Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21

Rafael berulang kali menatap layar ponselnya. Tak ada kabar apapun dari Shaffiya. Beberapa pesannya pun tak dibalas, hanya sekedar dibaca. Di sampingnya sang putri masih tak mau diajak bicara. Hanya diam dan memeluk boneka kesayangannya. Boneka yang ia dapat dari Shaffiya saat ulang tahun pertama. Kala itu si kecil Ruqayya tengah ikut Aisya ke pondok Darussalaam dan mereka berjanji saling bertemu.

            Meski tak lagi pernah berhubungan dengan Rafael. Shaffiya masih perhatian dengan si kecil Ruqayya. Aisya menjadi perantara mereka.

            “Ru, mamam yuk?” ajak Ummi Hanifa.

            Gelengan kembali menjadi jawaban bocah yang tengah merajuk itu. Entah apa yang dirasakan bocah itu, ia bisa menangis saat Shaffiya meninggalkannya begitu saja.

            “Raf, ajak anakmu makan. Kamu juga belum buka kan? Cuma minum air putih doang.”

            “Nggak laper, Mi.”

            Ummi Hanifa mengembus napas. “Kalian itu kenapa? Mikirin apa sih?”

            “Ummah,” ucap Ruqayya dan di saat bersamaan sang ayah juga menjawab. “Shaffiya.”

            Aisya yang ada di depan pintu menggeleng-geleng. “Bapak sama anak tersakiti gara-gara orang yang sama ceritanya?”

            Wanita itu segera masuk dan membujuk keponakannya yang sedari siang belum makan. “Ruru, makan dulu ya? Ante telponin Ummah tapi Ruru makan ya?”

            Gadis kecil itu menerima penawaran sang tante. “Ummah?” tanyanya sambil duduk.

            “Iya, tapi sambil makan ya? Nih Ante telponin.”

            Ruqayya mengangguk. Ia akhirnya menerima suapan sang nenek. Sayangnya sambungan telepon itu tak segera dijawab. Hingga akhirnya Ruqayya kembali menutup mulutnya tak mau melanjutkan makan.

            “Kenapa ya? Tumben banget dia nggak angkat telponku. Apa karena kecelakaan tadi?” tebak Aisya.

            Rafael segera beranjak dari ranjangnya dan mengambil jaket serta kunci mobil. “Titip Ru dulu, aku mau cek ke rumah Shaffiya.”

            Tanpa berpikir dua kali ia segera pergi setelah mencium putrinya dan sang ibu. Ummi Hanifa menatap punggung putranya yang menghilang.

            “Kenapa nggak dari dulu sih kalau emang suka sama Shaffiya?” desah Ummi Hanifa.

            “Ais kan udah bilang dari dulu Ummi, Ummi sih maksa dia nikah sama Ifah. Orang keliatan dari dulu tuh Om Rafa nyaman banget kalau sama Ummah Amr. Begitu pun sebaliknya. Apalagi ini nih bocah kecil ini. Ummi nggak tau kan, dia sering jalan sama Ummah Amr. Om Rafa juga nggak tau sih. Sebaliknya, Om Rafa sering ke pondoknya Amr. ya gimana ya, tapi Ummah Amr tuh berkali-kali bilang dia jatuh cintanya sama Ruqayya bukan sama bapaknya. Dan Om Rafa juga gitu, dia sayang sama Amr, bukan sama emaknya. Pusing ah.”

            Ruqayya sudah memejamkan mata sembari memeluk bonekanya di samping sang nenek duduk. Sementara itu, di tempat lain, Shaffiya tengah sibuk menyiapkan kardus-kardus yang tadi ia beli. Sudah pukul setengah sembilan, seluruh karyawannya sudah pulang. Namun, Shaffiya masih menyicil membentuk kardus-kardus itu dan menatanya di garasi yang sekarang dialih fungsikan sebagai tempatnya menata kardus dan beberapa benda yang digunakan sebagai tempat penganan yang besok akan ia antarkan ke pelanggannya.

            Matanya sesekali tertutup saking lelahnya. Ia sampai tak sadar ada tamu yang berdiri di ambang pintu.

            “Assalamualaikum.”

            Shaffiya yang hampir tertidur sontak menoleh dan menjawab salam. “Wa alaikumussalaam.”

            “Mas? Ada apa?”

            “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?”

            Shaffiya berdiri dan mempersilakan tamunya duduk di bangku depan teras garasi.

            “Maaf, Abah sama Ibu belum pulang, aku di rumah sendiri. Aku nggak bisa ajak kamu masuk, Mas. Duduk di sini nggak apa-apa?” tanyanya.

            Rafael mengangguk. “Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Soalnya Aisya telpon kamu nggak kamu angkat. Ru yang mau ngomong. Dia sedih, dia kecewa kamu suruh dia panggil kamu tante.”

            Mendengar nama Ruqayya hati Shaffiya bergetar. “Mas ... yang bener?” tanyanya.

            “Buat apa aku bohong?”

            Ponsel pria itu berdering, ia melirik Shaffiya. “Angkat aja, aku bikinin minum dulu. Mau minum apa?”

            “Apa aja.”

           Shaffiya segera pergi, meninggalkan pria yang kini menerima videocall dari seseorang itu. Setelah beberapa saat wanita itu kembali keluar dengan sepiring kue buatannya tadi.            

            “Jadi yang lebih gede malah kalah? Keren kamu, minta hadiah apa nih?”

            “Iya dong, anak siapa dulu, anaknya papa Rafa! Aku mau jalan-jalan ke tempat yang kemarin itu Pa, mau belajar nembak lagi.”  

            Shaffiya baru meletakkan piring dan gelas di atas meja saat ia mendengar suara yang sangat familier di telinganya.

            “Amr?” gumamnya.

            “Papa papa, temenku pengen sepatu bola yang kemarin loh. Katanya enak banget aku dibeliin papa terus.”

            Tawa terdengar dari ujung telepon. Shaffiya melongokkan kepalanya.

            “Amr? kamu ngapain telpon Om Rafa?”

            “Ummah? Ummah sama Papa?”

            “Om Rafa ke sini. Kamu ngapain telpon malem-malem gini? Astagfirullah ini Senin kan? Jatahmu bisa telpon keluar. Kenapa nggak telepon Ummah? Kenapa malah telpon Om?”

            “Ummah ... tapi kan—“

            “Shaf, kenapa sih marah. Apa salahnya Amr telpon aku? Aku aja nggak keberatan ditelpon Amr.”

           “Mas, aku itu ibunya. Aku aja sekarang jarang bisa ketemu dia, kalau jatah telepon dia udah nggak telpon lagi. Eh malah telpon kamu. Lagian dia harusnya telpon orang tuanya. Telpon aku, ibunya.”

            Rafael menyecap teh hangatnya. Wajahnya santai menanggapi kemarahan Shaffiya.

            “Ih, kok diem aja kalian. Ngerasa salah, hm?” sembur Shaffiya.

            Amr tertegun di ujung telpon, sementara Rafael tersenyum. “Udah puas marahnya? Duduk, istigfar. Suaramu kenceng banget kayak lokomotif kereta uap. Makan kayu bakar kamu tadi?”

            Mendengar kalimat itu Amr tertawa dan segera menutup mulut saat sang ibu menatap tajam ke arahnya. Shaffiya duduk, bibirnya masih menyerupai bebek seperti setiap kali ia marah.

            “Yang punya hak telepon kan Amr. jadi terserah dia dong mau telpon siapa.”

          “Ya tapi aku ibunya.”

            “Terus kenapa? Jangan terlalu posesif, Amr udah gede, udah paham apa keinginan dia. Dia bukan bayi lagi. Bahkan Ru aja juga udah bisa menentukan kesukaannya sendiri. Kamu diam-diam pergi sama putriku, telponan sama dia, kasih dia birthday party di pesantren kan? Tanpa ijin aku. Dan aku nggak marah. Kenapa kamu ngamuk cuman tau aku ngobrol sama jagoanku?”

            Shaffiya mati kutu. Rafael menanggapinya dengan nada santai, membuat jiwa perangnya seketika mereda. Bunyi perut Rafael menghentikan perdebatan itu.

            “Laper? Belum makan?”

            Pria itu menggeleng. “Mana bisa aku makan kalau pikiranku kemana-mana.”

            “Makanya punya pikiran dikandangin biar nggak dicuri orang biar nggak berkeliaran,” ketus Shaffiya.

            “Salahmu, kenapa kamu nyuri pikiranku tanpa permisi.”

            “Dih, ngelantur. Mana ada aku nyuri pikiran? Buat apaan nyuri pikiran. Pikiranku aja udah banyak banget sampai penuh.”

            “Bagi sini kalau gitu. Biar aku nggak cuman mikirin satu hal aja. Satu hal tapi bikin kacau semuanya.”

            “Nih aku bagiin, tuh pikiranku kardus baru dapet lima ratus masih seribu lima ratus lagi. Keranjang belum dihias pake korsase. Sendok belum dimasukin plastik. Banyak kan pikiranku. Enggak kayak kamu yang cuman mikirin hotelmu aja.”

            Rafael kembali meneguk tehnya. “Siapa bilang aku mikirin hotelku?”

            “Terus mikir apa? Ru?”

            Pria itu menatap lurus pada Shaffiya. “Mikirin ibu-ibu yang barusan ngamuk karena anaknya telpon aku. Ibu-ibu yang bikin anakku ngambek nggak mau ngomong nggak mau makan gara-gara dicuekin sama dia. Dan ibu-ibu yang bikin aku khawatir dan pesanku cuma dibaca doang tanpa dibales seharian ini. Kenapa sih kamu bisa bikin aku, Amr, dan Ruqayya merana dalam sekali waktu, hm? Yang ngeselin itu bukan Amr, tapi kamu, Shaffiya Hamizah.”

            Shaffiya sempat menatap mata bersorot tajam itu sebelum menunduk dan menggigit bibir. “Siapa suruh mikirin aku.”

            “Aku juga nggak tau, misal aku tau siapa yang nyuruh otakku untuk mikirin kamu, aku pasti udah usir dia. Ngapain juga repot-repot khawatir sama emak-emak cerewet kayak kamu.”           

            “Dasar bapak-bapak julid! Pantes jomblo, julid banget sih. Laki mulutnya lemes banget.”

            Rafael tersenyum sinis. “Jomblo teriak jomblo?”

            “Dih sorry yes, siapa bilang aku jomblo.”

            Rafael terbahak. “Udahlah nggak usah halu. Buktinya Rizwar aja milih nikahin Ifah dari pada kamu.”

            “Dan Nur lebih milih Rizwar dari pada Anda wahai bapak Rafael yang terhormat. Duh, besok ada yang sendirian nih datang ke kondangan tantenya. Dulu, pas kembarannya bikin party, datang sendiri, sekarang juga datang sendiri nih,” ejek Shaffiya tak mau kalah.

            Rafael berjalan ke arah tumpukan kardus yang belum dilipat, ia membawa sebendel dan membuka talinya.

            “Sambil berantem sambil kerja, kayaknya lebih manfaat. Bu Jomblo.”

            Shaffiya mendengkus. “Ya udah kerjain itu Pak Jomblo, saya ke dapur dulu, mau nasi goreng apa kwe tiauw? Cuma ada dua bahan itu.”

            “Apa aja,” jawab Rafael.

            “Dih, geleman,” sindir Shaffiya.

            “Ha? Daleman?” sahut Rafael sembari menatap wanita itu.

            “Oh, edan, dalemanmu kuwi.”

            Rafael terkekeh. “Ajari aku bahasa Jawa dong.”

            “Nggak ah, ntar kamu ngerti kalau aku kata-katain pake bahasa jawa.” Shaffiya melenggang pergi. Keduanya sampai lupa jika Amr tadi menelpon dan sambungannya terputus karena pertengkaran Rafael dan Shaffiya.

            Sepuluh menit, sajian ala kadarnya malam itu datang. Rafael tak malu menghabiskan makanan yang disajikan si empunya rumah. Shaffiya mengamatinya. “Mas nggak makan berapa lama?”

            “Delapan bulan.”

            “Ha? Lebai banget.”

            “Nggak makan masakanmu delapan bulan.”

            Shaffiya duduk memeluk lutut, bersandar di tembok, sementara pria yang tengah lahap makan nasi goreng itu duduk di dekat pintu.

            “Aku pikir, kita nggak akan ketemu lagi. Tadi, aku salah sangka. Aku pikir kamu dulu beneran nikah sama Nur. Maaf, gara-gara itu aku jadi diem-diem ketemu sama Ru, nggak tahan kangennya. aku takut misal terang-terangan, kamu atau Nur jadi salah paham. I love her kayak anakku sendiri. Entah kenapa mungkin apa karena aku ikut andil ngerawat dia dari kecil. Atau mungkin juga karena aku pengen banget punya anak cewek.”

            “So do i, aku juga gitu ke Amr. Kamu tahu, di awal-awal pertemuan kami dulu, di rumah Ricky, setelah kalian pindah ke sini dan Amr ke pondok, dia ngira aku Bang Ham. Sampai akhirnya dia mulai curiga. Amr bilang, dia kangen aku tapi takut. Mungkin, tanpa disadari, perlakuan Rizwar dan Ifah bikin Amr trauma. Dia takut, aku nggak tulus ke dia. Aku deketin dia karena aku ada niat lain ke kamu. Tapi, lama-lama dia paham. Aku pun mau jujur, aku sering ngajak Amr keluar.”

            Shaffiya mengembus napas. “Aku udah curiga. Dia jarang lagi mau ditengok. Dia juga punya banyak barang, katanya sih dikasih sama malaikat. Aku belum sempat nengok dia lagi karena sibuk. Eh nyatanya malaikatnya ngaku sekarang.”

            Rafael terkekeh. “Ibu perinya anakku juga muncul.”

            “Duh baru sadar aku ibu peri?”

          “Iya ibu peri jomblo.”

            “Heh, baru juga baikan. Tunggu ya, aku buktiin, besok Jum’at aku bakal dateng ke acara tantemu nggak sendiri.”

            Rafael menganggap ucapan itu main-main. “Buktiin, bawa gandenganmu kalau emang ada.”

            Keduanya melanjutkan acara ngobrol sembari berdebat seperti dulu sembari mengerjakan kardus-kardus itu. Pukul sebelas malam, Rafael berpamitan.

          “Serius mau pulang?”

            “Mau nawarin nginep?”

            “Enggak juga sih,” tukas Shaffiya cepat.

            “Ya udah makanya, aku pulang dulu.”

            “Hati-hati nyetirnya jangan ngebut. Sampai rumah langsung tidur, eh wudu dulu jangan lupa. Salam buat Ru, besok pagi aku telpon dia, nanti hari Kamis mungkin anak-anak timku udah mulai ke sana. Aku ngurus rumah, jadi Jum’at aku baru ke sana.”

            “Sama pacar?” ledek Rafael.

            “Iya dong, Mblo, Jomblo,” balas Shaffiya.

            Rafael terbahak sebelum masuk ke dalam mobilnya. Selepas pria itu pergi, Shaffiya segera menutup pintu gerbang rumahnya.

            “Nduk, kamu masukin cowok ke rumah?”

            Dari sebelah terdengar suara seorang pria, ayah Hafsah ternyata melongokkan kepala ke arah rumah kakaknya.

            “Anu Om, bahas kerjaan.”

            “Kok sampe malem? Abah sama ibumu kan di Jogja to? Kamu ini gimana, tak laporin ke Abahmu loh.”

            “Eh, Om itu beneran kok. Lagian itu tadi Mas Rafa, itu loh putranya Kyai Anam. Sepupunya Koh Ricky. Kami baru ngobrolin soal rencana nikahan.”

            “Nikahan apa kerjaan?”

          “Ya kerjaan nikahan.”

            “Piye to kamu ini. Jadi ngobrolin apa?”

            “Soal konsep nikahan Om, ya pokoknya tata letak panggung buat ijab sama resepsi. Kan gedungnya, hotelnya punya dia, nah aku kan punya kateringnya gitu. Ini nikahan ngirit kok Om. Kan yang kedua juga nikahannya itu, jadi nggak rame-rame. Cuma memang keluarganya aja udah banyak terus ngundang santri-santri anak yatim gitu.”

            “Walah, la udah jauh to rencananya? Abahmu tau?”

            Shaffiya menggeleng. “Abah nggak tau apa-apa to Om. Kan ini urusan berdua.”

            “Oalah, yowis, semoga sukses ya. Lancar, semuanya. Sakinah mawadah warahmah. Wis, Om ikut seneng. Sukses ya/”

            “Amiin Om, doanya ya.”

            Pria paruh baya itu kemudian menyuruh Shaffiya segera masuk ke dalam rumah karena sudah larut malam.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro