Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TIGA - PLAYING WITH FIRE



Notes: Apa kabar semuanya?? Hahahaha. Setelah direcokin banyak orang, I finally updating this story. Nggak tanggung-tanggung, 4 PART langsung ya? Biar puas! :D Saya juga udah edit part 1 sama 2, karena buat saya, 2 part itu lack of something. Silakan dibaca lagi, nggak banyak yang dirubah, tapi akan ngaruh ke part-part selanjutnya. I hope you enjoy these parts!


Meyakinkan Banyu untuk masuk, ternyata bukan hal sederhana. Akhirnya aku memintanya untuk menunggu di teras, dengan jaminan bahwa nyamuk akan menyukainya. Banyu hanya tersenyum ketika aku mengatakannya.

Begitu memasuki rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek kamar Adam. Melihatnya sudah tertidur pulas, aku menghampirinya hanya untuk mendaratkan kecupan di kening. Keluar dari kamar Adam, aku menuju dapur untuk memasak air sambil menyiapkan satu cangkir berisi teh. Aku tahu, Banyu suka teh daripada kopi. Membuka kulkas, aku menemukan satu potong Eclair dan mengeluarkannya. Sambil menunggu air mendidih, aku berjalan ke perpustakaan dan mengambil dua buku. Tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui buku apa yang akan disukai Banyu.

Setelah menyeduh teh dan meletakkan Eclair di atas satu piring kecil, aku menghampiri Banyu yang sedang mengecek ponselnya. Begitu melihatku, dia langsung mengerutkan kening.

"Tuh, saya merepotkan Pak Adrian."

"Sama sekali nggak."

Begitu meletakkan kue dan teh itu di atas meja, aku menyerahkan dua buku ke arah Banyu.

"Saya harap kamu suka dua buku ini."

Banyu mengangguk sambil membaca bagian belakang buku sebelum memandangku.

"Kelihatannya menarik, Pak."

"Sanget menarik. Ayo, diminum teh sama dimakan kuenya. Kamu nggak boleh pulang, kalau kue dan teh ini belum habis."

Dengan malu, Banyu menyeruput teh serta membiarkan garpu mengiris satu suapan Eclair. Aku memandangnya, terlalu berat untuk memandang sesuatu yang lain daripada wajah Banyu. Aku jelas akan punya sedikit keberanian jika Banyu bukan bagian dari Jasmine. Usianya yang masih cukup muda serta hubungan kami sebagai bawahan-atasan, sama sekali tidak membuat semuanya jauh lebih mudah.

"Enak kuenya?"

Banyu mengangguk. "Pak Adrian selalu punya selera yang bagus kalau masalah makanan."

Aku membalasnya dengan sebuah tawa kecil. "Kalau ada waktu, saya akan ajak kamu ke toko kue favorit saya. Adam suka sekali di sana. Bahkan, kalau saya kasih izin, dia akan minta ke sana tiap hari. Namun Adam tahu, terlalu banyak makan makanan manis nggak bagus buat giginya. Paling seminggu sekali kami ke sana."

Banyu hanya mengangguk.

"Kamu mau teh lagi?"

"Nggak usah, Pak. Terima kasih. Saya sudah cukup kenyang."

Mendengar dia mengganti kata 'tidak' dengan 'nggak' cukup membuatku senang. Itu berarti, dia mulai merasa rileks berada di dekatku.

"Kamu mau pulang sekarang?"

Ada keraguan di wajah Banyu, sebelum dia mengangkat wajah untuk menatapku.

"Apa Pak Adrian selalu peduli apa yang orang bilang?"

"Jika itu menyangkut Adam, maka saya peduli. Kalau saya sendiri nggak pernah terlalu mikirin pendapat orang. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Kalau ada pegawai Jasmine atau orang yang kenal dengan Pak Adrian, melihat saya keluar dari rumah Bapak selarut ini, mereka pasti bertanya-tanya."

"Saya justru akan ngundang mereka masuk. Kasih mereka teh sama biskuit," candaku.

Banyu hanya tersenyum tipis. "Saya cuma takut, ada yang ngira saya karyawan favorit Bapak, karena saya nggak pernah lihat Pak Adrian pinjemin buku atau DVD ke karyawan lain."

"Banyu, kita nggak pernah bisa ngontrol apa yang orang pikirkan. Kalau setiap orang sibuk sama apa yang dipikirkan orang lain, hidup ini pasti jadi kacau sekali. Tinggal lama di Eropa, bikin saya cukup kebal sama omongan orang. Memang, ada yang bilang sesuatu ke kamu?"

Banyu terdiam. Dari mukanya, jelas sekali dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi masih ada keraguan, apakah dia harus mengatakannya atau tidak. Aku menunggunya. Salah satu kelemahan pria seperti Banyu, yang usianya masih berada di awal 20-an, adalah betapa mudahnya menebak pikiran mereka hanya dari bahasa tubuh.

"Ada rumor yang bilang kalau Pak Adrian...."

"Kalau saya apa, Banyu?"

"Kalau Bapak... gay."

Jadi, perasaanku selama ini memang bukan tanpa alasan. Perceraianku dengan Kara, pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan. Aku hanya bisa diam. Bagaimana aku menjelaskannya ke Banyu?

"Kamu percaya?"

"Saya nggak tahu Pak. Karena saya sendiri juga masih bingung dengan diri saya sendiri."

Jawaban Banyu membuatku sedikit terkejut.

"Asalkan Adam nggak tahu, saya nggak masalah orang mau nyebar rumor seperti apa tentang saya, Banyu. Nggak masalah, apakah rumor itu benar atau salah. Adam masih terlalu kecil untuk tahu hal rumit seperti itu."

"Jadi, rumor itu... benar?"

"Benar atau nggak, itu terserah persepsi orang. Saya nggak akan bilang itu salah. Saya memang pernah menikah dan memiliki Adam, adalah hal terbaik dalah hidup saya. Namun, saya juga nggak mau bohong ke kamu tentang diri saya yang sebenarnya."

"Pak Adrian... nggak pernah bingung?"

"Kenapa saya berbeda?"

Banyu mengangguk.

"Saya sadar sejak kecil, Banyu. London seperti ngasih saya keberanian untuk jujur dan nggak pernah ada kebingungan itu. Makanya, saya milih untuk tetap tinggal di sana selepas kuliah. Jauh lebih mudah daripada harus pulang dan berpura-pura."

"Mungkin, saya harus ke sana biar nggak bingung lagi."

"Kamu sedang dalam fase mencari tahu tentang diri kamu, Banyu. Nggak ada siapa pun yang bisa bantu, selain diri kamu sendiri. Just follow your heart."

"Kesannya mudah ya Pak?"

"Apanya yang mudah?"

"Pepatah just follow your heart itu."

"Memang mudah, Banyu. Buat saya, itu pepatah paling gampang buat dijalani."

Banyu hanya mengangguk.

"Saya harus pulang, Pak. Sudah larut. Saya nggak mau ganggu istirahat Pak Adrian."

Begitu dia bangkit dari kursi, aku menghampirinya.

"Terima kasih karena kamu nggak langsung lari atau ketakutan, karena apa yang saya ceritakan ke kamu."

"Saya justru yang harus berterima kasih, karena Pak Adrian mau jujur ke saya."

"Saya boleh peluk kamu?"

Ada keraguan terpancar dari wajah Banyu, tetapi kemudian dia mengangguk. Lenganku langsung memeluknya, berharap dia tidak merasa risih dengan apa yang aku lakukan.

"Kalau kamu mau cerita apa saja, kamu bisa cerita ke saya. Saya siap denger cerita kamu. Kalau kamu bingung, datang saja ke sini. Yakinkan diri kamu, oke?"

Aku hanya merasakan anggukkan dari gerakan kepala Banyu. Begitu melepas pelukan, Banyu memberiku senyum tipis.

"Saya pamit, Pak Adrian."

Aku mengangguk. Begitu mengantarnya hingga ke pintu gerbang dan dia meninggalkan halaman rumah, aku menayandarkan tubuh di pintu gerbang. Apa yang baru saja aku lakukan?

Menghela napas panjang, aku berjalan masuk. Meraih cangkir teh yang sudah kosong dan sisa Eclair, pikiranku tidak berhenti merutuki apa yang baru terjadi di antara kami. It was just a hug, yakinku. Namun, bagaimana kalau tadi aku tidak bisa menahan diri? It could have been something else. Something that will make it worse, not better.

Aku juga diliputi kelegaan, karena sudah berkata yang sejujurnya ke Banyu tentang siapa aku sebenarnya. Lega, karena reaksi dia tidak berlebihan seperti yang aku bayangkan. Paling tidak, aku sudah mengambil satu langkah maju. Untuk saat ini, satu langkah cukup. Aku tidak ingin menjerumuskan Banyu ke dalam sesuatu yang masih membuatnya bingung. Akan apa jadinya aku jika melakukannya?

***

Sejak tiga hari lalu, aku menunggu hari ini. Seperti seorang remaja menunggu datangnya Sabtu malam Minggu. Bukan karena semalam Adam mimpi buruk, hingga dia menghampiri tempat tidurku dan terbangun mendapati lenganku masih memeluk malaikat kecilku. Bukan juga karena hari ini, cuaca begitu cerah, hingga tidak ada satu pun awan yang menghalangi birunya langit. Namun karena hari ini, Banyu akan makan malam di rumah. Adam yang mengajaknya tiga hari lalu. Banyu, tidak pernah bisa menolak Adam.

"Pa, hari ini kita ke toko nggak?"

Aku menatap Adam yang masih membiarkan selimut menutup tubuh bagian bawahnya. Semalam memang hujan, cukup deras disertai petir dan guntur yang seperti saling berlomba. Mungkin, itu juga sebabnya Adam mimpi buruk.

"Kita mampir ke sana setelah ke supermarket ya?"

Adam langsung terbangun. Tatapannya menunjukkan rasa tertarik luar biasa mendengarku menyebut kata supermarket. Aku mengacak rambutnya.

"Supermarket?"

"Adam lupa ya? Ini hari apa?"

"Kamis."

"Adam janji apa sama Mas Banyu?"

Seperti orang dewasa, Adam menepuk jidatnya. "Kan Adam minta Mas Banyu datang buat makan malam di sini."

"Makanya, kita harus ke supermarket. Belanja. Mbak Eni kan nggak ada, jadi nanti Papa yang masak."

Adam hanya mengangguk.

"Adam mau apa buat makan malam nanti?"

"Salad tapi tunanya banyak sama steak tuna!"

"Saladnya janji abis kan?"

Adam mengangguk mantap. Mengejutkan memang, anak seusia Adam menyukai salad, meski dia kadang tidak habis. Dia sangat menyukai tuna, jadi aku selalu memasukkan banyak tuna dalam saladnya.

"Kamu mandi, Papa juga mau mandi. Terus, kita sarapan."

"Adam mau toast!"

"Pakai telur mata sapi?"

"Telur ceplok!"

Aku tertawa. Dia masih belum tahu, kalau telur mata sapi dan ceplok itu sama saja. Aku terkadang lupa, dia mengira telur ceplok itu telur dadar, hingga aku masih sering menyebut telur mata sapi di hadapannya.

"Sini, kasih Papa cium dulu."

Adam lalu mendekat dan mendaratkan kecupan singkat di kedua pipi, sebelum beranjak dari tempat tidur, menuju kamarnya sendiri.

Begitu dia berlalu, aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebarku. Bagaimana mungkin, aku bisa menjalani pagiku tanpa kecupan itu?

***

Selesai mandi, aku langsung menuju dapur dan menyiapkan sarapan. Sejak Adam bisa duduk sendiri dan minta ingin sarapan apa, kami hampir tidak pernah melewatkan sarapan bersama, termasuk ketika masih bersama Kara. Kami akan menunggu Adam bangun sambil berbincang di dapur dengan dua cangkir kopi. Terkadang, aku merindukan saat-saat seperti itu. Kara bukan wanita kejam. Dia hanya... tidak fleksibel dalam banyak hal. She's a very independent and determined kind of woman that she will do anything to get what she wants. Mungkin, kata ambisius cukup untuk menggambarkan Kara.

Aku menyeruput kopi yang sudah tinggal setengah, ketika Adam muncul di dapur. Sudah rapi dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru tua dan celana pendek cokelat muda. Aku tidak pernah mengajarinya etika berpakaian, dia jelas mendapatkan bakat itu dari Kara.

Begitu duduk dan meletakkan kedua lengannya di atas meja, cengirannya membuatku tersenyum.

"Kamu kenapa, Adam?"

"Seneng!"

"Boleh Papa tahu kenapa?"

"Karena Mas Banyu mau ke sini!"

Sejak kapan dia begitu dekat dengan Banyu, aku tidak tahu. Hanya saja, pria muda itu mampu membuat Adam bahagia, terlepas dia harus meninggalkan Bali dalam hitungan minggu. Saat ini, apa yang membuat Adam tersenyum, aku sebisa mungkin mewujudkannya. Bahkan, jika Banyu pria yang mata duitan dan aku harus membayarnya untuk datang ke sini setiap hari untuk membuat Adam tersenyum, aku akan melakukannya.

"Kamu mau sarapan atau minum susu dulu?"

"Adam bisa ambil susu sendiri, Pa."

Dengan itu, dia kembali turun dari kursi dan menghampiri kulkas. Dikeluarkannya botol berisi susu kedelai dan dituangkannya ke gelas tinggi yang aku siapkan di meja. Melihat Adam melakukan hal kecil seperti ini, adalah sebuah mental image, yang akan aku putar setiap pagi jika dia sudah tidak di sini lagi.

Begitu dia sudah mulai menyantap sarapannya, aku pun melakukan hal yang sama. Sarapanku hanya plain toast dan telur orak-arik, karena aku tidak begitu menyukai sesuatu yang manis sebagai menu sarapan.

"Papa kenapa belum ganti baju? Papa belum mandi?"

"Sudah dong! Coba liat rambut Papa, basah kan?" ucapku sambil menyodorkan kepalaku, agar Adam bisa melihat kalau aku sudah membersihkan diri. "Kan Papa harus buat sarapan, nanti kalau Papa ganti baju, bajunya bau telur sama mentega."

Adam kembali memberiku cengirannya.

"Kamu rapi sekali."

"Kan mau pergi. Jadi harus rapi. Papa nanti juga rapi ya?"

Aku hanya mengangguk. "Sekarang, kamu juga mau pilihin baju buat Papa?"

Adam menggeleng. "Papa kan udah tua, masak mau dipilihin anak kecil?"

"Memang Papa keliatan tua?"

"Enggak. Tapi, kalau orang yang sudah punya anak itu kan pasti tua."

Mau tidak mau, aku tergelak mendengar jawaban Adam, hingga butuh waktu untuk kembali mengendalikan diri. Apa yang akan kamu katakan, kalau Papa nanti berusia 50 tahun, Adam? Kakek-kakek?

"Siapa yang bilang begitu?"

"Bli Wayan."

Aku yakin jika Wayan ada di sini, dia juga akan tergelak dengan ucapan Adam. Mungkin aku harus memberitahunya nanti untuk melihatnya tersipu. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat karyawan-karyawan Jasmine tersipu karena ucapan Adam.

"Ayo Adam, kita habiskan sarapan terus ke supermarket. Papa masih harus masak sore ini, jadi kita mungkin nggak bisa lama di Jasmine."

Adam mengangguk dengan semangat dan melanjutkan menikmati sarapan. Makan pagiku terasa lebih nikmat bukan karena apa yang aku santap, tapi karena Adam ada di hadapanku. He always makes my day.

***

Aku baru saja ingin mulai menyiapkan makan malam, ketika bel pintu berbunyi. Jam di dapur baru menunjukkan pukul 5 sore. Semoga itu bukan Banyu.

Aku meninggalkan dapur dan berjalan menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Begitu membuka pintu, Banyu sudah berdiri di sana dengan messenger bag-nya dan memberiku senyumnya. Membalas senyumnya, ada perasaan bahagia menyusup mengetahui, aku tidak harus menunggu kedatangannya hingga pukul 7.

"Kamu kenapa datang begitu awal? Saya bahkan belum mulai masak."

Banyu hanya memberiku cengirannya. "Nggak keberatan kan Pak kalau saya bantu?"

Aku membuka pintuku lebih lebar. "Dengan senang hati," balasku sambil mempersilakan Banyu masuk. "Sebenarnya saya nggak ingin masak yang rumit-rumit, tapi berhubung kamu sudah di sini dan berniat untuk bantu saya di dapur, rasanya kita akan makan malam lebih cepat."

"Jadi, apa yang bisa saya bantu Pak?"

"Letakkan tasmu dan ikuti saya ke dapur," jawabku sambil melangkah menuju ke dapur begitu dia meletakkan tasnya di ruang tamu.

"Adam di mana Pak?"

"Masih tidur sore. Mungkin sebentar lagi dia bangun."

Aku segera menghampiri kulkas untuk mengeluarkan bahan-bahan yang akan aku masak untuk makan malam kami. Banyu hanya berdiri di sebelahku dan tidak ada satu kata pun keluar dari kami. Dia mengenakan polo hijau tua dan jeans hitam yang membuatku memandangnya lebih lama. Meski hanya mengenakan pakaian sesederhana itu, dia terlihat sangat menarik.

"Ada yang salah dengan saya, Pak?"

Aku tersenyum dan menggeleng. "You look great, Banyu."

Aku sadar, kalimatku membuatnya tersipu.

"Terima kasih, Pak. Pak Adrian mau masak apa?"

"Kamu mengacaukan kejutan saya," jawabku dengan nada bercanda. "Padahal, kalau pun saya beli makanannya, kamu kan nggak akan tahu. Sekarang, saya terpaksa harus masak."

Banyu tahu, aku hanya menggodanya. Dia kemudian meraih mangkuk kaca berukuran sedang dan mengangkatnya.

"Ini untuk tempat apa, Pak?"

"Kamu siapkan saja saladnya. Adam suka sekali tomato cherry, jadi kamu beri lebih banyak. Saya biasanya menaruh banyak bawang bombay, tapi nanti napas saya bau," jawabku, yang dibalas Banyu dengan sebuah senyum tipis. "Selada, jagung manis, kamu suka wortel?"

"Mentah?"

"Kan tidak mungkin wortelnya direbus dulu, Banyu."

"Saya belum pernah nyoba, Pak."

"Then, you can put it. Kamu parut saja, biar sedikit lebih halus. Saya tumis tunanya sebentar, karena Adam suka sekali salad dengan banyak tuna. Bisa kan?"

Begitu mendapat anggukan, kami mulai bekerja.

Salad adalah menu termudah yang biasa aku buat sendiri di rumah, sekalipun aku dan Adam akan makan di luar. Kami biasanya makan di ruang tengah sembari menemaninya menonton Cartoon Network dam dia akan lupa, kalau kami tetap makan malam di luar.

Aku sudah merendam sebentar tunanya dengan kecap manis, garam, lada, sedikit cabai bubuk dan oregano. Menumis tuna adalah sesuatu yang sempat membuatku frustasi dulu. Memang tidak seringkih salmon, hanya saja, aku selalu memasaknya terlalu matang. All it takes is just a couple of minutes. Dari ekor mataku, Banyu sedang membelah tomato cherry menjadi dua. Dari cara dia memegang pisau dan begitu berhati-hatinya membelah, aku tahu, dapur bukanlah tempat familiar untuknya. Aku hanay tersenyum tipis sebelum mematikan api kompor. Aku akan memotong tunanya nanti, begitu agak dingin.

"Bapak mau masak apa?"

"Adam suka sekali sama tuna, jadi dia minta masak tuna steak untuknya. Untuk kita berdua, beef steak? Saya sudah beli tenderloin tadi. Saya mau menyiapkan sausnya sekarang."

"Bapak sering masak ya?"

"Di sini agak jarang, karena Mbak Eni biasanya yang masak. Saya cuma masak, kalau sedang malas makan di luar dan ingin menyibukkan diri di dapur. Tapi, ketika di London dulu, saya cukup sering masak. Bisa boros kalau saya makan di luar terus, maklum, anak kuliahan. Ketika lulus dan bisa menghasilkan uang, saya mulai bisa masak yang sedikit lebih rumit."

Apalagi, sejak tinggal bersama Chris. Dia mengajariku banyak masakan Perancis dan Italia yang memakan waktu berjam-jam. Sesuatu yang kami lakukan setiap akhir pekan, with two glasses of Bordeaux and Josephine Baker to accompany us.

Chris...

Untung Banyu tidak memandangku lebih lama, karena dia akan bertanya kenapa pandanganku tiba-tiba kosong untuk beberapa saat. Dapur lebih mengingatkanku akan Chris daripada Kara, karena Kara justru tidak begitu pandai memasak. Sebelum memiliki Adam, aku yang cukup sering memasak, sementara dia akan sibuk dengan pekerjaan yang dibawanya dari kantor. Tidak ada komplain dariku, karena dapur seperti sebuah pelarian untukku. Di tempat yang dijauhi Kara, aku bisa memanggil Chris dalam ingatanku selama yang aku mau, tanpa harus mendapatkan gangguan.

Ketika sedang memasukkan tepung maizena untuk mengentalkan saus, sementara aku mengizinkan Banyu untuk menelusuri perpustakaan, Adam masuk ke dapur dengan tampang kusut. Dia susah untuk tidur siang, tetapi dia akan mengantuk jika sudah menjelang sore. Kalau sudah begitu, dia akan terjaga sedikit lebih lama dari jam tidur malamnya. Dengan langkah gontai sembari mengucek matanya, Adam langsung duduk di kursi.

"Masih ngantuk?"

Adam menggeleng. "Papa lagi bikin apa?"

"Saus untuk tuna steak yang kamu minta," jawabku. Aku mengecilkan api untuk menghampirinya. Membelai rambutnya, aku bisa melihat, rasa kantuk masih sedikit memberati matanya.

"Mas Banyu udah ke sini, Pa?"

Aku mengangguk. "Lagi di perpustakaan. Kamu cepet mandi sana, biar ganteng. Jangan lupa sikat gigi ya?"

Adam hanya menjawab pertanyaanku dengan turun dari kursi dan berjalan kembali menuju kamarnya. Aku kembali menekuri saus jamur yang akan menemani steak kami, ketika Banyu keluar sambil membawa satu buku tipis dan menunjukkannya kepadaku.

"Saya boleh pinjem ini, Pak?"

"Itu De Profundis bukan?"

Banyu mengangguk. "Saya belum pernah baca karya Oscar Wilde."

"Itu bukan fiksi, seperti bisa kamu baca di bagian belakang buku. Tapi, menarik untuk dibaca. Menurut saya, De Profundis jauh lebih bagus daripada The Picture of Dorian Grey, yang jadi satu-satunya novel Oscar Wilde."

Aku memang memiliki beberapa gay literature dan tidak ada kekhawatiran, apa yang akan dipikirkan orang jika melihatnya. Lagipula, semua yang pernah bertamu ke rumah ini, jarang yang menghabiskan kunjungan mereka di perpustakaan milikku. Pilihan Banyu cukup membuatku terkejut, mengingat dia mengatakan masih bingung dengan siapa dirinya.

"Mas Banyu!"

Teriakan Adam itu membuat pandanganku ke Banyu teralih. Mereka seperti kakak-beradik, jika orang yang tidak mengenal kami melihatnya. Terkadang, aku berpikir, bagaimana jika Adam memiliki adik ketika dia sudah cukup umur dan perceraianku dengan Kara terjadi saat dia beranjak dewasa. Namun, Kara memang tidak ingin mengandung lagi. Adam adalah kesalahan, sekaligus anugerah terindah dalam hidupku.

Aku mengusir mereka dari dapur, meminta Banyu menemani Adam bermain sementara aku menyiapkan makan malam. Tawaran Banyu untuk membantu, aku tolak dengan halus. Di Jasmine dia memang bawahanku, tetapi malam ini, dia adalah tamu. Aku tidak akan membiarkannya sibuk di dapur untuk membantuku.

Sementara menunggu sausnya matang, aku mengambil sisa wine yang aku buka semalam dari kulkas. Aku tidak mungkin menikmatinya jika Adam masih terjaga, bisa-bisa dia akan memaksa untuk mencobanya. Sementara Banyu, aku tidak tahu reaksinya akan seperti apa. Menuangkan Chardonnay, aku ingat pertama kalinya belajar mengenai wine. Di London, tidak pernah ada acara makan malam yang terlewat tanpa kehadiran wine. Lebih karena kebiasaan sebenarnya. Apalagi, sejak aku lebih dari mampu untuk membeli satu botol wine yang cukup bagus. Chris akan tertawa mendengarku mengatakan 'cukup bagus' karena baginya, wine hanya ada dua: good wine and bad wine. Tidak ada lumayan, apalagi cukup bagus.

Aku mengenyahkan bayangan tentang Chris dan membiarkan satu sesapan kecil menguasai rongga mulutku, sebelum melanjutkan memasak. Dengan Adam dan Banyu yang aku tebak berada di kamar Adam atau di ruang tengah, tidak akan ada yang menginterupsiku, paling tidak selama satu jam ke depan.

Meraih ponsel yang dari atas meja, aku kemudianmemutar album klasik Miles Davis, Kind of Blue untuk menemaniku memasak. Sekarang,acara menyiapkan makan malam kami menjadi sempurna: Miles Davis, a glass ofChardonnay and me with my thoughts. This is what I call, a luxury.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro