Merasa Terpojok
"Aku benci Kak Rai," ucapku pada Bang Irham setelah sampai ke rumah. Sementara Bang Irham sendiri berjalan ke dapur dan aku mengikutinya.
"Nggak mau komentar ah, takut salah," kata Bang Irham setelah menenggak air putih, lalu dia meletakkan gelas kosongnya di meja.
"Bang Irham juga salah, ngapain ikut-ikutan mojokin aku?" rengekku.
"Aku nggak tahu Kak Rai akan bahas itu. Tadinya aku nanya apa ada haditsnya, karena memang aku pengen tahu, bukan bermaksud buat ikut-ikutan menyindir kamu."
Aku mendelik dan lekas masuk ke dalam kamar. Kejadian tadi mungkin bisa saja menjadi semakin besar, apalagi Anggi menyimpan rahasiaku yang lainnya. Aku takut kalau dia membocorkannya karena benci padaku. Kebetulan malam di saat aku menyatakan perasaanku pada Kak Rai, Anggi berjalan di belakang dan menguping semua pembicaraanku dengan pria itu. Setelah kami sama-sama terdiam dia lewat begitu saja dan kami tidak menyadari ada dia di sana.
Aku sempat menyusulnya dan meminta agar Anggi menjaga rahasiaku jika dia mendengarnya. "Siap, kamu tenang aja," begitu tanggapan Anggi malam itu. Semoga tetap amanah menjaga rahasiaku.
***
Pagi hari saat Papa baru saja pergi ke kantor, aku mengetuk kamar Bang Irham. "Kenapa?" teriak Bang Irham dari dalam.
"Anterin aku ke toko buku yuk, suntuk di rumah," kataku usai membuka pintu kamarnya.
"Bawa motor sendiri ajalah, aku malas. Lagi pengen di rumah."
"Ih, dasar." Aku lekas pergi dari depan kamarnya dan mengambil kunci motor di dalam buffet.
Kehilangan ibu di usia muda membuat kami terpaksa hidup mandiri. Bang Irham tak pernah pilih-pilih pekerjaan, terkadang dia yang membereskan dan membersihkan rumah kalau aku ada urusan di luar, pun sebaliknya, tapi kalau kami sama-sama di rumah, kami akan dengan sukarela membagi tugas dan pekerjaan rumah. Mungkin dia memang capek dan ingin tetap di rumah menikmati akhir pekannya. Sementara Papa tetap pergi bekerja, meski ini hari Sabtu.
Saat mengeluarkan motor, aku melirik ke atas balkon rumah Anggi, kami sempat bersirobok, tapi dia lekas membuang muka, sepertinya dia tak merasa bersalah atas kejadian semalam.
Motor yang kubawa menggeber menerobos jalanan komplek perumahan tempatku tinggal. Di depan gerbang aku tak sengaja berpapasan dengan Bundanya Kak Rai. Aku terpaksa berhenti karena Bunda menyapa, "Mau kemana, Sha?" tanyanya.
"Ke toko Bund, mau cari referensi buat karya tulis."
"Oh gitu. Hati-hati ya, Sha."
"Iya, Bund."
"Eh, Sha, itunya nggak apa-apa?" Bunda menunjuk bawah daguku.
Aku terdiam dan tak langsung menjawab.
"Semalam Rai cerita. Dia nyesel."
"Nggak ada gunanya juga nyesel, udah terlanjur. Duluan ya, Bund, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Aku kembali melajukan motor usai mendengar jawaban salam Bunda yang pelan dan penuh penyesalan. Dulu Mama pernah cerita kalau Bunda banyak membantu Mama di awal-awal pindah ke sini. Mama kewalahan merawat aku dan Bang Irham tanpa pembantu. Bang Irham rewel dan aku paling anteng, jadi aku dititip ke Bunda, aku sering menghabiskan banyak waktu dengan Kak Rai, itulah kenapa dia menganggapku sebagai adik. Yang pernah kudengar, dua kali Bunda kehilangan bayinya dan itulah yang membuat Kak Rai menjadi anak satu-satunya.
Aku sampai di toko buku. Tak berapa lama motor Andra berhenti di sebelahku. "Dari tadi?" tanyanya.
"Baru sampai," jawabku sembari turun dari motor. Kami pun berjalan masuk ke dalam toko.
"Aku kira sama Irham."
"Dia nggak mau."
"Nggak apa-apa aku senang bisa berduaan sama kamu."
Jantungku mencelus dan tiba-tiba teringat dengan penjelasan Kak Rai semalam. Semoga kalau aku jelaskan sedikit-sedikit Andra bisa paham. Sebenarnya kami sudah membuat janji untuk pergi ke toko buku beberapa hari yang lalu, jadi aku tak enak jika harus dibatalkan karena Andra pasti akan menagih di lain waktu.
"Kamu udah ngajuin proposal?" tanya Andra.
"Udah, sebelum ujian," jawabku sembari memilih buku.
"Diterima?"
"Alhamdulillah."
Andra menghela napas. "Aku belum, kemarin nyoba ngajuin, tapi harus ada yang direvisi."
"Semangat," kataku sembari mengepalkan tangan.
"Aku bersyukur kamu mau terima aku, semangat belajarku meningkat, Mama sampai nanya, apa yang membuatku seperti itu, aku bilang, kamu."
Aku terperangah saat Andra menyentuh hidungku. Aku tak tega jika harus memutuskannya karena penjelasan semalam. Apa masih dianggap salah kalau hubungan ini memberikan dampak positif bagi pelakunya? Sama seperti pertanyaan Nur semalam.
"Mamaku pengen ketemu. Aku bilang, bisa hari ini mumpung kita keluar. Kamu mau, 'kan?"
Aku termangu beberapa detik. "Boleh," jawabku tak kuasa menolak apalagi melihat raut bahagia di wajahnya. Entah kenapa ada perasaan ingin tetap melihat seri di wajah Andra karena itu membuatku bahagia.
"Makasih," ucap Andra girang. Dia juga pernah bilang datang ke sekolah lebih awal hanya agar bisa melihatku lebih lama, kalau dia belum melihatku dia akan menunggu di koridor sampai aku benar-benar datang. Aku terharu dengan ketulusan Andra, aku tak berani merusak perasaannya dengan menceritakan kejadian semalam.
Setelah menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit sembari memilih dan mengobrol, akhirnya aku mendapat buku yang kubutuhkan. Aku mengantri di depan kasir, sementara Andra baru selesai dan lekas berdiri di dekatku. "Sekalian aja, Pak," katanya sembari meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan di atas buku yang kubeli.
"Nggak usah, Ndra."
"Nggak apa-apa nggak tiap hari ini."
"Tapi bukuku banyak."
"Nggak apa-apa."
"Nggak usah, novel biar aku yang bayar."
"Ih, udah nggak apa-apa, Sha." Dia menahan tanganku. "Nggak apa-apa, anggap sebagai bentuk terima kasih karena kamu udah nerima aku."
Ahh! Andra .... Aku lekas menjauhkan tanganku darinya. Aku benar-benar tidak bisa memutuskan Andra, dia terlalu baik untuk disakiti.
Setelah membayar dua buku miliknya dan empat buku milikku, kami berjalan bersebelahan keluar dari toko buku.
Aku menggantung kantong kresek yang berisi buku di atas motor. Saat aku sedang memakai helm menghadap Andra. Dia tiba-tiba menatapku lama, kemudian mendekat. "Ini kenapa?" tanyanya sembari mengangkat daguku, sementara wajahnya sedikit menunduk dan miring di depan wajahku.
"Nggak." Aku menepis pelan tangan Andra dan mundur. "Ini ...."
"Kemarin, nggak ada, 'kan?"
"Iya. Kejadiannya semalam."
"Kenapa? Mana coba lihat." Andra hendak mengulang perlakuan manisnya tadi. Memang manis, tapi aku malu, apalagi aku tahu ini salah.
"Nggak apa-apa, Ndra, malu dilihat orang," kataku sembari mundur.
"Kamu belum ngasih tahu aku, itu kenapa?"
"Luka dikit sih, kenapa jarum."
"Masa dikit, harus ditutupi plester?"
"Iya, aku memang selebay itu." Aku tertawa kikuk.
Tiba-tiba saja kudengar seseorang mengucap salam di depan kami dan jelas aku sangat mengenal suara itu. Rasanya seperti mimpi melihat Kak Rai sekonyong-konyong ada di depanku.
"Aisha," panggil Kak Rai.
"Iya?" Seketika aku mematung dan tak dapat berkutik sampai beberapa detik. Entah apa arti dari tatapan tersebut yang jelas aku melihat dia seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun mendadak ponselku berdering dan panggilan masuk dari Bang Irham.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro