
13. Sakit Yang Bertahan Lama
Sabtu, 12 Desember, 17.52 WITA
.
Aku menemukan diriku berdiri di bawah kenaungan pohon akasia yang memayungi halaman rumah Ghea. Salah satu daunnya yang lebar dan telah menguning tertiup angin, jatuh, lalu tersangkut di rambutku. Aku mengambil waktu untuk menyingkirkannya. Sengaja berlama-lama. Bahkan diriku setengah berharap agar tidak ada orang di rumah. Agar tidak ada yang membukakan pintu.
Harapanku tidak terwujud. Karena setelah berjalan lambat-lambat melintasi halaman, menginjak dedaunan kering di atas halaman berkerikil yang bersih, lalu berdiri di pintu beberapa menit demi menyiapkan diri, pintu terbuka tanpa sempat kuketuk. Neneknya Ghea yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu berdiri di depanku, menatap lamat-lamat dengan matanya yang telah mengabur, menelitiku.
"Rara?" tanyanya setelah beberapa saat.
Aku tersenyum kecut. "Nana," koreksiku.
"Oh!" Cepat-cepat, dia meraih tanganku dan menarikku masuk. "Masuk! Masuk!"
Ghea punya sofa besar, empuk dan lembut berwarna hijau lumut di ruang tamu rumahnya yang luas. Di situlah aku mendudukkan diri, atau lebih tepatnya menenggelamkan diri, karena begitu duduk, sofa itu rasanya menyembunyikan tubuhku. Ada meja kaca segiempat di tengah-tengah sofa berbentuk L, di bawahnya adalah karpet bulu lembut yang seakan memijat kaki. Ada kipas angin besar terpasang di langit-langit, tetapi sebenarnya ruangan itu sendiri dingin secara alami berkat lantai kayu ulin yang kuat, dinding-dinding kayu, serta bubungan tinggi yang beratap sirap.
Dulu, aku selalu mendambakan rumah seperti milik Ghea.
Dulu, aku selalu senang berada di rumah Ghea.
Sekarang ... semua yang ada di rumah ini rasanya menyesakkan.
"Mau minum apa?" Pertanyaan itu menyentakku sedikit.
Buru-buru, aku menggeleng. "Enggak usah, Nek. Saya bawa air putih."
Tetapi ia tidak mendengarkan dan berjalan lambat-lambat ke dapur. "Nggak pa-pa. Kamu pasti haus."
Tidak lama, aku dapat mendengar gemerincing sendok dan gelas dari arah sana. Dulu, aku tidak begitu sungkan untuk duduk di sini dan mendengarkan suara sejenis itu. Tahu, bahwa itu Ghea yang sedang membuat es jeruk dalam sebuah teko besar untuk kami semua. Atau Nenek yang menyusun kue sarang semut buatannya di atas piring. Kesukaan kami. Akan terdengar percakapan hangat di antara mereka, ditingkahi keberisikan Ulfi yang tengah menonton video mukbang atau ASMR dalam volume keras, Kama yang berusaha mengeraskan volume televisi, dan Laura yang sibuk menerima telepon. Kadang, akan ada perdebatan di sana-sini, mengatasi suara-suara yang telah bising tadi.
Aku memejamkan mata, menyesap dalam-dalam keberisikan yang kurindukan itu. Seperti sihir, ketika mataku terbuka, seluruh suara satu persatu menghilang. Hingga yang tersisa hanyalah senyap. Dan aku. Sendirian.
Nenek Ghea kembali beberapa menit setelahnya, menyajikanku segelas sirup berwarna merah dan sepiring kue sarang semut. Beliau duduk di sampingku, berjarak satu orang di antara kami. Berjarak Ghea. Ghealah yang terbiasa duduk di sana, di tempat itu, di antara aku dan Nenek.
"Gimana ... keadaan Nenek?" tanyaku setelah beberapa saat.
"Baik," Nenek tersenyum. "Kemaren sempat tensi sampai 200, tapi hari ini sudah turun jadi 180."
Aku mengangguk, balas tersenyum. Yang kutahu, Ghea begitu menyayangi Neneknya. Dia begitu menjaganya, melarangnya makan ini itu yang bisa membuat darah tinggi. Dan segera setelah melihat neneknya di rumah sakit, hal pertama yang gadis itu lakukan adalah ... menyuruh wanita ini pulang.
Dia ingin neneknya beristirahat. Dia tidak ingin neneknya darah tinggi karena memikirkannya. Dia bilang, hanya kecelakaan kecil, tidak ada yang serius, ia akan segera pulang, dan kita semua selamat. Aku membantu Ghea berbohong dengan baiknya.
"Bagaimana kabar Ghea?" tanya Nenek.
Sedikit gelagapan atas pertanyaan yang menyentak lamunan, aku menggigit bibir pelan. "Dia akan ... pulang. Sebentar lagi."
Lama, Nenek menatapku, seakan meneliti. Selama itu, keheningan menyergap kami. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain meremas tanganku sendiri. Aku orang yang kikuk, aku tahu itu. Tapi orang kikuk yang bertandang dan mencoba menghibur orang lain, tetapi gagal dengan menyedihkan benar-benar terdengar tidak tahu diri.
Di saat aku mulai berpikir adalah kesalahan datang kemari, Nenek kembali buka suara. Apa yang dia katakan membuatku mengangkat kepala yang tertunduk, lalu balas menatapnya.
"Kamu tahu. Bagaimana Ghea kehilangan kedua orangtua?"
Tidak ada kata yang tepat rasanya, untuk mengartikan perasaanku mendengar pertanyaan itu. Kami semua tahu penyebab kepergian kedua orangtua Ghea. Tetapi tidak pernah ada yang benar-benar mengetahui ceritanya. Katanya kecelakaan pesawat. Persisnya? Tidak ada yang tahu. Bahkan Ghea sendiri selalu menghindari topik itu.
"Kecelakaan pesawat," Nenek melanjutkan tanpa menunggu jawabanku. "Ghea masih bayi... baru bisa berjalan, belum mahir berlari. Mamanya adalah anak perempuan Nenek satu-satunya. Si Bungsu, Si Kesayangan. Anak yang sangat penurut. Papanya orang baik, perhatian, pekerja keras. Lalu suatu hari, mereka memutuskan untuk berangkat ke Jakarta, seperti biasa setiap dua bulan sekali, membeli pakaian untuk dijual lagi di toko. Biasanya hanya papanya Ghea, tapi waktu itu, tiba-tiba saja, Amira ingin ikut."
Terdengar detak jam dinding sementara Nenek menghela napas. Gelas berisi sirupku mulai berembun. Ah, ternyata isinya air es.
"Hari itu Nenek marah. Menuduh ia meninggalkan Ghea yang masih kecil untuk jalan-jalan sama suaminya."
Aku mendengarkan, sementara kulihat tangan wanita di depanku sedikit gemetaran.
"Dan itu adalah penyesalan terbesar Nenek."
Tatapannya kembali padaku kemudian, membuatku mengerti kesedihan yang pernah menenggelamkannya. Kesedihan yang masih menenggelamkannya. Hingga detik ini.
"Tidak ada apapun di dunia yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seorang anak. Rasanya kehilangan anak ... yang sudah dikandung sembilan bulan,dilahirkan sampai menahan sakit dua hari dua malam, dibesarkan dengan banyak pengorbanan. Kehilangan anak ... rasanya seperti kehilangan separuh nyawa. Luka itu tidak ada habisnya."
Kepahitan di setiap penggal kalimat, dapat kurasakan juga di ujung lidahku, membuatku sulit unuk menelan. Membuat tanganku menggapai, menyentuh tangan Nenek, meremasnya pelan.
Airmata mulai jatuh, menyapa pipinya.
"Sekarang, separuh nyawa itu tertitip pada Ghea. Ghea yang Nenek besarkan sejak dia lahir juga. Sejak dia merangkak sampai saat ini. Kalau Ghea juga direnggut ... Nenek sudah nggak punya apa-apa. Nenek nggak punya alasan untuk hidup."
Sekarang aku memeluk Nenek. Karena aku tidak ingin mendengar kelanjutannya. Karena aku takut jika diucapkan, skenario-skenario buruk yang berputar di kepala kita dapat menjadi kenyataan. Dan aku tidak menginginkannya. Tidak lagi.
"Ghea ... baik-baik aja," bisikku, merapalkan doa itu. "Ghea selamat. Dia akan pulang sebentar lagi. Ghea pasti baik-baik aja. Karena ...," pelukan itu kulonggarkan pelan, kutatap Nenek. "Karena ... Nenek juga adalah alasannya untuk hidup..."
Dalam beberapa kesempatan, kadang aku mengasihani Ghea. Dia tidak lagi punya orangtua. Dia tidak punya siapapun lagi selain Neneknya. Neneknya yang sudah renta. Neneknya yang terus berjuang hidup lebih lama agar dapat terus merawatnya. Aku punya orangtua utuh, punya saudara perempuan, yang ... mungkin, jika kami berhenti saling bersikap menyebalkan, dapat menjadi sandaran satu sama lain.
Dalam kesempatan lainnya, aku kadang iri. Ghea begitu menyayangi neneknya, begitu juga sebaliknya. Kapan ... aku bisa menyayangi seseorang setulus itu? Tanpa pamrih? Tanpa berharap aku diperlakukan sama, atau lebih baik dari saudari kembarku?
Aku selalu merasa tidak adil karena diperlakukan sebagai bayangan.
Dan kini, pikiranku sendiri menamparku.
Aku diperlakukan seperti bayangan karena ... Aku. AKU sendiri yang memperlakukan diriku sebagai bayangan Laura. Aku membanding-bandingkan diriku sendiri. Aku menginginkan mandi cahaya yang dia dapatkan.
Terlupa bahwa ... aku lebih nyaman di sini. Di kegelapan ini.
Keluargaku tengah kalut sekarang. Dan aku baru menyadarinya, setelah sibuk menjadi bayangan. Seandainya aku menyadari ini lebih cepat, seandainya hatiku tidak merasa jengkel, seandainya birthday wish terkutuk itu tidak pernah ada ... akankah ada yang berubah? []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro