Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. sahabat

Suara Adzan subuh yang saling bersautan membangunkan Alif yang baru saja ia bisa memejamkan matanya. Gara-gara Bowo tidak mau memberitahunya tentang calon istrinya, membuat Alif merasa sangat penasaran. Rasa penasarannya itu membuatnya sangat sulit untuk memejamkan matanya.

Segera ia bergegas membersihkan diri untuk pergi sholat berjamaah di masjid.

Usai sholat berjamaah dimasjid, Alif tidak langsung tidur. Ia mengambil ponselnya. Mengetikkan nama Zahra pada nomor kontaknya. Tapi ia hapus kembali. Hingga beberapa kali ia melakukannya. Hatinya bimbang.

"abah..." ia berkata sendiri. Ia ingat, ia harus menemui abahnya. Ia ingin bertanya dengan siapa ia dijodohkan.

Alif langsung berdiri hendak mengambil jaket yang menggantung di balik pintu kamarnya. Ia hendak pergi kerumah Abahnya.

Tapi belum sampai ia melangkah keluar kamar. Bunyi ponsel menghentikannya. Ada telfon dari sahabatnya, Irfan.

"Ada apa, Fan?" tanya Alif sesaat setelah menjawab telfon dari Irfan. Ia sedang terburu-buru, jadi ia ingin Irfan langsung mengatakan maksudnya. Bahkan salam dari Irfan ia hiraukan.

"Astaghfirullah, Lif. Mengucapkan salam memang hukumnya sunah. Tapi menjawab salam itu hukumnya wajib." omel Irfan dari seberang. Alif mengacak rambutnya. Maksud hati agar cepat selesai tapi malah semakin panjang.

"iya, Fan, maaf. Wa'alaikumussalan. Ada apa?"

"Nah gitu dong. Perasaan ilmu agamanya tinggian kamu sama aku."

"Jadi gini, kan kamu udah nemu tempat buat kita reuni. Jadi gimana kalau kita nanti pertemuannya disana aja?"

"oke. Udah dulu ya. Aku buru-buru. Assalamu'alaikum."

Tanpa mendengar jawaban dari Irfan , Alif sudah lebih dulu mematikan sambungan telfonnya. Alif tersenyum saat membayangkan betapa kesalnya Irfan saat ini.

Tapi itu tidak ia pedulikan. Yang terpenting saat ini, kerumah abah, nanya siapa calon istrinya.

***
Tak nutuh waktu lama, kini Alif sudah berada di halaman rumah milik kedua orang tuanya. Kicauan burung gelatik menyambutnya. Alif menggelengkan kepala saat melihat koleksi abahnya bertambah lagi. Ada beberapa kandang burung berbagai bentuk dan ukuran menggantung di halaman. Bahkan baru beberapa hari Alif tidak kesini, sudah ada lagi yang berbeda, dihalaman tepatnya dibawah pohon jambu ada sebuah kandang burung yang berukuran cukup besar. Apa abah berniat untuk menjadi penjual burung? Fikir Alif. Ia menghampiri kandang itu, ternyata isinya ada beberapa ekor burung merpati.

"Kamu pagi-pagi gini udah sampai sini? Ada apa?" Alif langsung membalikkan badan. Abah tengah berjalan kearahnya sambil membawa pakan burung.

"Nggak ada apa-apa kok, bah." jawab Alif. Ia berjalan menghampiri abahnya yang sepertinya akan memberikan pakan untuk burung-burungnya.

"Jangan bohong." kata abah sambil menurunkan kandang burung yang ia letakkan di dahan pohon mangga.

Alif membantunya.

"Yang itu jangan dulu. Itu nanti, karena makanannya beda." kata abah lagi. Alif segera mengembalikan kandang burungnya keposisi semula.

"Udah nanya aja. Aku denger dari masmu, katanya kalian kemarin ketemu sama temen abah? Gimana anaknya cantikkan? Kamu suka kan?"

"Yang ketemu cuma mas Bowo, bah. Kulo mboten." saya tidak

"Lho kata masmu, pas kalian keluar bareng?"

"Inggih, tapi waktu itu Alif masih di dalam masjid. Jadi belum ketemu."

"Ooh..jadi kamu kesini mau nanya tentang siapa calon istrimu?"

Alif melongo. Kenapa abahnya bisa menyimpulkan seperti itu. Dan itu sangat tepat.

Alif mengangguk.

"Sebentar ya. Soalnya dia belum kasih jawaban iya atau tidak. Semalem ayahnya telfon. Katanya dia masih mau nunggu kakaknya dulu yang menikah." terang abahnya membuat Alif kembali mengangguk anggukan kepalanya.

Alif merasa lega, tapi disisi lain ia masih merasa penasaran. Siapakah calon istrinya itu?

"Ayo masuk. Kamu tadi pasti belum sarapan. Ibumu bikin bubur kacang ijo."

***
Usai membubarkan anak didiknya. Guru paud pelita masih berkumpul diruangan guru. Mereka mendiskusikan tentang persiapan lomba yang akan diadakan 2 hari lagi di sekolah paud suko asih 1.

Carla mencatat setiap kebutuhan yang mereka perlukan nantinya. Sedangkan zahra yang masih belum fokus gara-gara ucapan kakeknya tadi pagi, hanya terdiam.

Hingga carla menepuk bahunya, barulah ia tersadar. "Ada apa?" tanya Zahra memandang kearah Carla yang juga tengah memandang dirinya.

"Seharusnya aku yang nanya. Kamu ada apa?"

"aku..." jawaban Zahra menggantung. Karena ponsel yang berada di depannya bergetar. Ia pun lebih memilih mengangkat telfonnya lebih dahulu.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, ndah?" tanya Zahra, karena memang tidak biasanya indah menelfonnya.

"Kita bisa ketemu nggak? Selesai kamu ngajar?"

"Oh insyaAllah bisa. Ini juga udah selesai kok. Mau ketemu dimana? Tapi aku sama Carla nggak apa-apa ya?"

"Oh iya. Nanti aku kirimin alamatnya."

Tiga sampai empat kalimat berikutnya, telfon pun terputus. Zahra pun menceritakan maksud dan tujuan indah menelfonnya. Mengetahui hal itu, Carla langsung mengajak Zahra bergegas.

Setelah mereka mengunci setiap ruangan. Mereka kini menuju ke tempat janjian bersama indah.

Hanya butuh waktu 15 menit untuk mereka sampai di sebuah restoran yang bergaya tempo dulu.
Mulai dari pintu masuk yang seperti memasuki area kerajaan. Hingga semua prabot yang seperti jaman dahulu.

Indah yang ternyata sudah datang lebih dulu melambaikan tangannya saat melihat kedua sahabatnya tengah celingukan mencari dirinya.

"Maaf nunggu lama ya?" Carla bersuara lebih dulu sesaat setelah mereka ber cipika cipiki.

"Belum kok. Aku juga baru sampai. Oh iya tadi makanannya udah aku pesenin sekalian."

"Alkhamdulillah..." ucap Zahra dan juga Carla bersamaan.

"Maaf ya udah ganggu waktu kalian. Aku bingung soalnya, mau cerita sama siapa."

"Iya gak apa-apa. Emangnya ada apa?" Zahra menjadi kian penasaran. Pasalnya waktu pertama kali bertemu indah, indah berjanji akan menceritakan semua kisahnya sehingga membuat ia melepas jilbabnya.

Indah pun memulai ceritanya sembari menunggu pesanan mereka datang.

Indah memulainya saat ia lulus SMA. Ia dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Awalnya ia hendak menolak tapi ia tidak bisa. Semua keputusan ada ditangan sang papa. Awal pernikahan berjalan biasa-biasa saja. Hingga ditahun kedua ia menjalani pernikahan. Ia merasa tidak tahan lagi melihat kelakuan suaminya. Sangat jauh dari kata suami sholeh. Yang akan menjadi idaman setiap wanita. Dulu dengan ilmu agama yang dimiliki Indah, ia juga menginginkan suami yang terbaik.

"Jadi aku lakuin ini karena bentuk protesku sama mereka." ucap Indah mengakhiri ceritanya.

"Astaghfirullah... Ndah, kamu seharusnya nggak seperti ini. Kamu pernah dengar. Jodohmu cerminan dari dirimu? Mungkin keimanan kamu saat itu tengah lemah. Harusnya kamu kuat, dan berprinsip untuk merubah suami kamu supaya menjadi suami sholeh seperti impian kamu." Carla menanggapi lebih dulu.

"Iya, karena imam pun terkadang juga butuh bimbingan. Ibarat sopir, nggak mungkin sopir itu akan terus berjalan lurus. Terkadang si penumpang juga harus mengingatkan."

Indah tertunduk. Mungkin selama ini ia menyadari kalau dirinya salah, tapi untuk misinya yang ingin protes itu membuatnya menjadi tidak peduli.

"Dan sekarang, mereka ingin mengulang lagi kejadian itu. Aku sudah dijodohkan lagi. Salah nggak sih kalau aku menolak?"

"Yang penting kamu kasih pengertian sama kedua orangtua kamu. Kalau kamu protesnya dengan cara ini, mereka nggak akan ngerti."

"Tapi saran aku, ndah, mending kamu kenali dia dulu. Ajak dia ta'arufan. Kalau agamanya bagus, insyaAllah dia nggak akan nyakitin kamu."

Indah tersenyum mendengar nasehat sahabat-sahabatnya. Ia benar-benar merasa beruntung.

"Makasih. Kalian sudah menyadarkanku."

"Bukan kami. Tapi itu memang dirimu sendiri juga tahu kalau perbuatan kamu itu salah."

"Kalau kalian gimana? Aku aja udah mau 2 kali masak kalian belum ada tanda-tanda?" tanya Indah sambil memandang keduanya bergantian.

"Doain aja, Ndah. InsyaAllah nggak lama lagi." jawaban Carla membuat Zahra mendongakkan wajahnya. Ia menatap Carla dengan tatapan kagetmya. Pasalnya Carla belum pernah cerita soal kedekatannya dengan seorang pria. Ia hanya terus berceloteh tentang kekagumannya pada Bowo. Atau Irfan? Yang selama ini selalu menggodanya? Fikir Zahra.

"Kalem aja, Ra, natapnya. Mata kayak mau loncar gitu."

Belum sampai Zahra menuntut penjelasan, pesanan mereka pun datang.
Tiga porsi bebek bakar beserta teman-temannya yang lain sudah menanti untuk disantap.

"Motongnya kalau ada yang pesen ya? Perasaan lama banget." gerutu Carla.

Kedua sahabatnya hanya tersenyum. Kemudian mereka menyantap makanan yang sudah berada di depannya.

Setelah acara makan selesai, indah kembali menagih jawaban yang belum ia terima dari Zahra.

Zahra kembali menunduk. Ia ingat kata-kata kakeknya. Ia harus memutuskan untuk menerima perjodohan yang direncanakan ayahnya bersama temannya.

"Dia juga dijodohin." jawab Carla menggantikan Zahra.

"Oh ya? Terus kamu jawab apa? Sebelum terlanjur, Ra. Kamu tolak aja. Aku trauma kalau soal jodoh-jodohan. Aku takut kamu ngalamin hal yang sama kayak aku."

Itu juga yang Zahra fikirkan setelah mendengar cerita Indah.
Tapi apa mungkin ayahnya menjodohkannya dengan lelaki yang akan berlaku semena-mena terhadapnya? "nggak mungkin. Kata ayah ilmu agamanya tidak diragukan lagi." batinnya.

"InsyaAllah aku ikhlas." kata Zahra mantap. Membuat kedua sahabat didepannya tercengang.

"Terus perasaan kamu sama Alif?" tanya Carla spontan.

"Kamu suka sama Alif, Ra? Atau jangan-jangan dulu itu aku bener?"

"Mungkin memang kami tidak berjodoh." jawab Zahra lesu. Ingatannya berputar saat masa SMA. Walau ia hanya bisa memandangnya dari jauh, dan hanya bisa menyebutkan namanya didalam setiap doa tapi perasaannya sudah sangat dalam. Rasa sakit tiba-tiba menyerang hatinya. Ada perasaan diremas-remas hingga terasa sesak. Dan tanpa dikomando cairan bening menggenang dipelupuk matanya.

"Yang kuat ya, Ra. InsyaAllah aku akan selalu ada buat kamu. Dan semoga kamu nggak ngrasain apa yang selama ini aku rasain. Semoga kisah kita berbeda." ucap Indah sambil meraih jemari Zahra lalu menggenggamnya.

Carla ikut menggenggam tangan itu. Ia juga ingin menguatkan sahabatnya.

"Terimakasih. Kalian memang sahabat terbaik aku." Zahra memaksakan senyumnya. Ia juga ingin menunjukkan pada sahabatnya. Jika dirinya kuat.

••••
Bersambung.

Huft sudah selesai.
Eh, maksudnya yang part ini. Nulisnya lumayan loh.
Jadi jangan irit dong buat ngecet bintangnya biar berwarna orange.
Ngomong-ngomong, yang diatas itu Bowo.

⚠ 3 ayat jangan sampai lupa. 3 ayat itu minimal lho ya. Kalau mau baca 3 juz atau mau khatam sekalian juga malah semakin bagus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro