Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

*

*

Selamat membaca

**

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, gaes.

*

*


Setelah satu helaan napas kasar, aku duduk di bagian yang tertutup kanopi kayu. Ditemani angin yang tidak terlalu kencang dan langit Jakarta yang tidak terik, menghisap satu demi satu batang nikotin tanpa merasakan apa pun, tanpa memikirkan apa pun. Seperti mengambang di ruang tanpa gravitasi. Kemudian, aku tersentak mendengar pintu yang tertabrak tembok.

Satu sisi bibirku secara otomatis tertarik ke atas. Tumben sekali ada yang berani datang, batinku.

Ini fasilitas umum. Siapa pun pekerja yang ingin naik, beristirahat, dipersilakan. Namun, ada kebiasaan yang tercipta sejak aku mengusir beberapa orang dari sini. Hanya terjadi sekali, itu pun karena aku terlalu emosi setelah adu mulut pertamaku dengan Arka. Seperti hari ini, aku naik untuk menyendiri. Dan saat menemukan ada beberapa orang sedang mengobrol dan tertawa, aku semakin marah dan mengusir mereka. Setelah kejadian itu tidak ada yang berani naik saat aku ada di sini. Seperti semua penghuni dua ruko yang dijadikan satu ini memiliki group pesan singkat rahasia tanpa aku, yang melihatku naik akan memberi kabar; penyihir ada di atas.

Aku menoleh, melihat orang yang duduk sekitar satu meter di sisi kananku sambil memangku laptop, membuatku sedikit mewajarkan nyalinya naik ke sini. Mungkin, dia belum mendengar cerita tentang penyihir dari Helio Architeam. Tentang aku.

"Hei," sapanya, dengan suara lebih redah satu oktaf dari banyak lelaki yang kukenal.

Keningku mengerut, lalu aku mengedarkan pandangan seolah mencari siapa yang dia sapa.

"Cuma ada kita," katanya lagi, dengan nada jenaka dan ramah. "Jadi, hai tadi buat lo."

Aku kembali menatapnya dan tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan apa yang dimiliki orang ini. Cukup rapi dan terawat. Kulitnya tidak terlalu putih tetapi juga tidak terlalu gelap. Rahangnya berpotongan lebar dan tegas, tetapi bagian matanya kecil. Dia juga memiliki lesung pipi yang menambah kesan 'tampan dan menyenangkan'. Kemeja linen beige berlengan pendek yang dia pakai memamerkan bahu lebar dan bisep yang hebat.  Dari caranya memadukan kemeja, dengan chino hitam serta sneakers putih, sepertinya dia cukup melek tentang penampilan.

"Tadi kita papasan di bawah," ucapnya lambat-lambat, seolah menanti reaksiku. "Gue bareng Arka."

Sayangnya, aku tidak mau memberikan yang dia mau.

Aku meluruskan duduk serta pandangan ke langit, bersikap seperti di sampingku tidak ada dia.  Si arsitek baru, yang namanya tidak aku ingat.

"Kita satu kantor, tapi jarang ketemu." Ah, nada itu. Nada sok ramah yang biasa dipakai orang-orang saat menginginkan sesuatu dariku. Uang. Koneksi ke orang-orang penting. Sejenis itu. "Sebelum gue resmi kerja di sini, Arka sering banget cerita tentang lo dan desain-desain lo."

Aku memutar bola mataku, lalu mematikan rokok ketiga yang baru kuhisap setengah dengan kasar. Sumpah. Aku sudah puluhan kali mendengar susunan kalimat berbeda, tetapi tujuan dan nadanya sama seperti dia. Dikeluarkannya pun oleh orang yang baru beberapa hari masuk ke kantor ini. Aku muak. Karena tidak mau mendengar kalimat lanjutan yang mengisyaratkan; semoga kita bisa satu proyek. Aku berdiri dan menjauh begitu saja.

Seharusnya, setelah ini dia tidak berani mengupayakan keramahan palsu kepadaku.

Sebelum pintu tertutup aku mendengar dia berteriak atusias, "See you, Nora!"

Aku ingin sekali kembali ke sana dan meminta dia untuk berhenti bersikap sok ramah kepadaku. Meminta dia seperti pekerja lain; tidak berusaha berteman denganku, selalu memandangiku dengan takut. Akan lebih nyaman bila kondisnya seperti biasa. Namun, sesuatu di dalam hatiku menahanku melakukan itu.

****

Ada dua pesan singkat masuk tepat lima menit sesudah jam pulang kantor.

Pertama: Jangan lupa. Papa kamu mau kita semua makan malam bersama di rumah. Jangan terlambat, oke?

Kedua: Satu jam lagi sampai di kondo.

Aku pikir Papa sudah menyerah. Ternyata belum.

Alih-alih mengendarai mobilku menuju rumah, aku mengarahkannya ke salah satu kondominium yang menyatu dengan mal besar di Jakarta Barat. Memasuki unit dua kamar di lantai 38 seolah aku adalah pemilik, sementara pemilik asli belum ada tanda-tanda kehadirannya. Tanpa menghidupkan lampu area depan, aku menaruh tas di sofa depan telivisi dan menuju kamar utama. Karena tempat ini selalu jadi tujuanku di saat-saat tertentu, ada satu bagian di lemari yang diisi keperluan pribadiku.

Tidak ada nama khusus di hubungan aku dengan si pemilik. Walau apa yang kami lakukan lebih dari sekadar kenalan atau teman dekat, dan sudah berlangsung sangat lama.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku duduk di sofa santai di depan kaca dengan pemandangan kota. Satu dari banyak barang yang dibeli pemilik untuk menyamankanku.

"Mendukung hobi lo melamun sambil liat pemandangan." Begitu katanya saat pertama kali aku melihat benda ini di kamar. Karena aku pernah mendengar alasan seperti itu untuk barang yang berbeda, aku cuma tersenyum.

Sejenak aku mengedarkan pandang ke setiap sudut kamar ini, tersadar barang-barang untuk melengkapi kebutuhanku selama di tempat ini semakin banyak saja. Meja rias, lengkap dengan tas make up ukuran sedang berisi brand-brand yang sering kupakai dan kotak berisi aksesoris. Standing miror. Rak susun empat tingkat yang berisi model tas kesukaanku dari berbagai merek. Seolah-olah, ini adalah tempat tinggal keduaku, bukan lagi tempat singgah. Aku mengembuskan napas kasar, lalu menatap langit di luar sana yang kegelapannya kian pekat.

Aku tidak tahu pasti berapa lama aku berdiam diri, sampai pintu kamar terbuka dan sedikit lampu dari area depan menyelusup.

"Kalau sebelumnya kita nggak WhatsApp-an, gue bakal mikir lo hantu." Si pemilik tiba. "Suka banget, sih, gelap-gelapan," keluhnya, sambil menyalakan lampu tidur.

Meski cahaya yang dihasilkan lampu tidur remang-remang, aku masih bisa melihat senyum dan tatapan lembutnya untukku. Namun, aku tidak menyahut ataupun menyabut kehadirannya, hanya memperhatikan langkah demi langkah yang dia ciptakan sampai berdiri di dekatku. Dia terdiam sebentar. Seakan mencari perubahan dariku, padahal kami hanya tidak bertemu lima hari bukan lima minggu. Perlahan, dia berjongkok di depanku. Satu tangannya menangkup lembut pipiku, lalu memberikan ciuman singkat di keningku—turun ke puncak hidung—berlama-lama di bibir.

"I'm home," katanya di atas bibirku. "Sori, lebih dari sejam. Dari bandara macet banget,"

Aku masih diam. Dia sudah sering terlambat. Sampai aku yang terbiasa datang tepat waktu, tidak punya lagi kemampuan marah kepadanya. Dan ucapan I'm home-nya, tidak ada sahutan yang pas untuk itu karena aku bukan rumahnya.

"Nora ...."

"Mandi dulu, Bastian." Aku menjauhkan wajah dari jangkuan tangannya, menangkup rahangnya yang dihiasi rambut halus, lalu menunjuk pintu dengan ujung daguku. "Gue nggak bisa nginep. Jadi bersih-bersih, terus—" Aku berhenti bicara, melirik ranjang di balik punggung Bastian lalu menaikturunkan kedua alis. "Bersenang-senang."

Bahu lelaki itu merosot ketika dia menutup mata sambil bergumam, "Terburu-buru seperti biasa, Nora."

Namun, dia berdiri dan melakukan yang kuminta.

Dia selalu mengerjakan apa pun yang aku suruh. Konyol.

Seperti hubunganku dengan Dela dan Rissa, Bastian adalah sahabat Arka dan Ray. Kami satu sekolah dari SMP sampai SMA, satu universitas beda fakultas, dan berhubungan sampai detik ini. Hanya saja sejak aku umur 20, antara aku dan Bastian bukan lagi sekadar teman masa remaja. Ada kegiatan khusus yang tidak pernah terang-terangan kami umumkan kepada yang lain, tetapi aku rasa para sahabat kami itu memahaminya.

Seks.

Dela beberapa kali menunjukkan keberatan, tetapi tidak terang-terangan. Salah satunya saat dia menjemput aku di apartemen Bastian dulu, tiga hari sebelum wisuda. Aku terlalu pengar untuk menyetir dari Karawaci ke Kebon Jeruk. Awalnya Dela tidak bicara apa pun, tetapi setelah melewati tol dia berkata ketus, "Lo tahu kan apa pun yang lo lakuin sama Bastian bukan pilihan tepat, nggak bisa mengurangi apa yang berusaha lo lupain."

Aku tahu itu benar, tetapi tidak mau kuhentikan.

Entah bagaimana, aku merasa membutuhkan Bastian lebih dari yang aku pikirkan. Lebih dari yang tiga sahabatku pikirkan. Bastian tahu rasanya terjebak menjadi satu-satunya anak dari orang gila kerja, yang pandai membentuk citra baik dipublik, tetapi memuakkan di rumah. Kami sama-sama tumbuh besar dalam kepalsuan. Bedanya, dia punya alasan bertahan melewati satu kepalsuan ke kepalsuan lain. Dia selalu bisa memandang dunia dari berbagai sisi. Hitam. Putih. Terkadang, abu-abu. Tak jarang penuh warna. Namun aku, tidak ada pegangan untuk bertahan di lingkaran setan itu. Aku cuma bisa melihat hitam dan putih.

Pintu kembali terbuka, dan Bastian masuk hanya memakai handuk yang mengantung asal di pinggul. Kulit yang menggelap hasil dari syuting dokumenter wisata alam salah satu televisi nasional, terlihat sangat cocok dengan badan tinggi dan atletis Bastian. Bahkan, rambut yang sengaja dia biarkan sampai melewati dagu semakin menambah kesan maskulin dari otot perutnya yang sempurna dan menggiurkan.

Aku berani bertaruh, beberapa perempuan rela melakukan apa pun demi situasi ini.

Terkurung di kamar, dengan pemandangan nyaris telanjang Sebastian Prasetya.

Mungkin ada yang berhasil, ada yang tidak.

Khusus untuk aku selalu berhasil.


*

*

*

Terima kasih sudah membaca

Jangan kaget kalau naskah ini berbanding terbalik sama The Tease, tapi apa pun itu aku berharap kalian menikmatinya.

Untuk informasi naskah atau kenalan sama aku, kalian bisa follow

ig : Flaradeviana

atau

Ig : Coretanflara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro