30
Udah baca bab tabung gas ijo melon yang lebih lengkap di sebelah? Puas klen ngetawain Neng Yasi?🤣🤣
Novelnya masih di-LO. Sabar yak.
Yang ga komen, bisulan.
***
30 SCsdHP
Okta Karolina adalah orang pertama yang menyadari keanehan pada sahabatnya ketika dia datang ke kantor pada pagi hari Senin itu. Dia tahu, kebanyakan rekan mereka juga mengalami gejala kecapekan usai jalan-jalan bersama ke Yogyakarta hari sebelumnya. Namun, yang satu ini memiliki cara berjalan yang cukup aneh untuk bisa disebut mengalami sakit kaki usai terlalu banyak berjalan di pantai atau mendaki undakan candi yang sempat mereka kunjungi.
Sikap Yasinta terlalu mencurigakan untuk disebut ciri-ciri orang yang kelelahan. Apalagi, dia sempat bertingkah aneh seperti menggoyang-goyangkan kaki seolah hendak berjalan saat mereka apel pagi. Semua itu tidak luput dari pengamatan Okta.
“Tumben lo kecapekan bener. Kemarin balik dari Yogya langsung ngebabu buta atau gimana?” Okta bertanya dengan nada penasaran saat mereka kelar apel. Yasinta duduk di ruang perlengkapan pegawai, berselonjor kaki sambil memukul-mukul paha.
“Nggak ngebabu buta banget.” Yasinta membalas. Okta sendiri langsung paham dan senyum licik menjijikkan langsung terbit di wajahnya.
“Kaga ngebabu tapi capek? ” Okta bertanya lagi. Secuil informasi seperti itu saja sudah mengundang banyak arti dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaan makin penasaran, ingin mengorek-orek lebih lanjut.
“Apakah ini ada hubungannya dengan Kakang Hakim dan duren?”
Refleks Yasinta sangat bagus karena dia terbukti langsung menelengkan kepala ke arah Okta dan memandangi sahabatnya itu dengan tatapan jengkel yang berarti tuduhan Okta benar adanya.
“Jadi dah bobol, nih? Si Kerbul kaga merana lagi? Udah kena muncratan lahar gunung Merapi?” Okta bertanya amat antusias dan lebih-lebih ingin tahu karena wajahnya menurut Yasinta mirip seperti makelar mobil yang lima menit lagi mendapatkan deal dari calon konsumen.
“Apaan, sih, Mbak?” Yasinta melengos. Dia berusaha bersikap setenang mungkin dan tidak mau terpengaruh ucapan sahabatnya itu.
“Lo dosa kalau diem-diem bae. Ayo ngaku, semalem udah dibobol ama laki lo?”
Cuih! Mana mau Yasinta mengaku walau hal itu benar sekalipun. Kenapa juga dia bisa jadi bestie Okta yang tiba-tiba saja penasaran dengan urusan kasur Yasinta dan Hakim? Mau ranjang mereka bergoyang, kek, mau ranjang mereka roboh, kek, Yasinta sudah bersumpah tidak akan mau bercerita kepada siapa saja.
Kecuali kepada Hakim yang seharusnya bertanggung jawab, tentu saja. Si gila itu sejak pagi selalu memamerkan senyum semringah. Tangannya juga tidak henti merayap ke mana-mana, seolah penyatuan mereka tadi malam seperti gong kalau dia beoleh melakukan apa saja kepada istrinya. Colek lengan, colek pinggang, colek pipi, atau yang lain, dia tidak bakal mendapat bogem mentah seperti sebelum-sebelumnya. Hakim benar-benar di atas awan.
Bahkan dia juga membebaskan Pak Didin hari ini karena Hakim secara khusus ingin pergi dan pulang bekerja bersama Yasinta yang membuat sang nyonya menggerutu. Namun, ketika tadi Hakim membawakan seplastik sarapan pagi tambahan buat pengganjal ketika di kantor, bibir Yasinta terkunci dan dia tidak protes lagi, walau Hakim juga sempat menempelkan bibir di pipi sang nyonya sebelum mereka berpisah di parkiran.
Yang mana, sebelumnya, tidak pernah terjadi. Buat Hakim, pengesahan itu kemudian membuatnya bebas berkirim pesan genit kepada Yasinta yang hingga detik ini tidak mendapatkan balasan. Baik Hakim maupun Okta sudah membuat Senin pagi seorang Yasinta Aurahana menjadi sekacau balon hijau yang meletus.
“Tapi, semalam laki lo bikin cup*ng, kan? Tuh, di leher merah banget.” Okta bertanya dengan nada serius yang membuat pipi Yasinta segera saja jadi semerah tomat. Masa iya Hakim membuat merah lehernya? Seingat Yasinta dia tidak menemukan tanda merah di sepanjang leher saat bercermin pagi tadi.
Ketika Yasinta menyentuh lehernya dengan tiba-tiba, tawa Okta meledak dan sebelum sahabatnya itu mengamuk, dia buru-buru kabur dari situ.
Dasar Mbak Okta brengsek!
Padahal, seharusnya Yasinta marah karena Okta membohonginya dengan mengatakan malam pertama amat nikmat. Kenyataannya, sih, memang demikian. Namun, sebelum perasaan nikmat tersebut dia dapat, terlebih dahulu dia dibuat hampir mati oleh suaminya. Bodohnya, kalau dia marah, berarti dia membenarkan kalau tadi malam sudah terjadi hubungan ranjang dengan suaminya, sehingga pada akhirnya, dia tidak bisa marah atau protes dan memilih mengunci mulut saja demi keamanan dunia.
***
Lagi apa?
Pesan yang dikirimkan Hakim pukul delapan pagi tadi belum juga dibalas oleh Yasinta, padahal dia tahu jelas, istrinya langsung membaca pesan itu sesaat setelah terkirim. Saking penasarannya, Hakim kembali mengirim satu pesan lain yang berakhir sama. Tidak ada tanggapan yang membuat tangannya gatal ingin menelepon.
Masih sakit? Masih susah jalan? Mau ke dokter?
Yasinta benar-benar mengabaikannya. Padahal tadi Hakim merasa mereka tidak punya masalah apa-apa. Usai salat Subuh, mereka masih sempat adu bibir selama beberapa saat sampai Yasinta mesti menjewer telinga Hakim dan mengingatkannya kalau hari itu adalah hari Senin dan Pak Herman bakal menebas batang lehernya jika dia malas datang ke kantor dengan alasan capek jalan-jalan.
Hakim melirik arloji di tangan dan menemukan kalau saat itu sudah pukul sepuluh lewat. Biasanya adalah jadwal Yasinta menemani Anno hingga jam makan siang. Mengingatnya lagi, membuat Hakim membuang napas. Di luar sana, istrinya adalah milik negara yang kehadirannya banyak dibutuhkan orang bahkan hingga anak berkebutuhan khusus yang punya niat amat mulia.
Hakim sempat memeriksa kiriman pesan yang mampir ke aplikasi Whatsapp miliknya dan menemukan sebuah nomor yang setelah dia cari tahu adalah milik Anno. kalimat yang dituliskan oleh gadis itu membuatnya ingin tersenyum sekaligus terharu.
Congrats, Om. Miss Yasi kesayangan Ai dan Papa. jaga miss baik-baik, ya. Jangan bikin miss menangis karena ai tahu kapan bibirnya maju. Orang bilang, suami yang baik bisa bawa miss ke surga. Ai yakin you juga bisa. All of her family in heaven now, Om. dont send her ke neraka. I love her so much.
Hakim telah membalas dengan ucapan terima kasih dan Anno menjawab dengan sebuah emotikon senyum. Entah dari mana dia mendapatkan nomor Hakim karena Yasinta juga tidak bercerita tentang itu. Namun, kemudian dia sadar kalau dirinya dan Yasinta pernah berbelanja di toko ayah Anno dan Hakim menyertakan nomor HP apabila nanti ada urusan yang berkaitan dengan barang rusak dan sebagainya.
Kangen.
Hakim sempat menunggu hingga lima menit sampai sekretarisnya mengetuk pintu dan masuk untuk menyampaikan bahwa saat ini dia sedang ditunggu. Rapat bulanan akan segera dimulai dan dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain bangkit dan berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang kantornya yang dulu merupakan ruangan milik sang ayah, Rahadian Hadi.
***
Hampir pukul 12 siang ketika akhirnya Yasinta mengantar Anno kepada sang ayah yang sudah menunggu di lobi perpustakaan. Suasana gedung arsip dan perpustakaan pada saat itu mulai sepi karena jam makan siang. Namun, di bagian ruang baca, masih banyak pengunjung yang menyibukkan diri membaca buku-buku sebagai sumber penelitian. Yasinta sudah paham penampilan tamu yang datang, terutama bila mereka adalah mahasiswa.
Sejak COVID-19, jumlah pengunjung yang mendatangi perpustakaan semakin menurun. Apalagi banyak bacaan sudah bisa diakses melalui versi digital. Namun, ada juga pengunjung setia yang lebih menyukai aroma buku-buku tua seperti Anno. untunglah, perpustakaan tidak sepenuhnya mati berkat banyak event menarik dan kekinian yang dibuat agar bisa menarik minat anak muda. Pak Herman bahkan langsung membuat spot-spot yang instagramable supaya banyak lagi kaum milenial yang datang. Mereka juga sedang bekerja sama dengan gerai kopi paling terkenal saat ini agar mau membuka salah satu gerai di sana.
“Terima kasih, Miss Yasi. Terima kasih juga buat oleh-olehnya.” Anno memeluk pinggang Yasinta dengan amat kuat hingga Yasinta hampir jatuh terjengkang dibuatnya. Untung saja dia berpegangan pada palang pintu geser sehingga akhirnya baik Yasinta atau Anno batal mendarat di lantai granit.
“Nggak apa-apa, Anno. Miss nggak sempat belanja yang lain dan cari yang gluten free juga nggak banyak. Nggak apa-apa, ya, dikasih baju daster.”
Anno sendiri tidak protes. Diingat saja oleh Miss kesayangannya dia sudah sangat senang. Ayahnya, Rafli, tidak henti mengucapkan terima kasih sehingga Yasinta jadi malu sendiri dibuatnya. Apalagi kalau mengingat dulu dia sempat naksir pria tersebut. Tapi, sekarang dia sudah menjadi milik suaminya dan tadi malam, Hakim dengan tegas menandai kepemilikannya itu di tubuh Yasinta.
Sayangnya, Hakim sendiri tidak tahu, benih yang dia tebarkan di rahim istrinya mungkin tidak bakal berhasil. Yasinta sudah melakukan pencegahan sebelum nanti dia bakal menangis dan terluka seperti saat ditinggalkan oleh semua anggota keluarganya.
Yasinta melambai ke arah Rafli dan Anno yang sudah pamit kepadanya dan dia berbalik menuju ruangannya kembali saat sadar ada panggilan masuk ke ponselnya. Pelakunya? Tentu saja orang yang sama dengan yang pagi tadi mengantarnya ke tempat ini.
“Apa, sih, Bapak? Dari tadi ganggu terus. Orang lagi kerja, juga.”
“Sudah makan, belum? Aku baru kirim makanan lewat ojek. Kalau kamu nggak sibuk, tunggu aja di depan. Dua menit lagi orangnya sampai.”
“Eh, tumben baik. Biasanya ngeselin.” Yasinta bicara dengan jujur. Jika Hakim bersikap terlalu baik kepadanya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak curiga. Apalagi sekarang di seberang saluran sana, pria itu tertawa dengan nada amat tidak alami.
“Pak Didin, kan, nggak di sana. Kamu juga kayaknya masih sakit. Makanya aku inisiatif pesan makanan.” nada Hakim terdengar tulus dan jujur, membuat Yasinta merasa sedikit terharu. Namun, ketika teringat kalau pria itu adalah penyebab penderitaannya sepagian ini, dia tidak bisa tidak marah.
“Siapa bilang gue sakit? Emangnya gue cewek apaan?”
“Alhamdulillah kalau sudah sehat. Berarti malam ini bisa dikunjungi lagi…”
“Heeh, Pak Hakim. Lo kadang-kadang suka sinting, ya!” Yasinta tidak sadar berseru dengan suara amat tinggi dan dia sadar, orang-orang yang masuk ke gedung perpustakaan memperhatikannya. Apalagi, di seberang sana, Hakim terdengar tertawa dan hal itu membuat Yasinta semakin jengkel.
“Ada sayur asem, bakwan udang, ayam goreng. Aku juga belikan Thai Tea kesukaanmu tadi.” suara Hakim mencoba menenangkan setelah Yasinta masih saja mengoceh dan usai mendengar menu makan siangnya, Yasinta segera membalas, “Nasinya ada.”
“Ada, dong.”
“Sip. makasih, Bapak. Eh, itu ada abang ojeknya.” Yasinta berseru lagi ketika melihat sosok pengemudi ojek berseragam hijau memasuki pelataran parkir.
“Sore pulang kayak biasa, ya? Aku jemput.” ujar Hakim saat Yasinta buru-buru pamit karena hendak menyambut pesanan makan siang kiriman suaminya itu. Gara-gara itu juga, dia mendapatkan anggukan dan persetujuan dan melupakan kalau tadi dirinya sempat mengoceh kepada Hakim yang tidak tahu malu terus menggodanya. Yasinta juga sempat berterima kasih karena bersamaan dengan pesanan itu, Hakim mengirimkan es selendang mayang yang dia dapat entah dari mana sehingga berhasil membuat Yasinta mengucapkan kata sayang kepadanya yang tentu saja menerbitkan senyum di bibir sang direktur baru yang tidak sadar kalau kini telah menjadi perhatian anak buahnya karena sejak tadi dia belum menyentuh makan siangnya sama sekali.
Makasih Pak Hakim Sayang😘. Bakal gue sikat semuanya dengan senang hati.
Sungguh, tidak ada hal yang lebih membuat perut seorang Iqbal Al Hakim kenyang hari ini, kecuali kata sayang dan juga emotikon cium menyenangkan yang selama pernikahan mereka mana pernah dikirimkan oleh Yasinta kepadanya. Dan hal sederhana seperti itu, ternyata berhasil membuatnya terus tersenyum seperti bocah kasmaran bahkan hingga dia bertemu lagi dengan nyonya yang tidak sadar kalau saat ini dia mulai mencuri hati seorang pria yang dulu berjanji, cuma akan setia kepada Raden Sarina saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro