Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[06] Bertemu Secara Langsung

"Pak Nata marah?"

Nata menggeleng.

"Kalau nggak marah, senyum dong." Ambar berdiri di depan suaminya dengan senyuman lebar.

Nata belum juga tersenyum. Ambar pun menggoyang-goyangkan lengan lelaki berkemeja garis-garis itu.

"Senyum. Bapak kalau senyum makin ganteng."

Nata tersenyum karena rayuan gadis itu. Ia memiringkan wajah ketika menyadari Ambar mentertawai mukanya yang memerah.

"Ayo, Pak, makan yang kenyang. Masih ada banyak pertanyaan yang akan Bapak dengar. Pak Nata siapkan amunisinya, ya."

Setibanya di lantai satu, Ambar melihat orang yang dia bahas tadi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan cepat Ambar melepaskan rangkulannya dari Nata.

"Mas Nata!"

Ambar merasakan gemuruh di dada ketika wanita yang sepantaran dengan suaminya mendekat. Senyuman wanita itu amat lebar. Ambar bahkan tidak menyadari kalau Nata sudah ditarik oleh ibu mertua untuk menjauh darinya. Sekarang di depan Ambar ada istri baru suaminya yang memamerkan senyuman akrab. Ambar pun menunduk. Pasangan yang cocok berdiri di sebelah Nata adalah wanita itu, bukan dirinya. Ambar merasa tak bisa menandingi wanita yang terlihat sangat sempurna itu.

"Muridnya Pak Nata, ya?"

Dengan cepat Ambar menyahuti, "Ambar, Kak." Padahal, lawan bicara tidak menanyakan nama Ambar. Ah, Ambar bodoh. Pakai mengulurkan tangan pula. Ambar meringis dalam hatinya. Pasti karena pertanyaan Nata tadi. Akhirnya, Ambar berkenalan dengan istri baru suaminya.

Wanita itu menyebutkan namanya sendiri. Fela. Namanya cantik sekali. Sangat pas melekat padanya. Dia juga bertanya basa-basi Ambar kelas berapa. Ambar sangat ingin pergi saja. Sebelum itu, dia menjawab pertanyaan istri baru suaminya dan berpamitan. Sayangnya, wanita yang merasa akrab dengannya itu malah mengajak Ambar untuk keluar dari perpustakaan bersamanya dan mama mertua. Ambar tak memedulikan dan langsung pergi dari sana sebelum istri sah Nata menahannya.

"Tante Marsya akan marah besar sama aku kalau ikut sama mereka. Pak Nata aja langsung dibawa jauh-jauh dari aku. Udah pasti gak akan boleh bareng aku lagi. Ngapain aku di sini kalau nggak ada Pak Nata?"

Ambar menghela napas. Dia yang paling muda jadi dia yang harus mengalah.

"Pak Nata gak akan pulang malam ini. Istrinya aja seperti itu. Bohong kalau Bapak gak tertarik. Tante sayang banget sama dia." Gadis itu berjalan ke depan gedung untuk menunggu ojek online.

Ambar dapat melihat mereka bertiga saling lempar senyum dan bercanda. Ia pun menghela napas.

"Di cerita-cerita, kalau sudah menikah, bakalan tumbuh rasa suka dan cinta. Mereka sama-sama orang dewasa. Didukung keluarga. Apa lagi yang kurang?"

Ambar merasakan getaran di ponsel yang ia pegang.

"Kirain abang ojek," dumelnya. Ternyata Nata mengirim pesan kalau dia tidak bisa mengantarkan Ambar pulang. Nata meminta maaf.

"Pak Nata raja tega." Ambar malas membalas pesan tersebut. Dia segera mengantongi ponsel karena ojek yang ditunggunya sudah tiba.

***

"Jangan marah. Aku di sini lebih lama daripada di sana. Senin sampai Jumat."

"Tapi dua harinya Bapak di sana berkualitas." Ambar menekankan kata terakhir karena dia merasa apa yang dia ucapkan itu benar. Bayangan saat Nata mencium dan memeluk istri baru membuat Ambar sangat kesal. Mereka juga pasti tidur bersama. Ambar mengembuskan napasnya dari mulut dengan bibir bawah dimajukan hingga udara terembus ke hidungnya.

Nata tidak pernah mengelak dengan tuduhan Ambar. Nata tidak berniat bohong kepada Ambar, tapi tak ingin bercerita apa yang terjadi di sana. Itu intinya.

"Di sini juga berkualitas."

Juga. Coba dengar apa yang barusan dia bilang. Juga. Artinya di sana memang berkualitas! Ambar mengembuskan napas dengan cara yang sama seperti tadi, kebiasaan saat dia sedang marah.

"Oke deh. Saya juga sebenarnya udah siapin mental kalau akhirnya Bapak akan memilih Bu Fela."

"Hesi," tegur Nata.

"Kenapa memangnya? Saya merasa begitu, Pak. Coba kasih tahu caranya supaya saya nggak berpikir seperti itu. Pak Nata maunya saya memendam apa yang saya rasakan? Bapak gak suka saya yang seperti ini? Yang selalu mengatakan apa yang mau saya katakan dan menanyakan apa yang mau saya ketahui."

"Jangan berpikir begitu, ya. Sejak pertama, hanya kamu. Di hati ini cuma kamu, Hesi. Sampai akhir."

"Di hati Pak Nata memang ada saya. Di pikiran Bapak ada Bu Fela. Di kamar Pak Nata ada Bu Fela. Lama-lama di hati Pak Nata juga penuh dengan Bu Fela."

"Ck. Sehari aja kamu nggak menyebut nama Fela bisa nggak, Hes? Kita cuma akan bertengkar. Apa kamu tidak capek ribut tentang dia-dia terus?"

"Ya mau gimana lagi sayanya, Pak? Di otak saya ada Bu Fela semua."

"Tuh kan! Dia adanya di pikiran kamu, bukan aku. Gini deh, kita bikin kesepakatan."

Ambar memanyunkan bibirnya. Tangannya masih tersilang di dada. Nata menggeleng-geleng melihat sikapnya itu.

"Apa?" Nada Ambar masih tidak santai.

"Kamu dapat hadiah kalau dalam satu hari tidak membahas nama Fela."

Mata Ambar melebar. Dia tidak bisa menjawab sekarang. Sudah pasti ini permainan yang sangat susah. Setiap hari, Ambar selalu memikirkan Fela dan Nata. Apa yang dia pikirkan akan dia katakan langsung kepada yang bersangkutan. Apalagi kepada Nata yang sejak dahulu menjadi pendengar setianya. Ini seperti kebiasaan yang susah sekali untuk Ambar hilangkan.

"Tunggu dulu, Pak Nata mau kasih hadiah." Ambar membatin. "Aku harus bisa. Pak Nata mau kasih hadiah apa, ya?" gumamnya.

"Gimana, Hes?" tagih suaminya.

"Hadiahnya apa dulu, Pak?"

"Kamu sebutkan sendiri mau apa asalkan masuk akal."

Ambar seketika mengembuskan napas lemah. Dia menggeleng-geleng. "Gak kayak di cerita!" gerutunya dalam hati.

"Setuju?" Nata masih menunggu Ambar menyanggupi.

Dalam sekali angguk, Ambar langsung dipeluk oleh lelaki itu.

"Kamu ini bikin pusing tiap hari, tapi udah terlanjur sayang sama kamu. Jangan suka marah-marah, ya, nanti cepat keriput. Gemasnya ilang."

"Kalau saya udah keriput, Pak Nata mau meninggalkan saya gitu?"

"Emangnya bisa. Kakiku udah gak bisa jalan lagi di waktu itu."

Ambar tertawa dan memeluk Nata lebih erat. Iya juga, rentang usia mereka sangat jauh.

"Saya akan minta hadiahnya segera. Besok dan besok dan setiap hari."

"Boleh. Hadiah seperti ini jangan lupa kamu request."

Ambar bersemu saat bibirnya dikecup. Dia terdiam. Lalu, sekali lagi bibir suaminya menyentuh bibir Ambar. Kali ini lebih dalam, sehingga Ambar merasakan panas di seluruh tubuhnya.

"Pak!" Ambar memukul bahu Nata. Pria itu pun kaget dan memelototi istri kecilnya.

"Ajarin PR Kimia."

Nata tersenyum dipaksakan, "Aku anak IPS, Sayang," katanya.

"Alasan. Pak Nata pasti bisa, cuma males. Ya kan?"

"Dari mana bisanya? Terakhir belajar Kimia di kelas sepuluh. Dan artinya, sudah lewat bertahun-tahun lamanya, Hesiku Sayang."

"Ayok, Pak Nata tunggu di meja. Hesi ambil bukunya. Ajarin dengan sabar ya, Suamiku." Ambar tersenyum dan mengecup pipi Nata sebelum masuk ke kamarnya sendiri.

"Pak Nata beliin saya apel waktu pulang? Boleh minta kupaskan, Bapak Sayang?" teriak Ambar dari kamarnya.

Sekembalinya dari kamar, Ambar tak menemukan Nata di meja tempat mereka biasanya belajar. Ambar berasumsi kalau Nata berada di dapur. Ambar mulai membuka buku dan akan mengerjakan sendiri tugas rumahnya. Ia sanggup menyelesaikan PR yang memang telah dia pahami melalui penjelasan guru Kimia. Namun, mengajak Nata pusing memikirkan hal-hal yang tidak diketahui oleh pria itu sungguh asyik.

"Mana sih Pak Guru?" gumam Ambar. "Eh, Pak Nata di mana?" tanya Ambar mendapati dapur kosong. Begitu juga kamar Nata.

Ambar berlari kecil ke pintu depan. Mobil Nata tidak berada di tempatnya.

"Bapak ... Bapak. Mikirin apa sih sampai lupa pesanan aku?" lirih Ambar dengan tawa kecewa.

Dan ketika PR-nya telah selesai karena tidak membutuhkan waktu lama untuk mengerjakannya, Nata masuk dengan menenteng kantung putih susu. Ambar menatap datar kepadanya.

"Apelnya," kata Nata meletakkan kantung itu di sebelah buku-buku Ambar.

"Udah gak pengin."

Nata yang sudah berjalan selangkah hendak mengambil pisau, berhenti. "Ngambek?"

"Tugasnya sudah selesai. Aku mau tidur." Ambar memberesi buku-bukunya.

"Maaf." Nata duduk di seberang meja.

Ambar mengabaikan.

"Jangan mudah ngambek seperti anak kecil."

Ambar menatap langsung ke balik kacamata pria yang barusan bicara. "Iya, saya masih anak kecil! Pak Nata jadi boleh ngatain saya terus. Permisi, anak kecil mau tidur."

Ambar berjalan memeluk buku-bukunya.

"Jangan lupa matikan lampu dan kunci kamar. Baca doa tidur."

Ambar membanting pintu. "Pak tua itu," geram Ambar, melompat ke tempat tidur.

"Hesi. Besok kita baikan ya, Sayang?" Nata bicara setelah mengetuk pintu kamar Ambar.

"Cute!" Ambar berteriak tertahan dengan bibir menahan senyuman. "Aku kenapa sih? Keselnya dirampok oleh 'Sayang' nih pasti." Ambar berdiri untuk menekan sakelar, sehingga kamarnya gelap dan memutar anak kunci hingga bersuara klik.

"Mulai besok, aku harus dapat hadiah dari Pak Guru."

*** 

MUBA, 25 MARET 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro