Part 16
"Cari orang terdekat dari Rafael yang bernama Shaffiya!"
Sebuah kalimat perintah diucap sosok bermata sipit yang tengah terlihat gusar.
"Info dari siapa?"
"Calon istri Rafael."
Pria yang lebih tua terkekeh. "Kamu percaya? Percaya penuturan perempuan murahan itu?"
"Jelas saja, dia benar-benar marah waktu aku sebut nama Shaffiya tadi. Papi nggak liat mukaku ini?"
Pria yang tengah merokok itu mematikan pengepul asapnya. "Kenapa aku bisa punya anak setolol kamu? Kenapa dulu aku tidak pakai cara Rommy, menukar anak dengan yang lebih cerdas?"
Ucapan itu membuat mata William membulat.
"Aku memang nggak pernah benar di mata papi."
"Sudah Papi bilang, sudahi dendammu!"
"Pi, dulu ayahnya Rafael nyiksa papi! Aku mau bales dendam itu."
"Nggak ada gunanya, nggak ada gunanya. Anakku cuma kamu, jangan cari gara-gara. Kalau sampai kamu kenapa-kenapa, habis keturunanku. Lagi pula, Rafael bukan rival yang bisa kamu imbangi dalam hal kekerasan. Dia jauh lebih kuat darimu. Kalau kamu mau menyainginya, pakai otakmu. Saingi bisnisnya dengan cara yang bersih, bukan cara kotor begini."
"Pi, dia kuat karena dia dulu dibackingi keluarga Hwang! Sekarang, apa? Dia kan bukan anggota keluarga Hwang. Dia cuma anak pungut."
Si pria tua berkulit putih itu terkekeh. "Kamu pikir, Babah Hwang akan diam saja melihat Rafael diserang? Kamu pikir sepupu-sepupunya akan diam saja melihat Rafael digempur orang? Kamu salah besar. Keluarga Hwang adalah keluarga tersolid yang pernah ada. Meski bukan darah daging kandung, tapi Babah Hwang menjadikan Rafael salah satu pilarnya, selain Raymond, Ricky, dan Rain. Lagi pula, jika adu jotos, bisa remuk badanmu di tangannya. Lihat tubuhnya setinggi itu, sebesar itu. Menatap matanya saja kamu harus mendongak. Hentikan saja sekarang, jangan usik Rafael."
William menyugar rambutnya. "Terserah papi, aku tetap mengikuti aturan mainku sendiri."
Pria yang akrab disapa Aryan itu tertawa. "Ini dia. Ini dia. Dari satu hal ini saja kamu sudah kalak telak dari Rafael."
William menoleh, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Rafael itu sangat penurut. Meski Rommy tidak pernah memperlakukannya dengan manusiawi, dia tetap taat dan patuh pada orang tuanya. Itulah yang menjadikan Rafael sosok hebat dan kuat. Dan, meski dia sering masuk dunia gelap, dulu. Dia sama sekali tidak menyentuh, satu anak-anak, dua, wanita, tiga, orang tua. Dia tidak pernah melukai tiga kalangan itu. Dan, kalau kamu melanggar cara main itu, kamu sudah kalah darinya, William Aryan."
Pria yang lebih muda mengepalkan tangan dan berjalan pergi ke bilik pribadinya. Ia membanting pintu dan merebahkan tubuhnya di ranjang mewah kesayangan. Sebuah telepon masuk, dari nomor yang ia berinama 'Dia'.
"Kamu nggak perlu repot-repot cari Shaffiya."
Begitulah awal kata yang diucap wanita di seberang sana. Wanita yang bersamanya tiga hari ini. Wanita tak menarik yang menjadi sumber beritanya, menelisik tentang sosok yang ia anggap musuh selama ini.
"Kamu kenapa mau bantuin aku sejauh ini, Fah?" Satu pertanyaan yang meluncur dari bibir William dijawab oleh wanita di ujung telepon.
"Rafael pernah melakukan hal yang membuat aku harus menanggung kesakitan luar biasa. Tapi, aku nggak punya daya apapun untuk membalasnya. Jadi, aku mencoba mengobati diriku dengan memanfaatkan uangnya, menyenangkan hatiku sebagai ganti rugi atas semua kesedihan yang aku tanggung dulu."
"Apa yang dia lakuin ke kamu?"
Tawa terdengar. "Dia ... Ya, melakukan hal yang sama dengan apa yang kamu lakuin ke aku tadi dan kemarin, dan dua hari lalu. Dan akhirnya aku hamil. Ayahku meninggal karena serangan jantung waktu tahu aku hamil diluar nikah. Ibuku ... Di rumah sakit jiwa karena menanggung malu dan membuatnya depresi. Lucu bukan? Dan sekarang, aku terusir dari keluargaku. Semua ini gara-gara Rafael sialan itu. Kamu jadi kan kirim orang ke sini? Pastikan mereka bawa permen. Anak itu suka permen."
"Kamu mau apa memangnya kalau aku berhasil mengambil anak itu?"
"Aku ... Biar aku punya alasan. Untuk pergi dari semesta ini. Aku capek hidup. Biar hilangnya Ruqayya jadi alasanku untuk mengakhiri semuanya. Karena, alasan itu yang paling bisa diterima. Seorang ibu depresi karena anaknya diculik dan dia mengakhiri hidupnya. Manis kan?"
William menghela napas. Ia mematikan sambungan teleponnya. Tangannya berselancar di layar benda pipih itu. Beberapa foto yang ia ambil selama kebersamaannya dengan Nurifah masij tersimpan di sana.
"Memang brengsek kamu Rafael. Bahkan orang selugu Ifah kamu hancurkan juga sekeji itu."
******
Mobil hitam tanpa plat nomor itu menurunkan beberapa orang yang sangat terampil sekali mereka melakukan perusakan CCTV dan menyelinap masuk ke tempat penjaga. Si kecil Ruqayya tak curiga saat sang ibu memancingnya dengan permen. Nurifah tahu anak kandungnya itu suka dengan permen warna warni hingga membuatnya merangkak keluar dari kamar yang ia tempati dengan ayahnya.
Saat dua pria betopeng masuk dan menggendong Ruqayya pergi, Nurifah menutup pintu kamarnya perlahan. “Sorry Nak, mama harus ngelakuin ini. Biar papamu nggak marah lagi sama mama. Om William pasti bakal jagain kamu.”
Ruqayya memang terlalu gampang diajak siapapun. Hanya dengan permen dan boneka kuda poni, ia mau dirayu untuk digendong dan diajak pergi. Selepas kepergian sang putri, Nurifah menghilangkan jejak, menghapus bukti chatnya dan log obrolannya dengan William. Wanita itu tertidur pulas hingga pagi. Teriakan Rafael membuat geger seluruh rumah.
“Ru! Ruru! Nak! Kamu dimana?!”
Tak ada seorang pun tahu dimana Ruqayya dan Nurifah pun menunjukkan kemampuan aktingnya. Ia menjerit histeris mendapati anaknya hilang. Sumpah serapah ia lontarkan pada rafael. “Gara-gara kamu ngelarang aku tidur sama Ru semalam, Ru hilang! Kamu bilang aku yang nggak becus jadi ibu, nyatanya apa Koh!” teriak Nurifah.
Ia bahkan sampai pingsan beberapa kali. Kemudian menangis sampai mual dan pingsan lagi, begitu terus hingga Rafael tak lagi menatap garang padanya. Ummi Hanifa jelas ikut shock, begitu juga dengan Hamzah dan Aisya yang dikabari jika keponakannya hilang.
“CCTV semua dirusak. Menurut keterangan orang yang di pos jaga pesantren, ada mobil sedan hitam parkir di tikungan cukup lama. Tapi kalau ini murni penculikan, kenapa nggak ada kerusakan apapun? Nggak ngelukain orang rumah juga. Dan, ini, permen. Bereceran di teras. Ini permen kesukaan Ru. Apa iya penculiknya udah tahu apa aja barang kesukaan Ru? Cuma orang dalam yang tahu soal ini. Salah satu diantara keluarga inti kita.” Hamzah mencoba mengupas keruwetan pikiran Rafael.
Rafael menghela napas. “Panggilkan istrimu ke sini.”
Dua orang yang tengah berbincang serius di ruang tamu itu kini berpisah, sebelum kembali duduk bersebelahan dan membawa Aisya ikut serta.
“Kak, aku minta bantuan kakak. Ikuti permainan Nurifah, pastikan dia nggak pergi kemanapun. Aku udah kirim orang buat ngelacak Ruqayya dan jika memang seperti dugaanku, jangan kaget kalau ada petugas berwajib ke sini. Kalian harus menyerahkan Ifah ke mereka, oke? Karena aku nggak mungkin bilang ini ke Abi dan Ummi.”
“Bang Ham, tolong anterin aku. Aku nggak bisa nyetir sendiri dengan pikiran ruwet seperti ini.”
Hamzah mengangguk, ia paham, adiknya tengah tak baik-baik saja. pria itu segera mengantarnya, tanpa banyak bertanya. Dzikir tak lepas dari bibir Rafael, memohon keselamatan bagi putri kecilnya.
Sebuah telepon masuk dari nomor yang ia namai dengan 'Shaf'. Rafael mengangkatnya.
"Mas, ini nggak ada hubungannya sama lawan bisnismu kan? Aisya udah cerita semuanya barusan. Dan ... Ru ...."
"Udah kamu tenang aja, insyaallah dia nggak apa-apa."
"Gimana aku bisa tenang kalau putriku diculik!"
" Dia putriku, Shaf."
"Dan sayangnya aku sudah mengangkatnya jadi putriku juga!"
Rafael mengembus napas. "Shaf, kamu percaya kan doa ibu bisa tembus langit ke tujuh? Aku mohon, doakan dia agar dilindungi Allah dimanapun dia berada." Suara pria itu tercekat.
"Tentu Mas, tentu. Kamu juga hati-hati. Jangan salah langkah. Allah melindungi kalian."
"Udah jangan nangis, doain Ru ya ... Ummah."
Shaffiya terisak diujung telepon, tentu saja kecamuk tak terkira memenuhi benaknya saat ini. Tentang kekhawatiran akan kondisi si kecil Ruqayya. Apa yang bisa dilakukan oleh bayi enam bulan itu.
Hamzah melirik kembarannya. "Ummah Amr ya?"
Anggukan Rafael menjadi jawaban. "Bang, kenapa air lebih kuat dari darah?"
"Mungkin ini cara Allah menunjukkan ke kamu, Dek. Sejak kamu tau kalau kamu bukan anak kandung Pak Rommy, kamu benci dia kan? Kamu dendam sama beliau, padahal beliau udah besarin kamu. Meski beliau tau kamu bukan anak kandungnya. Nah, sekarang lewat Ummah Amr, jamu disadarkan. Liat, ibu kandung Ru aja malah nggak seperhatian itu sama Ru."
Rafael menyugar rambutnya. Kata-kata kakaknya sangat benar dan dapat diterima logikanya.
"Bang, anter aku ke tempat daddy dulu. Aku mau minta maaf," ucap Rafael.
Hamzah tersenyum sebelum membelokkan mobilnya. Setelah sekian lama, akhirnya Rafael kembali ke rumah yang pernah ia tinggali bersama ayah angkatnya. Bukan, pria yang memisahkannya dengan keluarga kandungnya.
Seorang wanita berbadan dua membukakan pintu.
"Rafael?"
Pria di belakangnya tak kalah kagetnya.
"Daddy, Mommy," sapanya.
Rafael pikir, Rommy akan mengusirnya. Namun, tidak. Pria itu justru memeluknya. "Raf, kamu sehat?" tanyanya.
"Sehat, Dad. Daddy sama Mommy sehat? Adekku sehat?"
Wanita muda istri baru sang ayah itu menangis, mendengar Rafael memanggilnya dengan sebutan 'Mommy'.
"Adikmu sehat. Sebentar lagi dia lahir," ucap sang ayah bangga.
"Mana cucuku? Sudah bisa apa dia?" tanya Rommy kemudian.
Rafael menunjukkan wajah sedih. "Ru diculik, Dad. Kami baru mencarinya. Semalam dia masih ada, tapi ... Pas aku bangun jam empat tadi dia udah hilang."
"What?! Siapa berani menculik cucuku?!" Rommy seketika berang.
"Dad, masalahnya panjang. Aku nggak mau gegabah. Aku ke sini mau minta maaf sama Daddy dan Mommy, minta doanya juga biar Ru cepet ketemu."
Rommy segera mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. Rafael tahu, sang ayah angkat tengah mengerahkan anak buahnya.
"Dad, biar aku aja yang urus. Daddy nggak usah pakai orang-orang Daddy buat nyari anakku."
Rommy memukul kepala Rafael. "Kamu pikir Daddy bisa diam liay cucu Daddy diculik! Kamu gila, Raf. Daddy akan turun tangan."
Hamzah tersenyum lega di balik punggung adiknya. Tak lama mereka di sana karena mereka segera melanjutkan pencarian, tujuan utamanya sebenarnya mengarah pada satu orang, William Aryan, tetapi keberadaannya yang tak terlacak membuat mereka kesulitan menemukan titik lokasi tempat Ruqayya dibawa.
****
"Dadaaad Mamam, mamam ti?"
Pria bernama Aryan itu terkekeh melihat tingkah bayi yang tengah memakan biskuit sembari merangkak ke sana ke mari di depannya.
"Mamam ti?"
Ia menyodorkan biskuit yang sudah tinggal setengah pada Aryan. "Kamu nyuapin Opa?"
"Mam mam."
Aryan terkekeh dan menerima suapan itu. Meski harus memakan makanan sisa sang bayi, ia sangat senang. William mengamatinya. Ia tak pernah melihat ayahnya seceria itu.
Pria yang lebih tua beralih menatap putranya yang duduk termangu di kursi.
"Hei, itu sana suapin Om itu."
Ruqayya membalik tubuhnya. Ia mengambil biskuit baru dan merangkak ke arah William.
"Yayah mam mam."
William menggeleng. "Aku nggak suka biskuit."
"Nak nak, mam mam. Yayah mam!"
"Dia panggil kamu ayah?" tanya Aryan sambil tertawa.
"Mam mam!" Ruqayya berusaha berdiri dan menyodorkan biskuitnya.
William akhirnya menerimanya. Anak bayi itu berusaha naik di kaki William.
"Will, gendong dia."
William menurut, ia membopong si bayi kecil yang mulai usil. Tanpa ia duga, Ruqayya mengecup pipinya dan meringis memperlihatkan satu giginya yang mulai menyembul.
"Mam mam."
Aryan tertawa. "Kamu udah pantes jadi ayah. Sudahi dunia gelapmu. Musuh bebuyutanmu saja sudah punya putri cantik dan pintar begini. Kamu kalah, Will. Saingi Rafael."
"Papa? Papa?" tanya Ruqayya saat mendengar nama Rafael.
"Oh, papamu ya? Rafael?"
"Papa yu papa yu."
Aryan gemas dengan tingkah bayi itu. Sementara William mulai tergerak hatinya. Ia menitipkan Ruqayya pada sang ayah sebelum ia menelpon seseorang.
"Dia aman kan?"
"Suaramu kenapa begitu?" Terdengar napas seperti tercekat di ujung telepon.
"Aku habis lari. Perutku nggak enak rasanya. Tolong titip Ru ya. Makasih udah bantu aku cari alesan buat pergi dari semesta yang jahat ini."
"Fah, kamu dimana?!"
"Di tempat yang tinggi banget. Tempat yang katamu kalau kita tergelincir bisa bikin kita pindah alam. Kamu masih inget, Will?"
"Ifah, jangan bercanda kamu." William segera bergerak pergi, menuju ke tempat yang dimaksud oleh Nurifah.
"Aku serius. Kalau aku nggak pergi sekarang, Rafael bakal tahu sesuatu hal yang bisa bikin dia mati ditangannya. Jadi, lebih baik aku pergi. Kamu nggak perlu repot neror dia pakai foto atau video kita. Will, makasih udah kasih the real happines selama beberapa hari ini. I owe you. Bye, Will. Salam untuk putriku, Ruqayya."
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Haii semuaaaaaa
Selamat pagi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro