[08] Di Depan Pagar Sekolah
"Ngapain aku di sini?" Ambar pun keluar setelah Nata agak jauh. Namun, matanya dapat menangkap keberadaan pasangan sempurna itu yang bergandengan tangan masuk ke UKS. Pintu tertutup setelah mereka berada di dalam.
"Please, jangan biarkan aku nguping, Tuhan!" pinta Ambar menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Dia berjalan pelan-pelan sebelum tiba di UKS. Lalu tepat di depan pintu ruang kesehatan itu dia berhenti.
"Kerja di tempat lain saja, ya, Fela."
"Mas malu istrinya kerja di sekolah Papa mertua?"
"Anggap saja seperti itu—"
"Mas ... tapi Fela sudah setuju dengan Mama. Aku ingin bekerja di sini. Mama benar. Fela merasa bosan di rumah. Aku ingin kembali ke perpustakaan. Aku mencintai tumpukan buku, Mas."
"Tapi bisa di tempat lain. Enggak harus di sekolah ini."
"Memang kenapa kalau di sini? Ada yang tidak ingin Mas Nata tunjukkan kepadaku?"
Ambar menyentuh dadanya. Pertanyaan Fela sangat menakutkan. Ya pasti Fela curiga kalau Nata sangat mendesak supaya Fela tidak bekerja di sekolah tersebut.
"Tidak. Tidak ada. Saya bisa rekomendasikan kamu ke teman di UIR."
Daripada semakin stres dan menumpuk PR keresahan hati, Ambar angkat kaki dari sana.
"Pak Nata sama istrinya gak ada romantis-romantisnya. Gak pakai panggilan khusus." Ambar menggeleng dengan bibir tersenyum tipis.
Ambar pulang naik ojek karena Nata mengantarkan Fela. Ambar maklum dengan hal itu. Pasti semua demi kerahasiaan hubungan Ambar dengan Nata. Nata harus menjadi suami yang baik untuk Fela. Sudah berada di tempat yang sama, sekalian saja pulang bersama. Dan sorenya Nata kembali ke rumah yang mereka tinggali berdua. Nata tetap dengan jadwalnya. Ambar tidak terlalu kecewa karenanya.
Ambar telah menyebut nama Fela hari ini. Dia sudah kalah. Ambar tidak perlu menahan diri untuk menjadikan sosok Fela bahan obrolan. Baru saja Nata tiba di pintu, Ambar menyambut suaminya dengan kata-kata yang menyulut pertengkaran.
"Wah, yang berdua-duaan dalam UKS pake kunci pintu segala. Hayo ngapain Pak Guru dan Ibu Pustaka dalam sana? Mentang-mentang udah sah, gas terus."
Nata tak membalasnya. Pria berkacamata itu melepaskan sepatu dan meletakkan ke atas rak. Nata menaruh tas laptop di atas meja sofa. Dia langsung menjatuhkan diri di salah satu kursi empuk tersebut. Nata melirik Ambar yang mendekat padanya. Mata Nata memendam kekesalan walau berusaha tidak ditampakkan.
"Jadi, mulai sekarang Pak Nata mau menemui siapa di Syarma? Saya atau Bu Fela? Pasti Bu Fela. Bapak nggak perlu main kucing-kucingan."
"Bisa berhenti, Ambar?"
Ambar tersentak. Nata memanggilnya Ambar kalau sedang teramat marah. Ambar tak mau kalah. Ini salah siapa? Bukan salah Ambar, kilahnya.
Ambar semakin menyudutkan suaminya. "Pak Nata mana bisa melarang Bu Fela untuk kerja di sana. Ya kan?"
"Aku capek, Hes. Banyak pikiran mengganggu dalam kepalaku. Jangan ditambah, ya. Sini kamu. Aku butuh kamu." Nata merentangkan sebelah tangan.
Ambar melunak, tidak tega melihat Nata. Dia duduk di tempat yang Nata pinta. Nata memberikan ciuman singkat di pelipis Ambar. Tangannya merangkul bahu Ambar.
"Wangi sekali."
"Mau dipijat kalau capek?" tawar Ambar berbaik hati.
"Emang bisa? Yang capek pikiran."
Ambar mengusap-usap kepala Nata dengan sebelumnya mengucapkan maaf. Biar bagaimanapun, itu kepala orang yang lebih tua darinya.
"Cerita aja, Pak, biar legawa."
"Lega," koreksi Nata.
"Apa bedanya? Tinggal ditambah 'wa'."
Nata menggeleng. "Kamu misalnya nama kamu ditambah 'wa'. Ambarawa. Mau dipanggil begitu?"
Ambar berdecak. "Katanya Pak Nata capek. Kenapa ngajak ribut?"
"Lagian kamu. Pengucapannya salah-salah. Orang bisa salah paham kalau keterusan."
Ambar mencubit pipi Nata. "Ih!" kesalnya. "Pak Nata ini guru sejarah atau bahasa Indonesia sih? Segala kosakata mau dikoreksi."
"Ilmunya kan begini, Hes, suami menuntun istrinya ke arah yang benar. Kalau istri salah, ditunjukkan yang mana yang benar."
"Ya tapi itu istri. Kalau tadi, Pak Nata seperti guru! Bu Winda saja nggak segitunya."
Nata tersenyum. "Kamu ini. Kapan sih kalemnya?"
"Dulu. Sebelum sama Bapak," jawab Ambar cepat.
Nata mengangguk sambil tertawa. "Terus kenapa sekarang bisa sat set sat set?"
"Pak Nata ngajak debat melulu."
"Kamu itu. Kok aku sih?"
"Pak Nata ngalah sekali aja nggak akan mati loh, Pak!"
Nata tertawa keras saking gemasnya mendengar kekesalan istri belianya. Rasa lelah di pikirannya seketika menghilang. Begitu juga Ambar yang merasakan kesal setengah mati kepada Nata, malah memeluk erat-erat suaminya yang jelas-jelas berbau keringat itu.
"Nikmati selagi masih ada, Ambar." Ambar yang mengatakan telah siap untuk ditinggal, kadang tidak ikhlas. Nata akan pergi dan Ambar kehilangan momen seperti ini. Rasa sedih pun hilang-timbul dalam hatinya. Serandom itu memang perasaan Ambar Pradira Hesi.
***
"Ambar Pradira Hesi."
Ambar menoleh kepada pengendara motor matic yang berhenti di sebelahnya. Siang itu Ambar telah berjalan sedikit jauh dari gerbang SMA SGS untuk membeli es boba. Di tangannya masih tersisa separuh karena Ambar menyedotnya sambil berjalan.
"Siapa, ya?" tanya Ambar lembut.
Cowok bercelana abu-abu itu melepas helm dan meletakkan di spion motornya. "Aryan." Remaja SMA berkacamata itu mengulurkan tangan.
Karena Ambar tidak mau mengulurkan tangannya, Aryan menyalami tangannya sendiri. "Ambar." Dia bermonolog.
"Ada apa, Kak?" Ambar memperkirakan cowok itu kelasnya lebih tinggi dari Ambar.
"Aku bukan orang jahat, Mbar. Jadi, maukan kamu ikut aku pulang bersama?" tawar Aryan.
Ambar tanpa pikir panjang langsung menggeleng. "Maaf."
Aryan memakai helmnya lagi. "Ya sudah kalau nggak mau. Lain kali mau-mau aja ya, Mbar? Aku SMA Trisakti. Kamu mau lihat kartu pelajar aku biar lebih yakin?"
"Enggak!" Ambar menggeram.
"Tapi aku boleh nungguin kamu sampai naik ojek?"
"Kamu siapa sih?" Ambar menjadi takut karena Aryan banyak tahunya.
"Aryan. Aryano Falega Maulana. Nama bekalang biasanya nggak aku sebut ke orang lain. Khusus sama kamu, aku nggak mau menyembunyikan apa-apa."
Ambar mengangguk-angguk. "Terima kasih. Aku berani nunggu ojek sendirian."
"Lebih seru kalau nunggu sambil ngobrol. Iya kan, Mbar?"
Ambar mendiamkan cowok itu. Aryan duduk di atas sepeda motor yang dia standarkan dengan helm terpasang di kepala dan kacanya terbuka. "Aku kelas sebelas jurusan IPA. Kamu penasaran nggak kita ketemuan pertama kalinya di mana?" Lagi-lagi Aryan mengajak Ambar bicara.
"Di sini kan sekarang?"
Aryan menggeleng. "Di UR. Kamu ikut LKIR Fisika dan dapat juara satu untuk tes tertulisnya. Terus kita ketemu lagi waktu Pekan Raya Biologi UR juga dan kamu menang bersama teman-teman kamu dalam lomba cerdas cermat."
"Udah lama banget. Itu waktu aku kelas sembilan."
Aryan mengangguk. "Dua teman kamu dalam cerdas cermat itu kelas tujuh dan delapan. Aku cuma ingatnya sama kamu karena paling cantik."
Ambar tertawa, "Karena aku perempuan sendiri!"
Aryan juga tertawa sebentar. Selebihnya, dia mengamati Ambar.
"Ekhem. Terus tahu dari mana aku lanjut sekolah di sini?"
"Dari Cinta."
"Ck." Ambar menyedot minumannya yang terasa hambar.
"Teman sekelas kamu MIPA 3 namanya Cinta Laura Imnora. Dia tetangga aku. Ada kamu dalam foto sekelas dia."
"Oh." Ambar menyedot lagi kuat-kuat. Gengsi sekali karena sudah salah paham.
"Pulang ke mana, Mbar?" tanya Aryan.
"Ke arah sana," jawab Ambar.
Aryan mengangguk paham jika Ambar masih sungkan.
"Mau nambah es? Panasnya brutal banget. Segelas lagi mau nggak? Aku beliin."
Ambar menggeleng. "Ini cukup. Tuh ada ojek." Ambar menunjuk sepeda motor yang mengarah ke mereka. "Aku pulang naik itu."
Aryan pun menyalakan sepeda motornya. "Mbar! Kalau mau tanya-tanya soal aku, langsung ke Cinta aja. Dia tahu kalau aku suka sama kamu."
Aryan lalu meninggalkan Ambar yang melongo. Sudut bibir remaja kelas sepuluh itu tertarik ke samping.
"Lucu."
***
"Lagi ngapain istri aku?" Nata ikut-ikutan Ambar berbaring menelungkup di atas karpet bulu ruang tamu.
Ambar langsung menyembunyikan ponselnya di balik bantal yang digunakan untuk menopang dadanya.
"Ada apa dalam handphone-nya? Kenapa aku tidak boleh lihat?"
"Ya emang nggak bermanfaat bagi Bapak. Chat anak-anak."
"Gimana chat-nya?"
"Pak Nata kenapa, sih, jadi kepo amat. Lagi gabut, Pak?"
Nata menggeleng. "Kamu sembunyikan HP waktu aku datang. Pasti ada apa-apa. Ayo ngaku."
Ambar menyenggol bahu Nata. "Itu mah Bapak! Tuduhan Bapak itu sebenarnya apa yang sering Pak Nata lakukan. Ayo ngaku."
"Nih nih kamu lihat aja!" Nata menyerahkan ponselnya.
Ambar hanya melirik.
"Kenapa? Kamu takut aku minta balik HP kamu?"
"Ish! Pak Guru kenapa, sih?" rengek Ambar dan duduk. "Pak Nata udah pro dalam bidang penyembunyian. Mana mungkin bukti kesembunyian itu masih disimpan!"
"Penyembunyian. Kesembunyian. Apa lagi itu, Hesi?" decak Nata. Ia juga duduk di sebelah Ambar.
Ambar terkikik. Sambil menahan tawa ia menjelaskan, "Kata dasarnya sembunyi, verba sembunyi kalau mau dijadikan nomina, bisa ditambah konfiks pe(N)-an dan ke-an."
"Kata siapa?"
"Guru B Indo saya."
"Terus artinya apa, penyembunyian dan kesembunyian? Tunggu! Kamu pasti salah paham lagi. Kamu les bahasa Indonesia ya, Hes? Bidang MIPA aja jago, tapi linguistik kamu parah."
"Eei, Pak Guru! Komentar Anda keterlaluan."
"Itu kenyataan."
Ambar memukul-mukul paha suaminya. Nata tertawa karenanya.
"Pak. Pak! Saya rencananya mau ikut lomba-lomba lagi. Boleh?"
"Boleh. Bagus dong, Sayang. Istriku kan emang pinter."
Ambar memajukan bibir. "Tadinya dibilang parah."
Nata mencubit sebelah pipi Ambar. "Maaf. Maaf, Cantik. Lomba apa, Hes?"
"Itu nggak tahu juga sih. Sekolah mau mengirim perwakilan atau daftar sendiri-sendiri untuk lombanya. FKIP UR katanya mau mengadakan olimpiade IPA."
"Mau telepon papa nggak?"
"Untuk apa?"
"Tanya masalah olimpiade itu."
Ambar memukul kaki Nata. "Gitu aja tanya kepala yayasan! Besok saya tanya Cinta—teman satu kelas saya."
"Good luck."
Ambar menatap kesal ke Nata yang mengacak-acak rambutnya, seperti anak kecil.
"Pak Nata kalau lagi berduaan sama Bu Fela ngomongin apa aja?"
Gerakan tangan Nata di kepala Ambar terhenti paksa karena Ambar yang melakukannya.
"Hesi. Jangan mulai-mulai."
"Bodo!" Ambar mengambil handphone dan melangkah ke kamarnya. "Pak Nata kalau bosan sama saya, pergi aja ke Bu Fela!"
"Tuhkan kesal lagi!" Semakin lama, Ambar merasa dirinya dan Nata semakin tidak cocok.
***
Muba, 27 Maret 2022
Selamat hari Minggu, selamat berlibur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro