Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23

Di hari ketiga semua rasanya mengambang, sukses acaranya memang, tetapi tiga ahri ini Shaffiya tak tidur dengan tenang. Bukan hanya perkara menyiapkan hidangannya, tetapi juga karena pemaksaan yang Rafael lakukan. Kali ini, temanya adalah pesta kebun. Untuk menghilangkan penat, Shaffiya mengajak Ruqayya ikut dengannya.

            “Ail Mah, Ail,” ucap Ruqayya menunjuk ke kolam.

            Shaffiya menuruti putri kecil Rafael itu bermain di aliran sungai yang dirombak sedemikian rupa menjadi kolam ikan yang menyegarkan mata.

            “Ikan? Ail?”

            “Iya, ikannya banyak ya?”

            Keduanya mengenakan baju senada yang dulu pernah dihadiahkan oleh Shaffiya pada Ruqayya. Tubuh Ruqayya termasuk bongsor untuk anak seusianya sehingga bajunya kini sudah bisa ia pakai,tak perlu menunggu hingga usia empat tahun. Rafael yang tadi sibuk mengurus beberapa hal terkait masalah teknis pesta, kini mencari dua bidadarinya.








            “Dasar, malah mainan air,” kekehnya.

            “Raf, semalem Will telpon, dia kayaknya udah tahu kalau kamu kadalin deh.”

            “Apa urusannya? Yang penting kan Shaffiya udah setuju nikah sama aku,” ucap Rafael pada Raymond.

            “Dasar kamu, masih aja suka maksa. Tapi, kayaknya dia beneran tulus sama Ruru. Mukanya juga mirip, tuh.”

            Rafael terkekeh. “Ya namanya juga ibu sama anaknya.”

            Tak lama, Shaffiya menyadari keberadaan Rafael, ia mengajak Ruqayya ke tempat ayahnya.

            “Mas, aku ngecek anak-anakku dulu, mereka udah selesai belum beberesnya. Biar habis ini bisa langsung pulang. Kasian mereka udah tiga hari ngedur terus.”     

            Rafael mengangguk. “Mama mana?” tanya Ruqayya.

            “Bentar Ummah kerja dulu ya, nanti ke sini lagi.”

            Ruqayya cemberut.”Bentar aja kok, Sayang. Nanti kalau Ummah lama, susulin aja ke sana. Sekalian mau ambil diapersnya Ru kan di mobil Ummah kan? Udah waktunya ganti.”

            Rafael mencoba mengalihkan perhatian Ruqayya agar Shaffiya bisa pergi. Bocah itu terus merengek. Shaffiya sedikit berlari ke arah timnya bekerja. Semua sudah rapi, tinggal beberapa barang saja, nanti yang membereskan adalah dari pihak anak buah Aryan selalu penyedia alat makannya.

            “Bu, kami pulang dulu ya, ibu belakangan sama bapak calon ya?” goda salah satu karyawannya.

            “Dih, bapak calon bapak calon, apaan,” sahut Shaffiya salah tingkah. Ia kemudian mengantarkan anak buahnya ke parkiran karena sekalian mengambil peralatan ganti Ruqayya yang ada di mobilnya, karena tadi pagi ia yang menjemput Ruqayya dan mengajak anak itu berangkat ke hotel bersama.

            Semua berjalan biasa saja sebelum ada mobil hitam yang Shaffiya kira kaan parkir, berhenti di belakangnya dan sebuah tangan membekap mulutnya. Wanita itu sempat berontak, sebelum bius membuatnya tak sadarkan diri.

            “Shaffiya!”

            Ada yang memergoki kejadian itu dan sebuah tembakan terdengar sebelum mobil hitam tadi melaju, menerobos palang pintu parkir otomatis, membawa Shaffiya pergi. Orang yang memergoki kepergian Shaffiya segera melaporkan pada Rafael.

            “Raf! Rafa! Shaffiya Raf! Dibawa orang!”

            Rafael seperti tengah tersambar petir mendengar penuturan Ricky yang memergoki penculikan Shaffiya.

            Dari arah lain, sosok William berlari mendekat. “Raf! Shaffiya mana?” tanya William.

            “Shaffiya di sini kan?” tanya William lagi. Raymond merebut kertas di tangan William.

            “We will kill your sweety pie.”

            “Apa ini maksudnya?” tanya Raymond setelah membaca tulisan itu.

            “Mereka kira, Shaffiya pacarku. Mereka nyasar Shaffiya,” ucap William.

            “Mereka siapa?!” bentak Rafael, Ruqayya yang masih ia gendong sampai menangis.

            “Anak buah Faruk. Mereka ngeroyok aku tempo hari, di hari dimana aku ketemu sama Fiya dan mereka pasti nguntit Fiya.”

            Rafael berang, ia menitipkan Ruqayya pada kembarannya sebelum pergi mencari calon istrinya. “Will, gue bakal bunuh lu, kalau Shaffiya sampai kenapa-kenapa.”

            William hanya bisa menelan ludah, Rafael sudah beraura gelap dan itu artinya ia tengah haus darah. Sudah lama ia tak melihat sisi hitam Rafael sejak dua tahun lalu. Ia mengerahkan seluruh anak buahnya menyisir setiap tempat, mencari keberadaan Shaffiya.

****

            Bau rokok tercium begitu pekat, Shaffiya terbatuk-batuk. Ia membuka matanya. Tangannya terikat dengan kursi, begitu juga tubuh dan kakinya. Ada beberapa pria gondrong di sana.

            “Wah, udah bangun. Cantik juga bos, gimana kalau kita buat sarapan dulu aja? Sayang banget kalau langsung dimatiin.”

            Shaffiya diam-diam mengamati mereka dan sekitarnya. Takut? Jelas. Namun, ia tak semudah itu menyerah. Ia tak tahu siapa mereka, dan apa alasannya disekap seperti itu. Orang yang dipanggil bos kini tengah memainkan anak panah kecil dan mengarahkan ke papan angka yang tertempel di tembok.

            “Tunggu instruksi Big boss dulu. Kalian bereskan saja yang lain. Pastikan jejak kalian tadi tidak tertinggal.”

            “Nggak akan ada yang tahu kalau kita ke sini bos. Di sini cuman ada kandang kuda sama papan panahan.”

            “Ada gunanya juga ya kalian menyusup dan pura-pura bekerja dengan pemilik tempat ini.”

            “Paling nanti yang ke sini cuman orang yang biasanya kirim vitamin buat kudanya. Sopirnya yang tolol itu. Kalau yang lain pasti bilang dulu kalau mau datang.”

            Ringikan kuda terdengar. Shaffiya sepertinya tak asing dengan tempat itu. Empat orang di sana segera keluar saat orang yang mereka panggil bos menginstruksikan agar mereka semua bekerja seperti biasa sehingga tak timbul kecurigaan apapun.

            “Hei cantik, boleh juga bodimu. Nanti kalau big boss sudah kasih perintah, kami akan segera mengukirkan benda ini, di kulit putihmu.”

            Shaffiya berusaha berontak, tetapi pria itu menjambaknya, membuat jilbabnya tak lagi rapi pada tempatnya.

            “Jangan berisik kalau kamu mau umurmu sedikit lebih panjang.”

            “Ya Allah, tolong hamba Ya Allah,” pinta Shaffiya dalam hati.

            Entah berapa lama, ia berada di sana, masih belum bisa membebaskan diri. Ringikan kuda kembali terdengar, suara burung pun ikut bersautan. Tangan Shaffiya terus saja berusaha melepas ikatannya, hingga perlahan mulai melonggar meski harus menimbulkan luka gesekan di kulit.

            “Pak taruh sini aja, taruh sini. Biar nanti kami yang masukin ke dalem, soalnya di dalem lagi banyak tikus kan jadi dibersihin dulu pakai racun.”

          “Oh di sini saja Mas?”

            Shaffiya mendengar pembicaraan itu. Ia berusaha berteriak tetapi mulutnya tersumpal kain yang diikatkan ke kepala.

          “Suara apa itu, Mas?”

            “Oh tikus, Pak itu.”

            Seorang pria tiba-tiba masuk dan memukulkan sapu ke kepala Shaffiya sampai ia terjungkal dan pingsan.

            “Loh, Mas, apa itu?”

            “Saya pukul tikusnya Pak, udah bapak buruan pergi aja. Di sini lagi parah kena wabah tikus.”

            Pria yang mengantar pakan khusus kuda itu akhirnya pergi meski ia curiga ada yang tidak beres di sana. Sementara itu Shaffiya kembali pingsan dengan dahi terluka akibat hantaman sapu.

           

****

            Rafael seperti orang gila, ia mencari info ke sana ke mari. Sampai akhirnya ia, William, dan Raymond sampai ke daerah tempat bekas markas Faruk. Saat menuju ke tikungan terakhir, hampir mobil yang ia kendarai menabrak mini bus dari arah berlawanan. Kedua kendaraan itu saling berhenti. Sopir dari pihak lawan turun, Rafael mengenali sosok itu.

            “Pak Ipul?”

            “Den Rafa? Ya Allah, Den maaf, Den.”

            “Nggak pak.saya yang salah. Bapak nggak apa-apa? Bapak dari mana?”           

            “Anu Den, saya habis dari atas, dari stal kuda punya pesantren.”

            “Pak,kenapa kok takut gitu?”

            “Anu, Den. Tadi, tadi, di sana saya kayak denger suara orang minta tolong. Takut saya, apa saya diikuti demit apa gimana ya? Soalnya sini kan kawasan horror. Tapi kata orang di sana lagi ada tikus. Saya jadi keburu-buru, merinding saya. Kayak orang perempuan minta tolong.”

            “Dimana Pak? Bisa tunjukin tempatnya?” tanya Raymond.

            “Di sana Den, tapi saya takut ke sana lagi.”

            “Bapak sama saya, Will, lu ama Rafael. Kita ke sana, feeling gue nggak enak,” ucap Raymond.

            Dua mobil itu akhirnya saling beriringan menuju ke tempat dimana Saipul mendengar hal aneh.

            “Gue nggak tau ternyata ada pesantren punya kandang kuda. Ngomong-ngomong, Fiya katanya jago naik kuda, dia juga ternyata pinter manah,” kata William saat ia mengambil alih kemudi, mengikuti mobil Saipul di depannya.

           Rafael tak menjawab, ia pun tak begitu tahu soal kandang kuda ini meski pernah mendengar ceritanya dari Aisya. Saipul dan rombongannya tiba, mereka segera turun dari mobil. Jeritan terdengar memecah kehingan suasana senja di sana. Tempat itu jauh dari pemukiman warga hanya ringikan kuda dan burung yang terdengar. Sehingga suara aneh tadi bisa terdengar telinga mereka saat menyusuri stal.

            “Suara cewek,” tukas William.

            Rafael semakin yakin, ada kemungkinan Shaffiya di sana meski rasanya agak janggal. Bagaimana bisa orang melakukan penyekapan di area milik pesantren.

            “Pak, ngapain ke sini?” Dua orang terlihat terkejut melihat kedatangan Saipul.

            “Anu, bapak ini, putra Kyai Anam, mau—“

            “Saya mau ngecek kuda Abi saya.”

            “Wah, Pak nggak bisa, harus sesuai jadwal. Soalnya baru ada perawatan khusus.”

            Rafael tak peduli ia meringsek masuk, dan dua orang tadi menahannya. Tanpa pikir panjang, dia mendorong dua orang itu dan masuk ke dalam ruangan yang sepertinya adalah ruang bagi para pengurus kuda.

            “Pak! Pak! Jangan masuk! Ini area steril.”

            Rafael menendangi setiap pintu di sana, membuat kegaduhan dan kuda-kuda meringkik karena terkejut. Kegaduhan itu mengundang tiga orang lain yang tengah berusaha menikmati tubuh Shaffiya keluar dari ruangan paling ujung.

            “Heh siapa kamu?”

            “Saya yang tanya kalian siapa?”

            Pistol diacungkan ke arah Rafael. “Hei Pak, saya Gus Hamiz. Pernah denger nama saya?”

            Di dalam ruangan, Shaffiya yang kini terbaring di lantai mendengar suara laki-laki itu. Ia meski tengah merasakan sakit karena tubuhnya baru saja diseret paksa dan hampir saja dinikmati oleh pria-pria bejat itu, berusah berdiri. Ia yakin sekarang, ia kenal tempat itu. Tujuan utamanya adalah lemari di pojok ruangan. Ia ingat, ada beberapa pelana dan busur disimpan di sana.

           “Bos! Ada pengacau, kami butuh bala bantuan!” ucap salah seorang laki-laki pendek yang menelpon dan masuk ke dalam ruangan.

            Shaffiya menyadari kehadirannya dan melepaskan panah ke kepala pria itu. “Allahu akbar!”serunya sebelum menumbangkan sang pria. Tak mati tentu, hanya saja terkena panah di area dahi jelas membuatnya shock dan pingsan.

Shaffiyaa tepis segala ketakutannya. Jilbabnya tak lagi benar pada tempatnya. Di luar sana suara letusan tembakan terdengar beberapa kali, dan ringikan kuda pun menggila.

            Shaffiya segera keluar setelah menumbangkan satu orang. Rafael kini tengah berhadapan dengan orang yang disebut bos oleh kawananya tadi sementara tiga orang lain masing-masing melawan satu satu orang yang tersisa. Dari kejauhan ia membidikkan panahnya ke arah musuh Rafael. Dua sekaligus dan menancap di tengkuk orang tersebut.

            “Oh My God!” Rafael reflek mengucapnya karena hampir saja panah itu mengenai dirinya.

            Shaffiya kini melepaska satu kuda terdekat dengannya. Tanpa basa-basi ia menaiki kuda berpelana itu dan menginstruksikan pada Rafael untuk minggir. Rafael merebut pistol pria itu dan mendorongnya hingga tersungkur, dan dengan mengerikan, Shaffiya menginjak tubuh pria itu dengan kudanya.

            Rafael menelan ludah, melihat calon istrinya dengan gagah berani membuat orang-orang yang tadi menyerangnya kocar-kacir. Raymond dan William pun angkat tangan. Deru mobil terdengar dari kejauhan.

            “Itu pasti komplotan mereka, buruan kabur,” ucap Shaffiya.

            Saipul, Raymond, dan William sudah lari ke arah mobil mereka terlebih dulu. Shaffiya baru mau turun dan suara tembakan terdengar. Pria yang diserangnya tadi bangkit lagi ternyata.

            “Sayang!” teriak Rafael.

            Shaffiya mengarahkan panahnya pada mata orang itu. “Cepet naik!” titah Shaffiya.

            Kaki panjang Rafael jelas memudahkannya menaiki kuda di belakang sang calon istri.

            “Shaf, awas, hati-hati!”

            “Tenang, kita lagi buru-buru,” kata Shaffiya. Ia melajukan kudanya. Melewati halang rintang di lapangan agar lebih cepat sampai ke tempat mereka memarkirkan mobil.

            Rafael berpegangan pada Shaffiya. “Shaf, hati-hati!”

            “Kamu takut?” kekeh Shaffiya.

            “Aku belum pernah naik kuda, Shaf,” jujur Rafael.

            “So, belum pernah lompat kayak gini?”

            Shaffiya menginstruksikan kudanya untuk menaiki palang halang rintang dan Rafael benar-benar ketakutan. “Shaffiya Hamiza, jangan gila, kita belum jadi menikah. Aku ke sini karena menyelamatkanmu dan kamu mau membunuhku?”

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


Assalamualaikum

Ngebut kuy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro