Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Hujan, 10 Desember

"Hujan, 10 Desember"

[Posted by Bunga Kupu-Kupu on December 10th. 15:05 p.m]

Hujan, 10 Desember.

Besok ulang tahunku yang ke-17. Kata orang, ini adalah masa terindah. Tidak banyak yang harus kau khawatirkan; seputar pelajaran yang rumit, PR yang banyak, uang jajan terbatas, khawatir tokoh fiksi favoritmu tidak bisa bersatu, perasaan terpendam pada kakak kelas, mencuri waktu supaya bisa nongkrong sambil bercanda bareng teman-teman...

Semua itu enggak mudah, tapi kalau kupikir-pikir, memang menyenangkan.

Besok ulang tahunku yang ke-17 ... aku penasaran, apa yang hari esok bawa untukku.

***


Kamis, 10 Desember. 09:50 WITA

Di luar hujan.

Dari tempatku duduk, sisi kanan barisan tengah paling depan, kulihat angin membawa derainya mengetuki jendela. Seperti jari-jari kecil yang terus mengetuk. Iramanya konstan, sehingga terdengar menyerupai dengung.

Ibu Rini, guru Biologiku telah meninggikan suara sejak setengah jam yang lalu, sejak hujan turun dengan kebisingannya. Ketukan ujung spidolnya di papan tulis tidak lagi terdengar seperti biasa. Beliau menuliskan sederet judul, penjelasan, lalu menatap seisi kelas. Aku menundukkan pandang, berharap beliau tidak melihat ke mataku.

"... Warna merah pada eritrosit disebabkan oleh hemoglobin, yaitu senyawa yang mengangkut oksigen dan karbondioksida melalui pembuluh darah. Proses pembentukannya berlangsung di dalam sumsum tulang belakang, proses ini disebut," beliau menulis lagi di papan tulis, satu kata, lalu menggarisbawahinya,"... eritropoiesis. Nah, sel darah merah juga memiliki masa hidup seratus dua puluh..."

"Sstt!"

Aku mendengar suara. Samar. Tetapi dengan cepat mengabaikannya.

"Sstt Na! Nana!" suara berbisik lagi. Serta perasaan sedang di tatap.

Secara naluriah, aku menoleh, ke jendela di ujung lain ruangan.

Ulfi tampak melongokkan kepala dari jendela yang berada di samping koridor kelas. Wajahnya hanya terlihat setengah, itupun mungkin harus berjingkit-jingkit. Karena aku yakin jendela itu tingginya di atas kepala Ulfi yang pertumbuhannya terhenti di angka 149 cm.

Dia sedang apa, sebenarnya?

"Na... " mulutnya komat kamit menyebutkan namaku. Sampai situ, aku paham. Tetapi tidak pada kalimat selajutnya.

"Apa?" Aku balas menggerakkan bibirku tanpa suara demi membalasnya.

Ulfi masih komat-kamit. Wajahnya sesekali hilang, mungkin kelelehan berdiri di ujung tumit, sebelum muncul lagi. Beberapa kali, dan aku masih tidak mengerti. Aku mengangkat bahu dan menyilangkan kedua lengan di depan dada. Kuharap dia mengerti aku sama sekali tidak jago telepati.

Buk!

"Aw!" Aku meringis pelan, mengusap kepalaku, dan menunduk. Kulihat gumpalan kertas di dekat kakiku yang sebelumnya tidak ada di sana. Dengan cepat, aku segera menoleh ke jendela, ke sumber yang melemparku dengan kertas tadi.

Ulfi menyengir sementara aku memungut kertas tadi dengan susah payah, takut ketahuan guru. Isinya berupa coretan huruf bulat-bulat yang ditulis dengan terburu-buru sehingga seperti tulisan anak kelas 1 SD.

Ntar sore nonton drakor bareng di rumah Ghea, kuyyy?!

Aku menggamit Ghea dan menunjukkan kertas dari Ulfi. Cewek berambut lurus panjang itu melongo. "Rumah gue?"

"Lo emang nggak tahu?" Aku berbisik.

Ghea menggeleng. "Nggak tahu, tapi oke-oke aja sih, kalau kalian mau."

Aku nyaris memutar bolamata. Ada-ada saja teman-temanku itu. Mengundang ke rumah teman yang bahkan tidak tahu rumahnya sedang ditumbalkan. Aku kembali menoleh pada Ulfi dan melambaikan tangan, bermaksud membuat gestur penolakan.

Nggak! Aku menggeleng.. Terlalu mendadak.

Wajah Ulfi tampak berkerut, tetapi dengan cepat dia menghilang. Namun mereka tidak pergi seperti dugaanku. Sekarang wajah Kama yang muncul. Dia terlihat tinggi, sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari biasanya. Lengannya bersedekap sementara bibirnya seolah mengatakan 'Ayo ikut!. Aku kembali menggeleng. Lalu suara Bu Guru menarik perhatian.

"Launa!"

Dengan cepat aku menolehkan kepala kembali ke papan tulis. Dan di luar kelas, aku mendengar bunyi gedubrak. Seseorang jatuh.

Kasian Kama, tetapi aku tidak punya waktu untuk khawatir. Karena sekarang, aku harus memikirkan nasibku sendiri.

"Coba sebutkan jenis-jenis sel darah," Bu Rini memberiku tatap memperingatkan.

Aku menggigit bibir. Di dalam kepala, sel-selku mendadak bekerja keras menggali kembali memori tentang materi tentang peredaran darah yang sempat kubaca beberapa hari lalu.

"Plasma darah, eritrosit, trombosit, leukosit?"

Wajah Bu Rini melunak. Ia lalu berbalik dan kembali pada penjelasannya, mengizinkanku menarik napas lega.

Aku menunduk pada bukuku. Catatanku sudah tertinggal cukup banyak tapi aku sedang malas mencacat pelajaran, aku bisa meminjam catatan Ghea dan melakukannya di rumah nanti. Sebaliknya, aku membalik buku hingga berada pada halaman terakhir. Pada halaman berisi catatan-catatan isengku.

Kemudian, aku menambah catatan baru.

Besok ulang tahunku yang ke-17. Kata orang, ini adalah masa terindah. Tidak banyak yang harus kau khawatirkan; seputar pelajaran yang rumit, PR yang banyak, uang jajan terbatas, khawatir tokoh fiksi favoritmu tidak bisa bersatu, perasaan terpendam pada kakak kelas, mencuri waktu supaya bisa nongkrong sambil bercanda bareng teman-teman...

Semua itu enggak mudah, tapi kalau kupikir-pikir, memang menyenangkan.

Besok ulang tahunku yang ke-17 ... aku penasaran, apa yang hari esok bawa untukku.

***

Namaku Launa. Launa Andriani.

Hidupku berjalan dengan lambat. Seperti jarum jam tua yang nyaris kehabisan daya. Seperti roda yang bergerak pelan melintasi jalanan lurus berpasir. Kupikir .... selamanya akan begitu, tanpa ujung. Tapi ternyata, jalanan lurus berpasir pun memiliki kubangan, rodaku jatuh terjepit ke dalamnya. Jarum jam tua pun, tidak akan selamanya malas-malasan menghitung detik. Ada kalanya ... ia memilih untuk berhenti berdetak.

Aku hanya tidak tahu kapan akan terjadinya. Aku hanya tidak tahu dan tidak mempersiapkan diri. Tidak pernah.

"LAUNA ANDRIANI!"

Sebuah suara besar, keras dan marah memembuatku menoleh mencari asal suara. Aku tidak mengenali suara itu, tetapi sekarang, dengan fakta bahwa aku sedang berdiri tepat di depan koridor ruang kelas dua belas, di samping kantor guru membuatku ragu. Sesaat, aku segera menunduk meneliti pakaianku, rok di bawah lutut, kemeja rapi dan penuh dengan atribut sekolah. Rambutku hitam sebahu, dikuncir sederhana ke belakang. Sepatuku hitam, bahkan tanpa warna lainnya barang sedikit pun. Penampilanku sempurna menurut standar peraturan sekolah, tidak ada yang salah. Aku juga tidak membawa barang aneh apapun di dalam tas.

Lalu, kenapa─

"Duarrr! Kaget, nggak?!"

Sekarang aku mengenalinya. Suara itu, yang tadinya disamarkan. Namun sebelum sempat aku berbalik demi mencari sumbernya, dua pasang lengan telah mengalung ke pundakku, hampir membuatku jatuh ke tanah. Ketimbang kaget karena suara, aku nyaris meluncur dari lantai dua sekolah karena beban yang tahu-tahu menimpa.

"Sori, sori!" Kama menyengir tanpa dosa. Di sisi lainnya, ada Ulfi yang lengannya hampir mencekikku, dan Ghea.

"Kalian belum pada pulang?" Aku mengernyitkan alis. Kupikir, hampir semua anak telah meninggalkan sekolah. Dan seingatku mereka telah berjalan bersama lepas bel berbunyi,

"Hujan. Kakak gue belum jemput," Kama menyahut pertama.

"Dan lo Pi? Bukannya ada ekskul?"

"Pengurusnya taunya sakit, jadi batal. Tahu gitu gue pulang dari tadi!" sungut Ulfi.

Aku tersenyum miris sebagai ungkapan belasungkawa. Di belakang, hujan tidak ada tanda-tanda akan segera reda. Masih deras. Butir-butir air yang besar-besar masih berebutan turun. Tetapi itu tidak menghalangi kami untuk terus mengobrol.

"Oh iya, soal tadi. Na, nonton yuk, di rumah Ghea." Kama kembali bicara, kali ini sambil membimbing kami semua untuk terus berjalan, menuju tangga ke bawah. "Ikut, nggak?"

"Nonton apaan?"

"Apa aja. Drama yang kemaren belum selesai!"

Aku meringis. Drama yang dimaksud adalah dama Korea berjudul Goblin, drama yang sudah lama tayang namun tak satu pun dari kami yang menontonnya sampai habis. Aku, karena memang bukan penggemar drama Korea, atau drama apapun, Laura pun tidak. Tetapi Ulfi dan Kama adalah penggemar Kpop garis keras yang akan mengajak tawuran siapapun yang berani melecehkan idolanya. Belakangan, Kama mulai keranjingan drama Korea dan mulai meracuni semua orang. Masing-masing dari kami memiliki satu folder berisi episode lengkap drama itu, tetapi Kama melarang keras siapapun untuk menonton sendiri. Mulai bersama, harus tamat bersama, katanya.

"Ya, Na? Lo ikut, kan?" Ulfi ikut buka suara, menyeretku dari lamunan sejenak.

Namaku Launa Andriani. Hampir tujuh belas tahun. Hobi membaca buku dan mendengarkan musik, kadang menonton film juga, menulis juga. Aku menyukai puisi dan membenci keramaian, atau apapun yang melibatkan manusia lainnya. Kekuatan terbesarku adalah kemampuan belajar, kata teman-temanku. Dan kelemahanku ... sulit mengatakan tidak.

Apalagi dengan wajah-wajah memelas tiga orang di hadapanku ini.

Launa, kamu harus kuat! Kali ini aku harus menolak.

Maka sambil menguatkan keputusan, aku menggeleng. "Gue belum selesai ngerjain prakarya buat dikumpul besok."

Dan aku tidak berbohong. Hanya tidak mengatakan seluruh alasanku.

"Ih, besok nggak masuk juga!"

Segera setelah mengucapkannya, Ulfi segera membekap mulut sementara Kama tampak menyikut cewek berhijab itu, dan Ghea menyengir canggung. Aku mengerutkan kening.

"Besok libur?" Aku hampir tidak pernah melupakan jadwal. Dan besok Jumat, seingatku, bukan tanggal merah.

Ulfi cepat-cepat meralat. "E-Enggak. Maksudnya ... lo kan bisa ngerjainnya malem aja. Hehehe."

Sekarang, kekehan mereka malah semakin tampak mencurigakan hingga aku menyedekapkan lengan. "Kalian lagi menyembunyikan sesuatu?" tembakku tanpa basa-basi.

Reaksi yang kudapat nyaris membuktikan segalanya. Keterkejutan yang hadir di wajah mereka karena tertangkap basah tidak mampu disembunyikan selama beberapa detik pertama. Tetapi Ulfi tidak menyerah, ia bergelayut di lenganku, menggoyang-goyangkannya pelan. "Ikut aja sih, Na! Rara udah ikut. Lo ikut juga dong!"

Ah, omong-omong soal Rara. "Kemana dia?"

Sekarang sudah hampir jam lepas bel tanda pulang sekolah berdentang. Aku terlambat pulang karena harus menyelesaikan piket kelas, sebelum akhirnya hujan yang sempat reda kembali turun tiba-tiba, dan teman-teman yang kukira sudah pulang duluan rupanya masih di sini. Tapi dimana Laura? Tanpanya, aku tidak akan bisa pulang. Dia yang membawa motor, aku yang menumpang.

"Biasa, lah." Ulfi mengibaskan tangan. "Banyak fanboy-nya memang, temen kita yang satu itu. Tadi ada kakel yang ajakin dia ke kantin. Lumayan~"

"Panjang umur!" Kama berseru dan kami semua menoleh.

Saat itu juga aku menemukan Rara yang melambaikan tangan, lantas berlari-lari kecil menuju kami yang tengah berdiri di anak tangga. Sebuah kantong plastik berayun di jinjingannya, dan senyum lebar tersungging di wajahnya.

"Siapa mau Yakult?!" serunya setibanya di ujung tangga. Tanpa sungkan ia lalu membagi satu pak berisi lima botol kecil minuman fermentasi itu dan mengedarkannya satu-satu. Aku menerima salah satunya tanpa meminta.

"Kak Geri, yang ngasih," tambahnya. Yang disambut sorakan suka cita dari semua orang, kecuali aku.

Selanjutnya, Ulfi terus bicara dengan mulut masih menyedot minumannya. "Loyal banget ya, Kak Geri tuh. Kenapa nggak lo pacarin aja, deh Ra?"

"Pacarin apaan. Kita cuma bahas masalah OSIS, kok."

"Dan ada Kak Rei!" Kama menambahkan. "Jangan lupakan Kak Rei!"

Laura tersenyum. Kalau boleh kugambarkan, Laura punya senyum paling cantik yang pernah kulihat, dan bukan karena kami kembar. Kata orang, kami adalah kembar yang cukup identik, sekilas terlihat mirip. Tapi sekilas itu tidak akan bertahan lama. Dengan segera, mereka biasanya akan segera menyebutkan beberapa perbedaan, beberapa perbandingan. Dia memiliki beberapa hal yang tidak kupunyai. Seperti senyum itu, senyum yang menunjukkan kepercayaan diri, tetapi tidak mengintimidasi. Laura dengan mudah selalu dapat membuat orang lain merasa nyaman dan diterima.

Dan aku tidak.

Dan aku selalu memiliki ekspresi wajah tertekuk sehingga orang selalu berpikir aku sedang marah atau kesal. Atau sakit karena kulit yang pucat.

Laura selalu menjadi pusat perhatian. Dan aku tidak. Dan aku selalu berusaha mengambil posisi di sudut, berkeinginan terlupakan.

Aku sudah sangat terbiasa mengambil peran sisi bawah mata uang, menjadi yang di bagian gelap sementara Laura disirami cahaya. Aku selalu ... menjadi yang tidak menarik di antara kami berdua.

"Omong-omong lo tadi rapat OSIS ya, di kantin?" Ulfi kembali membuka percakapan. "Berdua doang? Atau sama yang lain?"

Seketika, aku, Laura, Ghea dan Kama bertukar senyum tahu sama tahu. Namun Kama-lah yang lebih dulu mengistirahatkan lengan di pundak cewek itu sembari menaik-turunkan alisnya. "Kenapa, Sayang? Nyariin Kak Iyo?"

Ulfi menyergah lengan Kama dan dengan gugup membuang muka."Enggak, kok! Nggak ada urusannya sama Kak Iyo. Kenapa sih dibahas terus!"

"Karena ada yang naksir Kak Iyoo~" Ghea menimpali. Laura mengangguk-angguk setuju.

"Karena ada yang mukanya merah sekarang~"

"Iiiih! Stop atau gue nggak jadi ya nonton ke rumah Ghea!"

Tetapi, namanya juga Laura, Ghea dan Kama, terutama Kama, tidak ada kata 'berhenti menggoda Ulfi' di kamusnya.

"Karena ada yang takut baper nonton drama malah ngebayangin Kak Iyo~ Kak Iyo~"

Aku ikut terkekeh bersama mereka. Tawaku lebur dalam derai gelak Kama, tawa Laura, cekikikan Ghea, bahkan senyum malu Ulfi.

Sampai sore itu, semuanya masih baik-baik saja. Atau setidaknya terasa begitu. Jarum jam nyaris rusak masih berdetak dan rodaku masih bergulir di pasir. Sampai sore itu, kehidupanku masih berjalan seperti hidup remaja seharusnya, atau setidaknya begitu yang kutahu. Pusing memikirkan tugas, kuis, ulangan di depan mata, dan PR, ada terlalu banyak PR, juga les. Tetapi di antaranya, selalu ada hal-hal kecil yang membuat segala hal berat itu terlupa. Seperti makanan gratis yang dibagi berlima, menggoda teman yang diam-diam kasmaran, atau membahas topik konyol dan membangun rencana masa depan yang tidak masuk akal.

"Kalau udah dewasa, kita harus kerja di tempat yang sama, ya! Terus tinggal satu kompleks, rumahnya harus berjejer!"

"Bener! Terus kalau bisa kita nikahnya nanti barengan ya!"

"Gue mau nikah sama member TXT! Yang mana aja!"

"Eh tapi gue nggak mau rumah sebelahan sama Kama. Berisik!"

"Nggak pa-pa. Ntar gue pasang karaoke segede dosa biar suaranya nyampe ke rumah lo, Upi!!!"

Aku berjalan ke ujung pelataran sekolah, kemudian mengulurkan tangan. Hujan masih turun. Tetapi sekarang memelan. Di atas, langit yang tadinya gelap, berangsur-angsur menjadi lebih terang.

Kepada langit itu, aku bertanya-tanya. Sudahkah dia membisikkan pesanku padanya? Pada seseorang yang menjadi alasanku untuk banyak hal?

***

Rencana menonton drama sore itu, aku tidak hadir. Ada alasan yang tidak kukatakan, tidak pernah kukatakan pada siapa pun. Kecuali diary rahasia yang tidak berbentuk buku utuh, melainkan selipan kertas berisi corat-coret di novel-novel klasik yang kupunya.

Alasan itu bernama Nawala.

Vote dan komen yang kalian tinggalkan, sangat berarti. <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro