Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

Kalau rajin vote komen, eke rajin juga apdet. Kaga bayar, murah kali. Makanya kudu ramein.

Betewe makemak yang punya kartu tol ke karyakarsa bab 30 ama bab 32 pada girang, eke ga tau kenapa. Padahal biasanya abis girang pada nangis-nangis, kan? Betah amat baca cerita eke.

Polanya pun sama, bencik ama si laki, terus nanti pada nyuruh balikan ama si cewek.

Tuh kayak di sebelah, dulu marah2 ama Hans, sekarang nyuruh kawin ama si Ola. Duhai Netizen, sukak-sukak kaulah

Oh, iya, merk hedreyer Yasi itu dyson ye. Eke kaga tulis di situ, biasalah, kaga suka makai merk orang. Tapi kalo you pada mobeli, bisa tau harganya. Gugel aja ndiri atau cari di sopi, kalo ketemu, komen mau beli atau cukup pake anduk ama kipas paling gede kek eke, yang auto masuk angin kalo habis keramas🤣

***

13 Sebaris Cinta dari Halaman Pertama

Azan Magrib masih berkumandang ketika Hakim membuka pagar utama rumah keluarga Taufik Diponegoro. Angin bergulung-gulung kencang menerbangkan debu dan daun-daun kering. Dia sampai harus menutup sebelah mata karena kemasukan debu saat pagar berhasil dibuka. Waktu itu, Hakim ke mobil dengan mata terpejam dan minta diambilkan tisu kepada istrinya.

“Kemasukan debu.” Hakim menjelaskan. Dia berkedip beberapa kali ketika Yasinta mencoba menyeka air matanya. Bola mata Hakim memerah dan Yasinta mesti menahan bagian bawah kelopak mata pria tersebut ketika menemukan target yang dicari, seekor serangga kecil berwarna gelap. 

“Aduh … duh.” Hakim mencoba mengelak dan menggunakan bagian lengan bajunya untuk mengelap mata yang kemudian dicegah oleh Yasinta. 

“Jangan, dong. Nanti iritasi. Lagian baju lo dari mana-mana.” 

“Pedih soalnya.” Hakim gemas karena rasa terbakar di matanya belum juga reda dan Yasinta melarangnya lari. Mereka masih berada di depan gerbang rumah yang terbuka.

“Sebentar. Tahan beberapa detik dulu.” Yasinta memberi perintah. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Hakim, namun, dia tidak menyadari karena terlalu sibuk meraih serangga mati di dalam mata suaminya.

“Jangan gerak. Bentar lagi.” Yasinta bergumam kepada dirinya sendiri dan dengan ujung tisu, dia akhirnya berhasil mendapatkan serangga kecil itu dan menunjukkannya kepada Hakim dengan raut amat bangga.

“Gede, ih. Kutu atau ngengat, ya?”

“Masak kutu?” Hakim tidak terima kalau ada kutu mampir di matanya, padahal, dalam kondisi mati seperti itu, tidak ada satu pun dari mereka berdua yang paham. 

“Gue nggak tahu juga.” Yasinta mengedikkan bahu. Dia memasukkan tisu bekas mengelap mata suaminya tadi ke tong sampah kecil yang letaknya di antara bangku penumpang dan supir. Setelahnya, Hakim melajukan mobil hingga ke bagian depan rumah dan baru saja pintu terbuka, mereka dikejutkan dengan suara geluduk amat keras dan juga hujan yang tiba-tiba turun.

Gara-gara itu juga, Hakim hampir berlari ketika dia membantu Yasinta turun, padahal, istrinya sendiri berkata kalau tidak apa dia ditinggalkan. 

“Hujannya lebat.” Hakim memberi tahu dan dia menoleh ke arah Yasinta yang kini separuh rambutnya sudah basah kuyub.

“Iya. Makanya kudu cepat-cepat.” Yasinta mengambil kunci rumah dari dalam tas yang dia pakai saat ini. 
Untung saja, suasana rumah tidak sekacau yang dipikirkan oleh Hakim karena tahu, selama hampir tiga minggu, Yasinta belum sempat mampir lagi. Saat dia menghidupkan lampu rumah, sofa-sofa di ruang tamu dipasangi kain putih seperti sprei. Tidak hanya itu, beberapa furnitur lain yang dia tahu harganya tidak murah juga diperlakukan sama.

“Sori, banyak debu.” Yasinta bicara, tanpa menoleh kepada Hakim. Ini kali pertana dia mampir ke rumah itu setelah bertahun-tahun. Sebelumnya, Hakim mengunjungi rumah paman tirinya itu bersama sang ayah, saat kematian setiap anggota keluarga Yasinta.

Di ruang tengah, terdapat sebuah bingkai berisi foto keluarga. Yasinta berada di tengah bersama dengan sang ibu dan juga adiknya. Abangnya yang tertua berdiri di samping ayah mereka. Foto keluarga terakhir yang berisi anggota keluarga mereka secara lengkap. Tidak lama setelah foto itu dibuat, si sulung pergi untuk selamanya. Dan, yang terakhir, hanya tinggal satu orang saja dari seluruh anggota yang tersisa.

“Kamar gue di atas.” Yasinta menunjuk ke arah tangga besar menuju lantai dua. Anak tangganya kecil-kecil, namun Hakim tidak yakin istrinya mampu meniti anak tangga tersebut. Dia memutuskan untuk mengunci pintu rumah lalu mendekat ke arah Yasinta yang mencari-cari gagang sapu.

“Buat apa?”

“Buat pegangan.” 

Hakim menggelengkan kepala mendengar jawaban Yasinta tersebut dan dia mengulurkan kembali tangan kirinya supaya Yasinta bisa kembali menggunakannya untuk berjalan yang serta merta segera ditolak.

“Pegang aja. Dari tadi juga pegangan.” Hakim menggoda, “Atau mau digendong lagi sampai atas?”

Yasinta tidak menolak sewaktu Hakim memberi tawaran yang terakhir. Dia bahkan mengangguk dan langsung melingkarkan lengan di leher suaminya yang teramat terkejut dengan sikap Yasinta.

“Jadi gendong, nggak? Kok, malah bengong?” 

“Ja … jadi.” Hakim berdeham dan sesaat kemudian dia meraih tubuh Yasinta yang tanpa perlawanan sama sekali bergantungan di tubuhnya, seolah merasa dia seperti seorang pengantin baru di dalam cerita drama.

“Kalau sudah di atas, jangan dilempar, yak?” pinta Yasinta kepada Hakim yang mulai menaiki tangga. Dia juga sempat meneliti perubahan di wajah Hakim yang mungkin ingin buang air besar saking beratnya tubuh Yasinta. Namun, tampaknya Hakim baik-baik saja. Dia hanya bertanya posisi kamar Yasinta ketika keduanya telah berada di lantai 2 dan Yasinta sendiri menunjuk ke arah pukul 12 supaya Hakim tahu posisi mana yang hendak mereka datangi.

“Mau ditemani masuk?” Hakim menawari dan lagi-lagi hal tersebut tidak ditolak oleh Yasinta. Dia tetap berada di sisi istrinya hingga Yasinta membuka kunci pintu kamar.

“Kamar gue debuan.” Yasinta membuka daun pintu. Dia sempat mengucap salam yang berhasil membuat Hakim melirik ke arahnya. Yasinta sendiri berjalan sedikit tertatih ke arah sebuah lemari besar yang tingginya mencapai langit-langit. Lemari tersebut amat besar dan terdapat rak berisi kumpulan tas dan koleksi sepatu. Jumlahnya lumayan banyak, namun, Yasinta tidak memusatkan perhatian ke tempat tersebut. 

“Hair dryer ada di sini.” Yasinta menggumam sewaktu dia membuka sebuah pintu lemari dekat gorden. Ada beberapa rak berisi kotak-kotak yang tersusun rapi. Yasinta mengambil salah satunya dan Hakim sempat heran melihat ukuran kotak yang menurut pendengarannya berisi pengering rambut. 

“Itu beneran isi hair dryer, bukannya rice cooker?”

“Sembarangan!” Yasinta melemparkan tatapan sebal. Hair dryer tersebut adalah hadiah dari Ruhi Karmila di ulang tahunnya yang ke 25, tepat tahun lalu. Ukuran kotaknya memang luar biasa dan tidak aneh ketika Hakim menebak isinya adalah alat penanak nasi. Yasinta pun sebelumnya menduga hal yang sama. Ketika akhirnya dia tahu kalau sang tante tidak pernah main-main dalam membelikan hadiah, Yasinta tidak bisa lebih bahagia lagi. 

“Yasinta tidak membuka kotak pengering rambut tersebut dan memutuskan mengambil sebuah alat catokan sebagai tambahan. Hakim sendiri dengan hati mulia membantu membawakan alat-alat itu untuk turun dan ketika dia meminta Yasinta menunggu, istrinya menunjuk ke arah lemari berisi koleksi tas dan mengatakan kalau dia akan membawa satu atau dua buah.

 “Iya, aku bawa ini ke bawah dulu.”

Yasinta mengangguk dan tidak banyak bicara, sedangkan Hakim dengan cepat menghilang ke balik pintu. Hanya ada mereka berdua di rumah itu dan langit sepertinya sedang tidak bersahabat. Yasinta juga menyadari kalau pakaiannya basah. Namun, dia berpikir akan sekalian mandi dan berganti pakaian di rumah suaminya nanti.

Tangannya kemudian menyusuri gagang lemari dan Yasinta mengambil salah satu tas yang dulu sering dia gunakan untuk kuliah. Sebuah tas motif monogram, pemberian sang mama ketika berwisata ke negeri Eiffel.

“Masih hujan di luar, aku takut kotak-kotaknya basah. Apa kita mesti menunggu sampai reda? Memang kita naik mobil, tapi … “ Hakim yang tiba-tiba masuk ke kamar Yasinta berhenti bicara karena menyadari istrinya duduk bersimpuh sambil memeluk sebuah tas. Wajahnya tertunduk hingga helai-helai rambut pendek Yasinta menutupi hampir separuh pipinya.

"Hana?"

Tidak ada suara. Yasinta masih menunduk dan memeluk erat tas yang dia ambil dari dalam lemari. Gara-gara itu juga, Hakim memutuskan untuk ikut duduk di sebelahnya dan memastikan kalau Yasinta baik-baik saja.

"Kakimu sakit lagi? Apa perlu kita periksa ke dokter?" 

Hakim sempat menyentuh bagian kaki Yasinta yang dipasangi pelindung tumit. Air hujan telah membuatnya jadi sedikit basah.

"Nanti, sampai di rumah kita ganti. Nggak enak lembab, bisa bikin kulit … " 

Hakim berhenti bicara karena di saat yang sama dia menyadari kalau telinga Yasinta telah berubah merah dan bahunya mulai naik turun. Jelas sesuatu sedang terjadi tetapi dia tahu, bicara hanya akan memperburuk suasana.

Dia bahkan tidak mengerti mengapa kemudian dirinya memilih untuk menggunakan tangan kanannya dan mengusap punggung Yasinta yang saat itu sepertinya tidak sanggup mengangkat kepala. 

"Kita bisa pulang setelah hujan reda." Hakim bicara lagi dan dia kemudian mendapati kalau di kamar istrinya juga terdapat foto mereka berlima. Namun, berbeda dari foto di luar, foto yang satu itu berlatar belakang menara petronas dan gambar dibidik dari bawah sedangkan lima anggota keluarga Taufik Diponegoro tampak tersenyum amat semringah. 

"Tapi, kita belum salat Magrib. Kalau kamu mau, kita bisa salat bersama dan mendoakan … " 

Hakim berpikir kalau dia semestinya harus belajar menutup mulut di dalam suasana seperti ini. Dia merasa kadar kepekaannya amat minimalis dan begitu mendengar Yasinta terisak dan bahunya makin naik turun, dia tahu, mulutnya telah salah bicara.

Satu-satunya hal paling bijak yang bisa dia lakukan adalah menarik tubuh Yasinta yang kini tersedu-sedu lalu membawanya ke pelukan dan Hakim tidak bisa berbuat banyak kecuali memberikan usapan di punggung sang istri dan berkata kalau mereka berdua akan melewati hari ini bersama-sama.

***



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro