Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

*
*

Selamat membaca

*
*

AKU PULANG lewat dari tengah malam. Satpam yang membuka pintu gerbang memasang wajah lega, seolah akan ada hal buruk yang terjadi padanya kalau aku tidak pulang. Saat aku bersiap memasukkan kunci ke lubang, pintu utama rumah dua lantai seluas 484m2 itu sudah lebih dulu terbuka.

Wajah khawatir Bik Dwi menyambutku, dibumbui bisikan, "Ya ampun, Non." Beliau menutup pintu untukku, tetapi satu tangan yang lain menahanku—seolah bersiap melindungiku dari hal mengerikan.

"Bibik tidur di situ?" Aku melirik kursi panjang dari kayu jati, yang pasti tidak nyaman dibuat tidur.

Sambil mengelus lenganku, Bik Dwi menghela napas pelan. Kebiasaan beliau sejak pertama kali bekerja di sini, saat aku kelas 3 SD. Artinya; jangan pikirkan Bibik. Karena aku yang sedang ditunggu masalah, bukan Bik Dwi. Biasanya sih elusan ini diberikan sebelum aku dimarahi habis-habisan.

Sepertinya malam ini aku memang akan menghadapi itu. Omelan.

"Bapak marah, Non," bisik Bik Dwi.

Aku tidak terkejut, tetapi Bik Dwi terlihat menahan isakan.

Selain elusan, Bik Dwi juga sering menangis untukku.

Saat aku dibentak Papa, dihajar Mama.

Ketika aku beberapa kali mengurung dan menyiksa diri sendiri setelah Papa memasukkan selingkuhannya ke rumah ini.

Aku merangkul Bik Dwi. "Istirahat, Bik. Terima kasih udah nungguin aku pulang."

Dari cara Bik Dwi mempertahankan genggaman, menunjukkan beliau sudah membulatkan tekad tidak mau membiarkan aku memasuki rumah dan menghadapi apa pun di dalam sana seorang diri. Aku tersanjung, tetapi hari ini aku tidak berminat memanjangkan daftar momen Bik Dwi menangis untukku.

"Bik, kapan sih Papa nggak marah sama aku?"

Papa selalu marah sejak aku umur sembilan, mengometari setiap tindak-tandukku, menganggap Mama tidak becus mengurus satu anak, lalu Mama juga marah dan memukulku.

Satu rumah ini selalu marah padaku.

"Beda, Non. Hari ini ulang tahun pernikahan—"

"Bik, aku udah terlalu sering menghadapi omelan Papa. Ngerasain sekali lagi omelan Papa, nggak masalah buat aku." Aku mengeratkan rangkulan ke bahu Bik Dwi, lalu menggiring perempuan berusia 45 itu menuju lorong penghubung rumah utama dan bagunan seperti kos delapan pintu untuk para pekerja.

Meski berat, Bik Dwi menurut. "Sabar," kata Bik Dwi, sebelum melepaskan tanganku.

Aku menunggu sampai Bik Dwi menghilang di ujung lorong, baru menyeret paksa kakiku melewati ruang tamu menuju tangga melingkar yang berfungsi sebagai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.

Kemurkaan pekat yang memenuhi ruang keluarga meyambut kehadiranku, tetapi seperti yang sudah-sudah—aku mengabaikannya. Saking akrabnya aku sama situasi itu sampai rasa takut pun mati. Aku pura-pura tidak melihat bahwa ada dua orang sedang duduk di sofa depan televisi. Aku menaikki satu demi satu anak tangga, bernyanyi Naik-Naik Ke Puncak Gunung keras-keras dalam hati, sampai di anak tangga ke lima suara pecahan kaca memaksa nyanyian dan kakiku berhenti.

Dengan gerakan malas, aku melirik sumber suara. Wah. Vas mahal yang dipecahkan. Seingatku orang di samping Papa baru membeli barang itu tiga minggu lalu. Aku melirik perempuan yang usianya tidak beda jauh dari Bik Dwi, entah lebih tua atau muda, aku tidak pernah peduli. Yang pasti lebih muda dari Papa belasan tahun.

"Selalu mengabaikan peraturan-peraturan di rumah ini!" Teriakan pertama. "Kamu masih hidup dan tinggal di rumah saya, Nora! Apa susahnya menurut pulang tepat waktu? Itu hal kecil! Saya nggak minta kamu berperang. Saya minta kamu makan malam bersama keluarga!"

Keluarga?

Aku tertawa dan menjawab, "Di rumah ini Papa satu-satunya yang terikat darah sama aku, tapi udah lama juga Papa nggak melakukan hal-hal yang dilakukan keluarga. Selain kasih aku uang, uang, dan uang."

Lalu, aku berdiri miring di tangga menghadap Papa yang tidak lagi duduk. Di bawah sana, Beliau menjulang bagai awan hitam yang siap menggelegar. Sambil berkacak pinggang, dengan wajah sekeras batu dan bola mata nyaris lompat dari tempatnya. Buat orang-orang yang nggak kenal Papa, posisi ini pasti mengitimidasi, apalagi kodisi badan Papa jauh lebih bugar dari teman-teman seusia beliau. Sisa otot zaman muda masih solid. Mungkin, mengangkat dan melemparku saja Papa masih bisa.

Seketika gelombang kemarahan menerpa diriku, rangkaian kejadian masa lampau muncul satu persatu, lalu berhenti di momen seperti hari ini.

Situasinya sama, lewat tengah malam, Papa berdiri di ruang keluarga, Mama di tempatku berdiri, dan aku menonton dari railing lantai dua dalam pelukan Bik Dwi. Suara Papa menggelegar; Ini rumah saya, kenapa kamu nggak bisa mengikuti aturan di sini? Kamu hidup dan tinggal di rumah saya. Kalau memang kamu nggak mau mengikuti aturan rumah saya, pergi!

Kalau sekarang aku menjawab dan menantang seperti Mama waktu itu, apa Papa bakal mengusirku juga?

Demi Tuhan, aku menginginkan itu. Aku ingin sekali pergi dari rumah sialan ini. Seharusnya, Papa mengusirku sejak lama. Sejak aku berhenti melakukan hal-hal untuk menyenangkan beliau, berhenti jadi putri manis yang bisa beliau banggakan di depan semua kolega bisnis. Banyak hal buruk sudah aku lakukan, tetapi kenapa beliau tidak juga melepaskanku seperti melepaskan Mama?

Sialan!

"Yang Papa minta bukan hal mudah, itu susah banget buat aku," kataku, seraya menuruni tangga dengan gaya menantang. "Makan malam buat merayakan hal menjijikkan." Aku sengaja menatap tegas perempuan yang berdiri dua langkah di belakang Papa. Aku ingin orang itu tahu, bagiku, selamanya dia menjijikkan. Lalu, aku berteriak sangat keras, "Dikelilingi tikus got yang mengira bisa jadi hewan mahal dan punya nilai mahal dengan hidup di tempat mewah!"

Tanpa perlu melihat, aku tahu posisiku di railing lantai dua, digantikan dua manusia yang dibawa si perempuan. Mereka selalu menganggap pertengkaranku dan Papa menarik. Seperti film box office yang wajib ditonton.

Papa bergerak gesit menghampiriku di ujung tangga. Kemurkaan makin jelas di wajah Papa, kedua mata beliau sehitam kaus tidur yang dipakai, didukung tangan yang terayun ke arahku tetapi tidak mencapai bagian mana pun dari badanku.

"Kenapa Papa maksa aku keluar dari pusat rehabilitasi?" lanjutku. "Aku lebih fine tinggal di sana, daripada di rumah yang penuh benalu!"

"Nora!" Teriakan kedua Papa, tepat di depan wajahku.

"Kenapa, Pa? Jadi pecandu alkohol nggak bisa dijadikan alasan ngusir aku, tetapi saat aku bilang orang-orang yang Papa tampung ke rumah ini tikus got dan benalu, Papa mau ngusir aku seperti Papa ngusir Mama?" Suaraku merendah, tenang, tetapi semakin menantang. Dan Papa, merapatkan bibir yang gemetar serta kedua tangan yang terkepal di samping paha. "Wah ...."

Si perempuan memanggil namaku dan melangkah lebar berupaya menyusul Papa, tetapi aku kembali berteriak, "Jangan coba-coba memainkan peran sebagai penengah! Anda itu perusaknya!"

"Nora Alexander! Susan istri saya. Dia punya hak di rumah ini seperti—"

Aku melemparkan tas ke lantai, dekat kaki Papa, setelah mengambil satu kartu debit, KTP, dan ponsel. Barang-barang yang kumiliki tanpa campur tangan uang Papa.

"Dua ini hasil dari aku main rumah-rumahan, bukan uang bulanan Papa," kataku, seraya menunjukkan kartu debit dan iPhone keluaran terbaru. "Tas, dua kartu ATM, 4 kartu kredit, kunci mobil, pokoknya semua yang di sana—itu uang Papa. Ah, sepatu ..." Aku melepaskan high heels Jimmy Choo keluaran terbaru yang kubeli dua minggu lalu. Setelahnya, menggeser benda itu di depan tas. "Itu aku beli pakai kartu kredit Papa. Oh iya, baju yang aku pakai dari atas sampai bawah aku beli dari uang bulanan Papa."

Seperti urat maluku tiba-tiba putus, aku membuang blazer hitam yang kupakai menyusul barang-barang lain di lantai marmer. Saat aku meraih tepian cami top, tangan Papa sigap menahanku.

"Kamu—"

"Bukannya ini syarat dari Papa sewaktu mengusir Mama? Tinggalkan semua barang dari uang saya. Nggak peduli apa pun itu. Bahkan, Mama keluar dari rumah ini hanya memakai daster tipis punya Bik Dwi tanpa membawa apa pun! Oh, oke, anggap apa yang melekat di badan aku ini utang—habis ini aku transfer Papa."

Aku meloloskan tangan dari genggaman Papa, walau beliau berusaha menahanku. Mata kami beradu. Kemurkaan Papa tidak berkurang, tetapi aku tahu ada perasaan lain yang memeluk beliau. Entah khawatir kejadian setelah pengusiran bertahun-tahun silam juga terulang, atau ...

Apa pun yang berputar di otak Papa, aku tidak mau peduli.

Dengan kesakitan yang selama ini mati-matian kuabaikan, kekosongan hati yang kian kerontang, aku berkata tegas, "Aku pergi."

"Papa nggak ngusir kamu, Nora."

"Aku yang mau pergi!" Aku gagal mengendalikan suaraku tetap datar, aku berteriak. "Dari dulu aku mau pergi, Pa. Seharusnya Papa biarin aku pergi sama Mama. Seharusnya Papa nggak bawa aku pulang dari pusat rehabilitasi. Aku benci rumah ini! Aku-aku—" Aku menoleh ke si perempuan yang tengah bersandiwara dengan air mata sialannya itu. "Selamat istana megah ini berhasil anda kuasai! Seperti Papa bilang anda istrinya punya hak atas rumah ini seperti Papa." Kemudian, Aku sengaja naik dua anak tangga, supaya dua orang di atas sana bisa lebih jelas mendengar teriakkanku. "Silakan ambil semua yang kalian inginkan di kamar saya. Barang-barang di kamar saya semua mahal bisa dijual lagi, lumayan buat beli harga diri yang diobral demi hidup enak!"

Papa menarik satu lenganku, sambil menggeramkan namaku dan memaksaku kembali memandang wajah beliau. Seketika sakit bukan hanya berpusat di dadaku, tetapi menyebar cepat ke seluruh tubuhku sampai rasanya aku perlu dilarikan ke UGD terdekat.

Aku kembali melepaskan diri dari tangan Papa. Dengan wajah sekeras batu dan suara sedingin es, aku berkata, "Selamat malam, Dr. Fredy Alexander."



Terima kasih sudah membaca


Follow ig
Flaradeviana
Atau
Coretanflara

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro