Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LIMA - ALSTROEMERIA


Usaha untuk tidak mengingat makan malam kami bertiga, hanya berakhir sia-sia. Setiap menit yang kami lalui malam itu, seperti sebuah pengingat bagiku. Bagaimana, jika malam seperti itu tidak akan pernah terulang? Kepergian Adam tinggal menunggu kabar dari Kara dan semuanya, bukan hanya akan berubah, tapi juga berakhir. Siapa yang bisa menjamin, ketika Adam kembali ke sini untuk bersamaku selama 3 bulan, Banyu masih di sini? Aku juga tidak mungkin memaksa Banyu agar tetap di Jasmine hanya untukku atau Adam. That will be unfair. He's young and he deserves to be whoever and do whatever he likes. Who am I to him, anyway? Kara tidak akan keberatan, jika aku meminta untuk melihat Adam setiap hari melalui Skype. Hanya saja, perbedaan waktu akan membuat segalanya lebih rumit. Apalagi, Adam harus masuk sekolah sebentar lagi. Saat ini, rasanya ingin mengubah semua yang berhubungan dengan Adam, agar dia bisa tetap di sini.

Dari kaca besar ruanganku -yang memang sengaja dibuat agar aku bisa mengawasi karyawan tanpa mereka tahu- aku bisa melihat Banyu tertawa bersama Indri, yang membantunya membuat beberapa rangkaian bunga yang dipesan satu langganan kami untuk acara makan malam nanti. Sejak Chris, belum pernah ada pria lain yang bisa mengisi hatiku. In a romantic way. Adam adalah satu-satunya pria, jika aku bisa menyebutnya dengan kata itu tanpa mengindahkan usia, yang mampu mengisi hatiku dengan penuh. Bagaimana bisa aku menggantikan tempat Chris, jika kebersamaan kami, direnggut paksa? Tidak ada waktu untuk mencari cinta lain sejak kelahiran Adam. He's the only one that I love the most in the past 5 years and it will continue until the day I died. Then, Banyu came into my life. Aku belum bisa menyebutnya sebagai cinta, karena perasaan itu belum sekuat apa yang pernah aku bagi dengan Chris. Apalagi setelah tahu, dia masih bimbang dengan siapa dirinya. Meski ada keinginan begitu besar untuk memberikan semua perhatianku -di luar Adam- aku tidak bisa melakukannya. Ada batasan yang tidak bisa aku seberangi begitu saja tanpa harus melukai kami berdua. Jadi, aku bersabar dan membiarkan apa pun namanya ini, tumbuh subur. Atau layu dengan sendirinya.

Jam di ruanganku sudah menunjukkan hampir pukul 2, tetapi aku sama sekali belum makan siang. Satu hal yang dipesan Chris sebelum janji yang dibuatnya untuk tidak hadir dalam kehidupanku lagi adalah, makan siang. You have to eat, Adrian. Breakfast, lunch, dinner. No skipping breakfast, lunch or dinner, tulisnya di surel waktu itu. Dia tahu, aku pasti akan melewatkan salah satu. He just... He knows me so well.

iPad-ku mengeluarkan bunyi notifikasi adanya surel yang masuk. Begitu melihat pengirimnya, aku merasa kami masih terhubung. I don't know how, but we do still have that connection.

From : Chris Burton <[email protected]>

To : Adrian Wirayoga <[email protected]>

Subject : Indonesia

Date : 1.54 PM, April 1, 2013

Adrian,

I landed in Jakarta safely, yesterday and will fly to Bali this afternoon. I can't wait to smell the ocean, the sands in my feet and the breeze. In fact, I will treat myself with a sunset this afternoon. I wish I knew where to find you. But, you're right about your last email. I will always find a way to find you. It's like my heart has a radar when it comes to you.

I can't wait to see Adam. I brought something from Paris that, hopefully, will make him smile.

I don't know how and when I will find you, but see you soon, Adrian. See you soon.

Chris

Aku tertegun setelah membacanya. Dia akan ada di Bali sore ini? Hanya tinggal menunggu waktu sebelum kami kembali dipertemukan, setelah Barcelona beberapa tahun lalu. Sekarang, banyak hal sudah berubah. Perceraianku dengan Kara, misalnya. Apakah jika bertemu kembali dengannya nanti, apa yang aku rasakan terhadap Banyu, akan mudah disingkirkan dengan mudah? Kami berbagi begitu banyak hal selama hampir 5 tahun. Apakah perubahan yang terjadi dalam hidupku, mampu meredam perasaan itu tidak muncul ke permukaan dan kembali menguasai hatiku?

Aku menyandarkan tubuh di kursi dan memejamkan mata. Berharap semuanya tidak terjadi di waktu yang bersamaan. Hidup seperti mengatur ini semua untuk melihatku membuat pilihan, yang pada akhirnya, pilihan mana pun itu, aku harus hidup dengan konsekuensinya dalam jangka waktu yang lama.

Sebuah ketukan membuat mataku kembali terbuka, membantuku menyingkirkan ketakutanku. Memaksanya ke sudut gelap untuk beberapa saat/

"Silakan masuk."

Ada senyum di wajahku begitu melihat Banyu berada di ruanganku. Begitu menutup kembali pintu dibelakangnya, aku melihat dia membawa satu kantong plastik kecil.

"Saya cuma mau ngasih ini Pak," ucapnya sambil menyerahkan plastik itu kepadaku. Aku memandangnya heran karena Banyu tidak pernah melakukan ini sebelumnya.

"Apa ini?" tanyaku sambil meraih bungkusan itu dari tangannya.

"Makan siang, Pak. Panas sekali di luar dan tadi pas nganterin bunga, saya mampir sekalian buat makan siang. Biar Pak Adrian nggak keluar kantor. Saya harusnya kasih makan siang ini sejak tadi, tapi sehabis nganter bunga, langsung disandera Indri buat bantuin dia. Cuma nasi campur kok Pak. Saya belum bisa beliin Pak Adrian steak buat makan siang," jawabnya sambil tersenyum.

"Banyu, kamu nggak perlu membelikan saya makan siang," balasku. "Saya baru berniat mau keluar. Dan kamu juga nggak perlu beliin saya steak, kan saya bisa masak sendiri," jawabku yang diiringi senyum.

"Karena saya lihat, Bapak tidak keluar ruangan sejak tadi. Jadi saya pikir, Pak Adrian sangat sibuk sampai lupa kalau jam makan siang hampir berakhir."

"Terima kasih, Banyu."

Banyu mengangguk. "Saya balik kerja lagi Pak, silakan dinikmati makan siangnya," ucapnya sebelum ruanganku kembali kosong.

Akan sangat munafik, jika tidak ada rasa bahagia menyusupiku. Ini hal kecil, makanan yang aku taksir juga tidak akan membuat kantongnya jebol, tetapi perhatiannya, usahanya untuk menghindarkanku keluar dari Jasmine hanya karena cuaca di luar panas. Sebagai orang yang sangat memerhatikan detail, apa yang dilakukan Banyu membuat harapan itu kembali menghampiriku.

Aku segera bangkit dari kursi untuk meraih sendok dan piring, sebelum kembali duduk di kursi. Membuka bungkusan itu, aku melihat nasi putih yang hanya setengah -Banyu tahu aku tidak pernah makan banyak untuk makan siang-, urap daun singkong, dua potong tempe goreng dan sambal terong. Sederhana, tapi untukku, ini lebih dari cukup untuk memikirkan, harus membalasnya dengan apa.

***

Langkahku terhenti ketika melihat Putu sedang berbincang dengan seorang wanita muda yang aku yakin adalah seorang Personal Assistant, menilik dari cara dia berpakaian. Aku menghampiri mereka, sekadar memastikan semua baik-baik saja dan untuk mengetahui, bunga apa saja yang sedang dirangkainya.

"Dia datang sore ini dari Jakarta Mbak, bakal di Bali selama 6 bulan. Jadi, bisa dibilang buat welcoming gitu. Kebetulan juga, tadi saya lewat daerah sini, jadi mampir sekalian."

"Oh ya? Bakal satu kantor sama Mbak?"

Aku mendengar obrolan itu begitu jarak kami semakin dekat. Putu sedang merangkai mawar, Alstroemeria dan bunga krisan, yang semuanya berwarna putih. Siapa yang akan datang? Seorang yang sangat sucikah sampai harus memilih single color? Siapa pun yang akan menerima rangkaian bunga ini pasti sangat tersentuh. Tidak banyak orang yang membuat buket ataupun rangkaian bunga dengan Alstoemeria.

"Iya, dia cuma ngawasin proyek kita aja, seperti konsultan gitu. Saya sih berharap orangnya nggak galak dan nakutin," ucap wanita itu smabil mengamati Putu merangkai bunga yang sepertinya sebentar lagi siap untuk dibawa.

"Putu, kartu ucapannya ucapannya sudah siap?"

Ucapanku itu sepertinya mengagetkan Putu, karena tidak menyadari kehadiranku Begitu melihatku, dia langung tersenyum dan menggeleng.

"Belum Pak, sebentar lagi saya selesai," ucap Putu yang kemudian juga disambut wanita muda itu dengan sebuah senyuman.

"Maaf Mbak, kalau tidak keberatan, bisa ikut saya untuk memilih kartunya sementara rangkaian bunganya dibuat?" tawarku sopan yang langsung disambut dengan anggukan oleh wanita muda tadi.

"Oh, tentu saja nggak."

"Silakan."

Kami berdua berjalan menuju ke tempat kartu ucapan, yang menurut pendapat beberapa tamu yang sempat aku dengar, sangat unik. Dari awal, Kara memang ingin menggabungkan konsep kartu ucapan yang berbeda dari para kompetitor kami, yaitu selain menggunakan bahan daur ulang, semua kartu yang ada di Jasmine adalah buatan tangan, hingga hanya ada lima kartu dengan desain atau motif yang sama. Semuanya berbeda. Aku pun mempersilakan wanita muda tadi untuk memilih kartunya.

"Untuk rekan bisnis?"

"Sebenarnya dia hanya akan tinggal di sini 6 bulan Pak, jadi konsultan untuk proyek terbaru kami," katanya sambil menimbang antara beberapa kartu yang aku lihat disukainya. "Wah, saya jadi bingung, banyak sekali yang bagus."

Aku hanya tersenyum lalu menunjuk salah satu kartu yang sempat dipegangnya tadi. "Ini bagus, sederhana tapi akan sangat cocok dengan rangkaian bunga yang dibuat Putu tadi," saranku.

Wanita muda tadi mengangguk. "Iya Pak, ini bagus. Saya pilih ini aja," katanya lalu mengambil kartu yang terbuat dari rumput-rumputan berwarna cokelat, kemudian meraih pulpen yang memang tersedia di dekat tempat kami meletakkan berbagai kartu ucapan.

Welcome to Island of Gods, Mr. Chris Burton.

We hope you will enjoy your stay

Melihat nama itu tertulis di kartu, tak ayal membuatku terdiam. Chris Burton? Hanya ada satu Chris bernama akhir Burton yang aku kenal. Hidup mengatur pion kami agar lebih dekat. Chris akan bertanya, di mana mereka membeli rangkaian bunga untuknya dan jika dia berkunjung ke Jasmine, besar kemungkinan aku akan ada di sini. Jadi, kami akan bertemu kembali dalam hitungan hari. Secepat inikah Chris akan menemukanku?

"Orang yang akan menerima buket bunga itu pasti merasa sangat disambut," ucapku untuk menutupi kemungkinan bertemu lagi dengan cinta lamaku.

Wanita muda itu menatapku dan tersenyum. "Saya tidak punya keraguan akan hal itu. Bunga-bunga di sini begitu indah. Ingin rasanya membawa semuanya pulang."

Kami berdua tertawa, tepat ketika Putu menyerahkan rangkaian bunga yang sudah selesai.

"Silakan Mbak, semoga suka dengan rangkaian bunganya."

"Ini bagus sekali! Perfect!"

"Saya kembali ke ruangan dulu, Mbak. Kabari saya kalau ada lagi yang bisa saya bantu," ucapku sambil mengulurkan kartu nama, setelah kami berjabat tangan.

"Saya pasti kembali ke sini, Pak Adrian. Saya bisa pastikan itu."

"Mari, Mbak."

Begitu berlalu dari hadapan dua wanita itu, aku langsung menuju ruangan. Jantungku bergemuruh hebat. Kalimat apa yang akan keluar dariku jika melihatnya lagi? Apakah kami hanya akan berjabat tangan? Atau dia akan langsung memelukku seperti teman lama? Apa yang akan ditanyakannya pertama kali? Kabarku itu pasti, lalu apa? Adam? Kara?

Ponselku berdering, membuat semua kemungkinan mengenai Chris, berserakan. Begitu melihat nama yang tertera di layar, aku semakin tidak ingin mengangkatnya. Namun, aku akhirnya menekan tombol ACCEPT.

"Siang Kara... Kabarku baik, Adam juga baik... Nggak, dia di rumah... Kamu nggak telepon dia hari ini?... Aku kira 2 minggu lagi, bukankah kamu pernah bilang begitu?... Aku rasa, kamu sendiri yang harus bilang ke Adam... Kamu tahu bagaimana dia... Kamu Ibunya, kamu tahu kasih tahu Adam... Aku nggak mau berdebat di telepon, Kara... Aku akan coba bicara dengannya, tapi paling nggak, kamu siapkan mental dia dulu, jangan langsung kasih tahu seperti itu... Aku lagi sibuk sekarang, bisa kita bicara lagi nanti? Iya, aku akan bicara lagi dengannya.... Selamat siang."

Aku memutuskan hubungan, sebelum mengeluarkan umpatan sembari meletakkan ponsel di atas meja. Membantingnya lebih tepat. Dadaku rasanya ingin meledak karena begitu banyaknya hal terjadi secara beruntun, seperti efek domino. Apa lagi yang akan aku dengar hari ini? Mendengar Chris akan datang sudah cukup membuatku bingung. Baru saja Kara mengabarkan dia akan datang Selasa minggu depan untuk menjemput Adam. Baru kemarin lusa, dia merencanakan akan datang ke Bali di minggu ketiga bulan ini dan dia mengubahnya lagi, kali ini memajukannya hampir seminggu!

Aku menghela napas panjang, berharap dengan melakukannya, sedikit beban akan terangkat dari pundakku. Kepalaku benar-benar pusing hingga kemudian, aku memutuskan untuk bangkit dari kursi dan meraih kunci mobil. Hanya ada satu orang yang bisa mengobati rasa pusing ini, Adam.

Aku keluar dari ruangan dan menghampiri Putu yang sedang membersihkan meja dari bekas potongan-potongan dahan serta daun.

"Putu, saya agak nggak enak badan, jadi saya mau pulang. Kalau ada apa-apa, telepon saya saja ya?"

"Bapak sakit? Perlu saya minta Wayan untuk nganter Bapak pulang?"

Aku menggeleng. "Nggak usah, saya bawa mobil saja. Siang, Putu."

Aku langsung keluar dari Jasmine dan menghampiri mobil yang sejak kemarin aku tinggalkan di Jasmine. Rasanya, aku ingin pergi ke suatu tempat di mana aku hanya bisa berdua dengan Adam tanpa ada yang mengganggu kami. Sekarang, Adam mungkin sudah mendengar dari Kara, kalau dia akan menjemputnya minggu depan.

Sepuluh menit kemudian, aku sampai di rumah dan menemukan Mbak Eni sedang membersihkan sisa makan siang untuk Adam sementara aku tidak melihat sosok Adam di ruang tengah.

"Adam ke mana, Mbak?" tanyaku sambil menuju kulkas dan menuangkan segelas air untukku yang langsung tandas dengan sekali teguk.

"Adam di kamarnya Pak, sepertinya tadi Ibu telepon."

Aku memandang Mbak Eni sesaat sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju kamar Adam. Pintu kamarnya tertutup. Aku membukanya pelan dan melihatnya meringkuk, masih mengenakan celana yang dipakainya sebelum aku pergi Jasmine pagi tadi. Aku menghampirinya.

"Adam?"

Duduk di tepi tempat tidurnya, aku berusaha tidak mengejutkannya karena aku tidak yakin apakah Adam sedang tidur atau tidak.

Mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, Adam langsung menurunkan guling yang digunakan untuk menutupi wajahnya. Aku melihat matanya basah, hingga kmeudian, dia mengangkat tubuh untuk memelukku dengan lengan kecilnya itu. Dia kembali terisak.

Tidak ada yang lebih membuatku sedih daripada melihat Adam menangis. Seperti aku gagal menjaganya dari apa pun yang membuatnya bersedih. Aku hanya mampu memejamkan mata sambil membelai rambutnya, berusaha untuk menenangkan diriku sendiri, meski aku tahu, karena apa dia menangis.

"Kenapa Adam?" tanyaku di antara emosi yang menguasaiku.

"Papa ikut ke Landon ya?"

Aku hampir saja tidak bisa menahan tangis mendengar suara Adam yang memintaku untuk ikut bersamanya ke London. Serapuh dan sesedih apa pun diriku, Adam tidak boleh melihat sisi itu. Yang harus dilihatnya dariku adalah senyumku, bahwa aku baik-baik saja, meskipun harus menahan sedih itu seorang diri.

"Kenapa tiba-tiba Adam ngomong seperti itu? Cerita sama Papa."

"Tadi Mama telepon dan bilang minggu depan mau dateng. Adam masih mau sama Papa. Adam belum mau ke Landon. Adam masih mau main sama Mas Banyu," kalimat itu keluar darinya disela isakannya.

Mengetahui aku tidak mampu memenuhi keinginannya, membuatku semakin sedih hingga aku tidak bisa berkata-kata lagi. Minta Kara untuk menunda kepergiannya ke London, jelas sesuatu yang mustahil karena dia akan mencari berbagai alasan untuk menyudutkanku kenapa aku meminta hal itu, meski Adam memohon kepadanya. Kara tidak akan percaya, malah dia akan menganggapku memengaruhi Adam untuk melawannya. Di satu sisi, amarahku memuncak karena Kara memberitahu Adam tanpa ada aku, tetapi ada kelegaan karena aku tidak perlu memberitahu Adam. Aku tidak yakin sanggup menatap Adam saat mengatakan kepadanya kalau kami hanya punya waktu seminggu sebelum dia bersama Kara. Aku melepaskan pelukan Adam lalu menatapnya. Dengan jemariku, aku menghapus air matanya. Berharap dengan itu, aku bisa menghapus kesedihannya juga.

"Adam, Papa udah sering bilang ke Adam kan kalau kita pasti bisa bareng lagi? Tiga bulan itu lama lho Adam. Jadi, Adam nggak perlu sedih. Papa pasti nengokin Adam di London. Papa janji."

"Mama kenapa jahat, mau misahin Adam sama Papa?"

"Mama nggak jahat, kenapa Adam bisa bilang begitu? Nanti di sana ada Papa Riley juga kan? Jadi Adam nanti punya Papa dua. Seru kan?"

Alasanku terdengar sangat jahat, seperti membenarkan perceraian dan keputusan Kara untuk menjadikan Riley sebagai ayah angkat. Namun, jika itu bisa membuat Adam berhenti menangis, biarkan orang memberikan atribut kejam itu kepadaku.

"Papa bener akan ke Landon?" Lagi-lagi, aku mengangguk. Adam kemudian mengangkat jari kelingkingnya di hadapanku. Adam sangat percaya, jika janji diiringi dengan menautkan jari kelingking, maka janji itu harus ditepati, apa pun halangannya.

Aku pun menautkan jari kelingkingku lalu tersenyum, meskipun hatiku teriris, bahkan untuk bersikap biasa-biasa saja, apalagi tersenyum. Demi Adam. "Papa janji."

Meski masih berusaha menghentikan isakannya, aku bisa melihat Adam sudah sedikit lebih tenang. Berita tadi terlalu membuatnya kaget, hingga wajar jika reaksi pertamanya adalah menangis. Semoga kalimatku yang meyakinkannya kalau aku akan mengunjunginya, punya andil atas isakannya yang berhenti. Aku kemudian menepuk pipi Adam dan menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipinya.

"Adam sayang Papa," ucap Adam sambil kembali melingkarkan lengannya di leherku. Kali ini, dia memelukku lebih kencang dari sebelumnya dan lagi-lagi, aku hanya mampu menelan kesedihanku.

"Papa juga sayang banget sama Adam."

Aku membiarkan Adam berdiam di sana sampai dia benar-benar merasa tenang karena aku pun berat untuk melepaskan pelukan ini. Selalu ada sesal, setiap kali melihatnya menangis karena London. Kenapa aku dan Kara harus bercerai ketika Adam masih belum mampu menerima arti kata perceraian itu sendiri. Namun, jika mengingat pertengkaran demi pertengkaranku dengan Kara, perceraian kami adalah solusi terbaik. Meski yang terbaik itu adalah yang terburuk, mengingat usianya yang masih lima tahun. Sejak awal, pernikahanku dan Kara memang tidak pernah dilandasi cinta, aku tidak bisa mengutuk diri menjadi pria gagal, hanya karena Adam ada di antara kami. Akan lebih mudah jika tidak ada Adam. Namun, memikirkannya akan sama saja menyesali keberadaan Adam, sesuatu yang tidak pernah menjadi sesal dalam hidupku.

Aku menghela napas sebelum melepaskan pelukan Adam. Isakannya sudah berhenti dan aku memberikan senyumku, berharap itu juga akan bisa membuat Adam tersenyum.

"Adam mau makan gelato atau kue?"

"Boleh dua-duanya?"

"Kan Adam udah makan siang. Kalau kekenyangan nanti gimana?"

"Hari ini gelato, besok kue?"

"Nah, kalau itu boleh. Kamu mau pergi sekarang?"

Adam mengangguk.

"Cuci muka dulu, Papa tunggu di ruang tengah ya?"

"Gendong!"

"Ke kamar mandi?"

Adam lagi-lagi mengangguk.

Maka, aku pun membalikkan tubuh dan Adam langsung melingkarkan lengannya di leherku. "Siap, kapten?"

"Siap!"    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro