[03] Sambutan Sepulang Sekolah
Sebelum nonton mukbang-nya Shin Hari dan Kang Tae Mu, baca ini dulu, yuk.
***
Tanpa terasa sebulan sudah Ambar tidak bertemu dengan Nata. Pesan dari Nata pun tak pernah lagi muncul di layar ponsel Ambar. Sebentar lagi Ambar akan dilupakan. Atau sudah?
"Aku akan menikah dengan gadis pilihan Mama," jelas Nata sekitar dua bulan yang lalu.
"Pak Nata tega sama saya? Katanya Bapak cinta, tapi kenapa Pak Nata mau menikah lagi? Maruk ah, Bapak."
"Terus aku harus bagaimana? Aku nggak mau kamu berantem terus dengan Mama. Aku janji, kalau Mama sudah dapat menantu pilihannya, dia akan berhenti marah-marah ke kamu. Mama sudah janji hal itu."
Ambar mencebikkan bibirnya. "Saya aja nggak apa-apa digituin. Ini pasti maunya Bapak 'kan? Pak Nata mau nikah lagi karena saya masih sekolah?" tebak Ambar. Tatapannya betul-betul ingin menguliti si suami.
"Bukan seperti itu, Hes. Aku nggak bisa melihat kalian berantem. Kalian dua orang yang sama-sama aku cintai. Saat kamu dihinda-hina Mama, aku nggak suka. Aku nggak bisa apa-apa. Mama keras, tapi kalau ditegur dikit akan menangis. Aku takut Mama sakit. Kalau sudah begitu, Mama mulai minta aku lepasin kamu," jelas Nata dengan hati-hati. "Mama berjanji nggak akan menemui kamu lagi. Nanti Mama akan sibuk dengan menantu barunya."
"Pak Nata juga akan sibuk sama istri baru. Istrinya sudah dewasa. Bapak bisa berhubungan intim sama dia."
"Jauh sekali pikiran kamu. Saya cintanya cuma sama kamu."
Mengingat kalimat itu, Ambar mencibir. Cinta, tapi sebulan tanpa kabar itu artinya apa? Ambar lelah berpikir. Ambar sampai pada kesimpulan bahwa suaminya telah hidup bahagia dengan istri barunya. Case closed.
"Nah, Ambar, kamu melamun lagi sambil jalan."
Ambar merasa namanya disebut lalu mencari sumber suara.
"Nggak ada teman jadi saya diam aja, Bu. Ibu memangnya mau lihat saya bicara sendiri sambil jalan?" kilah Ambar menoleh kiri dan kanan. "Ibu mau ke mana kok arahnya ke belakang? Nggak pulang?"
"Ibu lupa bawa buku yang udah dipinjem dari perpustakaan. Besok Sabtu, waktunya santai baca buku."
Ambar ikut menyusuri lorong kelas menuju kantor guru.
"Ibu suka baca, ya? Baca novel?"
"Suka banget. Dari SMP sudah mulai membaca. Kalau kamu gimana? Kamu senang membaca?" Bu Winda membuka pintu kantor dan menahannya untuk Ambar.
Ambar berterima kasih. "Enggak suka-suka banget sih. Tapi kalau ada tugas, saya baca sampai tamat. Mulai hari ini saya akan mendidakasikan diri saya untuk mencintai novel," kata Ambar mantap.
"Dedikasi banget ceritanya, Mbar?"
"Saya mau ikut menangis bareng tokohnya. Mau nangis sendiri, takut dikira baperan. Ibu punya bacaan sedih?"
Ambar melihat buku-buku yang dikeluarkan Bu Winda dari lokernya.
"Ibu baca sebanyak ini?" kaget remaja kelas satu SMA itu.
Bu Winda lantas mengangguk. Ia memilih buku-buku yang akan dibawa pulang. Sementara itu, Ambar tertarik kepada satu buku berwarna biru yang bertuliskan nama gurunya.
"Ini buku Ibu yang nulis?" tanya Ambar mengangkat sebuah novel yang cukup tebal.
"Iya. Tapi kamu nggak Ibu bolehin baca," peringat Bu Winda.
Ambar justru lebih tertarik lagi. Seperti kebanyakan orang, sudah jadi kebiasaan jika sesuatu yang dilarang, malah membangkitkan keinginan untuk mencobanya. Sama saja seperti adanya peraturan artinya ada pelanggaran.
"Itu cerita rumah tangga. Kamu masih remaja. Bacaan kamu bukan tentang nikah-nikahan," larang Bu Winda.
Ambar mencebikkkan bibir. "Ibu juga belum menikah. Kenapa menulis cerita rumah tangga?"
Mulut Bu Winda menganga. "Ih kamu dibilangin malah ngeyel. Ibu yakin kamu nggak akan suka. Apalagi itu ceritanya tentang poligami," bisik Bu Winda. "Nggak ada bahasa receh di dalamnya. Isinya cukup berat. Sama kayak bukunya, tebal dan beban banget."
"Aku pinjam ya, Bu. Aku mau baca." Tanpa sadar siswa itu berbahasa santai kepada gurunya. "Cerita beban, saya banget tuh. Ibu tolong jangan judge saya suka yang receh-receh. Saya gak gitu."
"Ya udah baca aja." Bu Winda mengalah.
Mereka bersama-sama jalan menuju lapangan. Bu Winda menuju sepeda motornya, sedangkan Ambar kebingungan sebab ponselnya mati. Bu Winda berhenti di depan Ambar dengan helm telah menempel di kepalanya.
"Kenapa belum pulang?"
Lapangan telah sepi. Senja sebentar lagi menyapa Bumi Lancang Kuning.
"Ikut Ibu aja. Ibu antar kamu sampai rumah, yuk, naik."
"Nggak ada helm, Bu," tolak Ambar ragu.
Ambar tak ingin Bu Winda mengetahui dirinya tinggal sendirian. Namun, apabila menolak tawaran itu, Ambar akan kesusahan pulang. Angkutan umum tidak lewat sini, sedangkan ponsel untuk memesan ojek online mati. Ojek biasa sudah tidak beroperasi jam segini.
"Enggak usah nolak deh. Saya tahu kamu cuman basa-basi berpikir. Ayo, naik. Saya tahu banyak jalan tikus di Pekanbaru."
Ambar duduk di boncengan sepeda motor.
"Ibu ngapain aja sama tikus? Mereka baik-baik, ya? Mau dong dikenalin," canda Ambar. "Saya peluk ya, Bu, supaya orang nggak nyangka Bu Winda abang ojek langganan anak sekolahan."
"Bisa aja kamu, Nak," balas Bu Winda mulai mengegas kendaraan roda dua.
Setibanya di halaman rumah, Ambar cepat-cepat turun. Dari jauh dia telah melihat mobil yang familiar terparkir di depan rumah.
"Ini mau malam. Bu Winda hati-hati pulangnya. Makasih banyak sudah bawa saya pulang. Daah, Ibu Cantiiik. Saya pinjem buku Ibu, ya." Ambar berlari ke dalam rumah tanpa menunggu Bu Winda pergi. Ambar lupa etika sebab Bu Winda terasa seperti teman baginya. Ketika langkah Ambar semakin dekat ke teras, ia teringat kesalahannya. Melihat ke belakang, Bu Winda telah menghilang. Ambar memutuskan untuk minta maaf hari berikutnya.
"Pak! Pak Nata di rumah?" Ambar mengetuk pintu. Ia memutar kenop yang ternyata tak dikunci.
Ambar masuk pelan-pelan saat dilihatnya Nata tertidur di sofa.
"Ih, Pak Nata kebiasaan nggak buka sepatu sebelum tidur," komentarnya pelan. Ambar melepaskan sepatu Nata beserta kaus kakinya.
Ambar memandangi wajah Nata yang terlihat lelap sekali.
"Pengantin baru nih, mukanya bening banget," sindir Ambar. "Kebo Bapak mah. Datang cuman mau tidur aja."
Ambar pun meninggalkan pria dewasa itu. Dia butuh membersihkan diri dan mengganti pakaian sekolah. Setelah keluar dari kamar, Nata masih tidur.
"Masak, ah. Malam ini bisa makan ditemanin Pak Guru."
Begitu selesai memasak, Ambar pergi ke tempat suaminya berbaring. Ambar bertumpu pada lututnya di sebelah Nata. Cukup lama ia pandangi wajah lelap Natirta Adiwijaya. Rindu di hati Ambar terasa meringan hanya dengan menatap wajah pria yang memejamkan mata itu. Nata tidur dengan tenang sekali. Ia terlalu letih sampai tidak sempat berganti pakaian. Jangankan mandi, buka sepatu saja Nata lupa.
"Sepertinya cape banget. Apa Pak Nata langsung nyetir ke sini?"
Jika benar begitu, Ambar merasa ia cukup istimewa. Alfanya Nata selama satu bulan mampu Ambar maklumi. Tangan Ambar mendekat ke wajah Nata. Dengan pelan ia melepaskan kacamata yang menjadi aksesoris sehari-hari suaminya.
"Halo, Pak Guru. Lagi mimpiin apa?" monolog Ambar, tak lepas memandangi wajah tampan pria tersebut.
"Semoga masih saya." Sudut bibir Ambar tertarik sedikit membentuk senyuman tipis. Lantas Ambar menarik napas. "Jangan berekspektasi, Ambar," bisiknya.
Ambar menyudahi pengobatan rindunya dan kembali ke dapur. Kepalanya menggeleng-geleng melihat masakan yang dia sajikan. Hanya ada telur dadar dan timun yang Ambar potong ditaburi bawang goreng.
"Kapan bangunnya, sih, Bapak? Aku udah laper banget."
"Hesi?" Suara Nata terdengar dari depan. Ambar bergegas menuju sumber suara.
Ambar berhenti melangkah dan mengamati Nata yang sedang mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Nata kelihatan panik. Ambar menyipitkan mata.
Nata bergumam cukup keras sambil menggunakan ponselnya, "Kamu di mana, Hesi?"
Ambar akhirnya tersenyum. Rupanya, Nata tengah mencemaskan dirinya, bukan istri yang di sana. Ambar kemudian mendekat dan berdiri di depan Nata. Pria itu menengadah begitu menemukan sepasang kaki Ambar di hadapannya. Ambar tidak membalas senyuman pria itu.
"Masih bisa dia senyum seakan gak bersalah pergi tanpa pernah kasih kabar!" bisik batin perempuan kelas satu SMA tersebut.
Tangannya dilipat di depan dada. Ambar meralat rencananya tadi; Ambar tidak ingin memaklumi Nata. Walaupun tadi Nata tampak khawatir. Bisa jadi karena Nata berpikir Ambar lupa jalan pulang sehabis jam sekolah—memanfaatkan waktu bebas untuk bermain di luar tanpa sepengetahuan Nata.
"Hesi?"
***
MUBA, 22 MARET 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro