27
Pada males banget yang komen. Dih.
Eke juga males apdet.
Yang nunggu bab seru, di KK bab 29. Cari aja yang tulisan deskripsinya kompor meledug, tabung gas, apalah gitu, pokoke ada hubungan sama dapur🤣
Di sini ada ga mak bab meleduq?
Ya kagak.
Gile aje, eke bakal dilempar bakiak ama emak-emak.
Open PO sekitar tanggal 20an. Ready biasanya Januari.
Cusla nabung.
***
27 SChDP
Suara alunan orang mengaji yang terdengar hingga kamar penginapan membuat Yasinta otomatis membuka mata dan dia mesti menyipitkan mata demi melihat jam digital di samping nakas untuk tahu kalau saat itu sudah fajar. Sudah pukul tiga lewat tiga puluh. Yasinta kemudian mendengar hembusan mesin pendingin ruangan dan menahan diri untuk tidak bergidik. Tidak di rumah, tidak di penginapan, menjelang subuh udara selalu lebih dingin.
Untungnya, saat ini dia tidak terlalu kedinginan walau Yasinta tidak lagi memakai banyak bantal seperti biasa. Hidup di penginapan harus rela berdamai dengan kenyataan kalau cuma ada dua bantal yang tersedia tanpa guling sama sekali. Untuk itu juga, dia terpaksa tidur satu bantal dengan suaminya dan menggunakan satu bantal lagi sebagai guling. Tapi, Hakim yang mengerti kalau ada satu manusia yang bakal tidak bisa tidur jika cuma memeluk satu bantal kemudian memutuskan meminta banyak tambahan yang membuat Yasinta berbinar.
Namun, untuk sebuah bantal, Yasinta tentu saja mesti membayar mahal dan Hakim rupanya menyukai aktivitas baru mereka yang bagi istrinya berhasil memunculkan perasaan aneh di segala penjuru tubuhnya dan juga sebuah sensasi pening dan kebas karena bibir mereka terlalu banyak beradu.
Untung saja, aktivitas sepanjang hari sejak dari Jakarta telah membuat tubuh mereka kelelahan dan Hakim pada akhirnya mengajak Yasinta tidur alih-alih melaksanakan niat pria itu yang sejak siang telah membuat Yasinta bergidik.
Dan kini, ketika terjaga, Yasinta merasakan dekapan Hakim begitu erat di tubuhnya, seolah-olah, pria itu menggantikan tugas semua bantal yang pernah Yasinta gunakan sebagai pengganti pelukan papa dan mama yang telah pergi selamanya dan sejak beberapa hari setelah menikah, Yasinta tidak lagi merindukan bantal-bantal itu. Hakim telah menjaganya dengan sangat baik, padahal, tidak pernah ada pembicaraan tentang semua itu sebelumnya.
Semua berjalan seperti hal yang alami, tidak ada pengaturan, tidak ada juga penolakan berlebihan kecuali karena Yasinta belum terbiasa disentuh oleh pria walau dengan penuh percaya diri, dia selalu sesumbar kepada Hakim bahwa Yasinta Aurahana adalah sosok yang tidak kalah laris dari Raden Sarina yang digilai oleh suaminya itu walau aslinya, Yasinta adalah jago kandang sejati yang gemetar begitu disentuh oleh Hakim.
Tapi, kini, setelah terbiasa bersama, dia merasa ciuman pertama mereka juga tidak buruk, minus bagian ingus dan air mata asin saja dan Yasinta juga sempat memikirkan bila Hakim tidak sanggup menahan perasaannya, dia juga mungkin akan menyerahkan …
Lo yakin? Dia belum tentu sayang sama lo dan bisa jadi di antara kalian lo yang bakal baper. Pakai logika kalau mikir, Yas. suatu saat, lo bisa aja dibobol sama dia dan dia memang berhak karena lo bininya. Kalian juga sempat berdebat dan lo sendiri bilang kalau Hakim nggak bisa menjalankan tugasnya, lo bakal minta pisah. Tapi, gimana kalau nanti dia balik lagi ke Sarina? Di depan lo ama Ibu, dia bilang sudah putus. Kita nggak tahu isi hatinya. Siapa tahu, dia terpaksa sayang-sayangan sama lo, terpaksa juga minta jatah. Dia pintar banget akting, Yas. kalau lo tiba-tiba jatuh sayang, relain badan lo, dia pergi, dan lo tiba-tiba hamil, gimana? Apa mungkin anak nggak berdosa bakal jadi korban? Bapaknya aja bisa ninggalin tante demi Ibu, apalagi dia. Buah nggak jatuh dari pohon, Hakim nggak pernah bilang cinta sama lo. Logika aja, pria mana yang nggak bisa “bangun” setiap lihat cewek? Mereka makhluk visual, makanya lokalisasi rame. Lo bakal menyesal kalau suatu saat ditinggalkan dan anak kalian ditelantarkan.
Yasinta merasa bulu kuduknya berdiri dan dia merinding yang tidak ada hubungan sama sekali dengan pendingin ruangan ketika membayangkan Hakim bakal meninggalkannya. Yasinta bukan tidak bisa menjaga seorang bayi, tidak. Ruhi Karmila bakal senang sekali bisa mengasuh lima atau sepuluh bocah kecil. Tapi, bagaimana perasaan anak-anak itu saat tahu mereka tidak diinginkan atau lahir karena alasan bisnis? Hakim terpaksa menjalankan tugas demi melancarkan posisinya.
Bukankah Yasinta juga sama? Dia menikah karena Ruhi menjanjikan kenaikan pembagian saham atas namanya? Mengamankan semua aset atas nama papa dan juga sebagian nama Ruhi Karmila yang dibaliknamakan dengan nama Yasinta dan itu adalah imbalan yang sepadan.
Kenapa lo mesti jijik sama Hakim? Bukankah kalian sama aja?
Yasinta terdiam dan berusaha mencerna kata-katanya sendiri dalam kegelapan malam ketika terasa tangan Hakim yang mendekapnya kemudian bergerak. Dia lantas kembali memejamkan mata, pura-pura tertidur, takut kalau Hakim mengetahui dia sudah terbangun.
Di saat yang sama, Hakim yang baru terbangun mendapati kalau saat ini tubuh Yasinta sudah bergeser beberapa sentimeter dari dirinya. Kepala Yasinta bahkan berada di bawah bantal dan hal tersebut membuat Hakim kemudian memutuskan untuk mengangkat kepala istrinya dengan perlahan dan kembali meletakkannya di lengan kiri pria itu. Hakim juga sempat mengelus pipi kanan Yasinta dan memberikan kecupan lembut di sana. Setelahnya, Hakim memilih tersenyum dan kembali mengeratkan pelukan mereka.
Satu jam kemudian, Yasinta terbangun dan menyadari kalau dia masih berada sendirian di atas tempat tidur. Hakim tidak berada di sana dan dia memutuskan untuk bangun sambil menyisir rambut dengan tangan.
“Bapak …”
Yasinta memanggil Hakim dan suaminya bakal langsung tahu kalau nama kesayangannya disebutkan oleh sang nyonya. Buktinya, begitu Yasinta menuruni tempat tidur, Hakim keluar dari kamar mandi.
“Iya?”
“Kirain pergi ke rumah mertua.” Yasinta berusaha menggoda. Hakim sendiri hanya membalas dengan percikan air wudu yang masih menempel di tangannya hingga membuat Yasinta sempat mengoceh. Tapi, setelahnya dia sadar kalau panggilan alam tidak bisa dihindari lagi dan sebelum dia sempat buang angin, Yasinta segera lari ke kamar mandi, meninggalkan Hakim yang masih memandanginya dengan wajah takjub.
***
Saat ada kesempatan istirahat, Yasinta berpikir kalau dia ingin ke apotek dan ketika Hakim menawari untuk mengantar, dia sama sekali tidak menolak. Lagipula, jarak apotek terdekat cuma lima ruko letaknya dari penginapan dan Yasinta merasa bersyukur semoat melihatnya dalam perjalanan mereka ke penginapan hari sebelumnya.
Meski tahu kalau hari itu juga mereka akan melakukan perjalanan ke pantai, Yasinta yang sudah memikirkan matang-matang hal yang mesti dia lakukan memilih untuk ke apotek dulu dan membiarkan Hakim menunggunya di kursi pengunjung ketika dia memesan obat kepada pelayan apotek.
“Minyak kayu putih, vitamin C, sama pil KB.”
Yasinta menyebutkan pesanan yang terakhir dengan suara amat pelan dan dia juga sempat menoleh ke arah Hakim yang kini sedang memeriksa ponsel. Pria itu pasti sibuk dan tidak bakal menggerecoki istrinya saat ini, pikir Yasinta. Dan ketika sang pelayan menanyakan jenis pil untuk Yasinta yang sebenarnya tidak paham-paham betul, dia langsung saja membalas, “Yang paling laris sama yang paling bagus yang mana, Mbak?” yang segera dijawab oleh pelayan tersebut dengan sebuah merk yang amat tokcer untuk memperhalus kulit, menghilangkan jerawat, dan segudang keunggulan lain yang membuat Yasinta merasa mantap untuk membeli.
Pelayan baik budi tersebut juga sempat mengajari Yasinta cara meminum obat yang membuatnya amat berterima kasih dan ketika dia menyelesaikan transaksi, Yasinta mendekati Hakim dengan senyum lebar.
“Udah beli vitaminnya?” tanya Hakim dengan tatapan polos, tidak curiga sama sekali dengan gerak-gerik sang nyonya yang berakting amat lihai siang itu.
“Udah. sama minyak kayu putih juga.” Yasinta menunjukkan belanjaannya dan Hakim kemudian berdiri dari duduknya lalu berusaha membantu membawakan belanjaan yang segera mendapatkan penolakan.
“Nggak usah, enteng lho, ini.”
Karena Yasinta ngotot membawa belanjaannya sendiri, tidak ada hal yang bisa dilakukan oleh Hakim kecuali menggenggam tangan istrinya dan membawanya hati-hati saat mereka melewati trotoar yang ditata amat rapi. Tidak ada sampah dan Yasinta sendiri kagum karena kadang di Jakarta, masih ada yang lalai dan kurang peduli dengan kebersihan.
“Tadi Ibu WA, nanya kabar.” Hakim membuka pembicaraan saat mereka sudah separuh jalan menuju penginapan dan Yasinta tanpa ragu membalas ucapan suaminya, “Dibalas apa? Aku sehat-sehat aja kalau Ibu masih cemas.”
“Iya. udah dikabari kalau menantunya sehat, makannya lahap, dan makin sayang suami.” Hakim tersenyum. Dia melirik Yasinta yang saat ini memegang kantong belanjaannya dengan erat seolah takut ada yang bakal merampas benda tersebut dari tangannya. Yasinta juga merasakan sebuah elusan amat lembut yang diberikan oleh Hakim kepada dirinya dan seketika, dia merasa ngilu di bagian dada untuk hal yang tidak bisa dia pahami.
Kalau kejadian kami malam pertama, gue nggak menolak apabila setelahnya gue hamil. Tapi, itu kalau kami sudah yakin dengan perasaan masing-masing. Buat sekarang, gue nggak tahu kami bakal bertahan selama apa dan kalaupun kami berpisah, gue mau kayak Mbak Okta aja, nggak susah memikirkan nasib anak atau masa depannya nanti. Apalagi, gue juga bakal ke Korea. Gue nggak mau, gara-gara orang tuanya masih egois dan labil, anak-anak jadi korban. Biarlah, kalau Hakim mau badan gue, gue kasih. Tapi kalau dia minta anak …” Yasinta memilih berhenti berpikir karena suara Hakim yang memperingatkan dirinya untuk berhati-hati melangkah membuatnya segera waspada.
Gue nggak apa-apa dibilang wanita mandul daripada nanti anak gue nggak punya ayah karena ayahnya lebih milih wanita lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro