Pakailah Jilbabmu
Entah berapa lama aku tertidur yang jelas saat aku terbangun Bang Irham membuat kegaduhan di luar kamarku tepat di depan jendela.
"Berisik!" teriakku kesal sembari mendorong kaca jendela dan hendak menjambak rambutnya, namun dia berhasil menghindar, sehingga kepalaku yang tanpa jilbab menyembul keluar.
"Bangun! shalat ashar! Kalau tidur jangan ngunci pintu, jadi susah, 'kan banguninnya," omel Bang Irham sembari menjewer telingaku. Seketika aku menjerit dan mencoba melepaskan tangannya dari alat pendengaranku yang pasti sudah merah dibuatnya.
"Ehem." Tiba-tiba suara deheman membuat Bang Irham menjauhkan tangannya dan aku lekas menarik kepalaku ke dalam, lalu menutup jendela kamar dengan cepat. Jantungku bertabuh. Sejak kapan Kak Rai ada di situ. Astagfirullah.
"Kakak ke sini cuma mau ngasih tahu, nanti malam ada kegiatan Remaja Masjid. Jangan lupa datang."
"I-iya, Kak." Bang Irham gelagapan.
"Sha," panggil Kak Rai agak keras. "Jangan lupa shalat tepat waktu! Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya. Hadits Riwayat. Bukhari no. 594."
Jantungku mencelus. Aku hanya bisa memegangi dada sembari terus beristighfar.
"Satu lagi, dalam kondisi apapun pakailah jilbabmu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Bang Irham. Sedetik kemudian aku mendengar Bang Irham berkata, "Hebat, ya. Bisa hafal sama nomor haditsnya."
Sedangkan aku merasa kesal pada diriku, pada Bang Irham dan pada semuanya. Saat ku dengar Bang Irham masuk ke dalam rumah aku lekas keluar dari kamar. "Sejak kapan dia di situ?" cecarku. Namun, Bang Irham tak langsung menjawab. "Seharusnya selesaikan dulu satu urusan, setelah dia pergi baru bangunin aku."
"Ya maaf, Tadi aku sibuk bangunin kamu, jadi aku minta dia nunggu."
"Astagfirullah, seharusnya Bang Irham bilang kalau ada dia. Atau kalau nggak, suruh pergi dulu kek, jangan suruh nunggu terus bangunin aku."
"Mangkanya, tadi, 'kan aku bilang jangan dulu tidur, sebentar lagi ashar. Dasar bandel! Cepat sholat sudah jam lima lewat, memang mau kamu satuin sama maghrib, hm?"
"Sama subuh!" dengkusku kesal.
"Dikasih tahu malah nyolot. Kamu nggak dengar tadi haditsnya? Terhapuslah amalan kamu, Sha, Sha."
Aku lekas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, lalu menunaikan shalat ashar. Setelah itu aku pergi menemui Bang Irham di kamarnya. Rasanya kejadian tadi masih terasa dongkol.
"Mau apa dia ke sini?" tanyaku di depan pintu kamarnya.
"Ngasih tahu ada kegiatan remaja masjid, 'kan," jawab Bang Irham sembari terus bermain game di ponsel.
"Kok harus dikasih tahu, memang nggak ada di rencana kegiatan?"
"Nggak ada, kayaknya kegiatan tambahan."
"Aku nggak mau datang ah."
"Datang!" Seketika dia menoleh dan menatap tajam ke arahku. "Kalau nggak aku bilangin Papa."
"Ih males. Dasar tukang ngadu."
"Cari ilmu nggak boleh males." Bang Irham kembali bermain ponsel.
Aku terdiam beberapa saat sampai akhirnya kubilang, "Dia kok jadi beda."
"Dia siapa?"
"Kak Rai."
"Nggak ah, biasa."
Aku tercenung. Apa memang hanya aku yang terlalu takut dia berubah. Setelah kejadian di sekolah aku memang merasa bersalah. Apalagi melihat ekspresi kecewanya.
Siang itu memang Andra terlalu memaksa ingin mengantarku pulang sekalian mengajakku jalan. Di sisi lain aku melihat Kak Rai mengamatiku, sedangkan aku juga tak bisa menolak Andra, meski sebenarnya aku tetap mencari cara menolaknya, agar tak terus berduaan dengan Andra.
Entah kenapa aku tidak ingin dia sedih. Untungnya aku terselamatkan dengan kedatangan Bang Irham dan Inne. "Aku nggak bisa pergi sendiri, jadi gimana kalau kamu sama Bang Irham, aku sama Inne pakai motor Bang Irham."
"Memang kamu bisa bawa motor?" tanya Andra.
"Bisa," jawabku singkat.
Raut wajah Andra sedikit kecewa. Tak apalah, meski dia keberatan.
"Sha, alasan kamu terima aku apa?" Tiba-tiba kudengar Andra bertanya demikian.
"Kenapa jadi nanyain itu?"
"Ya, aku ragu aja soalnya kamu minta kita buat backstreet, terus kamu nggak mau diajak jalan. Jangan-jangan kamu terima aku karena kasihan?"
Aku juga tidak tahu kenapa waktu itu aku terima Andra. Apa memang karena aku merasa kasihan? "Sebenarnya aku nggak dibolehin pacaran sama Papa," kilahku.
"Kalau begitu kenapa kamu terima aku?"
"Nah itu aku bingung, kenapa aku terima kamu." Aku menggaruk kepala. "Jadi kamu mau kita udahan aja?"
"Nggak," jawabnya cepat. "Kamu nggak suka sama aku?"
"Suka. Aku suka sama kamu."
"Aisha? Kamu nembak Andra?" Tiba-tiba suara itu menyambar dan membuatku terkesiap. Perlahan aku menoleh pada Anggi. "Nggak," jawabku singkat.
"Barusan aku dengar gitu," kata Anggi tak percaya.
Pada akhirnya aku hanya bisa menenggak liur karena Andra tak meluruskan kesalahpahaman ini. Sepertinya dia sengaja agar hubungan kami diketahui yang lain. "Kita udah jadian dua minggu yang lalu, Nggi. Kamu bisa tanya Andra," kataku sembari menatap Andra.
"Iya," jawab Andra singkat.
"Oh gitu. Jadi habis di hukum Pak Raihan kalian jadian, ya ampun." Anggi berjalan dan lekas naik ke motornya.
Aku lekas mendekat dan berdiri di sebelah motor Anggi. "Nggi, aku nitip rahasia ini ya," bisikku.
"Rahasia apa?" Kening Anggi mengernyit, kedua tangannya sibuk mengunci helm yang sudah dia kenakan di kepala.
"Hubunganku sama Andra."
"Kenapa?"
Aku terdiam menatap Andra dan kembali menatap Anggi.
"Karena kamu malu pacaran sama cowok biasa-biasa aja, pinter nggak, ya bodoh juga nggak, lagian Andra jago nyanyi." Anggi malah melantur kemana-mana.
"Aku takut Papa tahu," sanggahku cepat.
"Ya, kalau takut kenapa pacaran, Sha?" Sepertinya Anggi sengaja meninggikan suaranya agar didengar Andra dan yang lainnya.
"Siapa yang pacaran?" tanya Kak Rai tiba-tiba.
Jantungku mencelus dan segera menoleh ke asal suara, kudapati Kak Rai berdiri tak jauh di belakang Inne dan Bang Irham, sepertinya dia baru bergabung, tapi memang sebelumnya aku sempat melihatnya memperhatikanku dan Andra dari kejauhan, aku tidak tahu kalau diam-diam dia mendekat ke arah kami.
"Aisha sama Andra," jawab Anggi sembari melengos pergi dengan motornya. Kacau! Aku ragu kalau dia bisa memegang rahasiaku yang satunya.
"Oh." Hanya itu komentar Kak Rai, dia kemudian pergi, tapi sayangnya aku malah sakit hati dengan sikap cueknya.
"Ya udah yuk, jadi pergi, 'kan?" tanya Inne.
"Jadilah," jawab Bang Irham. "Kita jajan bakso kuah pedas, asam, manis, terus beli es krim, apapun deh yang Aisha suka." Dia lalu naik ke motor Andra usai memberikan kunci motornya padaku.
Melihat Andra yang berharap besar pada acara ini, aku tak enak jika harus kembali mencari alasan untuk menolak keinginannya. Aku lekas naik ke atas motor beat putih milik Bang Irham diikuti Inne.
Sepanjang jalan aku teringat ekspresi Kak Rai. "Kata 'Oh' yang kudengar dari mulutnya membuatku sakit hati, apalagi setelahnya dia melengos pergi. Aku tak peduli jika dia melapor ke Papa yang terpenting dia kembali bersikap biasa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro