DUA - YOU'RE MY DAY'S EYE
Putu sudah hampir menyelesaikan rangkaian bunga yang akan digunakan nanti malam untuk grand opening sebuah restoran Perancis di daerah Jimbaran, ketika Adam duduk di sebelahnya. Aku hanya sempat membuka log book begitu sampai di Jasmine. Memandang Adam dari balik dinding kaca ruangan, aku masih belum bisa membayangkan jika kursi yang diduduki Adam sekarang akan kosong dalam hitungan minggu.
Aku menghela napas sembari menyalakan laptop. Ketika kembali disuguhi nama Chris di sana, aku terdiam. Membalasnya atau tidak seperti sebuah dilema. Aku memutuskan untuk membalas surel lain yang berhubungan dengan Jasmine, ketika pintu ruanganku diketuk.
"Silakan."
Sosok Banyu terlihat ketika pintu ruanganku terbuka.
"Pagi, Pak."
Mengenakan polo putih dengan bordir JASMINE di bagian dada sebelah kiri dan rambut pendeknya yang dibiarkan sedikit berantakan, aku memintanya untuk menutup pintu.
"Apa kabar, Banyu?"
"Saya baik, Pak. Bapak sendiri hari ini bagaimana kabarnya?"
"Masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi," jawabku ringan. Banyu tahu, Adam selalu menjadi alasan jawaban atas pertanyaan seperti itu. Paling tidak, dengannya.
"Saya baru tahu kalau Adam akan ikut Ibu ke London. Saya pasti kangen Adam."
Aku mengangguk. "Banyak orang yang akan kangen sama Adam. Saya bahkan tidak tahu bagaimana hari-hari saya tanpa dia."
"Saya ikut prihatin, Pak."
Aku tersenyum. "Saya akan baik-baik saja. Ada yang perlu saya tanda tangani?"
Banyu menggeleng. "Saya hanya ingin memastikan Bapak sudah baca e-mail yang dikirim oleh Ibu Gloria kemarin. Beliau kembali telepon tadi dan menanyakan Bapak."
"Saya akan hubungi Ibu Gloria segera. Ada yang lain?"
"Itu saja, Pak."
"Baiklah. Kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu."
Banyu mengangguk. "Saya permisi dulu, Pak."
Sebelum Banyu sepenuhnya menutup pintu ruangan, aku memanggilnya. "Banyu?"
"Iya Pak?"
"Adam ingin kamu ke rumah lagi. Kamu tidak keberatan kan?"
Ada sunyi sebelum Banyu membalasku. "Sama sekali tidak, Pak."
"Have a good day, Banyu."
Begitu dia berlalu dari ruangan, aku menghela napas sebelum kembali menekuri laptop.
Mengabaikan logika, aku membuka kembali surel dari Chris dan menekan REPLY.
From : Adrian Wirayoga
To : Chris Burton <[email protected]>
Subject : RE: Indonesia
Date : 11.14 AM, March 15, 2013
Chris,
Finally, your dream to live in Indonesia, will happen soon. I have no doubt that you will find me. You always have a way to find me.
Adrian
Aku membaca kembali balasan untuk Chris sebelum menekan SEND. Jika menundanya, aku pasti akan berubah pikiran.
Menyebut Chris hanya sebagai masa lalu, bukanlah hal yang sepenuhnya tepat. Dia tidak pernah menjadi masa lalu. Aku masih ingat pertengkaran hebat kami ketika mengatakan kepadanya, aku harus menikah dengan Kara. Dia tentu saja tidak bisa menerima fakta itu dengan mudah. Dia mendatangi Kara dan terlibat adu mulut hingga membuatku pergi ke Skye untuk menenangkan diri. Chris menemukanku. Entah bagaimana dia melakukannya, mengingat kami belum pernah ke Skye berdua. Menyakiti Chris adalah hal terakhir yang aku inginkan, tetapi aku melakukannya. Kami bicara selama dua jam malam itu dan Chris melepasku, meski dia mengatakan akan terus menyimpan hatinya untukku.
Dia tidak hadir dalam pernikahanku dan Kara. Aku sangat memahaminya karena akan menyakitkan untukku juga, jika Chris harus menikah dengan orang lain. Kebenciannya kepada mantan istriku, sepertinya masih disimpannya hingga sekarang. Aku tidak tahu pasti, karena tidak pernah menanyakannya.
Aku menyandarkan punggung ke kursi ketika Adam dengan berlari, masuk ke ruangan dan langsung mengalungkan lengan kecilnya di lenganku.
"Pa, Adam boleh ikut nganter bunga?"
Suara Adam membuatku mengalihkan pikiran tentang Chris dan dengan kedua lengan, aku mengangkat tubuhnya untuk duduk di pangkuanku.
"Adam mau ikut siapa?'
"Mas Banyu!"
Bukan pertama kali ini aku mendengar nama Banyu keluar dari mulut Adam. Bahkan, Adam pernah bertanya kepadaku, apakah Banyu boleh menginap di rumah ketika aku harus ke Ubud hingga larut. Aku berhasil memberikan alasan untuk meolak permintaannya. Bukannya keberatan dengan Banyu ada di rumah, hanya saja tidak tepat membiarkan Banyu menginap. Yang jelas, suasana hati Adam berubah jelek keesokan harinya.
"Lama?"
Adam menggeleng. "Bentar Pa. Boleh ya?"
Aku tidak pernah mampu menolak permintaan Adam jika dia sudah mengeluarkan nada manjanya. Aku mencium kedua pipinya sebelum mengangguk.
"Jangan gangguin Mas Banyu dan yang lainnya ya? Mereka kerja."
Kali ini, Adam mengecup pipiku dan mengangguk. "Nggak nakal. Janji."
Aku hanya bisa tersenyum sebelum Adam turun dari pangkuanku dan segera berlari keluar dan menghampiri Banyu. Adam adalah kebahagiaan terbesar dan aku harus bersyukur masih memiliki waktu bersamanya.
***
Aku meminta Mbak Eni untuk menjemput Adam, supaya dia bisa mandi dan makan malam di rumah. Masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Aku tidak akan bisa berkonsentrasi jika Adam masih terjaga, karena aku pasti lebih memilih untuk menemaninya hingga tertidur daripada menyelesaikan perkerjaan. Ketika Made, security yang datang untuk menjaga toko setiap malam datang, aku masih menekuri laptop. Menyibukkan diri, dengan mempelajari beberapa proposal dari calon supplier dan juga mengecek pesanan-pesanan yang harus kami penuhi untuk seminggu ke depan.
Alasan lain aku masih berada di Jasmine hingga pukul 9 malam, adalah mengalihkan pikiranku dari kepergian Adam ke London mau pun kedatangan Chris yang bisa kapan saja. Aku perlu memikirkan Jasmine sejenak. Spaghetti yang menjadi menu makan siang bersama Adam tadi, masih cukup untuk membuatku menunda makan malam.
Aku membiarkan mataku terpejam hingga langkah kaki yang tertangkap telingaku, membuatku kembali membuka mata. Jasmine sudah tutup dua jam yang lalu, hingga aku tidak tahu siapa yang harus kembali ke kantor. Banyu kemudian muncul dan dia sempat menghentikan langkah melihat lampu ruanganku masih menyala. Aku memberikan senyum sebelum beranjak dari kursi.
"Ada yang ketinggalan Banyu?"
"Charger saya, Pak. Kok Bapak masih di sini?"
Aku tersenyum. "Ada yang masih harus saya kerjakan. Kamu ada acara, Banyu?"
"Tidak ada. Saya kan masih sendiri, Pak. Acara saya sehabis dari kantor ya makan terus tidur. Kalau masih belum ngantuk, saya baca novel yang Bapak pinjamkan atau menonton film."
"Saya sudah mau selesai dan belum makan malam. Kamu mau menemani saya?"
"Asalkan saya tidak harus berganti pakaian," jawab Banyu sambil tersipu.
"Kamu cukup pantas untuk masuk restoran kok," balasku.
"Saya ambil charger dulu, Pak."
Aku mengangguk. "Saya juga mau beres-beres."
Begitu Banyu beranjak, aku segera masuk kembali ke ruangan dan membereskan meja. Setelah menyimpannya dalam laci dan memasukkan kuncinya ke tas, aku mematikan lampu sebelum meninggalkan ruangan.
Banyu muncul ketika aku membiarkan aroma melati yang menjadi center piece menguasai indera penciuman.
"Bapak suka sekali dengan melati."
Aku menatapya dan mengangguk. "Karena ini bunga favorit Ibu saya. Kamu mau ke mana?"
"Kan Pak Adrian yang mau makan, saya ikut saja ke mana Bapak pergi."
"Milano?"
Banyu mengangguk.
Made menghampiri kami begitu aku menutup pintu samping tempat kami keluar.
"Bapak mau pulang sekarang?"
Aku mengangguk. "Saya dan Banyu mau makan dulu, tapi mobil saya tinggal di sini. Biar besok saya jalan kaki dari rumah."
"Bapak nanti pulangnya bagaimana?"
Aku tersenyum. "Saya tidak keberatan jalan kaki."
"Kalau Bapak tidak keberatan, saya bisa antar Bapak pulang," tawar Banyu yang berdiri tidak jauh dari kami.
"Kita lihat saja nanti. Ya sudah, kami pergi dulu Made. Selamat malam."
"Malam, Pak."
Aku segera naik ke motor ketika Banyu sudah menghidupkan mesinnya. Kami pun meninggalkan Jasmine.
"Bapak yakin tidak mau saya antar?"
"Saya tidak keberatan."
Milano adalah salah satu restoran Italia yang letaknya tidak jauh dari Jasmine, hanya sekitar lima menit kalau naik motor. Aku memilih Milano karena selain interior design-nya yang sangat Italia, suasananya juga sangat laid back, hingga aku yakin Banyu tidak akan kikuk jika ada di sana.
Tidak banyak kendaraan yang diparkir di depan Milano. Mungkin karena jam makan malam sudah lewat. Begitu kami turun dari motor dan melangkah masuk, aku langsung meminta pramusaji di sana agar memberikan meja yang letaknya bersisian dengan tembok. Selain menyukainya, meja itu juga tidak dikelilingi oleh banyak pelanggan, sesuatu yang pasti membuat Banyu merasa nyaman.
Ketika menu sudah ada di depan kami, aku menatap Banyu.
"Kamu mau pesan apa?"
"Saya sudah makan malam, Pak. Saya pesan chocolate milkshake saja."
Aku memanggil pramusaji dan memberikan pesanan kami. Chocolate milkshake untuk Banyu, lasagna dan sparkling water untukku. Aku memandang Banyu yang mengenakan kemeja lengan pendek polos berwarna biru muda dan celana pendek hitam, membuat tampilannya snagat kasual khas anak muda.
"Buku yang saya pinjamkan kemarin, sudah selesai dibaca?"
Aku merasa pertanyaanku sendiri sangat konyol karena selalu ada kecanggungan setiap kali kami hanya berdua. Terkadang, sebagai orang yang 12 tahun yang lebih dari Banyu, aku bersikap lebih konyol daripada Banyu.
Banyu mengangguk. "Saya suka, Pak. Meski ada banyak kata yang harus saya cari di kamus. Tapi, saya suka."
"Butuh bacaan baru?"
"Kalau Bapak tidak keberatan."
"Kamu bisa sedikit lebih santai kalau kita sudah di luar Jasmine, Banyu. Nggak perlu terlalu formal ngomong sama saya."
Belum sempat membalas kalimatku, minuman kami sudah datang. Banyu kemudian memandangku ketika dia sudah menyeruput 1/4 minumannya.
"Akan butuh penyesuaian kalau begitu."
"Kita kan bukan atasan-bawahan di luar Jasmine. Jadi, anggap saya orang lain yang usianya jauh lebih tua dari kamu. Itu saja," balasku.
"Adam sudah tidur kalau jam segini, Pak?"
Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Banyu. Biasanya, Banyu akan langsung menanyakan tentang London atau meminta rekomendasi film apa yang harus ditontonnya. Aku tidak mampu menyembunyikan ekspresi terkejut, mengetahui pertanyaan pertama yang diajukannya adalah tentang Adam.
Aku melihat arlojiku yang menunjukkan hampir setengah sepuluh. "Seharusnya dia sudah tidur, tapi kalau belum, dia pasti sudah di tempat tidur. Nggak biasanya kamu tanya tentang Adam. Saya kira kamu mau nanya tentang film atau London."
Banyu tersenyum. "Adam mungkin kecapekan hari ini, karena dia juga ke pantai dan sempat main air. Dia kelihatan sangat senang waktu ikut saya siang tadi. Adam sangat cerdas dan menggemaskan. Setiap orang yang bertemu dengannya, akan langsung menyukainya."
Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Banyu. "Kadang, saya berpikir apakah dia akan tetap seceria sekarang jika sudah di London nanti. Dia pasti kangen sama pantai. Saya masih nggak bisa bayangin hidup tanpa Adam untuk beberapa bulan ke depan setelah lima tahun selalu bersamanya. Sayangnya, saya nggak bisa mengubah keputusan hakim."
Aku membiarkan tenggorokanku basah oleh air yang aku teguk, berharap Banyu akan mengubah topik pembicaraan kami.
"Oh ya Pak, kemarin saya nonton Cinema Paradiso. Saya terharu saat adegan Toto diminta pergi sama Alfredo, apalagi ketika mereka berpisah di stasiun kereta api. Saya seperti diingatkan kembali ketika akan pindah ke sini, meski tidak sedramatis di film."
"Cinema Paradiso adalah salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Semua aspek di film itu sesuai porsinya. Saya bahkan masih sering memutar komposisi musik Ennio Morricone sebagai pengantar tidur buat Adam."
Membicarakan Cinema Paradiso juga membuatku teringat ketika pertama kali menonton film Italia itu bersama Chris. Pernah tinggal di Italia selama tiga tahun, membuat Chris fasih berbahasa Italia, hingga dia selalu mengeluarkan sumpah serapah dalam Bahasa Italia ketika subtitle di film itu tidak sesuai dengan maksud yang sesungguhnya. Kami tidak berhasil menyelesaikan film itu karena Chris membuatku mengikuti keinginannya agar kami pindah ke tempat tidur. Aku akhirnya menonton film itu sendirian. Pikiranku dipenuhi kenangan dengan Chris hingga membuatku tersenyum.
"Pak Adrian?"
Panggilan itu menyadarkanku dari lamunanku tentang Cinema Paradiso dan Chris, hingga kemudian, aku memandang Banyu.
"Maaf, bisa kamu ulang apa yang kamu bilang tadi?."
"Bapak capek?"
Aku menghela napas lalu menggeleng. "Ada banyak hal yang melintas di pikiran. Itu saja. Saya harap, kamu nggak nganggap saya orang yang membosankan."
"Saya pasti sudah pergi pas Bapak melamun tadi, kalau menurut saya Pak Adrian orang yang membosankan. Sama sekali nggak, Pak."
Pesananku datang hingga obrolan dengan Banyu tertunda, karena dia sepertinya tidak ingin mengganggu makan malamku.
"Nggak ada yang menunggu kamu kan?" tanyaku setelah menelan suapan pertama lasagna. Baru kali ini, aku pergi ke dua restoran Italia yang berbeda dalam satu hari.
"Ada sih Pak, kamar kos saya."
Aku hampir tersedak mendengar jawaban Banyu. Aku tahu dia hanya bercanda dan sama sekali tidak lucu. Namun, aku berharap tidak mengunyah makanan saat ini agar bisa menanggapinya dengan senyuman atau sekedar tawa kecil.
"Pacar?"
Aku sebenarnya tidak terlalu suka menanyakan pertanyaan pribadi seperti ini, apalagi mengingat status Banyu. Mengingat jawabannya ketika masih di Jasmine tadi, aku merasa bodoh menanyakan pertanyaan seperti itu.
"Mana ada yang mau sama saya Pak? Lagipula, saya pikir pacar cuma jadi pengalih perhatian. Saya masih punya banyak tujuan dalam hidup."
"Pasti ada."
Banyu menghabiskan chocolate milkshake-nya kemudian menyandarkan tubuhnya dan mengedarkan pandangan ke seisi restoran yang semakin berkurang. Aku bisa memandangnya dengan leluasa, hingga perasaan itu kembali berlompatan dalam hatiku. Aku memaksakan diri untuk mengalihkan pandangan dari Banyu hanya untuk mengingatkan, aku harus berhati-hati. Bagaimanapun, Banyu adalah orang yang aku pekerjakan di Jasmine.
Aku menyisihkan piringku karena kehilangan nafsu untuk menghabiskan makanan, yang sebenarnya sangat lezat itu. Aku memandang Banyu yang sepertinya menunggu hingga aku menyelesaikan makan malam.
"Kamu mau pesan milkshake lagi?'
Banyu tersenyum. "Sudah cukup Pak, terima kasih. Kenapa tidak dihabiskan Pak?"
"Sudah kenyang. Kasih tahu saya, film apa lagi yang sudah kamu tonton?"
"Kemarin lusa saya nonton Sunset Boulevard, tapi ketiduran," Banyu meringis, seperti merasa bersalah tidak berhasil menyelesaikan film besutan Billy Wilder itu. "Tapi saya pasti nonton lagi, karena dari ulasan yang saya baca, pujiannya sangat tinggi. Apalagi Pak Adrian cerita kalau itu salah satu film terbaik tentang Hollywood, jadi saya yakin kalau itu film yang bagus."
"Nggak masalah kalau kamu ketiduran. Lagipula, nggak ada yang minta kamu harus nonton film itu segera kan? Saya yakin, kamu pasti suka film itu."
Banyu tersenyum lalu mengangguk. "Saya merasa normal sekarang Pak, karena bisa bicara tentang film sama Bapak. Padahal dulu, saya selalu merasa aneh suka dengan film-film klasik, apalagi saya baru 22 tahun."
"Itu bukan dosa Banyu dan kamu harusnya bangga, di usia kamu yang baru 22 tahun, kamu tahu film bagus. Nggak banyak pria seusia kamu tahu tentang film-film dari tahun 50-an."
Aku melihat Banyu agak sedikit tersipu mendengarku memujinya. Ada sesuatu dalam diri Banyu yang menarikku sangat kuat, tetapi keraguan itu masih belum juga sirna.
"Pak Adrian, kalau boleh saya tanya, menurut Bapak, definisi cinta itu apa?"
Aku mengangkat kedua alisku mendengar pertanyaan Banyu. Apakah aku tidak salah dengar?
"Saya nggak salah kan kamu bertanya tentang cinta kepada saya?"
Banyu menggeleng. "Hanya ingin tahu arti kata itu buat Pak Adrian. Bapak kan lebih berpengalaman tentang cinta daripada saya. Maaf kalau pertanyaan saya lancang," jawabnya sambil menegakkan tubuh hingga tidak mungkin bagiku untuk tidak menguasai pandangannya. Dia terlihat antusias menunggu jawaban dariku, hingga aku tidak tega untuk memberikan jawaban sekadarnya, meski aku bisa saja melakukannya.
Aku menggeleng. "Kamu benar ingin tahu?" Banyu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu." Aku pun ikut menegakkan tubuh hingga kami sekarang saling berhadapan seperti sedang membahas sesuatu yang sangat penting. "Ada apa?" Aku menanyakan itu karena tiba-tiba, senyum terkembang di wajah Banyu.
"Saya menunggu penjelaan Pak Adrian."
Aku tertawa kecil. "Banyu, cinta itu bukan untuk dijelaskan tapi dirasakan. Setiap orang punya definisi yang beda tentang cinta. Seiring bertambahnya usia, definisi cinta juga pasti akan berubah. Saya yakin, cara saya dan kamu melihat cinta pasti beda. Buat saya, definisi cinta adalah Adam. Kalau suatu saat nanti saya jatuh cinta lagi, Adam tetap akan jadi pertimbangan utama. Saya nggak bisa jatuh cinta begitu saja, ada Adam dan banyak hal lain yang harus saya pertimbangkan. Jika orang bilang, cinta itu nggak bisa dibuat masuk akal, buat saya cinta itu HARUS masuk akal karena kalau nggak, ada terlalu banyak yang akan terpengaruh oleh perasaan cinta yang saya rasakan. Jadi menurut saya, cinta itu adalah Adam dan logika."
Aku melihat Banyu hanya terdiam mendengar penjelasanku yang terdengar seperti sebuah curahan hati. Namun aku ingin Banyu tahu, Adam memang segalanya bagiku. Wajah Banyu terlihat tanpa ekspresi untukku.
"Meski Bapak cinta mati sama orang itu?"
Aku tersenyum. "Cinta mati itu hanya ada antara orang tua dan anak, Banyu. Seperti saya dan Adam. Kamu nggak bisa bilang seseorang adalah cinta mati sampai kalian menikah dan hidup lama hingga maut memisahkan. Itu adalah cinta mati. Banyak hal yang mungkin kedengarannya konyol atau bahkan nggak masuk akal. Kalau kamu nanti sudah seusia saya, kamu akan melihat banyak hal dengan kacamata berbeda."
Banyu mengangguk. "Saya belajar banyak dari Pak Adrian tentang hal-hal yang belum saya alami. Saya harap Bapak tidak bosen berbagi pengalam dengan ke saya."
"Mungkin, kamu yang akan bosan dengar cerita-cerita saya dan akan minta saya untuk berhenti. Saya selalu senang menghabiskan waktu dengan kamu."
Banyu kembali tersenyum meski ada sedikit rasa sesal, jika kalimatku diartikan lain olehnya. Aku hanya ingin Banyu tahu, menghabiskan waktu dengannya selalu membuatku bahagia. Aku merasa bukan seperti diriku setiap kali bersamanya. Memang masih ada dan akan tetap ada batasan-batasan antara kami berdua, tetapi Banyu membuatku lepas dari Adam dan rumitnya kehidupanku untuk beberapa saat. Aku merasa sanggup menghadapi kembali realitas setelah menghabiskan waktu bersamanya.
"Sepertinya mereka mau tutup Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang?"
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh area restoran dan meskipun masih ada dua meja yang terisi, aku rasa Banyu benar kalau kami harus pergi.
"Saya harap kamu belum bosan dengan saya," ucapku sebelum memanggil pramusaji untuk meminta bill dan ucapanku itu disambut Banyu dengan senyuman.
"Saya tidak akan pernah bosan sama Pak Adrian, masih ada banyak hal yang saya ingin tahu."
"Oh ya, kamu mau pinjam buku apa?"
Aku tiba-tiba teringat, sudah lebih dari dua minggu sejak aku meminjamkan The Thorn Birds. Aku tidak akan heran, jika Bayu menunggu untuk aku tawari.
"Apa saja, Pak. Yang tidak terlalu rumit."
Aku menunda balsan kalimatku ketika bill makan malamku datang. Setelah menyerahkan dua lembar seratus ribuan, aku memandang Banyu.
"Kita pulang sekarang?"
Banyu hanya mengangguk dan kami berdua pun beranjak dari meja menuju ke tempat parkir yang sudah sepi dari kendaraan. Aku memandang Banyu.
"Kamu nggak kikuk kan boncengin saya?"
"Asal Bapak tidak keberatan, saya tidak akan kikuk."
Aku tahu Banyu hanya bergurau dan aku menyambutnya dengan sebuah tawa. "Saya sama sekali nggak keberatan. Justru naik motor menghindarkan kita dari macet." Aku kemudian menepuk pundaknya. "Jadi, kita mau lewat mana?"
"Lewat Petitenget saja, Pak."
"Saya ikut kamu."
Aku kemudian memosisikan diri di belakang Banyu dan kami meninggalkan Milano menuju ke rumah. Aku tidak terbiasa duduk dan dibonceng sepeda motor, tetapi duduk di belakang Banyu terasa berbeda. Inilah satu-satunya momen aku bisa berada begitu dekat dengannya secara fisik. Bagaimana rasanya jika kami berkendara di tempat yang jauh dari keramaian dengan hijaunya sawah atau pemandangan gunung mengelilingi kami? Aku tersenyum membayangkan kemungkinan itu.
Jarak rumahku dan Milano bisa dibilang dekat hingga hanya butuh sepuluh menit bagi Banyu untuk mencapainya. Aku langsung turun dan membuka pintu gerbang serta membiarkan Banyu masuk. Aku melirik aroji dan waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas. Aku yakin, Mbak Eni mau pun Adam sudah terlelap, hingga aku tidak perlu mengetuk pintu untuk memastikan apakah Mbak Eni sudah tidur atau belum.
Aku meraih kunci dari saku celana, sementara ekor mataku menangkap Banyu masih duduk di atas motornya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana pendeknya. Aku tidak mampu menahan senyum melihatnya seperti itu.
Ketika pintu sudah terbuka, aku memandang Banyu. "Ayo masuk sebelum darah kamu habis digigit nyamuk."
Banyu tertawa lalu berhenti ketika kakinya hampir melewati gerbang. "Pak Adrian, mungkin sebaiknya saya pulang. Ini sudah terlalu larut."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro