Part 12
Anak laki-laki bernama Amr itu terus menangis di pelukan sang kakek. Ia menangisi ibunya yang masih berada di ruang rawat intensif. Pria paruh baya yang mendekap Amr itu terus melantunkan ayat suci, mengharapkan Allah akan memberikan pertolongan pada sang putri. Membayangkan sang cucu yang kini yatim, sesak rasanya. Haruskah Amr menjadi yatim piatu secepat itu.
Amr membenahi posisi duduknya. Ia menggenggam ponsel milik sang ibu yang masih selamat dan dompet berisi data diri ibunya serta foto kenangan yang mereka ambil ketika di kebun binatang. Ada wajahnya, wajah sang ibu, dan si cantik Ruqayya terselip di sana. Anak itu menekan-nekan ponsel sang ibu dan menghubungi seseorang.
“Assalamualaikum.” Amr mengucap salam ketika telponnya terhubung.
“Ngapain kamu telpon?”
“Ante Nur? Ante, kok bawa hapenya Papa Rafa?” tanya Amr dengan polosnya.
“Kamu nggak usah telpon lagi. Jangan ganggu Koh Rafa lagi. Dia bukan papamu. Dia papanya Ruqayya.”
Anak itu terdiam. Bulir bening air mata mengalir di kedua pelupuknya.
“Inget ya jangan ganggu Koh Rafa lagi. Kamu bukan anaknya.”
“Ante, bilangin ke Papa kalau Ummah sakit,” pinta Amr.
“Bukan urusanku, dia matipun aku nggak peduli.”
Nurifah memang tak punya nurani. Ia melukai hati bocah itu terlalu dalam. Amr menangis. Sang kakek tak paham tentang pembicaraan yang dilakukan bocah tadi. Beliau pikir, cucunya terlalu sedih dengan kondisi sang ibu.
“Papa Rafa,” jerit Amr dalam batinnya.
****
“Astagfirullah,” desah Rafael saat tangannya tiba-tiba terkena pisau karena gerakan Ruqayya yang ada dalam gendongannya membuatnya hilang keseimbangan. Kepala putrinya terantuk pinggiran meja dan ia menangis. Pisau itu jatuh di saat bersamaan.
“Eh cup cup, Sayang.”
Seketika ia ingat kejadian Ruqayya terantuk pintu. Apakah seperti itu yang dialami oleh Shaffiya? Pikira tentang Shaffiya kembali bermunculan. Namun, segera ia tepis. Waktu pernikahannya tinggal menghitung hari. Sang ibu sudah mewanti-wanti pada Rafael agar tidak memikirkan hal lain.
“Andai benar Shaffiya suka sama kamu, sudah terlambat juga. bukannya dia juga udah dilamar laki-laki lain? Rafa, pikirkan tentang Ru. Kamu juga harus bertanggung jawab pada Ifah. Jangan lepaskan dia hanya demi yang belum pasti. Meski kamu belum cinta sama dia, perlahan pasti akan tumbuh rasa itu. Demi Ru.”
Tak mudah menepis bayangan Amr dan ibunya. Terlalu banyak hal yang terjadi setiap harinya di antara mereka.
“Ru, kenapa sih rewel terus. Aku mau tidur dulu, ih. Berisik tau. Koh, bisa nggak sih jagain anak?” kesal Nurifah karena tidurnya terganggu.
“Tanganku luka, gendongin Ru dulu,” titah Rafael.
Sejak resmi dilamar, Nurifah meminta untuk tinggal di rumah pribadi Rafael. Sementara pria itu masih tinggal di rumah orang tuanya, di komplek ponpes Nurul Ilmi, bersebelahan dengan rumah kembarannya, Hamzah.
“Buruan, kan gantian jatahku tidur. Capek tahu, seharian ngurus dia tuh. Koko enak duduk doang di kantor, aku mondar mandir ngejar dia yang ngerangkak kemana-mana.”
Nurifah terus saja menggerutu. Rafael berusaha untuk bersabar. Wajar, kata sang Ummi. Itu karena Nurifah sejatinya kesal dan kecewa pada Rafael dan tengah meluapkan kekesalahannya pada sang pria.
“Shaffiya nggak pernah ngeluh jagain Ru, dia bahkan bisa jagain Ru sambil ngerjain kerjaan rumah. Sambil kerja, sambil salat, dan semuanya. Dia nggak pernah ngeluh ngantuk, capek, dan lain-lain,” batin Rafael.
Satu hembusan napas terdengar. Ia berusaha menepis kembali kata hatinya yang terus muncul membandingkan Shaffiya dengan Nurifah. Pria itu segera membersihkan lukanya dan menempelkan plester luka. “Aku bisa lupain dia. Demi Ru, aku harus bisa nyoba buat cinta sama Ifah.”
Pria itu kemudian masuk ke kamar dimana sang putri tengah bermain dengan bonekanya sedang si penunggu tertidur di sampingnya. Rafael membopong tubuh Nurifah, agar tidak tidur sembari duduk bersandar. Adegan sang wanita yang tengah berakting itu terlihat sempurna. Ia pura-pura menggigau dan merangkulkan tangan ke leher Rafael. Sang pria limbung hingga tubuhnya terjatuh menimpa Nurifah.
Wanita itu kemudian berlagak terkejut. “Koko mau ngapain?! Mau merkosa aku lagi!” tuduhnya. Rafael segera bangkit dan menjauh, ia terlihat gugup. “Shaffiya, denger dulu, aku cuman mau mindahin kamu aja. Kamu tidur aja, Ru aku ajak ke rumah Ummi.”
Nurifah melotot. “Apa? Koko manggil aku apa?”
Rafael menyadari kesalahannya, jelas Nurifah merajuk ia mendorong Rafael pergi. “Jangan harap kamu bisa bawa Ru pergi! Aku bakal bawa Ru pergi kalau kamu sekali lagi nyebut nama itu di depanku!” ancam Nurifah.
Sang pria benar-benar frustasi, ancaman Nurifah untuk membawa Ruqayya pergi dari hidupnya jelas sangat mematikan. Pria itu akhirnya meminta maaf dan memohon pada calon istrinya agar membukakan pintu untuknya. Ruqayya menangis, mendengar sang ibu berteriak pada ayahnya.
“Papapapa mamamama!”
“Fah, buka pintunya, tolong, aku minta maaf. Nih, ambil kartuku. Sana belanja, jangan marah lagi,” rayu Rafael.
Nurifah mengembus napas kesal sembari memutar kunci dan kenop pintu. “Jangan diulang lagi!” ketusnya.
Rafael mengeluarkan kartu saktinya dan Nurifah mengambil benda tipis itu sebelum mengijinkan sang pria menggendong putri mereka.
“Koh, aku mau pulang ke rumah tiga hari. Mau ngurus surat-surat.”
“Surat apa lagi? Dokumennya udah beres kan?”
“Ada yang harus diurus, ini masalah keluargaku. Aku mau setelah kita nikah aku benar-benar lepas dari mereka. Aku Cuma pengen hidup sama kamu sama Ru.”
“Terserah, kalau gitu Ru biar sama aku.”
Nurifah tak peduli. Ia sudah punya banyak rencana memanfaatkan kartu calon suaminya untuk berjajan ria. Akhir-akhir ini rasanya ia sangat ingin berwisata kuliner di sebuah tempat rekreasi keluarga yang menyajikan banyak makanan hitz. Ia tak mau kalah dari mantan teman kantornya yang baru saja memposting foto mendapat traktiran dari musuh bebuyutannya yang berhasil menikahi mantan atasan mereka.
“Liat aja kalian, gue juga bisa nyewa homestay, wisata kuliner, kayak yang kalian pajang itu. Apa bagusnya rumah di gunung kayak punya Hafsah sama Pak Ricky? Dih, ndeso.”
****
Dosen muda yang baru kembali dari acara seminar lima harinya kini berdiri sembari menatap ke arah warung yang terbakar di depannya. Ia tak menyangka, di hari ia marah dan memutuskan pergi tanpa pamit, wanita yang ia lamar terkena musibah. Saat berangkat ke Jakarta untuk seminar, ia sempat mendengar driver taksi online yang mengantarnya ke bandara bercerita terkena macet karena ada kebakaran, dan ia tak menyangka kebakaran itu menimpa kekasihnya.
Api cemburu yang membakar hati Rizwar beberapa hari lalu, membuatnya memblokir kontak sang calon istri. Bukannya apa-apa, ia ingin fokusnya tak terganggu karena seminar yang diikutinya sangat penting dan berpengaruh pada kariernya. Cukup, soal asmara membuatnya gila, tetapi ia tak mau pekerjaannya kacau hanya karena masalah cinta.
“Bu, Shaffiya gimana kondisinya?” lirih Rizwar. Wulan mengembus napas. “Hancur lebur. Sampai sekarang masih di ICU. Ngapain kamu nangis?” sinis sang bidan.
“Bu, gimana saya nggak nangis? Calon istri saya jadi kroban kebakaran.”
“Calon istri? Uh. Calon suami mana yang nggak tahu calon istrinya kena musibah? Calon suami mana yang tinggal serumah dengan wanita bukan mahram. Yang ngakunya kakak adik ketemu gede?”
“Apa maksudnya Bu?” tanya pria lain yang tengah menatap ke tempat yang sama, yang entah sejak kapan berada di sana.
“Tanya saja dia. Selama ini, dia tinggal dengan wanita yang dipekerjakan sama calon istrinya. Dua orang, laki-laki perempuan, dewasa, sehat jasmani,tapi rohaninya rusak. Mana ada aturan orang tinggal bersama begitu dengan alasan, si Nur itu pembantunya. Pembantu memuaskan nafsu?” Wulan, ternyata bisa lebih ketus dari Bude Yun, si tukang gosip.
Rizwar menelan ludah. Bagaimana bisa Wulan mengetahui jika Nurifah tinggal dengannya.
“Kamu selingkuh?” tanya Rafael dengan nada tinggi.
“Aku sama Nur cuman saling berbagi kenyamanan. Shaffiya terlalu sulit untuk ditembus. Nur yang kasih aku advice. Dia baik. Apa salahnya dia numpang di rumahku.”
“Astagfirullah!” Rafael hampir saja mengumpat jika ia tak lupa tengah menggendong putrinya.
“Bapak juga sama aja, ternyata Nur ibunya Ruqayya? Wah, hebat dong. Kenapa kalian berdua rebutan perempuan tapi melibatkan temen baik saya? Inget ya, karma berlaku Pak. Hati-hati, bapak punya anak perempuan. Jangan sampai anaknya kena tulah gara-gara Bapak salah pergaulan,” tegas Wulan sebelum melenggang pergi.
“Tunggu Bu. Maksud ibu siapa? Nur?” tanya Rafael.
“Nurifah, ya kan? Ya itu, wanita yang Bapak hamili di luar nikah, sekarang jadi gundiknya si Mas yang terhormat ini.”
Rafael melotot. “Bu, jangan bicara sembarangan. Saya bisa tuntut ibu kalau memfitnah calon istri saya.”
Wulan tertawa keras. “Silakan tuntut saya. CCTV minimarket bisa jadi saksi. Segampang itu mencari fakta.”
Rizwar menelan ludah sebelum dia mengambil langkah seribu. “Aku udah nggak ada hubungan sama Nur. Dia udah pergi ningalin aku. Aku mau cari Shaffiya.”
Rafael hanya bisa mengepalkan tangannya menahan emosi.
“Mama mama ... mama ... Akak. Mama. Akak,” ucap Ruqayya sembari menunjuk ke warung tempat ia biasanya bermain dengan Amr dan Shaffiya.
“Papa mama papa,” ucap sang bayi.
Rafael mendekap sang putri lebih erat. “Mama ada di rumah Nak. Mama Ifah di rumah, mamanya Ru.”
“Mamamah mamah!” rengeknya.
Kepala Rafael rasanya ingin meledak. Terlalu banyak hal yang memenuhi pikirannya hingga otaknya seolah malfungsi.
“Apa benar ucapan bidan Wulan? Kenapa semua orang seolah membela Shaffiya? Tapi, bagaimanapun juga aku nggak bisa nyabut pendaftaran pernikahan kami. Nggak ... nggak ... aku harus tetap tanggung jawab. Aku nggak mau Ru ngalamin hal yang aku lakuin ke Ifah selama ini. Nggak. Aku harus tanggung jawab. Toh aku nggak ada urusan apapun sama Shaffiya.”
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semua
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro