Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25


Some days later....

Bocah kecil itu menjadi pagar pembatas kedua orang tuanya. Rafael rela tidur di ujung kasur, demi memberi tempat nyaman pada putri dan istrinya.

Brak!!

Pria itu menggelundung untuk kesekian kalinya sepanjang minggu ini. Shaffiya tersentak. Ia yang belum sepenuhnya tidur kembali terbangun.

"Astagfirullah, Mas."

Shaffiya segera bangkit dan memastikan kondisi suaminya. Rafael mengelus-elus tangannya yang sakit tertimpa tubuhnya sendiri.

"Ke tendang Ruru?" tanya Shaffiya sambil terbahak.

"Kamu belum tidur?"

Shaffiya menggeleng, rambutnya bergerak ke kanan kiri. Ia kemudian merapikannya dan mencepolnya asal.

"Belum ngantuk, tadi siang aku ikut tidur sama si kembar sama Ruru juga. Tadi udah makan di kantor? Mau pudding nggak?"

"Boleh," ucap Rafael sembari berdiri. Shaffiya mendahuluinya keluar dari kamar menuju ke dapur.

Baru tiga hari, mereka pindah ke rumah yang dulu Rafael tinggali sendiri sebelum bertemu dengan keluarga kandungnya. Semenjak menikah keduanya masih canggung.

"Shaf, surat-suratnya udah beres. Buku nikahnya udah jadi. Aku taruh di lemarimu. KK juga udah, Amr sama Ruru semua udah masuk juga ke sana."

"Oh, iya. Makasih."

Canggung, itulah mereka sekarang. Tidak pernah ada obrolan jika bukan Ruqayya yang memulai.

"Nih puddingnya, mau ngopi nggak?"

"Kamu kasih apa aja aku mau kok," ucapnya sembari menarik kursi.

Shaffiya mengangguk, ia menyajikan pudding coklat dengan topping buah segar dan fla kesukaan putrinya dan tentu suaminya. Lagi-lagi, sunyi, tak ada suara kecuali denting gelas bersenggol dengan sendok.

Rafael bangkit untuk mengambil tisu di tempat penyimpanan dimana biasa ia menyetok tisu dan beberapa kebutuhan dapur.

Shaffiya yang tak tahu suaminya dibelakangnya berbalik dan menabrak pria yang tengah membuka pintu lemari di atas kepalanya. Keduanya terdiam.

"Ma-mau ngapain?"

"Ambil tisu."

"Oh."

"Kenapa? Dikira mau meluk kamu?" tanya Rafael. Shaffiya mendecak lidah kesal.

"Kita udah damai seminggu ini, jangan bikin rusuh lagi."

Rafael tertawa. "Ya siapa juga yang mau bikin rusuh, dari pada bikin rusuh mending bikin yang lain."

"Nih, udah dibikinin kopi spesial buat Mas Mas yang mendadak jadi suamiku."

Shaffiya meletakkan cangkir di atas meja.

"Hmm... Emang kamu pinter kalau disuruh bikin makanan sama minuman enak."

Sedikit tersanjung Shaffiya menatap sang suami. "Iya dong, emang kamu, bisanya beli doang, nggak bisa bikin apa-apa."

Rafael yang selesai mengusap bibirnya dengan tisu dan membuang tisu bekasnya ke tempat sampah, menatap sang istri.

"Eh aku jago dalam bikin sesuatu."

"Apaan? Bikin huru hara sama bikin babak belur orang?" sindir Shaffiya.

Pria itu mendekat dan mengunci pinggang sang istri. "Bikin anak."

"Nggak lucu," ketus Shaffiya sembari menepis tangan sang suami.

Rafael memperkuat pegangannya, ia memangkas jarak antara keduanya.

"Mas, kopinya keburu dingin," sela Shaffiya agar sang suami tak melakukan hal-hal aneh.

"Lebih baik kopinya yang dingin, dari pada hubungan kita yang semakin hari semakin dingin. Aku tau kamu terpaksa nikah sama aku, tapi ... Aku janji aku bakal bahagiain kamu sama anak-anak. Aku akan turuti semua keinginanmu, apapun itu, kecuali satu."

Shaffiya memberanikan diri menatap sang suami. "Kecuali apa?"

"Cerai. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Shaf."

"Jangan lebay."

"Aku tau ini kayak exagerrate, tapi aku ngomong apa yang aku rasain. Aku bukan kayak Bang Ham yang bisa diem dan nyimpen perasaannya. Aku selalu omongin apa yang ada di otakku."

Rafael melepaskan cengkeramannya. Ia kemudian meneguk kopinya sebelum beranjak pergi.

"Sana tidur, aku mau ke ruang baca aja." Satu tangan Rafael terulur dan mengelus puncak kepala sang istri.

Shaffiya mengangguk, ia memikirkan kata-kata suaminya. Benar memang, keduanya sangat berbeda setelah menikah.  Setelah membereskan bekas makan dan minum suaminya, Shaffiya kembali ke kamar.

Ia mematut dirinya di kaca. Diambilnya sebuah baju yang mungkin akan menarik perhatian sang suami, ia memutuskan mandi lagi dan menyusul sang suami ke ruangan di samping tangga.

Rafael mendongakkan kepala sangat menyadari istrinya masuk.

"Aku nggak jadi ngantuk, gerah, mandi eh malah nggak bisa tidur. Boleh ikut di sini?" tanya Shaffiya.

Rafael mengangguk, ia kembali meneruskan kegiatannya membaca.

"Baca apa sih? Serius amat."

"How to win friends and influence people."

Shaffiya mendekati sang suami, ia perlahan bergerak merangkulkan satu tangan ke bahu Rafael sementara matanya tertuju pada buku di tangan sang suami.

"Seru juga kayaknya belajar bisnis."

"Shaf, itu kursi banyak. Sofa bed ada, kenapa harus ngikut ke sini?"

"Oh, sorry. Aku cuma penasaran sama bukumu." Shaffiya mengamati banyak buku yang ada di tempat favorit sang suami.

Pada akhirnya ia mengambil sebuah buku tentang culinary arts. Dengan santainya Shaffiya duduk berselonjor di sofa bed depan suaminya.

Rafael masih berkonsentrasi di dua halaman setelah sang istri masuk, tetapi halaman-halaman berikutnya tak bisa ia tangkap apa maknanya. Matanya mencuri-curi pandang pada sang istri. Kaki jenjangnya terpampang, hanya bagian atas lutut yang sedikit tertutup dengan dress satin warna merah yang melekat di sana.

Ia berusaha mengusir pikiran aneh di otaknya.

"Aku mau tidur," ucap Rafael sembari menutup bukunya.

"Udah ngantuk?" tanya Shaffiya terkejut.

Rafael tak menjawab, ia mengembalikan bukunya di tempat.

"Ya udah deh, ini tolong balikin."

"Balikin sendiri dong."

Shaffiya membujuk suaminya melakukan hal yang ia pinta. Rafael akhirnya mengembalikan buku itu.

"Nah gitu dong, makasih ya Suami." Sebuah kecupan didaratkan wanita itu di pipi sang suami. Ia berjijit untuk bisa menggapai pipi sang suami.

Rafael terkejut, ia mengerjapkan matanya.

"Shaf, kamu ngelindur?"

"Kenapa? Aku kan belum tidur."

"Kenapa kiss peck aku?"

"Emang nggak boleh? Kan halal."

"Tapi kamu nggak cinta sama aku."

Shaffiya mengembus napas. "Harus dengan apa buktiin aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, suamiku?"

Rafael menatap istrinya lekat. "Kamu nggak bohong?"

Shaffiya menggeleng, ia kembali mengecup pipi suaminya. Tangannya pun meski agak tremor ia gantungkan di leher sang suami. Sementara Rafael akhirnya menelusupkan jemarinya di pinggang ramping sang istri.

"Kamu nggak bohong kan? Kamu nggak terpaksa kan?"

Shaffiya terkekeh. "Cewek mana yang bisa tahan kalau dihujani cinta tiap hari? Kamu sayaaaaang banget sama Amr, kamu sayaaaang banget sama Ruru, kamu juga nggak bosen bilang sayang sama istrimu ini. Padahal, jelas-jelas, aku ini barang second. Aku bekas orang."

"Second? I don't mind," ucap Rafael sembari tersenyum sebelum menyambangi benda yang sering mengomel ketika ia dan anak-anaknya berbuat sesuatu yang usil.

"Thanks for treating me like a Queen."

"It's  my pleasure, Your Highness."

Shaffiya menepuk bahu suaminya karena kekonyolan itu sembari tertawa. Keduanya menyingkirkan jauh-jauh perkara kecanggungan yang ada.

Rafael seperti anak kecil yang tengah mendapat mainan baru, begitu semangat meski berhati-hati memperlakukan sang istri.

"MAMAAAAA PAPAAAAAAAA!"

Teriakan Ruqayya menghentikan kegiatan kedua orang tuanya yang bahkan belum sempat dimulai.

"Oh God!" erang Rafael yang kepalang tanggung.

Shaffiya segera membenahi bajunya sebelum berlari keluar. Sang putri menangis mencari kedua orang tuanya.

"Cup sayang cuup."

"Papa mana?"

"Papaa!!!" panggil Shaffiya.

Rafael dengan wajah kusut keluar dari ruang baca.

"Papa bobok ayo bobok!" rengek Ruqayya.

Shaffiya melihat wajah kesal sang suami. "Boboin dulu, nanti lanjut lagi."

"Bener ya?" tanya Rafael seperti anak kecil merajuk.

"Iya, Sayang."

Pria itu akhirnya kembali bersemangat, ia menggendong putrinya dan menidurkan kembali Ruqayya. Shaffiya terkekeh melihat keabsurdan suaminya.

Lima belas menit kemudian, Ruqayya memejamkan mata lagi. Rafael menggeser tubuhnya, mendekati sang istri. Ia memulai hal yang tadi sempat tertunda. Desah tertahan Shaffiya membuatnya semakin bersemangat.

"Papa apain?" Bocah itu tiba-tiba saja duduk dan menghadap ke orang tuanya.

Rafael terkejut dan terjatuh ke lantai untuk kedua kalinya. Shaffiya meringis.

"Papa mau turun, Nak. Mau ngusir tikus. Ruru bobok lagi ya, banyak tikus loh ini udah malem."

Ruqayya mengangguk dan memeluk ibunya.

"Papa kiss ummah?"

"I-iya, Papa kan sayang Ummah. Ummah sayang papa. Ummah juga sayang Ruru. Sayang kakak Amr. Ya."

Ruqayya mengangguk dan tersenyum. "Ayang mamah. Yu ayang mamah."

Rafael mengembus napas dan bangkit dari posisi rebahannya di lantai.

"Sayang, mau kemana?" tanya Shaffiya.

"Kamar mandi," ketus Rafael frustasi.

"Papa andi, Mah?"

"Iya, papa gerah."

"Iya SOLO GERAH!" teriak Rafael dari kamar mandi.

Shaffiya terkekeh pelan, ia kasihan pada suaminya yang lagi-lagi gagal mengambil haknya.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


Assalamualaikum

END YUUK END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro