Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33

Senyum di wajah Alif tak juga luntur, gurat kebahagiaan di wajahnya tak juga hilang. Ya, kini ia tengah merasakan kebahagiaan. Ia semakin yakin, ia harus memperjuangkan cintanya. Terkadang ia masih tak percaya bahwa malam ini adalah nyata. Disaat dengan tiba-tiba calon istrinya mengungkapkan perasaannya. Ia fikir, cintanya akan bertepuk sebelah tangan. Tapi ternyata Zahra juga menyukainya. Kini usahanya tinggal banyak-banyak berdoa semoga Allah membimbing mbah Kasto supaya mau  menerimanya.

Jantungnya berdebar kala mengingat Zahra dengan kalimat yang terbata, ia mengungkapkan perasaannya. Lalu senyumnya kembali mengembang. "seharusnya aku ya yang ngungkapin perasaan? Aduuuhh... Tapi rencana aku, pengen ungkapin perasaanku pas kita udah sah." Alif mengacak rambutnya. Ia menjadi merasa bersalah. Ia berfikir saat ini Zahra tengah malu karena memang tak mudah bagi perempuan untuk menyatakan perasaannya. Apalagi Alif tak bisa menjawabnya saat ini. Karena ia bisa langsung didiskualifikasi.

"kayaknya tadi, Zahra nyesel deh udah ungkapin perasaannya?" gumam Alif lagi, saat mengingat wajah sedih Zahra kala ia dan rombongan berpamitan. Bahkan Zahra tak mau menatapnya.

"apa dia malu ya? Hehe" Alif jadi terkikik sendiri.

"tenang ra. Akan kubuat pipimu itu terus merona saat kita sudah sah." Alif berjingkrak jingkrak dikamarnya. Ia benar-benar merasa bahagia.

Lalu Alif beristighfar, ia tak mau terlalu bahagia sehingga melupakan segalanya. Kini ia terduduk di sisi ranjanngnya. Di ambilnya Al-Qur'an kecil dari laci nakasnya. Dibukanya, untuk melanjutkan tadarus yang sudah ia tandai dengan selembar kertas. Targetnya selama bulan puasa ini, ia harus bisa khatam.

****
Semilir angin di malam hari, menerpa wajah Zahra yang kini tengah ditekuk. Mendengar keputusan mbah kakung yang akan mengundang para kandidat calon suaminya besok saat buka puasa, semakin menambah kesal hati Zahra. Rasa kesal dan rasa sakit yang tadi ia rasakan saja belum sepenuhnya hilang, kini ia sudah harus menerima semua keputusan yang akan diambil mbah kakungnya.

Acara pernikahan sang kakak kini sudah selesai. Rumah zahra tak seramai tadi, kini tinggal para sanak famili yang masih berada dirumahnya. Mereka sibuk bersih-bersih. Tapi zahra malah kabur. Ia memilih ke kamar, mengunci pintu, membuka jendela lalu duduk di depannya.

Ia tengah merenungkan nasibnya. Nasib jodohnya. Dibuka buku diary yang selalu ia isi dengan nama yang sama, Alif. Ada banyak goresan tinta didalamnya. Keluh kesah yang ia rasakan selama mengenal orang yang bernama, Alif. Sampai harapan dan impian yang ingin ia wujudkan bersama Alif. Namun sepertinya ia harus sudah mencoret nama itu dari daftar nama calon jodohnya. Ia tak mungkin memperjuangkan orang yang tidak suka padanya. Rasa menyesal seketika menyusup kedalam fikirannya. Ia menyesal sudah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.

Obrolan Alif bersama Bian masih jelas terekam di ingatannya. Ia masih tidak percaya jika mengingatnya. Ada rasa kesal juga yang menyusup kedalam dadanya.

"mas alif nih gimana sih? Kok nggak jadi gagalin nikahannya mbak anin sih? Mas Alif cinta kan sama mbak anin? Mas Alif rela mbak Anin sama mas Riki? Mas Alif nggak mau gitu perjuangin mbak Anin? Mereka cuma dijodohkan loh mas. Mba Anin nggak suka sama mas Riki." cerocos Bian yang Zahra dengar dari balik dinding tempat ia bersembunyi setelah ia mengungkapkan perasaannya pada Alif.

Zahra tak menyangka ia akan mendengar kalimat itu. Ada rasa tak percaya. Bagaimana mungkin mereka mempunyai tujuan untuk menghancurkan acara pernikahan kakaknya.

"Untuk apa Alif berencana ingin menggagalkan acara pernikahan kak Riki?" pertanyaan itu yang langsung muncul dikepalanya.

Saat itu Zahra menunggu jawaban dari Alif yang begitu lama.

"bi... Lihat deh, Anin kelihatannya gimana? Bahagiakan? Kamu salah kalau Anin nggak suka sama mas Riki. Lihat deh senyumnya dia. Dia bahagia Bi. Jadi aku juga akan bahagia kalau Anin bahagia. Tak perlu kita bersama untuk membahagiakan dia. Iya kan?" jawab Alif menjelaskan, walau samar Zahra bisa cukup mendengar kalimat terakhir yang langsung membuat sesak dada Zahra. Setelah itu kupingnya seolah menolak semua suara. Ia terdiam membeku di balik dinding tempat persembunyiannya.

Air matanya mengalir seketika. Ia terluka. Ternyata wanita yang dicintai Alif adalah Zalfa, wanita yang kini menjadi kakak iparnya.

"Mas Alif cinta kan sama mbak anin? Mas alif rela mbak anin sama mas riki? Mas alif nggak mau gitu perjuangin mbak anin?" pertanyaan dari Bian kembali berputar di ingatannya. Semakin menambah rasa sesak didada.

"ya Allah. Lapangkan hati hamba. Supaya hamba bisa menerima semua ini. Supaya hamba tidak lagi merasakan sakit. Supaya hamba bisa ikhlas menerima perjodohan hamba." ucapnya sambil menengadahkan tangannya. Di sepertiga malam malam ini. Zahra hanya bisa berdoa, karena ia yang tengah halangan.

Hawa semakin dingin. Baju tebal yang ia gunakan seakan kurang tebal, karena ternyata angin masih bisa menyentuh kulitnya. Tak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya, akhirnya ia sudahi renungan malamnya. Ditutupnya jendela kamar dengan perlahan, ia tak mau mengganggu istirahat sang nenek.

***
Persiapan untuk acara buka bersama dengan para kandidat calon suami Zahra sudah siap.

Zahra yang kini dibantu Zalfa tengah mempersiapkan meja makan. Ditatanya piring dan teman-temannya di sana. Terlihat ada sop iga sapi, ayam kecap, tumis kangkung serta orek tempe. Dan yang tak boleh ketinggalan, lalapan kesukaan mbah kakung, kerupuk.

Terdengar ucapan salam dari depan. Zahra berjalan dengan malas menuju ke pintu. Ia sudah bisa menebak jika yang datang adalah sang kandidat calon suaminya.

Zahra terkejut saat melihat siapa yang datang. Dimas. Ternyata Dimas datang lebih dulu. Setelah mempersilahkan Dimas untuk masuk, Zahra kembali ke dapur. Ia hendak menyiapkan air mineral serta buah kurma untuk menjadi pembatal puasa.

Ia tak lagi memperdulikan keadaan diluar. Ia kini hanya bisa pasrah dengan keputusan yang akan diambil mbah kakungnya.

Hingga suara adzan memaksanya menghentikan aktifitasnya. Ia mencoba mendengarkan dengan seksama. "suara Alif?" gumamnya. Namun segera ia tepis karena itu tidak mungkin menurutnya. "halusinasi. Husss. Husss." Zahra mengibaskan tangannya di sekitar kepalanya. Ia mengusir halusinasi yang membuatnya seolah mendengar suara Alif tengah mengumandangkan adzan di mushola samping rumahnya.

"apa mas Dimas?" tebak Zahra, mengingat tadi tamunya adalah Dimas.

"sini dek, biar aku aja yang bawa nampannya." ucap Riki lalu menyambar nampan yang ada di depan Zahra. Ia hendak membawa nampan itu ke mushola, memberi para tamunya air dan juga kurma untuk membatalkan puasa.

Zahra kembali fokus pada pekerjaan yang lainnya. Menata piring di meja makannya. Saat semuanya sudah siap untuk sholat magrib lebih dahulu, Zahra yang memang tengah halangan, memilih untuk kekamar, ia hendak ganti baju. Dan juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis, hanya supaya tidak terlihat mengkilap.

Dari dalam kamar, Zahra bisa mendengar kalau para tamunya sudah masuk. Terdengar suara ramai di bawah. Tawa sang Ayah pecah, mungkin ia mendengar cerita yang lucu, yang entah siapa yang bercerita, Zahra tidak tau.

"dek. Turun yuk. Kita makan." ajak Zalfa sembari mengetuk pintu kamar Zahra.

"iya kak. Duluan aja aku lagi ganti baju." jawabnya. Zahra tengah memilih baju mana yang akan ia kenakan. Lalu ia mengambil satu gamis berwarna biru navy dengan jilbab bermotif bunga-bunga kecil. Itu gamis pemberian mbah kakungnya tadi malam.

Zahra mencobanya, ternyata ukurannya pas. Zahra tersenyum saat mengingat kebaikan mbah kakungnya yang ternyata mau memilihkan gamis untuknya.

Setelah selesai bersiap Zahra keluar. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih kencang, mungkin karena malam ini malam penentuan siapa yang akan menjadi suaminya. Dengan mengucapkan basmallah, Zahra menuruni anak tangga satu persatu.

Di bawah Alif tengah menunggu Zahra yang tak kunjung menampakkan dirinya. Sesungguhnya ia sudah menunggu saat ia baru tiba dirumah Zahra. Ia berharap bisa segera melihat Zahra. Tapi ia harus bersabar karena ternyata Zahra tengah berhalangan sehingga ia tak bisa bertemu dimushola saat sholat maghrib.
Selesai sholat maghrib pun ia masih harus bersabar. Karena ternyata Zahra masih berada di dalam kamarnya.

Tak lama setelah Zalfa turun. Alif melihat bidadari yang tengah menuruni anak tangga. Tanpa di komando mulutnya pun ternganga, matanya terbuka. "ini dia yang aku tunggu-tunggu." batinnya saat melihat bidadarinya kini sudah turun.

"biasa aja liatinnya. Inget belum halal." tutur mbah kasto saat melihat muka Alif yang bahkan tak berkedip saat melihat cucunya.

"boleh langsung dihalalin nggak mbah?" tanya Alif yang langsung mendapatkan hadiah tawa dari anggota keluarga Alif dan juga Dimas si pesaingnya.

"boleh, kalau kamu sudah memenuhi syarat." jawab mbah kakung.

Alif tersenyum. Dalam hati ia berdoa, semoga ia yang akan dipilih mbah kasto, kalaupun ia nanti tidak dipilih, ia akan tetap memperjuangkannya sampai Zahra benar-benar menikah.

Zahra masih menunduk. Ia duduk di depan Alif dengan tanpa sadar. Ia masih belum menyadari jika sang calon suaminya adalah Alif.

"Ra, ambilin ayam kecapnya dong?" seru Alif untuk meminta perhatian Zahra. Karena zahra terus saja menunduk.

Dengan sedikit mendongakkan kepalanya Zahra menyodorkan piring berisi ayam kecap.

Betapa terkejutnya ia saat melihat wajah yang semalam ingin ia lupakan ternyata muncul dihadapannya.

"Alif." gumamnya.

Alif tersenyum. Ia memberikan senyum terbaiknya. Ia tengah berusaha membuat zahra semakin jatuh cinta padanya.

"assalamu'alaikum ra?" sapa Alif. Zahra masih tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Ia berkali-kali mengedipkan matanya. Memastikan yang di depannya bukan lah sebuah halusinasi.

Zahra menatap Alif. "mungkinkah kamu calon suamiku?"

***
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro