[09] Seperti Inilah Anak Sekolah
"Ini nih dalangnya," kata Ambar setibanya di kelas dan setelah menaruh tas.
Cinta yang sedang menyalin PR teman sebangkunya bertanya, "Apa sih, Mbar? Datang-datang main tunjuk orang." Cewek berambut sebahu itu meletakkan penanya.
Cinta teringat chat mereka kemarin. "Oh. Aryan." Tawa kecil meluncur dari bibir merah jambu Cinta. "Gimana?"
"Apanya?" Ambar duduk di bangku seberang meja Cinta.
"Aryan suka sama kamu. Dia udah bilang 'kan? Kamu terima?"
"Ih, orang aneh. Anak IPA cowok lagi, kok bisa begitu, ya?"
Cinta menggebrak meja menyebabkan Ambar memegang dadanya karena terlalu kaget. Muka Ambar memang dalam posisi amat dekat dengan meja Cinta. Dia bermaksud berbisik-bisik, lain dengan Cinta Laura Imnora yang membalas Ambar Pradira Hesi dengan pukulan meja dan suara melengking.
"Ciye, ada yang kepo. Gak papa, Mbar. Aryan pesan kalau kamu ingin nanya soal dia, ke aku aja. Aku tahu banyak tentang dia."
"Kamu suka sama dia?" tebak Ambar.
"Loh loh, kenapa aku ditanyain gitu?"
Ambar mengangkat bahu. "Katanya kamu banyak tahu soal dia."
Cinta berdeham dan bibirnya segaris. "Aku pernah nembak dia dan ditolak. Telak. Katanya sudah suka sama saingan dia waktu lomba. Ya, orang itu ternyata kamu."
"Kalian dua makhluk aneh." Ambar menggeleng-geleng. Lalu suaranya naik, "Bisa-bisanya nembak cowok duluan. Ditolak pula. Kamunya biasa aja?"
Ambar merasa dia perlu lebih banyak tahu tentang dunia mereka. Dua tahunan ini kesehariannya hanya seputar Nata dan keluarganya. Terasa amat monoton. Di sekolah hanya kepikiran untuk belajar dan belajar. Kalau bukan Wahyu yang mengajak Ambar bergaul, Ambar pasti menjadi manusia paling bodoh dalam menjalin pertemanan. Sangat banyak hal yang belum diketahui dan dialami Ambar.
"Biasa aja. Masih banyak cowok keren di sini. Lagian si Aryan nggak keren-keren amat. Menang di otak encernya aja. Yang ganteng, mah, membludak di SGS."
"Aryan pinter, Cin?"
Cinta mengangguk. "Rengking satu terus dia sejak kelas tujuh. Jago bahasa Inggris. Pintar IPA. Sekarang lagi kursus bahasa Korea, mau kuliah di sana dia." Cinta terdengar sedang mempromosikan dagangannya menurut Ambar.
Ambar termakan rayuan sang sales cogan. "Wah! Boleh juga," kata Ambar refleks mendengar kelebihan-kelebihan cowok yang kemarin terlihat sangat aneh.
"Boleh juga?"
Ambar melambai-lambaikan tangan. "Tujuannya udah jelas mau ke mana. Keren tuh orang."
"Positif banget tanggapan kamu. Kalau tampang, gimana? Menurut kamu, Aryan ganteng?"
Ambar nyaris menggeleng ketika mengingat paras suaminya yang menurut Ambar paling ganteng. Tapi, Ambar tersenyum saja.
"Tampang memang bukan segalanya, yang penting hatinya," simpul Cinta atas keterdiaman Ambar.
"Pagi-pagi udah bahas cowok!"
Kedua gadis itu kaget karena seseorang yang barusan bicara juga menepuk meja kuat-kuat. Setelahnya, cowok itu meniup-niup telapak tangannya yang panas.
"Wahyu!" teriak Ambar dan Cinta bersamaan.
Cowok IPS itu menyengir. Wahyu menarik bangku milik Ambar yang ditinggal pemiliknya mendekat ke meja Cinta.
"Mo ngapain?" tanya Cinta galak kepada cowok yang sekarang sedang memangku ranselnya itu.
"Mau ikut. Kalian bahas gue nggak tuh yang punya tampang dan hati sama-sama okeh?"
"Iyuh," cibir Cinta.
"Pulang aja,Yu, pulang sana ke rumahmu," usir Ambar.
Wahyu mengusap perutnya dengan mata berkaca-kaca. "Nona Hesi dan Bukde Cinta, siapa yang mau beliin gue dadar gulung? Laper." Wahyu bersandiwara menjadi peminta-minta.
"Kamu!" tunjuk Wahyu kepada Cinta yang langsung memukul kepala Wahyu dengan pena karena telunjuk cowok itu hampir mencolok mata Cinta. Wahyu melanjutkan, "Yang selalu aku panggil cinta padahal aku nggak cinta sama kamu. Dua ribu aja, Cin. Ganti jadi lima ribu kalau nggak ada dua ribuan."
"Minggat lo ke habitat, Yu, angkat kaki sekarang juga!" usir Cinta mendorong Wahyu sampai nyaris terjungkal dari bangku. Wahyu memeluk tasnya erat-erat setelah duduk lagi dengan mantap.
"Gak usah melotot! Sadar-sadar udah di lantai aja tuh bola mata. Lagian, Cinta yang gak gue cintai, nggak ada yang mau sama cewek brutal! Kalem aja, selow."
"Gue gak peduli." Cinta kembali menyalin tugas yang tertunda.
Wahyu merasa telah cukup membuat Cinta emosi. Sekarang dia menarik tangan Ambar.
"Mau ngapain lagi?" tanya Ambar yang telah puas menyaksikan pertikaian kedua temannya itu. "Itu apa, Yu? Isi tas penuh banget. Mau ngontrak di sekolahan ini?"
"Isinya buku cetak. Mau aku kembaliin ke perpustakaan. Kamu aku minta bawakan separuhnya." Wahyu mengeluarkan buku-buku tersebut dan mengempaskan ke meja Cinta.
"Bisa tenang dikit nggak sih, Petruk?" pekik Cinta yang terganggu, sehingga tulisannya tercoret panjang.
"Ini salahku, Cinta. Akulah yang salah karena aku Rangga."
Cinta mengabaikan kegilaan anak IPS tersebut.
"Bawa sendiri aja sih, Yu. Capek ke atas," tolak Ambar.
"Aku bukan maksa kamu, tapi aku minta tolong, Ambar Pradira. Orang butuh pertolongan, ya, dibantu, seperti itu kata guru-guru."
"Mana bukunya?" Ambar bertanya dengan nada jutek.
"Nih." Wahyu mengeluarkan sisa buku yang masih ada dalam ranselnya. Ada sekitar sembilan buku ia tumpuk di depan Ambar.
"Mau minta tolong apa mau nyiksa sih ini?" bentak Ambar.
"Di aku lebih banyak, Hes. Tuh lihat dan hitung sendiri."
Ambar melirik ternyata tumpukan buku Wahyu lebih tinggi.
"Ayo cepat, keburu bel!" Ambar melangkah lebih dulu meninggalkan kelas MIPA tiga.
Kedua anak kelas sepuluh itu menaiki tangga menuju lantai tiga, tempat perpustakaan berada.
Ambar dari jauh sudah melihat sosok wanita berambut disanggul modern di depan perpustakaan. Seorang siswa baru saja menyenggol wanita itu hingga hampir terjatuh. Siswa yang menghindari Fela itulah yang tersungkur di depan ibu pustaka. Fela menarik lengan murid perempuan itu dan mengusap-ngusap lutut si gadis SMA. Siswa tersebut menunduk kemudian berterima kasih dan Fela tersenyum kepadanya.
"Eh, hati-hati jangan berlari!" teriak Fela sebelum masuk ke perpustakaan.
"Yu, itu anak kenapa? Lari-lari di lorong kayak gak beres."
Wahyu mengangguk. "Murid spesial."
"Kelas apa? IPS?"
Wahyu mengangguk. "Gitu-gitu, doi rajin banget masuk kelas. Di daftar hadir centang terus. Salut sama dia."
Wahyu membuat Ambar terpana. "Kesambet apa sih, Yu? Serius amat ngomongin dia. Naksir?"
Wahyu menjerit, "Perlu banget naksir makhluk itu?"
Ambar memutar bola matanya atas reaksi berlebihan Wahyu. "Bu Fela tahu nggak, ya, kalau murid yang jatuh itu anak spesial? Dia baik banget sama anak itu. Padahal, dirinya sendiri hampir jatuh karena anak yang grasah-grusuh itu." Ambar bergumam.
Wahyu tiba lebih dulu ke depan meja kerja penjaga pustaka. "Rupanya Ibu kerja di perpustakaan. Saya merasa terpanggil untuk berkunjung ke tempat ini mulai dari sekarang."
Ambar melihat Fela terkejut karena ulah Wahyu. Ia mengomentari, "Eh kau enggak sopan sekali dengan Ibu!" Ambar meletakkan bukunya pelan-pelan, tidak seperti Wahyu yang membanting buku di atas meja Fela.
Karena suaranya itu, Fela jadi memperhatikan wajah Ambar. Anak kelas sepuluh yang berkuncir kuda itu telah pasrah. Dia yakin, Fela mengenali wajahnya. Mata Ambar berkeliling ke arah lain, tidak ingin bersitatap dengan istri sah suaminya. Ketika Fela bertanya apakah Ambar adalah murid Nata yang dia temui di perpustakaan waktu itu, Ambar hanya menunduk.
"Hes! Kau pernah ketemu Ibu Pustaka?"
Ambar menarik tangan Wahyu sebelum menjawab Fela bahwa dia bersekolah di sekolah tersebut. Meluruskan pemahaman Fela bahwa Ambar bukanlah anak didik Natirta Adiwijaya. Ambar pun segera berpamitan kepada ibu pustaka bersama Wahyu.
"Silakan masuk ke kelasmu sendiri!" Ambar mendorong Wahyu ke sebuah kelas yang mereka lewati.
Ambar meneruskan ke kelasnya sendiri. Tetapi, Wahyu datang lagi tanpa tas.
"Ibu Pustaka kita cantik banget. Lihat bulu tangan aku sampai berdiri. Galaknya itu bikin ngeri, tapi manis banget. Kita jadi semangat untuk ke perpustakaan. Iya nggak, Hes?"
"Enggak," jawab Ambar dalam bentuk gumaman.
Wahyu berpura-pura tidak mendengarnya. "Tahu nggak, Hes, ibu pustaka itu istrinya dari anak kepala yayasan sekolah kita. Pak Deni kenapa nggak membuat perkenalan secara resmi untuk menantunya ya, Hes? Yang nggak tahu, ngira Bu Fela masih single."
"Emang kenapa? Perlu banget gitu dikenalkan secara resmi di seluruh sekolah?" sewot Ambar.
"Iya perlu! Kalau udah tahu Bu Fela itu udah punya suami, mereka pada berhenti mengagumi ibu pustaka. Sainganku berkurang banyak."
Ambar merasakan kepalanya pusing akibat perkataan Wahyu yang susah untuk dicerna. "Saingan apa, Yu? Kenapa ikut ke sini, sih? Bel udah bunyi barusan."
"Saingan yang gebet Bu Fela. Kenapa ya, Hes, muka sebening itu lahirnya jauh lebih cepat dari kita? Untung ada kata pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Sekarang aku biarlah menjadi orang yang tersakiti. Suatu hari pasti ada hasil terbaik."
"Pulang aja, Yu, balik ke kelas!!!" geram Ambar mendorong Wahyu kuat-kuat. Setelah itu, Ambar menendang tulang kering cowok itu.
"Ambar Pradira Hesi!" jerit Wahyu kesakitan dan Ambar berlari menuruni tangga kelasnya sendiri.
"Nggak Pak Nata, nggak Wahyu. Keduanya sama-sama ganjen!" dumel Ambar mengempaskan tubuhnya ke bangku yang telah kembali ke meja miliknya. "Udah tahu Bu Fela menikah, masih aja digebet. Wahyu otaknya ketinggalan dalam kaus kaki!"
Ambar mengingat Fela yang dilihatnya tadi pagi. "Bu Fela juga baik selain cantik."
Ambar merebahkan kepalanya di atas meja sampai guru mapel masuk kelas.
***
MUBA, 28 MARET 2022
Siapin mental buat besok....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro