EPILOG
Aku melilhat arloji di balik lengan mantel yang melindungiku dari dingin menusuk London bulan Desember. Warna putih menguasai Regents Park, seperti gundukan salju sengaja diletakkan di setiap sudut salah satu taman di London ini. Meski matahari bersinar terik, tapi tetap tidak mampu mengusir dingin yang sudah lama tidak aku rasakan. Mengenakan kembali baju berlapis dan mantel yang sudah lama tidak keluar dari lemari, aku seperti harus beradaptasi lagi dengan cuaca musim dingin. Chris memang meninggalkanku sendirian di Regents Park karena tidak ingin mengganggu pertemuanku dengan Adam. Hubungan kami berjalan dengan lancar, dengan pertengkaran-pertengkaran kecil sebagai selingan. Jika bukan karena Chris yang meminta, aku pasti akan memilih waktu lain untuk mengunjungi London.
Aku mengembuskan napas. Ada senyum tipis terpasang di bibirku, melihat uap yang keluar dari mulutku sementara kedua tanganku masih nyaman berada di saku mantel. Beberapa orang berjalan melewatiku, tidak peduli kenapa aku berdiri mematung di sini sementara berdiam di apartemen dengan secangkir cokelat panas jauh lebih menggoda. Sudah berbulan-bulan aku menunggu saat ini. Melihat Adam jauh lebih menyenangkan daripada merasakan hangat di dalam apartemen.
Mendiskusikan kedatanganku ke London dengan Kara bukanlah hal sulit. Chris sempat terkejut mengetahui betapa mudahnya Kara mengiyakan rencanaku untuk mengunjungi Adam. Sikap Chris dan Kara yang seperti itu membuatku berpikir, apakah mungkin permusuhan abadi di antara mereka akan hilang nantinya. Apalagi yang harus mereka ributkan? Hubunganku dengan Chris kembali terjalin, Kara sudah bersama Riley, dan kami berdua bersikap seperti layaknya orang tua yang sudah bercerai tetapi menjadikan Adam prioritas utama. Kami mendiskusikan semua yang berhubungan dengan Adam, termasuk sekolahnya. Things ... really fall into place in the end.
Napasku tertahan ketika akhirnya mataku menangkap sosok Kara. Meski jarak kami masih cukup jauh, tidak ada keraguan bahwa wanita yang aku lihat adalah Kara. Senyumku melebar melihat pria kecil yang berjalan di sampingnya dengan kesusahan. Begitu jarak mereka semakin dekat, aku merendahkan tubuh, bersiap untuk menyambut Adam dalam dekapanku. Tubuh mungilnya terbungkus mantel biru muda, membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Ketika aku melambaikan tangan, Adam langsung mempercepat langkahnya. Kebahagiaanku melihatnya terasa begiu ... penuh.
"Papa!"
Aku langsung merengkuh tubuhnya dalam pelukanku begitu lenganku mampu meraihnya. Melihat Adam melalui video call jelas berbeda. Aku membelai rambutnya tanpa henti sebelum akhirnya melepas pelukan untuk menatap wajahnya. Menciumi wajahnya, aku seperti seorang ayah yang sudah tidak melihat anaknya selama bertahun-tahun. Pipinya sedikit gemuk, rambutnya sengaja dibiarkan tumbuh panjang hingga menutupi kedua telinganya, dan merasakan kulit wajahnya di tanganku membuat waktu seakan berhenti.
"Adam apa kabar?"
"Baik, Pa!"
Ketika akhirnya Kara mencapai tempatku dan Adam, aku menegakkan tubuh.
"How are you?" tanyaku sambil mengecup kedua pipinya.
"I'm fine, Adrian. Kamu sendiri?"
"As you can see."
"Aku udah bilang Adam kalau malam ini dia akan tidur sama kamu. Aku dan Riley ada beberapa acara yang harus kami hadiri. Christmas things. Mungkin besok sore aku jemput Adam."
"Kamu nggak usah jemput Adam. Biar aku aja yang nganter dia."
"Are you sure?"
Aku mengangguk. "Aku akan di London dua minggu, jadi kalau kamu perlu seseorang buat jaga Adam, just let me know."
Kara hanya mengangguk sebelum mengalihkan pandangannya ke Adam. "Adam sama Papa Adrian ya? Mama mau pergi dulu sama Papa Riley." Adam hanya menatap Kara dan mengangguk.
Begitu Kara mendaratkan kecupan di kedua pipi Adam, dia berlalu dari hadapan kami. Aku kembali merendahkan tubuh agar Adam tidak perlu mendongak untuk menatapku.
"So, Adam laper?"
"Papa lama di sini?"
"Dua minggu. Kenapa?"
"Nanti kalau Papa pulang ke Bali, Adam ikut ya?"
Aku menelan ludah sebelum membelai kedua pipi Adam. "Kenapa? Adam suka London kan?"
Adam mengangguk. "Tapi Adam kangen pantai."
"Nanti Adam tanya Mama ya?"
"Adam kangen Mas Banyu juga."
Aku berusaha tersenyum, mengingat Adam tidak tahu kalau Banyu sudah tidak di Jasmine lagi. Mungkin kalau Banyu mau, aku akan menghubunginya nanti agar dia bisa video call dengan Adam. Tentu saja atas persetujuan Eggy.
"Adam kangen Papa nggak?"
"Kangen!" serunya sambil kembali melingkarkan lengan kecilnya di leherku.
"Papa laper nih. Adam laper nggak?" Adam mengangguk. "Adam mau makan apa?" tanyaku sambil berdiri dan meraih tangan Adam dalam genggamanku.
"Apa aja."
"Mau spaghetti?"
"Mau! Mau!" jawab Adam sambil loncat-loncat. Aku tersenyum lebar melihat antusiasnya. You've been waiting months for this, Adrian. Kami mulai berjalan menyusuri Regents Park dengan tanganku yang tidak melepaskan Adam dari genggamanku, memastikan dia tidak akan terpeleset.
"Adam suka London kan?"
Adam mengangguk. "Tapi dingin."
"Kalau nanti musim panas tiba, Adam bisa lihat angsa sama bebek di sana," ucapku sambil menunjuk satu danau kecil di mana angsa dan bebek biasanya memang memenuhi tempat ini jika musim panas tiba. Aku yakin Adam pasti menyukainya.
"Adam bisa kasih makan?"
"Bisa dong. Adam memangnya nggak takut?"
"Enggak!" serunya.
Menyusuri jalanan diapit oleh pohon-pohon yang tidak berdaun di bulan Desember seperti ini memang bukanlah sesuatu yang aku rindukan tentang London. Namun, mendapati pria kecil yang sedang berjalan disampingku ini, membuat semua keenggananku untuk berada di sini, terabaikan seutuhnya.
Aku tidak tahu bagaimana sikap Adam jika melihat Chris nanti. Bagaimana aku harus menjelaskan dengan kalimat sederhana bahwa aku dan Chris tinggal bersama. Mungkin kami tidak harus menjelaskan apa pun. Yang terpenting saat ini adalah Adam bersamaku. Apa yang kami lakukan sekarang—berjalan di Regents Park dan mendengar celoteh Adam di telingaku—lebih dari cukup.
Sometimes, you have to settle for enough rather than asking for more. And I will not ask anything more than having Adam in my arms, watching him sleep, eat, while at the same time, knowing that Chris is here with me.
My happiness is complete.
*** F I N***
Finally!
Akhirnya, cerita ini kelar juga. This is the epilogue I promised you all. I hope you enjoyed it. Saya mau bilang terima kasih banyak buat kalian semua yang udah baca, vote, dan komen buat cerita ini. Thank you very much! I appreciate every single of it. Buat yang masih silent reader, terima kasih juga sudah mau baca. Semoga terpuaskan sama ending-nya dan nggak minta dilanjutin ya? hahahaha. Apalagi minta cerita Adam pas udah gede gimana. Kalau mau cerita tentang Adam, mungkin nunggu 15 tahun lagi kali ya? Huahahahaha.
Segitu aja sih :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro