Part 10
Nurifah sejatinya menyambut Ruqayya hanya karena ia mau mengambil hati Shaffiya. Agar tak matah padanya tentang apa yang telah ia katakan soal Rizwar.
Namun, ia justru seperti ketiban durian runtuh. Bertemu dengan orang yang beberapa hari ini ia cari keberadaannya karena menurut pembantu di rumah lamanya, Rafael tak lagi tinggal di sana. Dan Tuhan begitu baik mempertemukan mereka di sana.
"Sini, Mbak, Ru biar sama aku. Aku kangen banget sama Ru," ucap Nurifah.
Shaffiya tak memberikannya. "Ru biar sama aku, jatahnya dia minum susu kalau jam segini. Kamu jagain warung aja ya."
Wanita itu membawa Ru ke dalam kamar. Nurifah mematung. Drama ia mulai lagi. Rafael masih di sana.
"Ini semua gara-gara kamu. Aku nggak bisa ngurus anakku sendiri," geram Nurifah setengah berbisik. Ia menangis dalam diam.
"Kamu kenapa tiba-tiba muncul di sini?" tanya Rafael.
"Kamu tanya aku ngapain di sini, Koh? Kamu pikir aku ibu macam apa? Aku bahkan rela berpura-pura mengemis pekerjaan di sini biar bisa deket sama Ru. Anakku. Anak kita."
Linangan air mata seolah menunjukkan keseriusan Nurifah. Hati Rafael tergetar. Ia tak mengira wanita yang dulu gila itu ternyata punya sisi keibuan juga.
"Kamu nggak tau rasanya hamil dan sakitnya melahirkan. Kamu pikir, aku melakukannya cuma-cuma? Karena uang? Uangmu bahkan nggak cukup untuk membayar semua kesakitanku, melahirkan anakmu. Dan kematian ayahku yang kamu sebabkan, juga gilanya mamaku yang harus mendekam di rumah sakit jiwa karena anak gadisnya dihamili laki-laki bejat sepertimu."
Nurifah setengah berbisik mengucapkan kalimat panjangnya. Rafael menatap wanita pendek itu.
"Kamu kerja sampai jam berapa? Aku mau bicara," ucap Rafael dingin.
"Tiga." Nurifah mengusap air matanya.
"Titip Ru, nanti aku kembali lagi."
Hanya itu yang diucap Rafael pada Nurifah, sebelum sang pria pergi. Shaffiya tak mendengar obrolan panas itu. Ia terlalu sibuk membacakan shalawat untuk si kecil yang mulai tertidur sembari meminum susu.
"Oh, jadi, Mbak ngurusin anak dari mantan suami Mbak sendiri ya? Wah, seru nih. Aku akan pastikan Mbak kehilangan semuanya. Semuanya, seperti apa yang aku alami dulu. Biar Mbak tahu, gimana rasanya dicampakan. Jangan cuman enak-enakan aja, diperhatiin mantan dan dikejar dosen tampan. Wanita sok suci kayak Mbak nggak pantes bahagia. Sok suci banget, kelakuannya persis sama Hafsah, cewek nggak tahu diri yang udah ngerusak hidupku. Tunggu aja Hafsah, aku bakal masuk ke keluarga Hwang, lewat Koh Rafael dan aku bakal mempermalukan kamu di depan keluarga suamimu. Keren kan kita bisa sama-sama jadi menantu keluarga Hwang. Aku bakal bales dendamku ke kamu."
Nurifah tersenyum puas. Ia menunggu pelanggan sembari mengobrol dengan si pemilik warung sebelah yang notabene adalah si ratu gosip yang suka menyebar berita ke seluruh kampung.
"Digaji berapa di sini? Sok-sokan banget dia pake karyawan segala."
Nurifah paham wanita nyinyir itu bisa dia jadikan alat. "Digaji gede Bu di sini saya tuh. Kan, Mbak Shaffiya uangnya banyak. Dapet dari cowok-cowoknya. Dari mantan suaminya dapet, dari calon suaminya dapet juga. Belum lagi, kan di sini gratis tuh sewanya. Ya setengah harga sih. Kan, kasih servis spesial buat Mbah Parto. Duh, Mbah Parto udah tua gitu dapet yang montok kan pasti ya ah mantap."
Wanita penggosip di sana jelas saja membelalakkan mata. "Sudah aku duga! Selama ini, Pakde Parto itu nggak pernah mau terima orang kontrak. Eh sama si janda kok kontraknya diperpanjang terus. Pantes aja! Wah ini nggak beres. Harus dilaporin ini!"
"Eh eh, Bu, ibu nggak punya bukti. Nanti dikata fitnah kalau nggak punya bukti. Jangan main grasa grusu. Mbak Shaffiya itu pinter mainnya alus. Ibu harusnya nangkep basah dia dulu, kalau malem kan suka diam-diam ada yang servis. Warung makannya tutup tapi warung bawahnya dijajakan," bisik Nurifah.
Sang wanita terus mengompori si penggunjing dengan rentetan cerita meyakinkan tentang Shaffiya.
"Tunggu tanggal mainnya, Mbak."
*****
Rafael terus saja memikirkan tentang kemunculan Nurifah. Inikah jawaban dari doanya? Inikah jawaban dari pertanyaannya?
Kedatangan wanita itu yang tiba-tiba seolah sudah diatur. Sang pria gamang. Di satu sisi, ia sama sekali tak tertarik dan tak suka wanita itu. Namun, di sisi lain, dia adalah ibu dari putrinya. Siapa lagi yang bisa merawat dan menyayangi selain ibu kandungnya?
Kini, keduanya berhadapan. Duduk saling diam.
"Mau ngapain? Nyuruh aku pergi dari Ru? Jangan harap. Aku ibunya. Aku ibunya."
Pria itu melepas kaca mata hitamnya.
"Ayo kita nikah."
Satu kalimat yang membuat jantung Nurifah melompat dari tempatnya. Namun, bukan Nurifah jika tak menyertakan drama.
"Apa? Setelah sekian lama dan kamu baru sekarang berpikir begitu?"
Nurifah menunjukkan kesakitannya. Rafael menghela napas. "I'm sorry for your lost. Ayahmu. Juga ibumu. Aku bakal nebus semuanya."
"Bahkan dengan nyawa pun, kamu nggak akan bisa menebus semuanya, Koh."
"Fah, come on, aku tau aku salah. Tanpa perlu kamu playing victim, aku udah sadar aku salah. Aku mau kita nikah, demi Ru."
Nurifah mengembus napas. "Apa mahar yang Koko tawarin?"
"Apapun yang kamu mau."
"Yang jelas, aku nggak mau kalau tinggal sama orang tuamu. Itu syarat pertama dan utama."
Rafael mau tidak mau mengangguk. "Kita akan tinggal di rumahku sendiri."
Obrolan mereka terinterupsi seseorang. Pria dengan jas necis dan aroma parfum maskulin yang Nurifah sangat tahu jika kelasnya jauh di atas parfum milik Rafael tercium.
"Hey, Mr. Hwang?"
Rafael seolah terkejut. Pria itu, William Aryan, salah satu koleganya. Nurifa membenahi bajunya, ia bersyukur mengenakan baju terbaiknya saat ini.
"Mr. William. Dinner di sini juga?"
Rafael mengulurkan tangan sembari berdiri. "Ya, ini resto favorit saya. Hmm ... Your wife?" tanyanya.
Nurifah tersenyum seanggun mungkin dan mengangguk. Rafael menelan ludah. Terlambat ia menyangkalnya, Nurifah terlalu berani memperkenalkan diri sebagai istri Rafael.
"Hmm akhirnya, dibawa ke permukaan juga ya pasangannya. Biasanya sok misterius nggak mau bawa gandengan ke acara-acara penting. Sekarang ke blow up juga."
Nurifah sangat senang dengan sambutan ramah William. Meski tak setampan Rafael, pria itu beraroma uang. Dan, bukankah istri solehah jika bisa membantu bisnis calon suaminya? Ramah pada kolega calon suaminya bisa jadi jalan rejeki bukan? Sungguh mulia sekali hati Nurifah.
Basa basi tersebut tak berlangsung lama. Rafael segera menyudahinya. Ia bahkan segera mengajak Nurifah pergi dari sana. Ada sesuatu yang seolah Rafael hindari.
"Kalau kamu jadi istriku, jangan pernah terlalu ramah pada kolegaku."
Cemburu. Tebak Nurifah. Wanita itu meraih tangan kiri Rafael, menggenggamnya sementara satu tangan lain memegang stir.
"Maaf, aku pikir itu akan membantuku dekat dengan teman-temanmu. Bukannya menyenangkan kalau kolegamu bertambah banyak?"
Rafael tak mungkin mengungkap alasannya pada Nurifah. Apa yang membuatnya memperingatkan wanita itu tentang kolega bisnisnya. Ia bahkan tak pernah membuka jika dirinya bukanlah keluarga Hwang, pada koleganya.
Dia takut, lawan bisnisnya akan menyerang keluarga kandungnya yang jelas tak punya backing apapun. Bagaimana jika salah satu dari mereka mengancam keluarganya seperti yang biasa terjadi pda keluarga Hwang. Bedanya, keluarga Hwang cukup ditakuti karena punya deretan tukang pukul dan pasukan garda depan yang siap menghadang jika salah satu anggota keluarga terkena terror.
"Kapan kita nikah?" tanya Nurifah kemudian.
"Aku atur jadwal dulu. Tulis semua yang kamu butuhkan. Konsep yang kamu inginkan. Akhir minggu nanti kita ketemu lagi. Jadwalku cukup padat sampai hari Jum'at."
Nurifah mengangguk. "Hmm... Rejeki anak saleha. Dilamar pangeran berduit. Anak tunggal kaya raya. Tuhan memang Maha Adil."
******
Assalamualaikum
Hai semuaaaaa
Marathon yaaa
Biar cepet tamaaat
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro