[02] Periode Galau Seorang Murid
Ambar menjadi manusia paling galau minggu ini. Berangkat sekolah yang biasanya diantar Nata, sekarang pergi sendiri. Di rumah yang biasanya ditemani suami, kini Ambar seorang diri. Nata selalu menelepon di jam istirahat, tapi Ambar merasa itu masih kurang. Setiba di rumah, Nata tak pernah menghubunginya. Kirim satu pesan pun tidak. Ambar tahu alasannya. Di rumah ada istri baru yang akan memergoki pria itu. Juga ada mama mertua yang pasti takkan membiarkan Nata ada kesempatan menghubungi Ambar.
"Kamu lagi ngapain? Ibu panggil tidak menyahut."
Ambar gelagapan ditegur seperti itu oleh gurunya. Siswa kelas sepuluh itu langsung berdiri.
"Ma-maaf, saya nggak tahu kalau itu Ibu. Kirain tadi teman-teman. Habis Ibu mungil," ceplosnya. Sebanyak ini siswa yang lalu lalang, mana Ambar sadar jika salah satunya adalah guru. Kepala Ambar tertunduk dalam waktu duduk di muka kelas akibat beban pikiran yang menumpuk.
"Nasib ini terlalu tega gak tuh kepada siswa yang belum satu tahun duduk di bangku SMA? Belum pikiran tentang pelajaran, eh ditambah mikirin suami yang punya istri satu lagi." Ambar menatap gurunya dengan pikiran melanglang buana. "Kenapa waktu pembacaan takdir sebelum terlahir ke dunia, aku di urutan ini? Mengapa nama Ambar yang harus menjalani nikah diam-diam terus diduain, dan enggak boleh mengatakan 'jangan' waktu Pak Nata bilang mau menikah lagi?"
"Sedang ada masalah, Ambar?" tanya Bu Winda perhatian. Bu Winda duduk di sebelah Ambar dengan sedikit miring. Mengabaikan dirinya yang dibilang 'mungil'. Artinya dia dicap bertubuh kecil karena memang tingginya hanya setelinga murid perempuannya itu. Guru Bahasa itu merasa maklum karena Ambar hanya refleks.
Cepat Ambar menggeleng. Apa sih masalah berat seorang anak kelas satu SMA? Bagi orang dewasa, Ambar mungkin hanya sedang galau karena memikirkan gebetan yang tidak mengerti kode. Mungkin juga mereka kira tipe seperti Ambar sedih karena nilainya tidak mencapai KKM.
"Masalah takkan selesai kalau kamu simpan sendiri. Kamu punya teman? Berbagi sama temanmu atau orang yang kamu percayai. Jangan ditanggung sendirian. Kamu punya pundak hanya dua. Itu pun sangat kecil. Masalah pasti memberatkan kamu jika kamu memikulnya sendirian."
"Orang yang saya percayai itu yang bikin saya banyak pikiran, Bu." Ambar hanya mengucapkan dalam hati. Temannya Wahyu. Masa Ambar harus cerita ke Wahyu? "Yu, suami aku punya istri lagi. Dewasa dan sepantaran."
Ambar lalu menggeleng lagi untuk menghapus suara-suara otaknya yang semakin kacau.
"Ibu kayak bisa meraba ke dalam pikiran saya. Lagi training cenayang ya, Ibu? Nggak ada masalah. Saya cuma lagi cape aja habis olahraga," elak Ambar, meregangkan tangan-tangannya.
Guru berhijab itu dibuat menggelengkan kepala juga. "Kebetulan ketemu di sini." Bu Winda mendekat kepada Ambar lalu berbisik, "Pak Deni memanggil kamu ke ruangannya."
Jantung Ambar berdetak cepat. Ambar menelan ludah takut jika Bu Winda mencium sesuatu. Bukan bau rambut Ambar, tapi bau-bau affair antara siswa dengan kepala yayasan.
"Terima kasih, Bu Winda. Ehm ada apa, ya? Apa beasiswa saya mau dicabut? Ah, Pak Deni lagi gabut aja kali," putus Ambar sengaja keras-keras agar gurunya mendengar.
Bu Winda menepuk pundak Ambar. "Parnoan kamu mah. Kamu punya masalah apa dengan Pak Deni sampai beliau tega menarik beasiswa kamu? Selama ini nilai-nilai kamu naik terus," hibur sang guru.
Ambar mengucapkan maaf dalam hati karena telah membohongi guru seperhatian Bu Winda. Ia berpamitan menuju lantai satu paling ujung tempat ruangan Pak Deni berada.
Dengan menahan degupan keras di jantungnya, Ambar mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati. Apakah ini seperti ketika Nata mengunjungi Ambar di sekolah? Suaminya akan meminjam ruangan ayahnya. Namun, harapan Ambar bahwa di balik pintu ada Nata lenyap. Ruangan yang terlihat rapi itu hanya diisi oleh ayah mertuanya.
Ambar menyalimi tangan mertuanya.
"Hesi sudah makan?" tanya ayah mertua Ambar.
Ambar ingin mengangguk, tetapi ia ragu untuk berbohong. Kenyataannya, terakhir kali Ambar makan nasi adalah kemarin malam. Ambar memilih berdiam daripada berbohong.
"Papa yakin kamu belum makan. Papa sudah pesan nasi goreng untuk kita. Sini duduk."
Wajah sedih Ambar tak mungkin mengelabui mata tua sang mertua. Ambar menerima pelukan Deni. Pak Deni tahu aja kalau Ambar pasti sedih. Ya iyalah, masa Ambar masih hore-hore waktu tahu suaminya menikah lagi. Sama perempuan yang lebih dewasa dan cantik pula. Ambar kalah telak. Cuman simpanan tak bisa diakui di muka umum. Rencananya Ambar akan menunggu dengan sabar hingga tamat sekolah, tapi lama-lama angan-angan Ambar terempas. Kayaknya, nggak ada harapan untuk mendapat pengesahan.
"Makan dulu, Hes. Nanti kamu sakit kalau tidak makan. Habis itu cerita sama Papa, ya."
Pak Deni juga makan nasi goreng bersama Ambar. Ambar tahu, pria itu pasti telah dibawakan bekal oleh sang istri. Pak Deni seakan-akan punya lambung dua bisa makan sepiring lagi. Hanya supaya Ambar mau makan. Betapa baik ayah mertua Ambar ini.
"Nasi gorengnya enak, tapi masih kalah dari masakan mamanya Nata," komentar Pak Deni setelah menghabiskan nasi goreng.
Ambar tersenyum. Terlihat jelas besarnya cinta Pak Deni kepada Tante Marsya.
"Pak Nata bisa kayak gini juga, nggak?" keluh Ambar dalam hati.
"Kamu mau maafin Papa? Papa tidak ikut membela kamu. Papa mengikuti saja permintaan mamanya Nata. Sama seperti Nata yang mencintai kamu, Papa juga mencintai mama Nata. Dan Nata juga tidak dapat menolak permintaan mamanya demi kebaikan kamu."
"Saya tidak paham Bapak ngomong apa. Saya baik-baik aja kok." Kelakar telah habis dari bibir Ambar. Sekarang dia pure sedih mendapatkan perhatian dari orang yang menyayanginya. Ambar tidak mau membuat pria ini repot mengurusi masalah perasaan Ambar.
"Papa, Hesi. Walaupun kamu tidak dinikahi anak Papa, kamu tetap Papa anggap anak Papa."
Sebelum menjadi menantu di keluarga Pak Deni dan Tante Masrya, Ambar lebih dulu menjadi anak angkat. Nata yang mengajak Ambar tinggal di rumah orang tuanya ketika Ambar kehilangan orang tua. Nata jugalah yang mengajak Ambar menikah sampai menentang mamanya demi cinta Nata kepada Ambar. Semuanya sayang kepada Ambar, termasuk Tante Marsya. Beliau berubah amat benci pada Ambar karena Nata ingin menikahi Ambar. Ternyata mama mertua sudah punya calon untuk Nata. Istri sah Nata itu adalah kandidat dari Tante Masya sejak awal.
Ambar menyengir. Ia terlalu berat memanggil demikian. Lidahnya telah terbiasa menyebut bapak, seperti Ambar memanggil ayahnya sendiri. "Bapak mau kasih makan saya aja nih manggil saya ke sini? Kalau Bapak mau ngomong, bicara aja sekarang. Jam istirahat sudah habis. Hesi nanti dicariin guru. Guru tuh suka begitu kalau nggak melihat saya di kelas," gurau Ambar.
"Papa pikir kamu kangen sama Nata."
Ambar merintih. Papa menyebut nama Nata dengan enteng. Ambar susah-susah meredakan nyeri karena Nata yang sudah beristri lagi. Tentu saja Ambar kangen dengan Nata.
"Jadi?" tanya Ambar menunggu.
"Ya lihat wajah Papa, rindu kamu bisa terobati."
Ambar tertawa tertahan. Kalau tawanya meledak, takut nanti dikira tidak sopan kepada orang tua. Pak Deni sih bercandanya kebablasan.
"Pak Deni emang ganteng sih, tapi sudah tua. Beda sama Pak Nata yang masih muda dan tampan."
Pak Deni pura-pura marah. "Kamu pikir dari mana Nata bisa setampan itu kalau bukan dari Papa? Nata juga nanti kalau tua seperti Papa."
Ambar mengangguk. Tawanya masih belum reda. "Pak Nata tuanya masih lama," koreksi Ambar. "Saya masuk kelas dulu, Pak. Nanti beneran bikin guru rindu."
Ambar berhasil melalui minggu galaunya dengan hiburan dari Pak Deni. Waktu berlibur di rumah digunakan Ambar untuk mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk. Walau sesekali sudut hatinya mengingat Nata, Ambar berusaha menyadarkan diri bahwa Nata kini sudah bukan sepenuhnya milik Ambar. Bahkan dari awal Ambar kurang yakin dia pernah memiliki Nata.
***
MUBA, 21 MARET 2022
Besok Kasev update lagi SUPAYA BISA KETEMU PAK NATA.
PAK NATA bukan MAS NATA
Mas Nata adanya di sebelah. ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro