Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4

            “Shaf, kamu malam ini nginep di hotelku aja ya? Kasian kalau Amr harus tidur di tempat yang bocor gitu gentengnya.”

            Gelengen tentu menjadi jawaban bagi penawaran Rafael, bumbu senyum sedikit menambah kesan sopan meski tetap saja ditolak tak mengenakan rasanya. Sang pria tak tega tentunya melihat kondisi Shaffiya.

            “Demi Amr, please, turunin harga dirimu sedikit aja. Kamu nggak kasian sama anakmu?”

            Senyuman Shaffiya semakin lebar, ia paham temannya tengah khawatir pada kondisi putranya yang tinggal di tempat kurang layak, menurut versi Rafael yang sejak kecil tak pernah kekurangan materi.

            “Mas, do you know, what the difference between house and home?

            Rafael menebak-nebak arah pembicaraan teman baiknya itu.

            “Wujud house kami memang begitu adanya, kurang mengayomi memang,tapi Amr punya the sweetest home. Tempat dimana dia bisa merasa hangat, tenang, dan nyaman. Hangat meski tubuhnya basah, tenang meski dalam gemuruh suara seng tertimpa air hujan, dan nyaman meski dalam keterbatasan.”

            Rafael menatap Shaffiya lekat. “Maksudmu?”

            “Tempat ternyaman untuk seorang anak adalah pelukan ibunya. Amr punya aku, Mas. Dan itu cukup buat dia”

            Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu menyugar rambutnya. “Kamu cewek paling aneh yang pernah aku temui.”

            “Ibu-ibu, bukan cewek lagi,” ralat Shaffiya sembari tertawa. Rafael ikut tertawa, ia sangat senang bisa menemukan teman yang meski usianya lebih muda darinya pemikiranya sangat dewasa. Membuatnya nyaman ketika ingin berbagi pikiran.

            Alunan lagu belum siap kehilangan terdengar. Tanpa sadar Shaffiya mengikuti syairnya, menyanyikan lagu itu dengan lirih. Rafael melirik wanita yang tengah memangku sang putri yang tertidur lelap pasca kekenyangan makan es krim.

            “Udah nggak usah nangis, mellow ih.”

            Jemari lentik milik Shaffiya mengusap sudut matanya. “Paham kan rasanya gimana? Lagunya kita banget, ya? Hampir empat tahun berlalu tapi rasanya masih aja kalau keinget bikin mewek juga. Aku ... terlanjur terikat sama dia ... Cuma tiga tahun kami bersama tapi karena dia yang pertama, jadi kenangannya nggak bisa ilang.”

            Rafael tersenyum tipis, anita di sampingnya memang aneh. Tadi, ia ketus ketika ditanya tentang suaminya, dan kini ia cerita tanpa diminta.

            “Baru juga empat tahun, aku yang udah sepuluh tahun aja masih belum bisa ilang.”

            “Sepuluh tahun?” tanya Shaffiya terkejut.

            Rafael mengangguk. “Iya, sepuluh tahun lalu, Rachel meninggal. Waktu itu aku di Aussie, aku sekolah di sana. Kami LDR sejak dia masuk pondok dan aku masuk kuliah. Aku tahu dia meninggal dua hari setelah ia dimakamkan. Aku bahkan nggak bisa liat jenasahnya, dan itu penyesalan terbesarku. Aku benci dengan takdir ini.”

            “Astagfirullah, istigfar, Mas,” sela Shaffiya.

            Rafael terkekeh. “I was, Shaf. Was. But, for now aku udah bener-bener sadar. Ya itulah masa terkelam di hidupku. Setelah Rara meninggal, aku masuk ke belantara maksiat. Mencari dunia yang katanya nikmat, tapi nyatanya semakin aku cari dunia semakin aku tersesat. Hingga, Ru datang, dan aku lihat Rara di sana, jagain dia. Dan aku kembali ke jalan ini. Kembali ke kenyataan luar biasa dimana ternyata selama ini aku tidak tinggal dengan keluarga kandungku. Bak sinetron aku diculik waktu bayi dan terpisah dengan saudara kembar dan orang tua kandungku. Kamu tahu kan ceritanya dari Ummi? Gus Hamzah yang terhormat harus punya kembaran yang dididik menjadi ahli maksiat.”

            Tawa Rafael mendapat sambutan senyum dari Shaffiya. “Jadi Ru anak adopsi?” tanyanya tiba-tiba.

            Rafael menggeleng. “Anakku.”

            “Ah ... ya, tapi secara biologis?”

            “Anakku, dia anak kandungku. Hanya saja ibunya aku nggak tahu,” jujur Rafael.

            “What?” Mata Shaffiya, membulat bibirnya pun sama, sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oh i see,” ucap sang wanita kemudian setelah paham apa maksud temannya.

            “Aku brengsek, tapi demi anakku, i’m trying to be the new me. Aku nggak mau dia malu punya papa kayak aku. Aku bakal kasih dia segalanya, termasuk nyawa sekalipun. I love her so much.”

            Tangan Rafael terulur mengelus jemari sang putri. Shaffiya tiba-tiba tertawa sembari mengusap air matanya yang mengucur deras tiba-tiba. Rafael heran. “Kenapa nangis?”

            “Aku terharu, Ya Allah,” ucapnya sambil tertawa sembari menangis.

            “Terharu?”

            Shaffiya mengangguk. “Cinta pertama anak perempuan itu ayahnya. Kayak aku, selama dua puluh satu tahun, aku cuma kenal laki-laki itu ya abahku. Sebelum taaruf dengan ayahnya Amr, aku nggak pernah mengagumi laki-laki lebih dari aku kagum ke abahku. Sosoknya begitu jadi idola buatku. Sederhana, lemah lembut, tetapi tetap tegas. Hingga aku pun sebenarnya agak sulit cinta sama ayah Amr, saking aku mengidolakan abahku. Karena menurutku ayah Amr masih kurang greget gitu jadi cowok. Apa ya, ntahlah susah dijelasin. Ya, walau pada akhirnya yang namanya setiap hari berkomunikasi dan punya anak, otomatis ada rasa sayang yang mulai tumbuh. Tapi, emang bener loh sosok ayah itu berharga banget buat anak perempuannya. Dan, kamu, udah punya sisi keren itu, Mas. Layak untuk diidolakan sama Ru.”

            Rafael tertawa. “Really?”

            “Serius. Sosok maaf, bad boy kayak kamu kan pasti sulit banget meninggalkan kenikmatan dunia yang udah biasa Mas rasain.”

            “Bad boy?”

            “Haruskah aku pakai istilah PK? Ah, tukang having fun. Ada anak-anak di sini nggak perlu dijelasin, ya meski mereka tidur tapi we shouldn’t talk about that.”

            Keduanya kembali tertawa bersama. “Jadi kamu si cupu terus aku bad boy?

            “Duh, kayak cerita wattpad yes? Tau nggak aplikasi nulis tuh, gadis baik-baik kecantolcowok brengsek. But, aku nggak selurus itu loh. I was a model dan ya gitu lah, aku baru mulai hijrah sebenar-benarnya pas kuliah.”

            “Model?”

            "Aku seagensi sama Buna Zia, istrinya sepupumu. Dulu beliau memutuskan untuk pensiun dan aku mulai menggantikan posisinya. Tapi, nggak lama sih ya sampai sebelum hijrah. Aku pernah punya masa kelam juga tapi ya, gitu deh. Aku bersyukur banget ayahnya Amr nggak mempermasalahkan soal itu."

             Rafael mengernyitkan dahi. "Apa salahnya dengan profesi model?"
     
             "Duh, Gus Rafa, please deh, kaumku itu kaum kembaranmu, bukan manusia yang berpikiran seperti anda dulu," ucap Shaffiya.

             "Oh, I see ... Aku pernah bertukar pikiran sama Bang Hamzah soal itu. Ya tentang penampilan istrinya dan lain-lain. Dan aku pikir bener juga pemikirannya. Aku pun nggak akan rela kalau kelak sembarang orang bisa melihat kecantikan putriku."

               Tawa Shaffiya semakin menjadi. "Jaga dia baik-baik, Ru itu pinter banget. Dia juga nggak rewel. Dulu pas seusia Ru, Amr belum bisa banyak gerak, nggak lincah dia dan belum bisa panggil mama. Tapi, Ru udah bisa."

              Rafael masih menggenggam jemari sang putri, perlahan tangannya naik dan menepuk kepala si penggendong anaknya.
"Kamu juga jaga diri, karena anak soleh di belakang itu butuh kamu, Bestie. Eh iya, kan udah punya calon ayah baru ya? Siapa sih namanya? Dia lecturer?"

              "Duh berasa anak anjing, ditepok-tepok. Adab hei adab!"

              "Ups, sorry Ukhti. Afwan Ukhti. Siapa itu nama pacarmu," goda Rafael.

              "Enak aja pacar. Rizwar itu temen lamaku. Kami sejurusan dulu, dia lulus duluan. Dulu aku pernah cerita kan? Lupa? Dia yang aku ceritain bantuin aku sama Amr pas waktu baru pindahan ke sini. Kebetulan sih ketemu lagi. Bedanya aku S2 ga lulus, dia udah siap jadi Doktor."

                "Kamu beneran ambil master?"

                Shaffiya mengangguk dan menghela napas. "Ya itu, dulu keburu nikah. Rencananya mau lanjut pas habis nikah, tapi udah ada Amr tuh di perut. Dan kondisinya waktu itu ayah Amr lagi berusaha buat mandiri secara ekonomi. Jadi ya kami oleng kanan oleng kiri. Boro-boro buat biayain kuliah, bisa beli makan juga Alhamdulillah."

                  Rafael menangkap ada sorot aneh di mata yang kini menerawang ke arah jalanan di luar mobil.
                
               "Tapi aku nggak pernah nyesel nikah sama ayah Amr. Dia sosok sederhana yang cukup membuatku sedikit terpesona. Meski belum ke tahap cinta yang mendalam tapi, rasa sayang itu cukup membuat kami terikat selama hampir tiga tahun bersama."

                "Move forward, Bestie," seru Rafael.
Shaffiya terkekeh. "You too," balasnya.

                "Should I?" tanya Rafael.

                "Kalau aku pertanyaannya bukan harus atau enggak move on-nya tapi lebih ke bisa atau enggak. Aku takut ... Takut harus kehilangan lagi di saat rasa itu mulai membuat aku nyaman. Aaaah! Melankolis deh jadinya. Ah, Mas Rafa iiiih nggak seru ih, malem-malem ujan-ujan, sendu deh."

                Keduanya kembali tertawa dan larut dalam hangatnya obrolan. Keduanya sampai di rumah seperempat jam kemudian, dan kebetulan orang tua Rafael sudah sampai di rumah juga sehingga pria itu segera mengantar Shaffiya dan Amr kembali. Namun, kali ini, Ummi Hanifa ikut.

              Bukannya tidak percaya dengan sang putra. Ia hanya ingin melindungi Shaffiya dari hal-hal yang bisa saja terjadi jika wanita itu hanya diantar pulang oleh seorang pria.

               "Shaf, kunci pintu jangan lupa. Mau aku anter masuk Amrnya?"

               Shaffiya menggeleng. "Nggak perlu, Mas. Aku kuat kok, makasih ya. Ummi, maaf ngerepotin ya."

               "Justru kami yang selalu ngerepotin kamu. Ya udah, kamu hati-hati ya. Amr sayang, udah pules banget. Buruan masuk sana, kunci pintu jendela jangan lupa. Ya. Assalamualaikum."

                 "Wa alaikumussalaam warahmatullah."

Mobil Rafael baru melaju ketika Shaffiya dan Amr sudah masuk ke dalam rumah kontrakan sekaligus warung makan itu.

                  "Shaffiya itu sebenarnya anak orang mampu. Tapi, dia dididik mandiri dan sederhana oleh orang tuanya. Abahnya temen abimu."

                   "Ummi nggak akan kasih aku kejutan kalimat, sebenernya kalian udah dijodohkan seperti abangmu Hamzah dengan kakakmu Aisya, gitu kan?" celetuk Rafael.

Sang ibu tertawa dan menggeleng. "Kamu kan sudah menegaskan pada Abi kalau nggak mau dijodohkan kan? Lagi pula misal kamu dijodohkan, kami akan memilihkan gadis lajang yang bisa menerima Ruqayya."

Rafael terkekeh. "Cukup bagiku Ummi sama Ru. Dua malaikat cantikku."

Ucapan manis sang putra membuat Ummi Hanifa merasa haru. Terlebih mengingat, baru sekitar tiga bulan lalu, keduanya bertemu setelah terpisah hampir tiga puluh tahun.

Rafael diculik dan ditukar oleh anak orang tua angkatnya yang kala itu meninggal waktu lahir. Masa kecilnya ia habiskan di Jakarta dan Singapura. Sebelum ia melanjutkan studi di Australia, hingga kembali ke Indonesia setahun lalu dan memulai bisnis perhotelannya.

"Le, Rafa Hamiz putraku. Ummi mau tanya boleh?"

Rafael mengangguk. "Tanya apa Ummi?"

"Siapa ibu Ruqayya. Kenapa kamu tidak menikahinya? Ibu mana yang bisa berpisah dengan anaknya?"

Rafael hampir kehilangan kendali mobilnya saking terkejutnya mendengar pertanyaan yang akhirnya dilontarkan sang ibu.

"Ibunya ada, tapi Ru ikut kita, Ummi."

"Nak, apa kamu nggak mau anakmu punya orang tua lengkap? Dia butuh ibunya juga. Wanita mana yang tak sakit hatinya menyandang status ibu tanpa menikah terlebih dulu dan kini harus terpisah dari putrinya."

"Ummi, Ru cuma butuh kita. Cuma kita. Dia nggak butuh ibunya. Buktinya wanita itu ninggalin Ru di depan pintu rumahku dan bilang aku harus mengurus Ru. Kalau dia peduli, dia pasti akan berjuang untuk Ru. Buktinya, Shaffiya bisa berjuang untuk Amr sendiri. Sedang ibu Ru? Menyerah tanpa berusaha."

Ummi Hanifa mengelus pundak sang putra. "Pasti ada alasannya, pasti ada sebabnya. Tidak mungkin seorang ibu begitu tega membiarkan anaknya terlantar."

"Ibunya nggak ngurus Ru, Ummi."

"Ummi pun, Ummi nggak ngurus kamu sampai kamu berumur dua puluh sembilan tahun. Ummi hanya mengandung dan melahirkanmu. Tanpa tahu tumbuh kembangmu. Apa kamu juga menganggap Ummi jahat? Ummi tidak pantas dekat denganmu sekarang?"

Rafael mencoba mendinginkan kepala sebelum menjawab. "Ummi melakukan itu ke aku, karena Ummi dulu nggak tau aku diculik. Sedang, ibu Ru sengaja menelantarkannya dengan sadar. Jadi, sekalinlagi. Ru tidak butuh ibu seperti dia. Cukup bagi Ru, aku, Ummi, dan keluarga kita yang lain. Dia tidak butuh ibunya."

Ummi Hanifa hanya bisa diam. Ia cukup lama menahan rasa ingin tahu siapa ibu kandung cucunya.

"Ya Allah, berikanlah berkat dan rahmat-Mu bagi keluarga kami. Sesungguhnya hanya Engkau-lah Sang Maha Mengetahui dan Penentu Jalan Kehidupan setiap hamba-Mu." 


ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ  


Assalamualaikum

Hai semuaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro