takut kalau terlanjur melangkah dan mereka tahu kondisiku terus mereka melarangmu berhubungan sama aku, si janda anak satu.”

            Rizwar menghentikan langkahnya, ia meraih pergelangan tangan Shaffiya, membuat sang wanita ikut berhenti berjalan.

            “Jadi, kamu ... kamu udah ijinin aku buat masuk ke hidupmu?”

            Shaffiya tak berani menjawab secara langsung. “Aku ... aku pikir ya kita ikut arus aja lah, asal tetep di koridor yang tepat. Sama-sama berdoa aja,kalau memang we belong together, kita bakalan bersatu, begitu juga sebaliknya. Ya kan?”

            Rizwar tersenyum senang. “Makasih Fi kamu kasih aku kesempatan.”

            Melihat sajian drama Korea di depannya, Rafael memicingkan mata. Muncul rasa iseng di benaknya. “Duh pacaran mereka. Seru kayaknya kalau digangguin,” batin Rafael.

            Pria yang tengah berdiri di samping kandang monyet itu menggoyangkan kawat besi di depannya dan membuat monyet di dalamnya terkejut hingga berteriak-teriak. Teriakan primata itu berhasil membuat banyak orang terkejut tak terkecuali si kecil Ruqayya yang sudah setengah tertidur tadi dan seketika menangis.

            Shaffiya sontak menoleh ke belakang, dan benar saja sang wanita menemukan sosok yang ia pikir hanya mirip suaranya saja.

            “Ruqayya? Mas Rafa?”

            Rafael pura-pura tak tahu dan ia segera menggendong putrinya, seolah ia tengah kerepotan mengurus sang putri. Shaffiya melangkah mendekat dan tangannya ditahan oleh Rizwar. “Stop, Fi,” cegah Rizwar.

            “Tapi ....”

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai hari ini marathon yaa...

❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro