Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25

Yang ga sabar silahkan ke sebelah.

Apakah ada unboxing di Yogya? Kagalah, wkwwk. Di Yogya kalo kata Hana, tempat makan, bukan tempat bikin anak.

Ramein komen, ya. Jumat barokah soalnya. Yang pelit, kuburannya sempit.

Ntar kalo yey mati, kaga bisa bacak Hana Hakim lagi.

Tungguin PO-nya. Nabung dari sekarang.

***
25 SCdHP

Ketika menuruni bus pariwisata yang disewa oleh pihak kantor untuk mengantarkan mereka semua ke homestay yang dipesan oleh panitia family outing, Okta menjadi amat sedikit terkejut karena mendengar suara Yasinta menjadi amat lembut dan menjijikkan padahal dia tahu betul, selama ini mana pernah keponakan Ruhi Karmila itu melakukannya. 

"Bapak … kaki gue nggak kuat meloncat."

Memang, ukuran pijakan terakhir dari bus ke aspal cukup tinggi, sekitar dari telapak kaki hingga lutut. Okta saja mesti berpegangan dengan gagang besi yang menempel di tempat duduk kenek bus ketika melakukannya, daripada dia terjungkal. Tapi, rengekan super manja, walau dia cuma memanggil suaminya dengan kata Bapak, telah membuat Okta menggelengkan kepala karena sempat mengira, wanita itu memanggil Pak Herman.

Gue kira dia panggil lakinya, Yang, Mas, Abang, Papa, yang mesra-mesra gitu. Eh, tahunya malah manggil Bapak. Lah, itu laki atau bos sendiri, kaga ada beda. Apalagi kalo yang lewat Pak RT, malah kacau.

Meski begitu, dia ingat dengan jelas, setiap hari, Yasinta selalu membahasakan suaminya dengan panggilan Pak Hakim dan Pak Jaksa, sehingga kemudian, cukup wajar jika kemudian, Yasinta jadi terbiasa menggunakan kata-kata bapak. Tapi, agak aneh saja di zaman milenial seperti ini menemukan pasangan yang menggunakan panggilan bapak untuk suaminya sendiri, walau sebenarnya, masih ada banyak anak-anak yang memanggil orang tuanya dengan panggilan Bapak dan Ibu.

Terus, masalahnya di mana? Gue kagak mengerti, Okta memarahi dirinya sendiri sementara pasangan di belakangnya terlihat amat romantis. Hakim turun lebih dulu dan tangannya terarah ke atas dan Yasinta tanpa ragu melingkarkan lengan di leher suaminya yang membuat rekan-rekannya berseru nyaring.

“Yah, emang begitu kalau pengantin baru. Tahun depan mana ada kayak gitu lagi. Bininya jatuh ke empang, paling dibalas, mata lo ke mana?” yang membuat hampir semua orang tertawa, sedangkan Yasinta yang sejak tadi tidak tahu kalau dirinya sedang dibahas hanya memandang bingung ke arah mereka semua.

“Kenapa, sih?”

“Bikin ngiri, tahu.” suara Okta terdengar dan Yasinta menoleh ke arahnya demi memastikan telinga wanita itu tidak salah dengar.

“Ngapain ngiri? Nganan aja.” Yasinta menggoda. Semua orang yang memperhatikan interaksinya dengan Hakim pastilah salah duga. Kan, mereka tidak seakrab itu, pikir Yasinta. Hakim sendiri sudah berjanji akan mengurusi Yasinta dan perihal adegan rangkulan tadi, itu karena kakinya belum terlalu kuat dipakai menjejak dari lokasi yang cukup tinggi seperti tadi.

Hakim sendiri merasa santai saja saat ada yang menggoda mereka. Dia pikir wajar, karena mereka berdua adalah pengantin baru dan untungnya,Yasinta juga tidak terbakar emosi saat orang-orang kadang jahil kepadanya dan malah balik bersikap lebih mesra kepada Hakim walau cuma menerima genggaman tangan suaminya saja.

Mereka tiba di homestay Asri yang seperti namanya, terlihat amat nyaman. Bentuknya seperti paviliun dan memiliki beberapa rumah-rumah kecil. Ada juga satu rumah utama yang terdiri dari delapan kamar. Keluarga kecil dan juga para lajang tinggal di sana, sementara yang datang lebih dari tiga orang di dalam keluarga mereka mengambil tempat di paviliun yang letaknya paling jauh dua puluh meter dari gedung utama. Yasinta dan Hakim mendapat kamar di gedung utama, tepatnya di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Okta dan juga seorang staf dari keuangan kantor bernama Ani. sewaktu Yasinta sempat keceplosan ingin bergabung dengan mereka, Okta menertawakannya dan kemudian, berbisik ke telinga Yasinta sehingga pipi sahabatnya itu menjadi semerah tomat.

“Duaan aja ama laki lo, siapa tahu pulang-pulang dari sini bisa bawa dedek bayi. Tenang aja, gue nggak bakal kepo curi dengar kerjaan kalian di sebelah.”

Sumpah, Yasinta jarang-jarang merasa malu gara-gara ucapan sahabatnya, tapi, kini Okta telah membuatnya berlari masuk kamar dan menghindari tatapan semua orang yang ternyata hampir seharian ini dibuat baper karena sikap Hakim kepada Yasinta. Padahal, Yasinta merasa kalau setiap hari seperti itulah sikap Hakim kepadanya dan dia heran, bisa-bisanya semua orang berpikir kalau suaminya tergila-gila kepadanya.

“Kenapa cemberut begitu?” Hakim agak sedikit heran melihat Yasinta masuk dengan bibir maju. Dia sedang mengelap kedua tangannya dengan tisu. Sepertinya tadi Hakim baru selesai mencuci tangan ketika Yasinta memutuskan untuk main ke kamar sebelah.

“Digodain Mbak Okta. gue rencananya mau ikut nginep di sebelah, tapi dia bilang nggak boleh. Gue mesti tinggal sama lo, siapa tahu diajak bikin anak.” 

Hakim terlihat tertawa dan dia menyempatkan diri membuang bekas tisu ke wadah sampah kecil di dekat kamar mandi dan kemudian baru melanjutkan bicara, “Dicium aja nangis-nangis sampai nendang suaminya, gimana mau diajak buat anak?”

“Heh? Kalau diajaknya bagus-bagus, suasana emang mendukung, gue nggak nolak. Lah, lo sendiri nggak nyadar, pulang kerja malah ganggu bininya.” Yasinta berapi-api membela diri, sedangkan Hakim mengangguk-anggukkan kepala sambil mendekat ke arah sang nyonya.

“Janji, ya. Nanti malam aku buat suasananya bagus dan mendukung. Kita bikin anak di sini.”
Hakim mengelak tepat saat Yasinta menggunakan kedua tangannya untuk memukul lengan suaminya. Tidak hanya itu, Yasinta memilih mengejar dan menarik bagian belakang kaos Hakim yang bergerak lebih cepat dan lincah daripada dirinya sendiri. Bibirnya mengoceh panjang lebar termasuk juga melarang Hakim berlari menghindar darinya. Sayang, Pak Suami ternyata lebih lincah dan ketika Hakim berlari mendekati tempat tidur yang terbuat dari jati asli sehingga Hakim langsung berhenti dan memegangi lutut tanpa menyadari kalau Yasinta masih mengejarnya dari belakang.

“Awas!”

Baik Hakim dan Yasinta jatuh terjungkal. Tapi, yang paling parah tentu saja Hakim yang tidak waspada saat Yasinta berlari di belakangnya. Untung saja sang nyonya jatuh tepat ke permukaan kasur sementara dia sendiri terjungkal dengan kepala nyaris menghantam lantai dan separuh tubuhnya berada di atas tempat tidur. Jika tangannya tidak memegang lengan Yasinta, sudah pasti dia bakal kena serangan gegar otak ringan.

“Kenapa, sih?” keluh Hakim sewaktu dia pada akhirnya berhasil berdiri dan Yasinta sudah duduk di atas tempat tidur memandangnya seolah-olah anak perempuan berusia sepuluh tahun yang bakal kena marah ayahnya sendiri. Tapi, dia bukanlah seorang bocah cengeng. Salahkan Hakim karena kata-katanya tadi memang menyebalkan.

“Dari kita menikah sampai hari ini, ada aja bagian badanku yang jadi korban. Kepalaku pernah benjol, pernah juga tulang ekorku mau patah, bibirku pernah kamu gigit, sekarang, kepalaku hampir kena lantai.”

“Lo sendiri yang mancing masalah. Memangnya situ aja yang jadi korban? Ini kaki, perut, mata, jidat, semua udah pernah kena KDRT. Kalau gue jahat dan sempat foto-foto, bisa gue bawa ke polisi.” seru Yasinta tidak mau kalah. Adu ketahanan soal yang paling merana, dia paling juara. 

Sepintar apa-pun dia memenangkan debat di bangku perkuliahan atau malah di kantornya, di depan Yasinta Aurahana dan Farihah, selalu saja hasilnya sama, membuat Hakim tidak bisa berkutik. Padahal, dia tahu dengan jelas, ibu dan istrinya punya sifat bagai langit dan bumi. Namun, soal kemampuan membuat dia jadi bisu seketika, mereka berdua memang ahlinya. 

“Kamu tahu?” Hakim menggeram, melempar semua bantal yang tadi sempat berhamburan karena ulah Yasinta saat dia terjatuh di atas kasur tadi, lalu salah satu lututnya menaiki tempat tidur dan matanya sudah seperti hendak melaser nyonya yang sekarang mulai berakting tidak tahu diri, seolah dia jadi korban paling merana di dalam hubungan mereka.

“Aku tidak pernah sekesal dan segemas ini kepada seorang perempuan. Satu detik kamu sok dingin kayak Nenek Lampir dan satu detik kemudian, kamu berubah kayak anak manja yang nggak mau lepas dipegang tangan karena takut hilang.”

Kata-kata anak manja barusan membuat Yasinta merah padam dan dia setengah berdiri menunjuk dada Hakim. Pipinya masih sama merah seperti saat dia digoda Okta tadi.

“Anak manja lo bilang? Pak Hakim, lo dengar, ya. Anak manja nggak bakal mau duduk dan makan di warung pinggir jalan. Anak manja nggak bakal mau jadi PNS yang mesti bangun pagi buta supaya nggak telat kerja dan mengabdikan diri buat negara, mending tidur atau rebahan atau mabok sama anak nongkrongan gue, minimal di Chao-Chao, ngudut-ngebir dan kebut-kebutan sampai pagi. Anak manja, nggak bakalan mau nurut kata tantenya biar bisa nemenin lo seumur hidup, menggadai kebebasan gue …”

Yasinta berhenti bicara karena Hakim menggunakan telunjuk kanannya untuk menyuruh Yasinta berhenti bicara. Pundak istrinya turun naik karena dia hampir tidak pernah mengutarakan semua kekesalannya kepada siapa pun juga. Menyebut Yasinta anak manja sedangkan bertahun-tahun ini dia berjuang sendirian untuk bangkit dan lupa semua rasa sedihnya adalah sebuah penghinaan dan dia ingin sekali menjitak kepala Hakim supaya …

“Maaf.” Hakim bicara dengan nada tulus. Mata Yasinta sudah memerah dan nampaknya, kata-katanya tadi memang telah menyakiti hati istrinya begitu dalam. Tangannya kemudian berpindah, dari bibir Yasinta kemudian ke arah punggungnya dan Hakim kembali mengucapkan kata maaf begitu dia berhasil mendekap tubuh nyonya yang dia sadar, dibandingkan dengan Sarina, terlihat jauh lebih mungil. 

Padahal tukang makan di depannya ini hampir tidak pernah berhenti mengunyah. Ke mana perginya semua jajanan yang mampir ke perut sang nyonya? Namun, fokus Hakim bukanlah itu, melainkan menenangkan Yasinta yang mulai tersedu-sedu begitu mendapatkan dekapan hangat dari suaminya sendiri. 

“Siapa bilang Hananya Hakim manja? Dia cuma cengeng, kok.” Hakim tersenyum dan mengusap air mata Yasinta yang terus jatuh sementara tangan kanannya, Yasinta balas mencubit perut Hakim hingga suaminya mengaduh, “Aku yang sebenarnya korban KDRT, bukan kamu.” dia membela diri. Balasan Yasinta hanyalah bibir yang kembali maju dan ujung hidung memerah yang terlihat amat menggemaskan.

“Enak aja Hananya Hakim. Gue bukan punya lo.”

“Punya siapa kalau begitu? Tidur sama aku, peluk juga sama aku. Kalau jatuh, minta gendong ke aku juga. Apalagi kalau jajan, langsung ambil duit di dompetku.”

Sial, Yasinta tidak mau mengaku, tapi semua ucapan suaminya adalah fakta dan dia menyusut ingus yang hampir jatuh gara-gara mendengar pengakuan barusan.

“Masak gue ambil duit Pak Didin?”

Hakim tertawa atas lawakan itu dan Yasinta mau tidak mau ikut tertawa. Tapi, dia seharusnya marah, bukan menanggapi kata-kata suaminya seolah tidak terjadi apa-apa. Dia masih terlalu kesal.

“Lepasin. Gue mau turun.” suruh Yasinta. Sayangnya, Hakim membalas dengan gelengan dan Yasinta merasa ada yang aneh dengan tatapan suaminya itu, terutama karena pandangan Hakim sepertinya terarah kepada lipstik di bibir Yasinta.

“Lo nggak ngincer lipstik gue, kan? Belinya di …”

Dalam sekejap, Yasinta merasa otaknya beku dan dia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Namun, sesaat kemudian, dia sadar, ada hal gila yang sedang terjadi, terutama karena rasa asin air matanya tahu-tahu saja masuk ke bibirnya sendiri. Tapi, yang paling aneh adalah saat dia memejamkan mata dan larut dalam belaian Hakim yang ternyata tidak sesuci dan semurni pagi di hari Raya Idul Fitri. 

Sial! Sial! 

Tampar dia, Yasi. Dia sudah kurang ajar.

Kurang ajar? Yasinta mengerjap beberapa kali dan dia tahu sesuatu yang salah telah terjadi di luar dugaannya. Hakim tidak mengincar lipstiknya, melainkan, bibirnya sendiri. Bibir yang dia jaga dengan segenap jiwa supaya tidak diincar lelaki kardus apalagi lelaki brengsek. Bibir yang seharusnya dia beri khusus untuk Oppa Korea Kim Soo Hyun. 

Pak Hakim … Ah, bukan. Pak Kim Sweet … Duh, Yasinta langsung tertawa dan tidak sadar kalau ingusnya tiba-tiba saja muncrat dan dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengatasi rasa malunya dengan menampar pipi Iqbal Al Hakim kuat-kuat lalu berlari menuju kamar mandi.

Ingus sialan! Seharusnya ciuman pertama mereka bisa lebih romantis daripada rujak ingus menjijikkan itu.

Malu banget gue!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro