Pra aksara
Paru-paruku perlahan terisi air dan aku beranjak tenggelam.
Sudah saatnya dunia melahapku. Membawaku hingga ke dasar. Aku pernah bertanya apakah ada orang di atas sana yang peduli dengan kepergianku. Yang jelas, jika itu terjadi aku tidak pernah menyaksikan orang-orang berpesta atau berapa banyak orang yang datang upacara pemakamankan. Jika kusebut itu upacara, kurasa itu terlalu berlebihan. Sebab, aku tidak berharap banyak seseorang akan menemukanku. Lalu menguburku degan layak. Orang tuaku mugkin saja tidak peduli ke mana aku pergi.
Aku pernah merasa percaya bahwa manusia hidup mempunyai tujuan. Aku pernah memiliki tujuan. Tujuan yang selalu berputar dan menguasai isi kepalaku. Sampai rasanya aku tidak sabar melangkah untuk meraihnya. Sekarang tujuan itu sudah tercapai, di sinilah aku sekarang mencapai tujuanku. Pada titik akhir hidupku dalan garis waktu.
Terlalu banyak buku yang telah kubaca yang membuat isi kepalaku meledak dengan tujuan. Bukan bermaksud membandingkan, namun kenyataanya manusia yang hidup dalam buku jauh lebih beruntung daripada diriku. Ibaratkan pada sebuah api unggun di acara pramuka, siapa peduli jika api yang awalnya berkobar tinggi sampai wajah terasa hangat walau beberapa meter perlahan mulai meredup. Sudah pasti api unggun itu hanya dibiarkan menyala sampai pembina bosan dan meminta untuk panitia menyiramkan seember air di atasnya. Sampai sini, seperti itulah ibarat hidupku. Satu-satunya yang mempunyai kendali atas diriku adalah diriku sendiri.
Ada satu kalimat klise dari beberapa buku yang pernaj kubaca. Jadilah dirimu sendiri dan semua akan baik-baik saja. Sejak kali pertama aku menemukan kalimat itu, aku belum menemukan jawaban, bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, selama aku hidup aku menjadi seperti siapa, dan apakah sesulit itu menjadi diri sendiri?
Semua membutuhkan jawaban siapa sebenarnya kita...
Aku pernah bertemu dengan seorang teman, yang tidak bisa kusebut dengan teman akrab. Kami hanya bebicara pagi ini dan itu tidak berjalan dengan baik. Aku mungkin menakutinya atau menyakiti perasaannya. Nada bicaraku terlaku tinggi sampai semua orang yang ada di koridor mungkin mendengar suaraku. Mungkin besok wajahnya akan telihat lebam. Aku tidak tahu apakah ini dikatakan menyesal karena yang kurasakan saat ini adalah ingin memeluknya dan mengatakan terima kasih telah memberiku jawaban. Jawaban yang selama ini aku cari.
Tetaplah Bersama
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro