Part 2
Benda bulat dengan perut cekung berdiameter dua belas senti yang terduduk nyaman, ber-cosplay bak apartemen mewah dengan rooftop berisi benda alumunium yang sering keluar masuk mulut orang itu, menjadi sasaran tempur Shaffiya berikutnya setelah melibas remahan penoda lantainya dengan rambut ijuk kesayangan.
Jam sarapan telah usai begitu juga dengan makan siang yang sudah berlalu. Tinggallah ia menunggu ada pembeli yang bersedia menghabiskan sayur sisa peninggalan pelanggan sebelumnya yang masih ada di baskom.
“Assalamualaikum, Ummah Amr!”
Panggilan terdengar dari karib Shaffiya yang berprofesi sebagai bidan, dengan membuka praktek di rumahnya, diujung jalan belakang kampus baru.
“Wa alaikumussalaam, bentar Ummi, baru mandiin Ayang nih!” jawab Shaffiya sembari mengelus pantat putih mulus yang selalu dijamah tangan-tangan pelanggan memuaskan nafsu setiap harinya.
“Duh tiap hari main solo, boros sabun euy,” canda wanita bernama Wulan itu. Shaffiya terkekeh. Guyon dewasa acap kali mereka cetuskan ketika tengah berdua atau bersama dengan geng ibu-ibu mereka.
“Tinggal ayam ya? Ini aku ambil semua deh, males masak. Abinya anak-anak nanti ngajar sampai malem, Bang Zy les sampai sore, si Zal paling habis pulang sekolah tidur sampai sore.”
“Ambil sendiri aja, Ummi Lan. Plastiknya di situ. Sekalian aja di ambil semua. Baskomnya bawain ke sini, mau dicelup, elus, manja, biar kinclong.”
Deheman terdengar dari sosok lelaki paruh baya. “Opo ini, Ibu-ibu pada ngomong elus-elus. Bahaya.”
Shaffiya dan Wulan tertawa, kemudian menanggapi ucapan si empunya kos dan kios yang disewa janda muda itu. Mbah Parto, memang sesekali ikut duduk-duduk di warung bersama sang istri, sembari menunggu sore. Melihat kendaraan bersliweran di depan pekarangannya. Kadang di ruko sebelah yang menyajikan jajanan anak muda, bertajuk BobabiLu, ramai dikunjungi para remaja yang tengah menikmati masa muda mereka. Berjarak satu gang selebar dua meter, ada rumah warga lain, yang masih terhitung keluarga dengan Mbah Parto, membuka kios toko kelontong, serta akhir-akhir ini mulai ikut Shaffiya menjual penganan matang, seperti nasi rames dan soto.
“Bu Bidan, beli apa itu?”
“Oh, ngoretin punya Ummah Amr, tinggal sayur oseng kacang sama ayam nih.”
Si tetangga julid mencebik. “Mending beli di tempat syaa, masih banyak, anget. Masakannya baru, bukan punya kemaren diangetin lagi. Higienis. Kan saya tidur di rumah sendiri, bukan di warung. Banyak najis, ompol kemana-mana. Pasti pesing.”
Shaffiya sudah tebal telinga, tembok muka, dan tergembok bibirnya. Tak ia hiraukan.
“Masakan anyep gitu kok bangga,” nyinyirnya.
“Yun, kowe ki ngopo? Senengane ngrusuhi Mbak Shaffiya.” Suara Mbah Parto terdengar keras karena sebuah motor berwarna hitam parkir di depan warung berjajar dengan motor para pengunjung outlet Boba di sebelah.
“Halah, Pakde itu laki-laki, yo pasti mbelani sing ayu. Janda neh. Kan enak jadi janda, udah ada bolongnya, tinggal dihinggapi sama tukang celup lainnya nggak ada bekasnya. Tau-tau hamil eh nggak tau bapaknya siapa.”
“Astagfirullah, Bu Yun, mbok jangan kelewatan bercandanya,” tegur Wulan. Ia sebenarnya tahu jika wanita yang akrab disapa Yun itu tengah menyindir sahabatnya terang-terangan. Namun, bidan desa itu tak mau memperkeruh suasana sehingga menanggapinya seolah Yun tengah mencandai Shaffiya.
Asap rokok terkepul merebak di warung.
“Ibu punya suami?” tanya pria yang baru datang dengan mulut tersumpal rokok tersebut.
Yun menoleh ke arah pria itu, perangainya berubah. Ia merapikan ujung jilbabnya yang meleyot terkena angina.
“Yo punya, Mas. Saya wanita terhormat, jangan godain saya.”
Pria itu terkekeh, ia menawarkan rokok pada Mbah Parto. “Terus saya godain siapa dong, Bu? Ummah Amr?”
“Ya kalau itu sih murah, sama semua laki-laki dia juga lenjeh.”
Shaffiya berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, ia memilih untuk menyerbet piring-piring yang tadi ia cuci. Memastikan taka da sisa sabun dan bau yang tertinggal di peralatan makan itu.
“Sabar ya, iblis aja mungkin sampai males nemplokin dia. Julidnya kebangetan. Kemarin aja, dia sampai nelisik-nelisik ke Rida, asistenku. Dia tanya soal anaknya Bu RT yang Alhamdulillah sudah hamil, walau baru dua bulan menikah. Dia nanya berapa minggu, itu-gitu tapi Rida nggak kasih tahu. Eh, malah berita yang kesebar di grup kampung itu anak Bu RT hamil duluan. Padahal yo enggak. Cuma kan karena masih empat minggu, Bu RT kalau ditanya Cuma bilang ‘doanya ya’. Pamali kan?”
Shaffiya mengangguk. Ia paham, Wulan berusaha membuat hatinya tak terlalu sakit mendengar ocehan siluman beo yang kini bertengger di depan warungnya.
“Yaudah, makasih ya, ini uangnya.”
“Kembaliannya bentar Ummi,” ucap Shaffiya sembari berdiri mencari kaleng tempatnya menyimpan uang pecahan.
“Nggak usah, buat Am raja. Pamit dulu, Assalamualaikum,” ucap sang bidan.
“Alhamdulillah terima kasih, wa alaikumussalam warahmatullah.”
Suara langkah kaki terdengar mendekat.
“Maaf, udah abis,” ucap Shaffiya. Pria yang membuang puntung rokoknya di asbak yang tersaji di atas meja mengangkat bungkusan plastic di tangannya.
“Makan yuk, aku sampai lupa makan siang tadi saking sibuknya.”
Shaffiya menggeleng, ia sedikit melongokkan kepalanya, takut sang tetangga masih bercokol di sana.
“Riz, balik aja gih. Ada itu, nanti aku kena lagi,” cicit Shaffiya.
Dosen sastra Indonesia itu acuh. Ia segera mengambil piring di meja dan membuka bungkusan nasi padangnya. Satu ia berikan pada Shaffiya.
“Yang ini buat Amr. Dia makannya robot-robotan kan?” canda Rizwar.
Shaffiya setengah berbisik berterima kasih. “Makasih. Teh, susu, apa air putih?” tawar sang wanita.
“Teh aja, jangan panas-panas. Tapi, kalau mau aku temenin lebih lama ya boleh lah kasih air panas semua.”
Rizwar terkekeh dengan ucapannya sendiri sementara teman kuliahnya itu hanya tersenyum, tak berani membalas ucapan sembrono sang lelaki. Dosen muda itu memilih duduk di bangku paling ujung dekat pintu. Yun dan Mbah Parto masih di sana, tak lama seorang pria berperut buncit dengan celana abu-abu berkolor sumbu kompor putih yang terjuntai ke kanan kiri seirama langkah kakinya.
“Bu, itu loh warung kosong. Ngapain di sini?”
“Cari angin. Sumpek di dalem terus.”
“Ibunya lagi iri sama Ummah Amr, Pak. Tadi bilangnya enak ya jadi janda gitu, pengen jadi janda Bu Yun-nya.”
Rizwar berkata lantang sembari merogoh kerupuk di kaleng yang meringkuk di ujung meja. Shaffiya yang mengantarkan teh untuk temannya itu pura-pura tak mendengar benih-benih keributan yang disulut sang pria.
“Kamu mau jadi janda? Nggak bersyukur kamu tak nikahi? Masih kurang apa-apa yang aku kasih? Semua maumu tak turuti. Masih kurang?”
“Gitu aja marah, itu tadi Masnya aja yang salah paham. Aku itu ngomong gitu cuma omong kosong.”
“Ngomong kok kosong, mau jadi iga bakar di neraka? Kalau cuman kosongan ya nggak usah ngomong. Tidur sana, lebih baik dari pada ngalor ngidul nggak jelas omongannya.”
Si penyulut api terkekeh dalam hati. Wajahnya terlihat cuek biasa saja, menikmati nasi padang berlauk rendang yang ia beli di warung dekat parkiran kampus tempatnya mengajar.
“Makan gih,” titah Rizwar sembari mengunyah makanannya sehingga terkamuflase, tak menimbulkan kecurigaan orang di luar sana. Lawan bicaranya mengangguk pelan. Syukur ia ucap ketika bungkusan nasi padang dengan lauk rendang dan ayam tepung itu begitu menggiurkan, sudah lama ia tak makan makanan seenak ini.
Di balik meja kasir yang sedikit tertutup etalase tempat menjajar botol minuman, dan beberapa keripik serta penganan ringan milik orang-orang yang titip jual. Jilbab hitam panjang menutup tubuhnya, bekerjasama dengan gamis sederhana tetapi terkesan elegan membalut tubuh ramping dengan postur tinggi tersebut. 173 cm, wanita itu terlahir. Membuatnya selalu terlihat menonjol di antara gadis-gadis lain kala masih menyandang status sebagai mahasiswa.
Rizwar masih ingat ketika keduanya berkenalan saat pembagian kelompok malam akrab jurusan pasca acara orientasi mahasiswa di tempat mereka belajar dulu. Tak hanya fisiknya yang menonjol, karakternya yang ceria juga membuat Shaffiya memiliki banyak teman. Meski, tak semuanya tulus. Ia pernah dihampiri kabar tak sedap akibat pekerjaan sampingannya dulu yang merupakan model, menyeretnya ke dalam daftar hitam pencarian pihak kepolisian akibat agensi model yang sempat menaunginya terbukti melakukan pelanggaran human trafficking dan prostitusi online.
Sejak saat itu Shaffiya benar-benar menjauh dari dunia model. Ia memilih untuk hijrah, mulai memanjangkan jilbabnya, mengubah gaya berpakaiannya sesuai dengan syariat. Sejak lama Rizwar terusik akan sosok Shaffiya tetapi ia tepis itu jauh-jauh. Lelaki yang berkemauan kuat menjadi dosen itu lebih memilih mengejar IPK setinggi mungkin dan fokus pada peluang-peluang beasiswa serta segala hal yang menyangkut pendidikan, sampai ia melewatkan masa mudanya begitu saja.
Ia menjadi lulusan tercepat diangkatannya. Shaffiya baru lulus satu semester setelahnya, tentu dengan bantuannya kala itu. Rizwar segera mengambil sekolah lanjutan, bertekad meraih gelar masternya secepat mungkin seperti tujuan awalnya dan baru menikmati masa mudanya. Ia sempat kecewa ketika mendengar kabar temannya itu menikah tak lama setelah lulus kuliah. Namun, lagi-lagi Rizwar tak ambil pusing. Baru kali ini, pria yang tengah merampungkan studi S3-nya itu berniat mengambil kesempatan kembali dekat dengan pemantik rasanya dulu.
Tanpa sengaja keduanya bertemu saat Shaffiya dan Amr tengah mencari rumah kos untuk mereka tinggal.
“Ummah! Amr sama dedek Ruqa datang!” Teriakan bocah lima tahun itu membuat Shaffiya segera berdiri. Rizwar melambaikan tangan pada anak laki-laki itu. Amr segera berlari dan mengajukan tinju.
“Ayah Riz!” panggilnya.
Sosok lain muncul menggendong bayi perempuan dengan bandana di atas kepalanya. Shaffiya menyambut dengan senang, ia mencuci tangannya, meletakkan sendok serta makanan yang baru tiga suap ia makan.
“Fi! Habisin dulu makanmu, nanti sakit lagi.”
Tangan Shaffiya yang hampir terulur meminta Ruqayya dari tangan Rafael menoleh ke arah Rizwar. “Alah, gampang kok, aku biasa ngurus anak sambil makan, masak, ngepel, nyuci, santai.”
“Lanjutin dulu, Shaf.”
“I’m okay, Sir. Sini biar princess sama Ummah. Papa balik ke kantor, ya?”
Bayi itu terkekeh dan mengulurkan tangannya pada pengasuh pocokannya. Ya, kadang ketika nenek si bayi atau bibinya tak bisa mengurus, Ruqayya akan dititipkan ke Shaffiya. Wanita itu segera mengambil si bayi cantik dan menimangnya.
“Memangnya nggak bisa nyewa pengasuh sampai dititip-titipkan ke orang?” sindir Rizwar sembari menarik Amr ke pangkuannya, menyodorkan ponsel agar Amr mau lengket dengannya.
Bocah lima tahun itu tentu sangat senang dengan pinjaman telepon pintar milik laki-laki yang memintanya memanggil dengan sebutan ‘Ayah Riz’ itu.
“Riz, kamu belum punya anak, makanya belum ngerasain gimana beratnya nitipin anak ke orang asing. Meski pun bisa membayar mahal, tapi rasa kepercayaan dan relaan itu nggak bisa dimanipulasi loh. Makanya, nggak bisa sembarangan nitipin.”
Rafael tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sudah diwakilkan oleh Shaffiya.
“Papa berangkat lagi ya, Princess. Baik-baik sama kakak sama Ummah ya,” pamit Rafael pada putrinya.
Jam kerja pria itu memang cukup padat. Dari pagi hingga malam hari, ada saja hal yang harus ia urus di kantornya. Ia tak hanya menjalankan bisnis perhotelan, tetapi juga agen travel dan memiliki saham cukup lumayan di yayasan Dirgantara, sebuah sekolah penerbangan yang kini mulai mengembangkan sayap di bidang akademik.
“Hati-hati Papa, semangat kerjanya ya, buat Princess,” ucap Shaffiya mewakili Ruqayya.
“Siap, Cantik. Nanti Ru dijemput sama Ummi, Bang Hamzah, sama Kak Aisya.”
Shaffiya mengangguk. “Insyaallah, Ru aman di sini. Hati-hati nggak usah ngebut, jam segini jam padat.”
“Titip ya, Ummah. Papa berangkat dulu.”
“Hati-hati Papa, Fii Amanilah.”
Bayi bermata cantik itu menatap ayahnya menjauh, tetapi ia masih belum paham. Ia lebih tertarik dengan jari-jarinya dan memasukkan ke dalam mulut. Rizwar menatap malas pada manisnya perpisahan Rafael dan sang putri.
“Amr! Om berangkat dulu ya?”
“Iya, Om!” jawab Amr tanpa mengalihkan mta dari gadget yang ia pegang.
Rizwar tersenyum tipis, merasa Amr lebih memilihnya dan acuh pada pria yang entah kenapa menyebalkan di matanya.
“Kakak! Salim dulu dong, anak soleh, kasih contoh Dedek Ru dong, Sayang.”
Amr menatap sang ibu kemudian melompat dari pangkuan Rizwar dan meletakkan ponselnya. Ia berlari ke arah Rafael, mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan sang pria.
“Kapten, titip dua wanita cantik ini ya, nanti kalau misi Kapten berhasil, Om kasih hot weels lagi,” bisik Rafael.
“Bener Om?”
Rafael mengacungkan jempol dan Amr mengangguk-angguk.
“Amr, nih main lagi?”
Bocah itu menoleh ke arah pria yang mengajaknya bicara, kemudian menggeleng.
“Amr mau main sama Dedek aja, Ayah Riz. Ayo Dek, mainan di kasur aja Ummah, ayo Ummah.”
Shaffiya pun menuruti putranya, sementara Rafael segera keluar dari warung yang pintunya sudah tertutup setengah sebagai tanda telah tutup itu. langkahnya terhenti sejenak saat melewati meja tempat Rizwar duduk.
“Shaffiya itu selalu kagum pada pria yang senang pada anak-anak. Bukan yang kutu buku dan hanya peduli dengan pengakuan prestasi akademik serta jenjang kariernya saja. Wanita seperti dia gampang-gampang susah didapat. Tidak bisa didapat dengan harta, dia nggak akan silau. Hanya bisa didapat dengan hati yang tulus,” ucap Rafael.
“Apa maksudnya? Saya tidak paham dengan arah pembicaraan anda.”
Rafael terkekeh, ia memakai kacamata hitamnya. “Tatapan dan tingkah anda jelas menandakan jika anda tidak suka incaran anda terlihat dekat dengan orang lain. Apa anda tahu, terlalu posesif itu juga tidak baik. Yang ada justru anda akan membuat pasangan anda tidak nyaman. Dan satu hal lagi, awalnya saya tidak punya sedikitpun keinginan untuk meladeni anda. Tapi, sepertinya seru juga kalau bermain rebut merebut seperti ini. Lihat saja, siapa yang akan menang.”
“Jangan sok,” ketus Rizwar. Rafael mengangkat satu tangannya sembari melenggang keluar. Ia benar-benar geli melihat Rizwar yang menganggapnya musuh. Padahal jelas-jelas ia dan Shaffiya hanya berteman biasa. Rafael yang bersepak terjang tinggi di dunia asmara anak muda, jelas paham dengan manusia-manusia model Rizwar yang newbie dalam dunia percintaan.
“Rangka tua tapi jiwa terong-terongan,”batin Rafael sembari terkekeh geli.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Sampai jumpa besok lagi updatenya... Eh bisa sih satu lagi nanti
😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro