
Prolog
And I can't breathe... without you,
but I have to,
Breathe... without you,
but I have to
[Taylor Swift - Breathe]
***
Kemarin hujan. Tapi aku masih bisa tertawa.
Kemarin hujan. Tapi di bawah atap sembari menunggui hujan itu reda, aku masih dapat merencanakan hari ini. Hari pentingku. Tujuh belas tahun bukan angka sederhana. Hari ini berarti banyak hal.
Kemarin hujan. Di mataku. Jatuh ke pipiku. Tetapi semua itu bukan apa-apa. Hari ini masih istimewa.
Lalu, aku mulai menyesal. Aku berharap hari ini tidak pernah ada.
Sebelas Desember tidak pernah ada.
"Eh! Kapan sih, gue begitu? Lihat, dong!" Yang paling berisik itu si Kama. Dia punya perpaduan antara suara cempreng, nyaring, dan mulut yang bawelnya minta ampun. Pokoknya, Kama dan kedamaian tidak akan pernah bisa berdampingan.
Cewek pemilik kulit sawo matang, rambut keriting yang super hitam dan super tebal dan senyum paling lebar seantero planet itu mengulurkan tangannya, coba menjangkau Ulfi dan Ghea yang sedang cekikikan di bangku belakang. Mereka sedang memeriksa hasil photo booth tadi dan tidak henti-henti membahasnya.
Belum sempat Kama berhasil merebutnya, Ulfi, cewek mungil bermuka bulat, berjilbab yang sering disangka anak SMP itu telah menjauhkan tangannya sambil tertawa keras-keras. "Ya ampun, Ma! Lo lucu banget sumpah merem gini hahaha."
"Masa sih, gue merem! Liat sini!"
"Beneran! Iya kan, Ghe?" jawab Ulfi di antara derai tawa. Ghea yang paling anggun di antara semuany hanya cekikikan, tidak mampu menyembunyikan tawa.
Hal itu, seperti bisa ditebak, membuat Kama makin bersemangat melihat hasil foto. Ia sampai mengubah posisinya hingga persis menghadap kursi belakang. Kama menarik lengan Ulfi, membuat cewek itu berteriak sembari mempertahankan gelangnya yang nyaris putus.
"KAMAAA!!! Ini gelang berharga, ya! Gelang persahabatan kita! Kalo putus lo tanggung jawab!"
"Iya, maaf! Elo sih! Sini! Sini! Mana fotonya gue liaaattt~"
"Enggak!"
Mereka tertawa, lagi. Seisi mobil dipenuhi derai tawa mereka, mengherankanku bagaimana supir taksi daring yang kami tumpangi sekarang tidak juga protes. Kama masih berusaha meraih hasil foto-foto itu, yang terus dioper bergantian antara Ulfi dan Ghea.
Kama menggulung lengan bajunya hingga ke pundak, siap berperang. "Awas kalian, ya!"
Sayangnya, keganasannya membuat lengannya menyikut Laura yang sedang memainkan ponsel sampai ponsel itu juga terjatuh.
"Kamaaa!!! Gue lagi chatting-an sama Rei, ih!"
Tanpa rasa bersalah, Kama memeletkan lidah. "Pacaran mulu, sih lo, Ra. Rasain!"
Aku nyaris tertawa. Getir, tentu saja. Masalah Laura dan Rei masih menjadi sesuatu yang menyentuh sudut hatiku, dengan cara yang tidak mengenakkan. Akan selalu begitu.
"Kayak Nana dong, lo. Kalem!" Alisku sedikit berkerut ketika mendengar namaku disebut.
"Ih, Nana mah emang alergi cowok!" Laura menyahut, lalu menunduk untuk memungut ponselnya. Ketika ia duduk kembali, ia menatapku. "Na, Mama ada nelpon?"
"Chat," balasku. "Tapi belum gue buka, bingung mau bales apa."
"Nggak usah. Bentar lagi kita juga nyampe rumah."
Mengangguk, aku pun membuang pandang kembali. Keberisikan di sekitar berusaha kuredam dengan menyumpalkan earphone ke telinga. Breathe, lagu lama milik Taylor Swift mengalun melewati indera pendengaranku. Nada-nada yang sendu, senja yang berada di ujung jalan, dan gerimis yang menyapa jendela lamat-lamat. Dan aku kembali merasakannya. Resfeber.
Tatapanku sejenak beralih ke depan, entah bagaimana, firasat buruk yang menggerayangiku semakin kuat. Di luar jendela, gerimis menderas menjadi hujan. Sore yang bersemburat jingga menggelap. Dan aku hampir bisa melupakan perasaan bersalah ini. Hampir. Karena tahu-tahu pemandanganku berubah. Deret gedung yang berlarian sekarang kabur seperti kilat. Di sepersekian detik yang sama, semuanya terjadi ...
Aku mendengar suara tabrakan keras pecah di telinga, menggantikan derai tawa yang terdengar detik sebelumnya. Juga duniaku yang berjumpalitan saat itu juga. Semuanya menggelap, bersamaan dengan tubuhku yang terasa melayang dan dilemparkan. Hanya satu kedipan mata sebelum aku akhirnya dapat merasakan benturan yang lebih keras. Lalu sunyi.
Tidak ada tawa Ulfi. Tidak ada Laura yang marah-marah. Tidak ada teriakan Kama dan cekikikan Ghea. Semua hening. Telingaku berdengung. Lalu, setelah berusaha keras, aku membuka mata, coba merasakan tanganku, tubuhku. Gamang. Namun, perlahan tapi pasti, aku dapat mengendalikannya kembali.
Perlu upaya lebih keras dariku untuk memerintahkan otakku yang kebingungan untuk bergerak, untuk bangkit, sementara tubuhnya terasa seperti adonan agar-agar.
Ketika aku berhasil bangkir duduk, aku melihat pecahan kaca di sekitarku, di tubuhku, banyak sekali. Juga darah. Dan, tidak jauh di depan, sebuah mobil telah terbalik, tidak lagi berbentuk.
Kemarin hujan. Hari ini hanya gerimis.
Tapi, kemarin aku masih bisa tertawa. Hari ini ... semuanya sirna.
Mobil itu ... adalahyang kami tumpangi tadi.
Halo~ terimakasih telah meng-klik cerita ini dan membacanya~
Kalau kamu penasaran lanjutannya, jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian agar mendapat pemberitahuan untuk update selanjutkan. Juga, tekan bintang dan tinggalkan komentar sebagai penyemangat. Terimakasih~
Update setiap hari selama bulan Desember, InsyaAllah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro