6
6 SCdHP
Ucapan Iqbal Al Hakim tentang cuti ternyata benar adanya. Saat Yasinta keluar dari kamar mandi, dia masih menemukan suaminya di kamar, menelepon seseorang yang entah siapa. Namun, dari nada suaranya yang selembut peuyeum Bandung, dia bisa menebak siapa yang ditelepon oleh suaminya itu.
"Jangan salah paham. Itu Ibu." Hakim menjelaskan walau saat ini Yasinta masa bodoh dengan jawaban tersebut. Dia lebih memilih mengambil pakaiannya di lemari yang sudah tersusun rapi. Meski pernikahan mereka baru resmi tiga hari, setidaknya, sang ibu mertua sudah memerintahkan putranya untuk memboyong barang-barang keperluan Yasinta ke rumah mereka yang baru. Walau Yasinta sendiri mengatakan kalau barang-barang di rumahnya sudah lebih dari cukup, Farihah tidak sependapat. Dia tidak ingin di rumah suaminya Yasinta diperlakukan buruk. Maka dari itu Farihah sendiri yang turun tangan dan memastikan tidak ada hal yang kurang buat Yasinta meski menantunya masih skeptis, sikap Farihah kepadanya murni karena kasih sayangnya sebagai ibu mertua atau memang ada udang di balik bakwan.
Hakim sendiri memandangi Yasinta yang keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk dan rambut yang dibebat tanda dia baru kelar keramas. Walau masih butuh bantuan kruk, tapi, jelas sekali kalau dia tidak peduli bahwa saat ini ada seorang pria yang memandangi penampilannya di hari sepagi itu.
"Ngapain lo lihat-lihat gue? Nafsu, ya? Kagak pernah lihat cewek lo handukan? Emang dia kagak pernah mandi?"
Hakim berada di dalam posisi antara bingunh hendak menjawab apa. Jika dia jujur, Yasinta jelas tidak bakal percaya. Bicara bohong, apalagi. Sejak awal, sudah ada bendera perang dikibarkan di antara mereka. Yang patut disyukuri adalah mereka tidak banyak membuat jarak seperti pasangan pengantin lain yang tidak ikhlas dinikahkan. Atau mungkin, karena sejak dulu Yasinta cuma menganggap Hakim sepupu, sehingga dia tidak perlu teriak-teriak seperti perawan yang kena senggol perjaka untuk pertama kali.
"Ngapain lagi lo masih di sini? Mau lihat gue ganti baju?" gerutuan Yasinta membuat Hakim tergagap seolah dia habis kena pergok mencuri. Hakim sendiri mengangkat kedua tangannya di depan dada seperti korban yang diancam oleh garong, tanda dia tidak berniat seperti itu.
"Nggak. Nggak ada maksud."
"Lo, tuh, belum kelar mandi." Yasinta menunjuk Hakim yang sejak tadi masih dalam busana seperti sebelum dia menyelamatkan Yasinta dan setelah membalas ucapan istrinya dengan anggukan, Hakim buru-buru berjalan ke kamar mandi dan menyelesaikan pekerjaannya membersihkan tubuh di pagi itu.
Belum lepas satu menit usai Hakim berada di kamar mandi, Yasinta yang saat itu sudah memakai gaun rumahan selutut, memilih untuk memeriksa ponsel dan satu pesan dari sang tante membuatnya cepat-cepat membaca.
Kalau lengah, tusuk aja pakai sumpit biar modar.
"Ih, Tante kriminil." Yasinta bergidik. Kalau dia masuk penjara karena suruhan wanita itu, alamat dia tidak bisa lagi menonton drama Korea.
Diemin aja, Tan. Tar mati sendiri😅
Lagipula, dunia bakal heboh jika dia melakukan hal tersebut dan netizen bakal tambah senang menguliti kebodohannya.
Kado aku mana? Nyuruh kawin tapi ga kirim kado. Ngambek, nih.
Yasinta mengirim sebuah pesan lagi yang kemudian dengan cepat dibalas. Pertama, sebuah foto dengan gambar bagian depan sebuah universitas bertuliskan bahasa Korea alias Hangul dan yang satu lagi, surat penerimaan di tahun ajaran berikutnya, bertuliskan nama Yasinta Aurahana yang membuat sang pemilik nama tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.
"Kenapa?" Hakim lagi-lagi membuka pintu kamar mandi dan memandang panik kepada Yasinta yang kini memandangi ponselnya yang sempat dia lempar ke permukaan tempat tidur.
"Nggak. Nggak ada apa-apa." Yasinta membalas dengan cengiran dan dia kemudian menarik kruk yang tadi disampirkan di pinggir lemari demi mengambil posisi duduk kembali ke atas kasur.
"Jangan ngagetin. Aku kira ada apa-apa sama kamu." Hakim bicara lagi. Namun, Yasinta memilih mengabaikan kata-kata tersebut dan lebih suka memandangi hadiah pernikahan dari sang tante yang baginya jauh lebih berarti daripada suami sok perhatian yang hingga detik ini tidak mampu membuang kekasihnya demi istri sah yang dia nikahi dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa.
***
Bosan berada di kamar, akhirnya Yasinta memutuskan untuk duduk di ruang tengah rumah suaminya demi menghilangkan rasa bosan. Walau sebenarnya, yang terjadi adalah sama saja.
Ketika melihat Yasinta seperti orang kesusahan hendak bangkit dari tempat tidur, Hakim yang sesuai dengan kata-katanya kalau dia tidak akan berangkat bekerja hari itu memutuskan untuk mendekat dan membantu istrinya.
“Is, gue bisa sendiri.” Yasinta protes. Namun, pada saat yang sama, pria itu sudah meraup tubuhnya dan membawanya keluar kamar.
“Ngapain lo gendong-gendong gue, sih? Tangan lo kotor, bekas si Mal.”
Hakim mesti menulikan telinga supaya omelan dan hinaan terhadap Sarina yang keluar tanpa henti dari bibir Yasinta tidak mempengaruhinya. Usahanya kemudian berhasil karena setelah sang istri duduk nyaman di sofa depan televisi, dia tidak lagi menanyakan tentang wanita tersebut melainkan mempertanyakan kewarasan Hakim yang memilih untuk tetap berada di rumah.
“Sebenarnya, aku masih masa cuti menikah. Mereka menawari aku satu minggu.”
Yasinta terdiam selama beberapa saat usai jawaban tersebut. Dia sendiri sedianya diberi kelonggaran cuti selama tiga hari, tapi dia sendiri memilih masuk kerja. Toh, di dalam kepalanya memang tidak ada rencana bulan madu dan sebagainya walau mertuanya sudah memberitahu ada paket bulan madu ke Lombok yang dilewatkan Yasinta dengan alasan ada monev di kantor dan juga kunjungan Gubernur. Nyatanya, bukan hanya bulan madu yang gagal, dia juga batal menonton ketampanan ajudan dan juga tim protokoler orang nomor satu yang selama ini selalu berhasil membuat dirinya dan Okta cengar-cengir sepanjang hari.
Dan kini mereka berdua berakhir di rumah dengan salah satunya hampir patah kaki dan yang satu lagi memandanginya dengan raut wajah yang menyiratkan kalau dia sebaiknya berkencan dengan kekasihnya dibandingkan satu ruang dengan Mak Lampir bermulut cerewet tapi tak henti mengaduh seolah-olah dia tidak bakal bisa lagi berjalan selamanya.
“Kamu lapar? Aku bisa buatkan sarapan.” Hakim tiba-tiba saja memberi tawaran sebelum sempat Yasinta menjawab. Dia malah sudah berjalan lebih dulu ke arah dapur yang lokasinya berada tidak jauh dari ruang tengah dan perbuatan terpujinya itu telah membuat Yasinta menjulurkan leher dari balik sofa.
"Lo nggak kesambet apaan gitu, pas di kamar mandi tadi?"
Hakim sempat membalas Yasinta dengan seulas senyum sebelum dia pada akhirnya memilih untuk membuka kulkas dan memeriksa isinya. Sedang, Yasinta sendiri memandangi perbuatan suaminya dengan tatapan heran. Di dalam pikirannya berkecamuk banyak hal dan hampir semuanya ingin dia utarakan mumpung pagi itu mereka masih bersama. Toh, sebelum ini, hampir tidak ada waktu buat membahas perintilan huru-hara usai menikah. Kejadiannya terasa begitu cepat dan Yasinta menghitung, semua kehebohan ini berlangsung tak lebih dari satu bulan hingga hampir semua orang terdekatnya bingung.
Terutama Okta.
"Lo nggak bunting duluan, kan?"
"Is, amit-amit, nggaklah, Mbak. Gue masih segelan."
Dia bahkan punya pengetahuan hampir nol tentang Hakim kecuali fakta bahwa dia dibesarkan oleh istri lain Omnya dan sejak SMP sudah disekolahkan di luar negeri, entah Malaysia, Amerika, Australia. Untuk yang negara terakhir, Yasinta yakin, di situlah Hakim bertemu Sarina dan melabuhkan hatinya selama bertahun-tahun sampai kematian Rahadian Hadi membuatnya terpaksa kembali ke Indonesia dan dihadapkan dengan fakta, bila ingin jadi pewaris, dia harus mau dinikahkan dengan Yasinta, yang secara fakta, juga salah satu pewaris karena ayahnya, Taufik Diponegoro juga punya bagian saham di perusahaan.
Alasan lain, tentu saja, supaya harta keluarga tidak perlu lari ke mana-mana dan akal cerdik Ruhi Karmila agar Farihah mau berpikir seribu kali bila langsung bersenang-senang dengan labelnya sebagai istri Rahadian Hadi dan rencana sang tante langsung berhasil saat Farihah tidak bisa berkutik dan membujuk putra semata wayangnya supaya menyerah.
"Demi Ibumu, Nak. Tunjukkan baktimu … "
Hakim tersadar ketika terdengar suara dari air fryer di hadapannya tanda usai melaksanakan tugas dan setelah berdeham, dia mengeluarkan menu yang dimasaknya pagi itu untuk ditata ke piring.
Hakim sempat menoleh ke arah ruang tengah. Tidak ada suara padahal tadi, dia yakin kalau Yasinta sedang mengoceh entah kepada siapa.
"Hana?" panggil Hakim. Dia sudah selesai memindahkan menu sarapan mereka ke atas meja makan dan memutuskan untuk memeriksa kondisi istrinya setelah yakin, tidak ada jawaban yang dia dapat.
"Sarapan sudah jadi … "
Hakim berhenti bicara. Yasinta sedang memejamkan mata berbantalkan lengan. Kakinya yang terluka diletakkan di atas bantal dan tangannya yang bebas, memeluk satu lagi bantal lain. Seperti tadi malam, di punggung wanita tersebut terdapat satu bantal lagi dan melihatnya kembali membuat pria itu tersenyum.
"Apa lo bisa melepaskan dia dan jatuh cinta sama gue? Gue rasa, jawabannya nggak. Cowok yang cinta sama gue cuma sebiji di antara milyaran manusia dan masak iya, mesti seorang laki-laki yang hatinya udah milik orang lain? Gue, sih, ogah. Gue aja jaga diri seratus persen, masak pasangan gue, tebar benih dan pesona di mana-mana. Sori, ya, tapi, gue melakukan ini karena Tante dan gue yakin lo juga. Kita main cantik aja, oke."
Sebuah kesepakatan di bawah tangan yang tidak diketahui oleh Ruhi maupun Farihah mereka buat bersama. Karena itu juga, mungkin alasan Yasinta tidak banyak ribut ketika Hakim ikut tidur di sebelahnya atau malah berlenggak-lenggok di kamar hanya mengenakan handuk, tak ubahnya dia sedang berada di kamar bersama saudaranya sendiri. Mereka bebas mau jatuh cinta dengan siapa saja, asal jangan dengan satu sama lain. Semua karena punya alasan. Hakim memilih Sarina dan Yasinta memilih hadiah besar yang diiming-imingkan oleh sang tante, walau dia sendiri sebenarnya mampu mendapatkan apa saja, warisan sang ayah cukup buat dia melanjutkan hidup bahkan tanpa bekerja sama sekali.
"Gue cuma capek, tidur sendiri."
Jawaban sederhana di luar nalar yang membuat Hakim tidak mengerti jalan pikiran Yasinta. Tapi, setelah dua malam bersama wanita itu, dia tahu, ada hal yang lebih rumit, termasuk tangisan di tengah malam yang tidak diketahui oleh semua orang, tangisan dari bibir istrinya yang merindukan semua anggota keluarganya yang telah pergi. Jika dia tidak pura-pura tidur, dia tidak pernah bakal tahu tentang rahasia itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro