Part 22
“Spill dressmu besok, biar aku bisa sesuaiin bajuku.”
Satu kalimat itu membuat Shaffiya terkekeh, saat ia mematut dirinya di kaca setelah selesai berdandan pasca berganti baju di toilet hotel. Setelah memastikan seluruh hidangannya siap saji, ia baru berganti baju. Hari ini hari Jum’at, hari dimana Shaffiya berjanji akan datang ke pesta bersama William. Pria itu sudah menghubunginya sejak kemarin.
“Wow, you look so georgous.”
“Thank you, Sir,” balas Shaffiya saat William memujinya.
“Yuk, masuk.”
Shaffiya mengangguk. William mendahuluinya, ia menyapa beberapa koleganya sebelum mengajak Shaffiya ke bagian timur.
“Hei, mana princessmu?”
“Itu, sibuk mainan sama Paopao sama Pingping.”
“Sendiri?” tanay Rafael sembari menyambut salam mantan musuhnya.
“Ups, Sorry, kali ini aku nggak sendiri, Bung. Bidadariku akhirnya bisa turun dari kayangan.”
“Really? Mana?” tanya Raymond yang ikut menyambut William.
“Fiya,” panggil William.
Shaffiya menoleh, ia kemudian melangkah mendekati William. “Fiya, kenalin, ini Rafael dan ini Raymond. Raf, Ray, ini Shaffiya.”
Shaffiya tersenyum. “Oh, kamu kenal sama Mas Rafa juga? Kok nggak pernah cerita sih?”
“Kalian udah saling kenal? Dunia sempit ya,” sahut William.
Rafael menatap wanita yang begitu anggun dengan dress cantik membalut tubuhnya. Senyum menghiasi wajah Shaffiya.
“Hei cantik, wah, sini papi kenalin kamu sama bestie papi. Om Rommy.” Aryan menyela pembicaraan anak muda di sana, mengambil alih Shaffiya.
Sementara Rafael masih shock melihat wanita yang beberapa hari ini kembali dekat dengannya justru muncul bersama William, orang yang selalu menjadikannya rival. William menyadari tatapan Rafael pada wanita yang ia ajak datang ebrsamanya tadi.
“Hei, she’s mine, aku tahu dia cantik tapi tolong jaga matamu, Rafael.”
Rafael melonggarkan dasinya. “Oh ya? Jangan pernah bilang sesuatu itu punyamu sebelum kamu melegalkannya. Selama dia masih belum sah jadi istrimu, aku pun bisa mengambilnya kan?”
William mendongak menatap Rafael. “Apa maksudmu?”
“Dia terlalu tinggi buat kamu Will. Padahal tinggimu sudah proporsional. Apa kamu nggak malu diledek orang karena pasanganmu terlihat lebih tinggi? Dan satu lagi, server kalian beda. Shaffiya seserver denganku. Dia tidak pergi ke tempat ibadahmu.”
William mencebik. “Itu masalah gampang, beda agama bisa diselesaikan dengan mudah. Tinggal pindah, selesai kan?”
“Satu hal lagi, Shaffiya itu sudah punya anak apa dia udah cerita? Dan papa anak itu mafia kelas kakap. Dia bisa menggilasmu sekali libas kalau dia mau.”
William belum mendengar Shaffiya menceritakan tentang dirinya yang seorang single parent. “Memangnya kamu kenal Shaffiya?”
“Aku kenal. Kamu udah denger nama Hamiz Ibrahim? Orang yang melibas semua cabang Juliard Hotel and Convention, orang yang menggulung kekuasan Pranadirya group? Queenary Corp? Jaz Group?”
William mengangguk. “Iya aku denger soal itu, tapi dia misterius kan?”
“Nah itu dia orangnya.”
“Suami Shaffiya?”
“Ya intinya mereka udah punya anak laki-laki dan perempuan. Ya nggak Ray?” Rafael menyenggol sepupunya yang sebenarnya tengah menahan tawa.
“Iya, Hamiz kan? Yeah.”
William terlihat berpikir. Tak lama Shaffiya kembali mendekat.
“Fiya, kamu kenala Hamiz Ibrahim?”
“What? Hamiz? Ah iya kenal banget, kenapa?” tanya Shaffiya sembari melirik Rafael yang tersenyum aneh sebelum berdehem dan berpamitan pergi. Wiliiam kini menjadi lebih diam, ia berpikir, apakah akan berbahaya jika dirinya nekat mendekati Shaffiya. Namun, Rafael tak mungkin berbohong dengannya.
Ponsel Shaffiya berdering, ketua timnya menanyakan sesuatu hal menyangkut katering mereka. Ia terpaksa ijin pada William untuk mengecek pekerjaannya.
“Memangnya atasannya kemana? Kemarin kan sudah setuju kalau lewat sana? Kenapa sekarang jadi lewat sini?”
Shaffiya setengah berlari, ia menghampiri ketua timnya yang tengah berbicara dengan pihak hotel.
“Bu, ini Pak Rafael ingin bicara sama Ibu.”
Shaffiya menatap Rafael, pria itu berpura-pura mengajak Shaffiya untuk bicara di tempat lain.
“Kalian lanjut aja, lima belas menit lagi, keluar hidangan pertama,oke? Sekiranya udah selesai doa mempelainya.”
“Baik Bu.”
Shaffiya segera menyusul Rafael. “Mas, kenapa sih? Ada yang salah?”
Pria itu menekan pintu lift, memberi kode agar Shaffiya ikut masuk sebelum pintunya menutup.
“Mas, kenapa marah-marah sama pegawaiku.”
Pria itu tak menjawab. Pintu lift terbuka, mereka sampai di lantai entah ke berapa, terlihat sepi dan banyak dinding kacanya sepanjang koridor.
“Mas, mau kemana sih? Jawab dulu pertanyaanku!”
Rafael tak menjawab, membuat Shaffiya kesal. “Ah, udah ah kalau gitu, aku tuh sibuk mau kerja. Aku ke sini bukan buat main-main.”
“Kerja katamu? Terus ngapain kamu dandan begitu? Kamu datang sama William, senyum-senyum, bahagia. Apa itu kerja?”
Shaffiya mengurungkan niatnya melangkah pergi. “Mas tau kan aku kerja? Aku di sini karena diminta Oma Rin buat ngurus katering.”
“Dan kamu ngapain malah ikut duduk manis jadi tamu di sana? Ha? Makan gaji buta kamu?!”
“Kamu tuh kenapa sih?”
Rafael mencekal tangan Shaffiya, ia menatap matanya tajam. “Aku cemburu, Shaffiya. Aku cemburu. Puas?”
“Mas.”
“Aku cemburu. Aku kesel ngeliat kamu dateng sama William. Padahal semalam kamu jelas-jelas sleepcallan sama aku.”
“No, aku sleepcall sama Ru,” bantah Shaffiya.
Rafael menyugar rambutnya. “Shaf, jangan bohong, kamu juga ada rasa kan sama aku?” tuntut Rafael.
Shaffiya tertawa. “Kepedean kamu, Mas. Aku udah berulang kali bilang kan, aku sayang sama Ru ya karena Ru. Bukan karena kamu. Udah ah, aku mau kerja.”
“Shaf!”
Shaffiya mengangkat satu tangan dan melambai pergi. “I have no time, Sir.”
“Shaffiya Hamiza!” bentak Rafael kesal.
Wanita itu tetap melenggang pergi. Ia tak peduli Rafael tengah berteriak padanya.
“Mas, jangan gila. Lebih baik kita berteman seperti ini, lebih seru, kalau jadi suami istri belum tentu kita bisa bahagia seperti ini.”
****
Hari pertama berlangsung sukses, kini hari kedua, Shaffiya dan tim bekerja ekstra, karena ada banyak sajian yang harus di siapkan di setiap meja-meja. Banyak saudara-saudara keluarga Hwang yang berasal dari luar negeri datang. Shaffiya harus berpikir keras agar sajiannya tidak kurang karena di beberapa meja, sajian yang harusnya cukup bersepuluh, habis sebelum semuanya makan.
“Dis, gimana dong? Masak lagi aja apa ya?”
“Masak dimana Mbak? Emang bisa masak di sini?”
Shaffiya akhirnya memutar otak. Ia segera mencari Rafael, menelponnya berkali-kali sebelum akhirnya diangkat.
“Sini, masuk. Aku di meja dekat pelaminan.”
Tanpa banyak berpikir, Shaffiya masuk dan mencari Rafael. Ruqayya menyambutnya. “Ummah!” panggil si anak cantik. Shaffiya tentu membalas sapaannya dan menggendongnya. “Ya sayang, Papa mana?”
“Itu sama Nai Nai,” jawabnya.
Shaffiya menyuruh putri kecil nan cantik itu memanggilkan sang ayah. Ruqayya menurut tetapi dia malah berteriak.
“Papa! Dicari Ummah! Ummah miss you!”
Shaffiya melotot sementara bocah dua tahun itu terkikik. Beberapa mata tertuju pada Shaffiya. Rafael terkekeh, ia kemudian berpamitan pada sang nenek dan menghampiri putrinya.
“Kenapa?” tanya Rafael tenang,
“Mas, aku mau minta tolong. Aku butuh make kitchen di sini.”
“Terus?”
“Mas, aku serius. Aku harus masak lagi, biar sajian kedua nanti aman, yang pertama mepet banget padahal udah dilebihin banyak.”
“Bukan urusank.”
“Mas, i’m begging you, please, help me.”
Rafael mengambil Ruqayya dan mengangkat satu tanganya kemudian melenggang pergi. Menirukan gaya Shaffiya kemarin.
“Mas Rafa!” Shaffiya menahan tangan pria itu. “Aku akan lakuin semua apa yang kamu minta asal kamu bantu aku sekali ini aja. Aku janji.”
“Jangan janji, berat.”
“Mas,” pinta Shaffiya, ia sudah hampir menangis. Rafael tentu tak tega, tetapi di dalam hatinya ia tertawa.
“Oke, deal. Jadi aku harus ngosongin kitchen buat kamu? Ini bukan masalah kecil loh.”
“Iya Mas cuman harus ngosongin kitchen aja, dan aku bakal turutin apapun yang Mas mau.”
Rafael mengajak Shaffiya pergi ke bagian dapur dan ia memerintahkan seluruh chefnya mengosongkan ruangan hari itu. Toh, memang selama tiga hari tidak ada tamu selain keluarga dan undangan sang nenek yang datang ke sana.
Shaffiya baru saja mulai menyuruh karyawannya untuk memindahkan sayur dan barang yang ia butuhkan ke dapur saat si ketua tim memberi kabar. “Bu, ada salah perhitungan, semua udah beres kok Bu. Tadi koordinator lapangannya kurang teliti. Aman kok Bu, tamunya yang hadir hari ini juga total Cuma seribu dua ratusan, justru hidangannya malah lebih.”
“Apa? Bener cukup semuanya?”
“Iya Bu, sudah saya cek langsung semua ke dalem tadi.”
Rafael menahan senyum, ini memang akal-akalannya. Ia mengedipkan mata pada si ketua tim. Pemuda itu kongkalingkong dengan Rafael untuk memberi terapi jantung bagi Shaffiya. Pemuda tadi kembali ke arah pintu keluar.
“Alhamdulillah kalau gitu. Mas, dapurnya nggak jadi.”
“Hei, aku udah usir chefku pergi loh. Udah aku kosongin, perjanjian kita tetap berlaku, tugasku tadi kan cuman ngosongin dapur kan?”
“Astagfirullah, Mas, tapi kan aku nggak jadi pake.”
“Janji dibawa mati. Mau kamu masuk neraka gegara ingkar janji?”
“Neyaka neyaka,” ucap Ruqayya.
Shaffiya menelan ludah. Wajahnya terlihat kusut. “Oke oke, Mas mau apa?”
Rafael menyerahkan Ruqayya pada Shaffiya. “Jaga dia, rawat dia, besarkan dia, seperti kamu besarin Amr.”
“Mas kenapa sih?”
“Aku pengen kamu jadi mamanya Ru yang sah.”
Shaffiya terdiam, anak perempuan di gendongannya mengecupnya. “Mama,” ucapnya sembari meringis.
“Let me think.”
“Aku nggak kasih kamu penawaran, aku nggak kasih kamu pilihan, aku kasih kamu jawabanku. Kan tadi kamu sendiri yang bilang mau nurutin semua mauku? Dan itu mauku.” Rafael menunjukkan wajah tak menerima penolakan, khasnya.
Shaffiya menghela napas. Ia kembali dipanggil oleh karyawannya yang butuh pertimbangan kapan hidangan selanjutnya mulai disajikan.
“I got you, Shaf.”
Rafael tersenyum penuh kemenangan.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hellooooo yuk tamatin yuuk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro