[10] Pembicaraan Rahasia di Perpustakaan
Bu Winda baru saja mengakhiri pelajaran ketika bel tanda istirahat terdengar dari speaker kelas. Guru berhijab itu memperhatikan wajah-wajah siswanya yang waspada terhadapnya. Muka-muka yang penuh harap dan juga takut.
"Ya sudah, tidak ada tugas rumah untuk pertemuan kali ini."
Gemparlah kelas sepuluh MIPA 3 mendengar pengumuman tersebut. Namun, satu-satunya siswa perempuan terlihat biasa saja. Ambar Pradira Hesi yang sejak jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran keempat kebanyakan bengong. Pandangannya terarah kepada gurunya, mengikuti setiap pergerakan tangan guru tersebut. Saat Bu Winda memasukkan spidol ke dalam kotak pensil, mata Ambar mendetail kegiatan gurunya itu tanpa sadar.
"Ambar." Tangan Bu Winda menunjuk Ambar, menggerakkan kelima jarinya ke atas dan bawah.
Ambar menatap wajah guru bahasanya. "Manggil saya, Bu?" tanyanya.
Bu Winda mengangguk. Ambar berjalan menghampiri.
"Sehat, Ambar?"
"Sehat. Kenapa, ya, Bu? Saya pucat kayak orang sakit?" Ambar menyentuh kedua pipinya.
"Kamu aneh hari ini. Sudah makan?"
Udah, makan hati.
"Belum. Kantin bareng yuk, Bu."
Bu Winda mengangguk.
"Bukunya saya bawakan." Tanpa menunggu izin, Ambar mengambil buku gurunya dan memeluknya sambil berjalan.
Makan sambil bicara memang buruk, tapi sekarang Ambar diam bukan untuk makan. Dia hanya mengaduk-ngaduk mie ayamnya yang masih utuh. Lalu bibirnya akan berpindah ke pipet teh es dan menyedotnya sehingga air minum itulah yang lebih dulu tandas. Sementara gurunya, hanya memperhatikan kelakuan bocah perempuan beramput cepol tersebut.
"Bu Winda udahan makannya?" tanya Ambar melihat ke piring gurunya yang kosong. Tersisa satu butir nasi di sana dan Ambar berpikir tanggung sekali menyisakan sebiji saja.
"Kamu kenapa mienya gak dimakan? Nanti jam siang kelaperan. Gak konsentrasi belajarnya."
"Hm ... Gak papa-papa, Bu. Sekali-sekali," jawab gadis itu dengan sombongnya.
"Ke pustaka gak, Bu?" tanya Ambar tiba-tiba. Ingin sekali rasanya Ambar menjepit bibirnya yang tidak sesuai isi pikiran pakai jepitan kertas.
"Kamu mau ke sana? Ayo!"
Ambar berbinar, "Eh beneran? Ibu baik banget mau nemenin anaknya."
Bu Winda menggeleng-geleng. "Jangan besar kepala. Tuh buku yang kamu bawakan tadi, salah satunya milik perpus. Sudah telat satu hari."
Ambar membulatkan bibirnya. Saat keluar dari kantin menuju perpustakaan, entah kenapa semangat Ambar bangkit.
"Bu! Bu! Menurut Bu Winda, linguistik saya gimana? Parah, ya?" tanya Ambar ketika menaiki tangga ke lantai tiga.
Gurunya itu menggeleng tegas. "Kenapa, Mbar? Kamu merasa begitu? Tidak apa-apa. Lebih baik kamu merasa kurang daripada merasa cukup. Dengan begitu kamu makin rajin menambah ilmumu."
"Jadi, parah atau enggak, sih, Bu? Jawaban Ibu menentukan nasib seseorang—maksud saya nasib saya."
Mereka kini melepaskan sepatu di depan perpustakaan.
"Tidak, Ambar. Semua mata pelajaran kamu baik semua. Bahasa Indonesia juga." Bu Winda masuk ruangan setelah menaruh sepatu di rak.
Ambar mengekor di belakang Bu winda, seperti anak ayam kepada induknya. "Rencana kalau Ibu bilang jelek, saya mau berguru." Ambar menjelaskan tanpa ditanyai.
Ketika Bu Winda pergi ke meja petugas perpus, Ambar berhenti mengekor. Gadis bercepol satu itu mengambil rute lain, yaitu ke rak-rak buku. Dari sana Ambar mengamati sang Ibu Pustaka.
"Makin dilihat, aku makin merasa gak pantes buat Pak Guru. Ibu Pustaka yang lebih serasi." Ambar pun berhenti mengamati Fela, memilih untuk melihat-lihat buku teks pelajaran untuk jam siang.
Telinga Ambar mendengar suara makluk yang dia kenal. Gadis yang telah menikah itu mendongak.
"Beneran si Wahyu," gumamnya.
Perpustakaan yang sangat hening membuat suara Wahyu terdengar sampai ke telinga Ambar. "Ibu Pustaka nggak istirahat? Nanti sakit."
"Bocah, pedulikan saja materi pelajaran kamu biar pintar." Terdengar suara lembut, tapi mengandung ejekan dari sosok ibu pustaka.
Ambar tertawa dibuatnya.
"Saya lebih peduli sama Ibu Pustaka nih. Makanya, saya bawakan dadar gulung. Makanan favorit saya. Ini buat Ibu." Wahyu meletakkan satu kotak kue berwarna hijau. "Bu guru mau?" tawarnya kepada Bu Winda.
"Saya sudah makan," jawab Bu Winda. Matanya memonitori ruangan perpustakaan untuk menemukan Ambar.
"Ibu!" panggil Ambar dengan teriakan tertahan sambil melambai-lambai sampai Bu Winda menyadari keberadaan Ambar.
Ketika Wahyu ingin menoleh ke arah Ambar, Ambar meringkuk dan mundur dalam posisi jongkok.
"Udah dapat?" tanya Bu Winda menyapa Ambar yang dikira tengah mencari buku di rak bagian bawah.
"Belum. Ibu?" balas Ambar sok sibuk meneliti judul buku satu per satu.
Bu Winda menggeleng. "Saya ke rak buku fiksi. Kalau kamu ingin ke kelas duluan, silakan. Beberapa menit lagi jam masuk. Saya kosong di jam kelima nanti."
Ambar mengangguk dan mengikuti Bu Winda. Abai dengan tujuannya untuk meminjam buku PKN.
"Sebelumnya saya minta maaf dulu sama Ibu. Ibu dapat inspirasi dari mana bikin kisah Siwi?" Yang ditanyakan Ambar adalah buku milik gurunya yang sedang Ambar baca, yang sampai sekarang masih mangkrak di bab 27.
"Kenapa, Mbar?"
"Ibu membuat cerita dari istri pertama yang diduakan oleh suaminya. Memangnya Ibu tahu gimana rasanya diduakan? Ibu pernah?" Ambar mendapat pelototan atas kefasihan lidahnya berbicara.
Ambar tak merasa bersalah karena sebelumnya sudah minta maaf. Tangan Ambar menyentuh punggung tangan gurunya untuk menyabarkan supaya tidak kena sembur.
"Kita tidak harus menjadi laki-laki ketika ingin menulis cerita dari sudut pandang laki-laki. Begitu juga waktu menulis kisah seorang istri. Orang yang belum menikah juga bisa," jelas gurunya dengan penekanan di setiap kata. Memang benar dia menyukai Ambar yang pintar, tapi sayang jika bicara Ambar selalu terus terang tanpa menimbang perasaan.
"Malahan yang sudah mengalami pun, kalau ditanya gimana rasanya, kadang susah jawab." Seperti saya, lanjut Ambar dalam pikirannya.
"Ada juga yang seperti itu? Mungkin karena rasanya campur aduk? Bingung dengan perasaan mana yang paling besar. Atau mungkin hatinya masih bimbang."
Ambar mengangguk. "Kalau Ibu diduakan, gimana perasaan Ibu? Sebelum menjawab, berdoa dulu agar tidak terjadi pada Ibu," pesan Ambar sok bijak.
"Kamu pikir saya mau jawab?"
"Ibu harus mau. Saya ingin tahu sudut pandang Ibu." Ambar melengkungkan bibirnya.
"Enggak, Ambar. Perasaan tidak untuk ditiru."
Ambar menganga. Ia melirik ke ibu pustaka yang tidak menyadari dua pengunjung daerah kekuasannya sedang sibuk berdebat di sudut.
"Saya nggak akan meniru jawaban Ibu. Saya cuma mau tahu aja kalau Ibu dalam posisi say—seperti itu gimana." Dan lagi, mata Ambar melihat Fela yang sedang mengetik sesuatu di depan PC, sementara beberapa pelajar antre di depan mejanya.
"Sedih mungkin," jawab Bu Winda pelan. "Marah," lanjutnya. "Lalu ingin menyerah atau mengalah, tergantung keadaan."
Ambar mengangguk. "Saya juga sedih dengan buku Ibu. Bab yang sedang saya baca, si istri kedua memanas-manasi istri pertama. Kalau itu terjadi sama saya, saya panasi balik dia!" geram Ambar.
"Begitu? Di buku itu tidak."
Ambar mengangguk. "Lemah. Saya nggak mau seperti dia."
Bu Winda mengangguk, "Saya juga, terutama saya tidak ingin mengalami pernikahan cabang dua."
"Pernikahan cabang dua. Kedengarannya boleh juga tuh."
"Apanya yang boleh juga?" tanya Bu Winda.
Suara bel masuk setelah istirahat telah berbunyi.
"Saatnya kamu masuk kelas, Ambar. Kembali semangat seperti biasa."
Ambar tersenyum. Bibirnya bergumam, "Pernikahan cabang dua."
Ambar bergegas ke rak buku pelajaran dan cepat-cepat mengambil buku PKN yang dia inginkan. Antrean di depan meja Fela sudah habis. Ambar langsung dilayani oleh petugas cantik itu.
"Dijaga baik-baik. Tiga hari lagi dikembalikan," pesan Fela sambil mencatat nomor buku serta keterangan lain di komputernya.
Selama berdiri di hadapan Fela, Ambar menjadikan ujung kakinya yang dibungkus kaus kaki putih sebagai tontonan. Hanya telinganya yang memperhatikan Fela.
"Terima kasih, Bu," ucap Ambar sesudah Fela menyelesaikan proses pencatatan peminjaman buku. "Saya izin teriak, ya, Bu?" katanya pelan.
Fela menatap Ambar heran.
"Bu Winda! Saya ke kelas. Dah, Ibu!" ucap Ambar sebelum diizinkan sang pemilik ruangan. Dia menunduk tak berani melihat mata Fela yang dapat dipastikan kesal atas perbuatannya. Ambar pun langsung kabur dari sana.
***
"Pak Nata salah!" jerit Ambar begitu Nata tiba di rumah.
Gadis berkaus lengan pendek itu tidak peduli dengan suaminya yang terlihat letih.
"Linguistik saya enggak parah. Pak Nata berlebihan!" kecam Ambar.
Nata mengangguk tidak tertarik. Guru sejarah itu melepaskan sepatu dan meletakkan pada tempatnya dengan rapi. Diikuti Ambar, Nata duduk bersandar ke punggung sofa setelah menaruh tasnya beserta kacamata.
"Gimana sekolah kamu hari ini?" tanya Nata dengan mata tertutup. Salah satu lengannya diletakkan di atas mata.
"Ya itu, Pak. Barusan saya cerita tentang kejadian di sekolah. Saya udah tanya ke guru saya. Katanya bahasa Indonesia saya baik. Bapak enak sekali bilang saya parah. Jahatnya Pak Nata merajalela. Hati saya yang lemah jadi sedih Bapak bikin."
Bibir suaminya melebar atas kalimat Ambar. Nata mentertawakan Ambar dalam posisi tanpa melihat Ambar. "Sepertinya, asyik banget nyender," pikir Ambar.
"Terus kamu mau diapakan kalau aku salah?" Nata menegakkan badannya dan menghadap Ambar.
"Ceritakan sesuatu," jawab Ambar cepat.
"Ceritain masalah apa?" Nata bersiap.
"Gimana pertama kali Pak Nata ketemu Bu Fela."
"Hesi," tegur Nata pelan.
"Ceritakan! Gak apa-apa saya kalah besok dan gak dapat hadiah. Saya mau Bapak bercerita kesan Pak Nata waktu pertama kali melihat Ibu Fela. Di mana pertama kali Pak Nata ketemuannya?"
Nata kelihatan sama sekali tak ingin menjawab. Ambar merengut. Ditambah ada telepon dari Fela dan langsung Nata jawab.
"Baru saja sampai. Ada apa, Fela?" Suara Nata merdu sekali menurut Ambar.
Nata tetap menjawab telepon istrinya yang lain di sebelah istrinya yang pertama. "Iya. Tentu saya ingat makan. Kamu juga. Jangan terlalu capek. Mama punya bibi yang bantu masak-masak dan bersih-bersih. Kamu santai saja jadi nyonya rumah."
Ambar menatap Nata tak percaya. Perhatian banget!
Nata tersenyum. Ambar tidak bisa mendengar yang diucapkan Fela, sehingga senyum Nata begitu manis akibat Fela. Ambar menyipitkan matanya. Sekarang Ambar tidak bisa mendengar telepon Nata seperti waktu itu. Pasti Nata mengurangi volumenya agar Ambar tak mendengar apa-apa, jadi Nata tak harus menjauh ketika menerima telepon.
"Kalau ingin jalan-jalan, ajak Mama saja."
Nata terdiam mendengarkan yang di seberang dan menjawab seakan untuk dirinya sendiri, "Benar juga. Mama gak perlu kamu ajak. Dia yang akan mengajak kamu ke mana saja yang Mama inginkan."
Hati Ambar seperti diiris pakai sabit. Nata seolah menyindir Ambar. Memang, Ambar takkan mendapat perlakuan sespesial itu dari ibu mertua. Kenapa Nata harus mengatakan kalimat itu di depan Ambar? Kenapa Nata harus bertelepon mesra di depan Ambar? Di mana letak cinta Nata yang selalu diumbarnya itu?
Ambar ingin pergi dari sana. Dia telah berdiri, tapi tangannya ditarik. Ambar melirik Nata dengan kesal.
"Mana mungkin saya lupa pulang. Besok saya sudah ada di sana." Nata berkata lembut dan menarik Ambar ke pangkuannya.
Ambar berusaha melepaskan diri tanpa suara. Nata berusaha sekuat tenaga melingkari perut Ambar dengan lengannya agar tidak kabur.
"Tunggu saya di rumah. Kamu sendiri sudah makan?" tanya Nata. Bibirnya yang barusan bicara seperti itu mengecup pipi Ambar. Ambar mencubit lengan suaminya itu.
Bisa-bisanya? Geram Ambar tanpa bersuara. Nata tersenyum indah kepada Ambar. Pelukannya semakin kencang. Gemas dengan tatapan marah Ambar, Nata menggigit kecil pipi Ambar. Sementara Fela sedang menjawab pertanyaannya.
"Mama masak apa hari ini?"
Nata berbisik di telinga Ambar, "Sayang banget sama yang satu ini."
Ambar mencubit paha Nata. Perasaannya antara kesal dan deg-degan karena rayuan tersebut.
"Saya mulai lapar. Teleponnya disambung nanti, Fela. Salam saya buat Mama tersayang," pamit Nata. Lalu mematikan telepon.
"Begitu ternyata buaya kalau lagi aktif-aktifnya," sindir Ambar lalu turun dari pangkuan suaminya karena Nata juga tak lagi mengikat Ambar dengan kaitan lengannya.
"Buaya? Maksud kamu aku?"
Ambar memajukan bibir bawahnya. "Yang di sebelah saya itu."
"Seperti apa buaya lagi aktif-aktifnya?"
Ambar menggembungkan pipinya. Adakah benda yang bisa Ambar pakai untuk menimpuk kepala guru Sejarah di sebelahnya itu?
Ambar sibuk mencari saat Nata mengharap jawaban.
"Seperti ini?" kata Nata menarik pinggang Ambar.
Ambar belum sempat mencerna artinya ketika bibirnya dilumat dengan rakus.
***
MUBA, 29 MARET 2022
Buaya gak tuh! Yampun, teganya sama mereka berdua, Pak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro