Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19

Ramein ya gaes.

Di KK dan KBM udah hampir tamat. Mungkin bakal bareng PO-nya sama OlaHans.

Kalian nabung, ya. Eke bakal kasih gift cakep buat bundel.

Apa?

Entahlah. Si Ola kan punya Bra.

Si Hana, suka Babik. Kalian doyan babik ga?

***

19 SCdHP

Herman Syafei, kepala dinas gedung Arsip dan Perpustakaan Kota adalah orang yang agak sedikit terkejut ketika Yasinta Aurahana datang menemuinya dengan membawa sebuah berkas. Ketika dia membuka dan membacanya, perlu beberapa kali pria berusia lima puluh tiga tahun itu melirik ke arah surat pengajuan izin tugas belajar Yasinta kemudian kepada sang penulis itu sendiri.

“Ini benar, kamu yang menulis.”

“Yaelah, Pak.” Yasinta menahan rasa gondok di hati, memangnya siapa lagi yang bisa dia suruh? Okta atau Adli? Yang ada mereka bakal menertawakannya. Tidak perlu jauh-jauh, waktu mengutarakan keinginan buat belajar di Korea saja, Ruhi Karmila menjadi yang paling pertama heran atas keputusan itu.

“Keponakanku yang paling nggak suka belajar? Serius mau kuliah lagi?”

Jika motivasinya bertemu dengan Oppa Korea, maka Yasinta yakin dia akan semangat. Amat semangat, malah. Karena itu juga, walau dongkol karena lagi-lagi ada orang yang kembali meragukan kemampuannya. Dulu, dia memang pemalas dan Yasinta tidak ragu melabeli dirinya sebagai juara satu gadis paling malas di dunia. Namun, dunia sudah berubah dan dia punya cita-cita amat mulia, jatuh cinta dengan pria idamannya di negeri gingseng tersebut.

“Saya ngetik sebenarnya. Jadi, nggak bisa dibilang nulis juga. Cuma, formatnya, kan, sudah ada. Tinggal isi doang sama data-data saya.” Yasinta menjawab dengan diplomatis.

“Kalau itu juga Bapak tahu.” Pak Herman berdeham, “Maksudnya, kamu sendiri yang mengajukan izin belajar? Nggak mabok?”

Bahkan kini Pak Herman pun meragukan kemampuan Yasinta. Ingatkan dia, siapa pegawai yang rela lembur menyortir dan menyusun buku-buku baru datang, menjadi yang paling sibuk saat ada pelatihan calon kepala perpustakan, serta kadang menjadi juru bicara saat ada banyak tim yang datang dan memerlukan data perpustakaan seaktual mungkin. 

“Sekalian jalan-jalan, Pak.” Yasinta menjawab jujur dan kemudian jawaban terakhirlah yang membuat Pak Herman tertawa, “Nah, yang itu baru khas Yasinta.”

Pak Herman kemudian memberi tanda tangan di bagian surat rekomendasi dan sempat membuka-buka profil universitas yang disertakan oleh Yasinta saat dia menyerahkan kumpulan berkas tadi. 

“Ada jual nasi di sana, Yas?”

“Ih, Bapak! Jelas ada. Wong orang Korea juga makan nasi.”

Pak Herman masih menggoda anak buahnya itu dengan mengatakan beberapa hal remeh-temeh yang mungkin tidak bakal dia temukan di negara produsen drama laris tersebut yang dibahas Yasinta dengan kekehan sebelum menjawab, “Tenang aja, Pak. perut saya udah dilatih sejak bertahun-tahun lalu.”

Ketika akhirnya Yasinta pamit, dia menunjukkan surat rekomendasi izin belajar kepada Okta dan sahabatnya itu hanya menanggapi dengan sebuah gelengan. Wajah Yasinta jelas sekali bahagia dan dia tidak terlihat bersedih padahal melanjutkan kuliah tidak pernah bisa sebentar dan dalam waktu minimal dua tahun, semua hal bakal terjadi, termasuk mungkin, kandasnya sebuah pernikahan yang umurnya baru seumur jagung.  

“Gue baru sekali ini lihat orang mau LDR malah senang banget.” Okta menatap Yasinta dengan wajah sendu. Dia sendiri sudah merasakan efek berpisah dengan suami dan rasanya amat buruk.

“Malah mau ngincer cowok sana, lagi. Gue aneh banget ngelihat lo.”

“Apa Mbak Okta mau ikut gue? Siapa tahu bisa ngerubah keturunan.” Yasinta terkikik geli sehingga Okta menggebuk bahu Yasinta dengan penuh semangat. 

“Sakit, loh, bahu gue.” Okta protes dan buat Yasinta, hal itu berarti dia bisa kabur menuju ke bagian ke pegawaian untuk dibuatkan surat pengantar menuju BKD supaya dia bisa melanjutkan proses berikutnya, sampai nanti akhirnya semua administrasi yang dia perlukan sebelum berangkat ke Korea, termasuk pengajuan visa pelajar.

Kerena itu juga, Yasinta sudah mulai bergerak walau perkuliahan belum dimulai. Dia juga mesti menabung agar bisa membayar tempat tinggal nanti, meski belum jelas, apakah Yasinta bakal tinggal di asrama allias dormitory atau menyewa apartemen. Yang pasti, dia sudah membuat daftar apa saja yang mesti dilakukan dalam bentuk hitung mundur sebelum tanggal keberangkatannya.

Hakim? Dia belum memberi tahu pria itu. Apakah perlu memberitahunya? Ruhi memberi kebebasan kepada Yasinta agar melakukannya sendiri. Bagaimana pun juga mereka sudah menikah, walau Yasinta sendiri berpikir, bentuk pernikahannya dengan sepupu tirinya itu agak sedikit aneh dibandingkan rumah tangga orang lain.

Apalagi, dia masih belum percaya sepenuhnya dengan sikap baik Hakim. Hanya saja, Yasinta yang sudah terbiasa membaca sikap teman-teman di kantor sudah mulai tahu, seperti apa sifat suaminya. Dan, bukan hanya kepada Hakim atau Farihah, dia juga tahu, sejak awal Ruhi memanfaatkan dirinya tapi, dia tidak sakit hati karena sejak awal, dia sudah bersimpati kepada sang tante. 

Jangan sampai, di hari tuanya Ruhi merana. Sudah kehilangan suami, dia harus kehilangan harta yang telah dia dan suaminya dulu perjuangkan sejak lama. Yasinta juga sudah belajar banyak sehingga kini, amat susah baginya untuk memercayai Hakim.

***

Ketika hari sudah menunjukkan pukul lima, Yasinta yang terpaksa harus lembur karena hari itu masih ada pelatihan calon kepala perpustakaan, mendapatkan berita dari Okta yang sama seperti dirinya, mendapat tugas sebagai panitia, bahwa Hakim kedapatan memberi tanda suka pada status Sarina yang terakhir. Gara-gara itu juga, Okta kemudian menceramahi Yasinta dan menyuruhnya segera melabrak Hakim yang masih main gila di belakangnya.

“Gue ajarin cara ngelabrak laki, ya, mesti elegan. Siapin bukti-bukti, terus lemparin semua ke mukanya.” Okta menyingsingkan lengan PDH-nya, namun gagal. Tangannya kelewat besar dan hanya mampu bergeser hinga lima cm saja dari pangkal lengannya. Tapi, hal itu tidak menyurutkan semangat Okta untu berorasi.

“Masih mikirin mantan padahal di rumah ada bini.”

“Gue di kantor, Mbak. Bukan di rumah.” Yasinta mengoreksi dan hal itu mengundang decak di bibir Okta, “Iya, mau lo di rumah, kek, di sekolah, kek, intinya sama. Dia nggak setia.”

“Emang ciri nggak setia, nge-like foto mantan?”

“Yah, nggak seperti itu juga.” Okta menghela napas dalam-dalam. Memang, soal perasaan, teman yang satu ini agak kurang responsif. Ingatkan dia mesti memperbanyak sabar. 

“Kalian berdua aneh, nggak cinta kok bisa menikah?” Okta yang setelah beberapa menit hanya mendapatkan respon diam dari Yasinta tidak bisa menahan diri. Setidaknya, dengan jatuh cinta, orang bakal berjuang bersama-sama demi mencapai mimpi mereka. 

“Karena gue sayang ama Tante.” Yasinta menyunggingkan senyum tipis dan mengalihkan pandang kembali ke layar laptop. Dia sedang menyunting nama-nama peserta untuk dimasukkan ke aplikasi pembuat piagam. Pelatihan akan berlangsung selama delapan hari dan hari itu adalah hari pertama. Nantinya, dia tinggal menginput nilai akhir. Mata pelajaran beserta nilai kredit sudah otomatis tersedia di template piagam.

“Sayang sama Tante, terus ngorbanin perasaan lo juga?” tanya Okta penasaran, sedangkan Yasinta memilih mengangkat bahu, “Nggak tahu juga, Mbak. Gue mikir sedang nggak ada pasangan juga. Apa salahnya gue coba. Cinta bisa datang belakangan. Cuma, gue nggak tahu kalau dia waktu itu masih cinta mati sama Mal Sarina itu. Dia juga nggak ngasih keterangan apa-apa, cuma dari gerak-geriknya, gue tahu dong.”

“Iya, tapi, apa lo nggak sakit hati?”

“Gue nggak tahu soal sakit hati, Mbak. Cuma, kadang gue penasaran, waktu sama dia, suami gue beneran bahagia atau sakit kepala seperti pas dia sama gue. Gue lagi berusaha belajar cinta sama dia, tapi, dia sendiri belum kasih gue izin masuk ke hatinya. Gue tahu, dia bersikap baik untuk nyenengin hati emaknya. Gue belum sampai ngerasa kebaikan yang dia lakukan itu memang karena dia ingin gue bahagia, nggak.” 

Yasinta tampak menerawang setelah dia mengucapkan semua itu. Entah kata-katanya barusan berasal dari lubuk hati yang paling dalam atau tidak, Okta tidak tahu. Perjodohan Siti Nurbaya modern itu telah membuat kepalanya pusing dan dia kadang penasaran masalah kasur Yasinta dan suaminya, meski tahu betul, sahabatnya tidak bakal bercerita. 

“Tapi, aneh aja. Laki lo ganteng banget, sebenarnya. Lebih cakep dari si Adli. herannya, lo nggak genet-genit atau klepek-klepek ama dia.” Okta mencoba mengingat-ingat, sehingga Yasinta yang menoleh ke arahnya menggaruk pelipis, “Dia emang ganteng, sih.” 

Dia mengakuinya. Hakim memang sangat tampan. Jika tidak ada stempel orang Indonesia di jidatnya, Yasinta pasti bakal menyangka kalau Hakim adalah orang Korea, atau minimal, Thailand.

“Tuh, otak lo bener. Gebet aja dia, sampai sujud di kaki lo. Kasih pelajaran sudah sia-siain PNS berwujud bos kontrakan …" 

"Hush." Yasinta melotot. Jangan sampai kalimat barusan didengar orang tidak bertanggung jawab, terutama orang-orang yang suka mampir, mengaku dari LSM A, B, C, D, nyatanya setiap datang, meminta jatah bantuan yang turun dari pusat. Jika menolak, biasanya mereka akan menulis berita yang tidak-tidak di koran yang menyebabkan bos mereka sakit kepala. 

"Jiah, ngapa lo malu? Duit juga duit bapak lo, bukan korupsi." 

Okta terlalu banyak bicara, pikir Yasinta. Suaranya bisa mengganggu pemateri yang saat ini masih bicara. Entah jam berapa acara bakal usai. Di rundown tertulis agenda hari pertama selesai sekitar pukul 17.30 dan di luar sana, Pak Didin masih setia menunggu. Biasanya Pak Didin asyik bermain catur dengan satpam perpustakaan dan walau Yasinta berkata dia bisa membawa mobil sendiri, Pak Didin tidak pernah mau melepasnya. 

"Jangan, Neng. Bapak trauma. Tinggal Neng seorang yang Bapak punya." 

Pak Didin memang amat protektif sejak tinggal Yasinta sendiri menjadi penerus keluarganya. Dia bahkan rela tidak digaji ketika Ruhi memintanya mundur asal bisa bersama Yasinta dan akhirnya, atas bujukan Yasinta juga, Pak Didin masih terus bersamanya hingga detik ini.                                                    

Untung saja, pada akhirnya sang pemateri menutup kegiatan pada hari itu dan tidak lama acara pelatihan di hari pertama usai. Meski begitu, Yasinta dan Okta mesti membantu membereskan sisa-sisa pelatihan dibantu oleh panitia yang lain, termasuk Adli, juniornya yang selama ini selalu digoda oleh Yasinta. Hanya saja, Okta agak heran karena Yasinta tidak selincah biasanya. Apakah wanita berambut pendek itu sedang sakit.

"Lapar, Mbak. Mau nyari makan dulu habis ini. Gue pengen yang panas-panas berkuah. Masuk angin rasanya duduk dekat blower AC." tutur Yasinta.

"Hamil?"

Ish. Padahal, Okta tahu kalau Yasinta masih perawan ting-ting, tapi, nada suaranya malah seperti menggoda dan membuat Adli sampai menoleh ke arah mereka. Bagaimana dia tidak malu, coba?

"Doain aja, Mbak." Yasinta mengedipkan sebelah mata. Jika bisa, dia mau-mau saja menggetok kepala rekannya itu. Tapi, demi ketenangan dunia, dia memilih mengalah. 

Mereka berdua berjalan ke luar dari gedung arsip dan perpustakaan sekitar lima belas menit sebelum azan Magrib. Namun, baru sampai parkiran, Yasinta malah menemukan mobil milik suaminya, bukannya mobilnya sendiri yang biasanya dibawa oleh Pak Didin.

"Loh, kok, di sini? Pak Didin mana?" Yasinta bertanya bingung. Okta sudah berjalan menuju parkiran motor, sementara Hakim berdiri dan mendekat ke arahnya. Di tangan Hakim terdapat sebuah kantong berisi sesuatu dibungkus kertas yang masih terasa panas. Dari merk kantongnya, Yasinta bisa membaca tulisan "Tempe Mendoan Hangat". Ada kedai tempe mendoan yang letaknya beberapa ruko jaraknya dari gedung perpustakaan. 

"Tadi kusuruh pulang. Aku mau bareng sama istriku. Mau mengajak dia makan malam sama-sama." balas Hakim santai. Yasinta sendiri harus mengerutkan dahi, berharap dia salah dengar, namun sepertinya tidak. Apalagi, tempe mendoan yang kini sudah berpindah ke tangannya tampak begitu menggoda.

"Lo mau nyogok? Emang sudah cinta? Pasti ada udang di balik batu, kan?" tuduh Yasinta tanpa ragu. Hakim sendiri memilih tertawa dan berjalan menuju mobilnya.

"Idih. Aneh. Ketawa-ketawa kayak orang gila. Padahal tadi ngasih like di foto mantan pacar, terus datang ke sini, dengan muka tanpa dosa." 

Hakim berhenti melangkah dan menoleh ke arah Yasinta dengan wajah bingung, "Aku nge-like foto mantan? Maksudnya apa?"

Apa perlu Yasinta mereka ulang obralannya dengan Okta tadi atau yang lebih praktis, membuka akun instagram dan memamerkan bukti nyata tersebut? Tapi, dia, kan, memblokir akun Sarina dan tidak berteman dengan suaminya di akun Instagram. Masak, dia mesti berlari ke parkiran motor lalu menyeret Okta hingga ke hadapan Hakim?

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro