❝A Kiss to Remember❞
Don't forget to play multimedia
Warning: 6k Word
(Aku saranin, bacanya pas luang ya. Jadi dari awal sampe akhir, gk ke skip bacanya, biar feelnya makin terasa :")
Siapin tisu kalo perlu hehe
HAPPY READING
.
.
.
.
.
Hari Minggu tanggal 31 Desember, tengah malam dipuncak musim dingin. Aku mati.
Aku—Min Dahyun—bisa mengetahui kapan seseorang akan mati dan dalam kondisi apa dia mati hanya dengan menatap mata mereka selama 3 detik.
Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk mengumpulkan kemampuan ini supaya bisa mengetahui nasib kematian diriku sendiri yang tidak bisa aku ketahui dengan mudah seperti saat melihat nasib orang lain.
Ironis memang, di umurku yang baru menginjak 26 tahun, aku akan berakhir mati mengenaskan diatas salju yang dingin dengan bersimbah darah.
Masih teringat jelas ketika aku mendapatkan gambaran itu lewat mimpi. Keringatku bercucuran sementara napasku tersenggal. Menyaksikan tubuhku terkapar mengenaskan seorang diri ditengah badai salju. Seperti mimpi buruk namun di sisi lain, aku juga ingin waktu cepat berlalu supaya penderitaan ini segera berakhir.
Suara ketukan pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras dan brutal. Disusul teriakan sang bibi yang membuat seisi rumah terasa bergetar.
“YA MIN DAHYUN! KAU TIDAK AKAN KELUAR?! MEREKA SUDAH MENUNGGUMU DARI TADI!”
Yang disebut ‘mereka’ itu adalah seorang lelaki tampan pemilik tempat prostitusi yang datang bersama bawahannya. Iya, bibiku—yang sialan—itu telah menjualku dengan harga yang sangat mahal pada mereka. Aku tidak mengira, kisah memuakan yang biasa aku temui dinovel atau aplikasi oren itu benar-benar terjadi dalam hidupku.
Seharusnya aku menurut pada mendiang ibuku yang menyuruhku untuk pergi dan tidak tinggal dengan saudaranya—yakni bibiku ini.
Bergegas mengemas semua barang dan bajuku ke dalam koper dan tas besar. Membuka jendela yang mengarah ke pintu belakang lalu mengecek situasi; memastikan tidak ada yang melihat. Mengikat koper dan tasku pada tali tambang kemudian menurunkan dua benda itu perlahan hingga sampai didasar halaman belakang rumah. Rencana kabur ini memang sudah aku siapkan sejak mereka sampai di sini.
Bukan lagi suara ketukan, kali ini seseorang tengah mencoba untuk mendobrak pintunya berkali-kali membuatku bergegas untuk berpegangan pada tali dan turun ke bawah. Tanganku terasa seperti terbakar karena bergesekan dengan tali tambang yang kasar, pun aku bergegas membawa koper dan tasku untuk kabur dari sana.
Suara bibi kembali terdengar, menyuruh mereka untuk mengejarku yang ketahuan kabur dari rumah. Tungkaiku berlari semakin cepat, mengabaikan kakiku yang telah lecet.
Jalanan sepi sekali seolah sengaja membuat suasana malam ini semakin menegangkan. Didetik ketika aku telah putus asa karena roda koperku sudah lepas dan mereka yang mengejarku bak hewan buruan sama sekali tak memberiku waktu untuk beristirahat, seseorang menarik tanganku. Membawaku ke sebuah gang sempit lalu menjadikan tubuh bidangnya sebagai tameng untuk melindungi tubuhku.
Begitu mereka yang mengejarku terdengar semakin mendekati tempat ini, sebuah benda kenyal menyentuh bibirku. Mataku membola. Lelaki sialan ini menciumku!
Aku berusaha berontak, lelaki itu menyudahi ciumannya sesaat, berbisik lirih dengan bibirnya yang sesekali menyentuh bibirku saat berbicara, “Cukup ikuti permainanku dan kalungkan tanganmu ke leherku, jika kau ingin selamat.”
Lelaki itu kembali menyerang bibirku tanpa menunggu jawaban dariku. Kali ini dia menggerakan bibirnya, melumat permukaan bibirku hingga basah. Pun ketika aku sekuat mungkin menahan bibirku supaya tidak terbuka, giginya malah menggigit bibir bawahku, membuat pertahananku lolos dan lidahnya melesak memenuhi mulutku.
Pening sekali. Bibirku terasa kebas, napasku terengah. Mataku terpejam, mencoba menikmatinya walaupun sulit karena sesuatu seolah terbesit dalam benak. Seperti rangkaian kejadian yang akan terjadi, namun sangat berbeda dengan yang aku lihat pada orang-orang biasanya.
Samar, aku dapat melihat salju dengan darah dibeberapa tempat. Saat bayangan itu hendak hilang, aku balas memangut bibirnya dan bayangan itu kembali tergambar jelas. Dia sedang menangisi seseorang, tapi aku tidak dapat melihat wajahnya.
Saat aku ingin menggali lebih dalam soal kejadian itu, lelaki itu menyudahi ciumannya. Bibirku benar-benar basah, salivanya bahkan sampai menyebar di pipiku membuatku segera membersihkannya dengan punggung tangan.
Mereka yang mengejarku telah pergi dari tempat ini. Hening menyelimuti kami berdua. Saling meraup oksigen sebanyak-banyaknya namun lengan kokoh lelaki itu tak kunjung memberiku celah untuk pergi. Masih mengungkung tubuhku diantara dua dinding yang bersinggungan dengan aku ditengahnya.
Mengamati wajahku yang menunduk, aku dapat merasakan tatapannya yang begitu lamat memperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah. Alih-alih meminta maaf, dia malah berkata, “Butuh tumpangan untuk menginap semalam?”
Aku mendongak, menatap matanya. Mencoba menggali sesuatu namun tidak ada apapun yang kulihat. Dia tidak terbaca, entah karena tempat ini memiliki cahaya remang atau memang kemampuanku tidak mempan padanya.
Dia mengernyit, “Kenapa menatapku begitu?”
Aku menggeleng cepat, “Tidak! U-um … terimakasih atas bantuannya, aku harus segera pergi.”
Bergegas mengambil tas dan koperku, tanganku kembali ditahan saat aku hendak pergi. Dengan mudahnya dia menarikku, membuat punggungku membentur tubuh bagian depannya.
“Kau pikir bisa pergi begitu saja dariku?” bisiknya tajam penuh penekanan. Napas hangatnya menyapa telinga dan bagian belakang leherku. Dia menarik senyum asimetris—smirk. “Bukankah seharusnya kau memberiku imbalan karena telah menyelamatkan hidupmu?”
Aku memejamkan mata, menahan kekesalan. Lelaki ini benar-benar membuatku muak, padahal aku sudah membiarkannya mencicipi bibirku tadi.
“Baiklah, tadinya aku ingin merahasiakan ini, tapi karena kau meminta imbalan dariku, maka aku akan mengatakannya,” tukasku pada akhirnya.
Aku melepaskan genggamannya dilenganku, lantas kembali berhadapan dengan lelaki yang jauh lebih tinggi dariku.
Tinggiku hanya sebahunya, dan aku baru sadar kalau ternyata wajahnya lumayan tampan. Matanya bulat besar, hidungnya mancung dengan bibir tipis yang manis—baru saja kurasakan.
“Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tapi … kau akan berumur panjang.” Aku jelas mengarang karena sungguh, lelaki ini tak terbaca.
Sesuai dugaan, lelaki itu malah melongo, menganggap ucapanku barusan sebagai lelucon belaka. “Ck, aneh sekali. Kenapa tiba-tiba membahas umur?”
“Bukankah semua orang ingin memiliki umur yang panjang?” tanyaku heran.
“Iya, tapi aku tidak termasuk mereka. Justru aku ingin mengakhiri hidupku.”
Sekarang malah aku yang terkejut sementara lelaki itu malah mengulas senyum tipis seraya menatapku nakal. “Mau bunuh diri bersama sembari berpelukan?” tawarnya santai seolah mengajak pergi ke taman bermain.
Oke, sepertinya lelaki ini cukup gila.
Terbangun di tempat asing yang didominasi warna hitam. Dahyun segera mengubah posisinya menjadi duduk ketika merasakan pening yang menghantam kepalanya dengan hebat. Aku ada dimana? apa aku akhirnya tertangkap juga oleh mereka?
Dahyun tidak mengingat jelas kejadian kemarin malam. Ia hanya mengingat saat lelaki asing itu mengajaknya bunuh diri bersama. Sinting memang, tapi itu lebih baik daripada menjadi jalang seumur hidup.
“Sudah bangun?”
Seorang lelaki masuk ke kamar ini. Dahyun menyipitkan matanya, dia adalah lelaki yang kemarin.
Dia mendudukan dirinya ditepi ranjang, lantas menyentuh kening Dahyun membuat gadis itu segera menjauhkan drinya sebelum tersentuh olehnya.
“Ck, aku hanya ingin mengecek suhu tubuhmu. Sudah baikan? Semalam mereka membiusmu hingga pingsan tapi tenang saja, mereka sudah tidak akan mengejarmu lagi karena aku sudah menghajar mereka sampai mampus dan membawamu ke sini. Kau sudah aman.” Dia terlihat bangga sekali saat menceritakannya, padahal bisa saja, nyawa dirinya juga menjadi taruhannya.
“Wae? Kenapa kau menolongku?” tanya Dahyun. Padahal mereka orang asing, bahkan Dahyun juga belum tahu namanya, tapi kenapa lelaki ini menolongnya padahal Dahyun sendiri tidak meminta untuk ditolong?
Lelaki itu terdiam. Agaknya, dia juga baru menyadari bahwa tidak ada alasan khusus untuk menolongnya. Dia mengangkat kedua bahunya, “Entahlah. Hanya … firasat? Aku hanya berpikir kalau aku harus menolongmu dan aku melakukannya.”
“Gumawo,” ujar Dahyun lirih.
Lelaki itu menatap ke arahnya lalu melempar senyum asimetris—persis seperti yang ia lakukan semalam. “Kalau kau sungguh berterimakasih, maka kau harus mengabulkan keinginanku yang semalam.”
Lelaki itu bangkit dan berjalan ke sisi kanan untuk menyingkap gorden dan membiarkan sinar mentari memasuki kamar ini. Dahyun mengikuti pergerakan lelaki itu lewat matanya dan kembali bertanya sebelum dia meninggalkan kamar ini.
“Kau siapa?”
Lelaki itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Dahyun. “Kita belum berkenalan, kan? Namamu siapa?” tanya gadis itu lagi.
“Bae Jungkook. Kau?”
“Min Dahyun.”
“Dahyun? nama yang tidak asing, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Dahyun mengernyit lalu menggeleng. “Sepertinya tidak.”
“Aneh, rasanya familiar sekali. Tapi tentu saja, bukan hanya kau yang memiliki nama itu, bisa jadi memang orang lain.” Jungkook menggaruk tengkuknya yang gatal. “Ah pokoknya, kalau kau sudah mendingan, segera turun ke bawah ya, kita sarapan bersama.”
Dahyun tidak menjawab dan lelaki itu segera meninggalkan kamar ini. Ini aneh, biar bagaimanapun, Jungkook adalah orang asing. Tapi kenapa Dahyun merasa aman jika bersamanya?
Ketika orang asing terasa seperti keluarga, lantas kenapa keluarganya sendiri justru mencoba untuk membuangnya? Dahyun menghela napas seraya memegangi kepalanya yang kembali terasa pening.
Sebenarnya, siapa Jungkook? kenapa dia tidak bisa dibaca?
Ada dua alasan, kenapa seseorang mau menetap di tempat yang baru. Pertama karena nyaman dan yang kedua karena tidak memiliki tempat lain untuk tinggal. Dan Dahyun merasakan keduanya saat tinggal bersama Jungkook—di rumah lelaki itu, berdua.
Kenyataan bahwa mereka masih mencari keberadaannya membuat Dahyun ragu untuk pulang ke kampung halamannya karena bibinya pasti sudah memberitahu mereka soal tempat tinggal Dahyun di sana. Gadis itu sudah tidak memiliki tempat untuk berlindung dan keberadaan Jungkook seolah menjadi penyelamatnya disaat yang paling genting.
“Aku masih penasaran, sebenarnya kau itu siapa? Kenapa mereka mengejarmu?”
Saat ini mereka sedang berada di sungai Han. Menggelar karpet dan duduk di atasnya layaknya beberapa pasangan lain yang ada di sini. Bedanya, mereka tidak memiliki status hubungan apapun. Hanya orang asing yang tiba-tiba saja menjadi dekat, semacam itulah.
“Bukan siapa-siapa. Orang yang mengejarku itu adalah pemilik prostitusi, bibiku sudah menjualku,” ujar Dahyun tanpa berpikir.
Terkadang, bercerita pada orang asing justru lebih mudah dilakukan daripada menceritakannya pada orang terdekat. Mereka—orang asing—hanya akan mendengarkan dan mencoba memahami sedangkan orang dekat hanya akan berkomentar; sabar, seharusnya kamu begini, begitu. Memuakkan.
“Oh, jadi aku benar-benar telah menyelamatkan hidupmu ya.” Alih-alih merasa prihatin, Jungkook malah merasa bangga. Entah Dahyun harus mensyukurinya karena lelaki itu tidak mengasihaninya atau justru merasa kecewa karena lelaki itu sepertinya tidak begitu peduli terhadapnya.
“Iya Tuan Bae. Berkatmu pula, bibirku sampai kebas!” Tentu—pasal ciuman itu—bukanlah kali pertama Dahyun merasakannya. Ia sudah pernah berciuman, sering malah. Dulu bersama mantannya yang sekarang sudah punya anak dengan wanita lain. Tapi ini kali pertama, dia bisa melihat sesuatu saat seseorang menciumnya.
“Tapi kau menikmatinya, kan? Kau juga membalasnya, sampai membuatku kaget dan merasa semakin bergairah. Benar-benar awal pertemuan yang berkesan.”
Dahyun berdecih. Beberapa hari tinggal bersama Jungkook membuatnya hapal dengan sifat Jungkook yang ketika berbicara selalu frontal dan terus terang. Awalnya kaget, tapi sekarang sudah terbiasa. Lebih baik seperti itu daripada berkata lemah lembut tapi berdusta.
“Ah iya, sebenarnya aku punya rahasia lain. Mau tahu tidak?” pancing Dahyun. Sesuai dugaan, Jungkook langsung menoleh, menatapnya dengan manik berbinar—excited.
“Apa? Kau harus memberitahuku!”
Dahyun tersenyum tapi dia menggeleng. “Aku hanya akan memberitahumu setelah kau melakukan apa yang aku minta.”
“Ck, iya deh, memangnya serahasia apa si. Cepat katakan, apa yang kau minta?”
“Kisseu.” Pupil Jungkook melebar sementara Dahyun mengatakannya lagi dengan santai. Menatap lelaki itu dengan lamat. “Cium … aku. Aku perlu memastikannya dulu, supaya aku menjadi yakin untuk mengatakannya padamu.”
Jungkook mengernyit. Walaupun dia menyukai segala skinsip—termasuk ciuman, tapi ini terlalu mendadak. Ia butuh waktu yang tepat sebelum—terlambat, Dahyun sudah menciumnya lebih dulu.
Gadis itu menarik tangannya, membuat kedua belah bibir mereka kembali bertemu. Jungkook kaget, jantungnya berdetak tidak normal. Dia melihat, Dahyun telah memejamkan matanya, berusaha untuk meruntuhkan pertahanannya dengan melumat permukaan bibirnya. Tanpa menunggu waktu lama lagi, Jungkook memejamkan matanya dan mulai membalas ciuman Dahyun.
Tangan kanannya memegang tengkuk Dahyun untuk memperdalam ciuman sementara tangan kirinya berlabuh dipinggang mungil sang gadis. Dahyun menggeram, Jungkook liar sekali tapi bayangan itu semakin jelas. Seolah resulasi bayangan masa depan yang dilihatnya semakin tergambar jelas saat ciuman mereka semakin dalam, menuntut dan menggairahkan.
Dahyun dapat melihat hamparan salju yang putih. Jungkook terlihat seperti sudah tak tahu arah. Dia mabuk namun tak lama, suara tembakan terdengar. Nyaring sekali hingga membuat Jungkook menjatuhkan botol soju ditangannya dan—lelaki itu menyudahi ciuman mereka membuat bayangan itu langsung lenyap.
“Ya! Kau bisa membuatku mati kalau menciumku sekasar dan selama itu! bibirku bisa robek karena kau terus menggigitnya!” Jungkook langsung meringis, bibirnya berdarah.
“Ah, mian. Apa aku perlu mengobatinya?”
Perkataan Dahyun malah terdengar seperti, “Bolehkah aku mengobati luka itu dengan bibirku? Aku akan menghisap darahmu sampai habis.” Jungkook menggeleng, pikirannya mulai liar.
“Tidak, mungkin kau bisa memberiku salep supaya tidak berbekas lalu obati lukaku ini dengan bi—ani, maksudku pakai cutton bud.”
“Ok, tunggu di sini sebentar ya. Aku akan segera kembali.” Dahyun langsung berlari menuju apotek terdekat yang ada di pinggir jalan. Jungkook terus melihatnya sampai Dahyun menghilang dari pandangannya.
“Gadis yang manis, sayang sekali nasibnya sangat buruk.” Jungkook membuang napas kasar. “Seharusnya dia tidak mendatangi orang sepertiku. Dia pantas bertemu dengan orang yang lebih baik, bukan seseorang yang tak memiliki masa depan sepertiku.”
Ya, nasib buruknya bukan karena menjadi incaran orang prostitusi itu, melainkan karena Dahyun bersamanya. Jungkook tahu betul, kalau orang yang ada disekitarnya pasti akan mendapatkan kesialan—sama seperti orangtuanya yang meregang nyawa saat mencoba menyelamatkannya. Pun kekayaan yang dihasilkan ayahnya hanya ia hamburkan saja karena ia berpikir kalau dirinya tidak berguna, pembawa sial—persis seperti yang dikatakan sang paman padanya saat kedua orangtuanya dikremasi.
Tanpa sadar ucapannya itu tertanam cukup dalam, membuat Jungkook hidup tanpa arah dan berpikir kalau semua itu memang terjadi karena kesialannya. Jungkook merasa harus segera mengakhiri semua penderitaan ini. Termasuk hidupnya.
Salju pertama turun. Dahyun merentangkan sebelah tangannya, menengadahkannya ke langit, menampung butiran salju yang turun ke arahnya. Maniknya menatap butir demi butir salju di tangannya itu dengan tatapan kosong. Sekarang sudah masuk pertengahan bulan Desember, kurang lebih waktunya di dunia hanya tersisa dua minggu lagi.
Seharusnya dia senang, kan? Karena penderitaannya sebentar lagi akan berakhir namun entah kenapa, sekarang rasanya berbeda.
Ia ingin hidup lebih lama, setidaknya untuk satu orang. Ia ingin merasakan hidup normal seperti orang lain. Berpacaran, menikah dan memiliki anak. 3 hal itu sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh Dahyun tapi begitu ia melihat Jungkook yang tengah tersenyum menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis karena terpisah dengan ibunya, tiba-tiba saja ia terpikirkan hal itu.
Pun ketika akhirnya Jungkook kembali, berjalan ke arahnya dengan senyum lebar dan bercerita soal anak tadi yang sudah bertemu dengan ibunya yang mencarinya, Dahyun hanya terdiam. Menatap Jungkook dengan pandangan yang sulit diartikan hingga membuat lelaki itu mengernyit bingung.
“Kenapa menatapku seperti itu? ada yang salah dengan wajahku?”
Dahyun menggeleng, tatapannya masih belum beralih dari wajah Jungkook. “Sejak kapan kau setampan ini? kenapa aku baru menyadarinya?”
Jungkook kaget. Lelaki itu terkekeh kemudian mengulum senyum malu-malu—salah tingkah hingga kedua telinganya memerah. “Kau sih, terlalu terobsesi dengan bibirku sampai tidak sadar kalau wajahku sangat tampan.”
Terlalu percaya diri, tapi sialnya memang itu kenyataannya. Dahyun pun tidak ada niatan untuk mengelak.
“Kau benar. Habis, aku masih penasaran dengan kelanjutan bayangan yang aku lihat setiap kita berciuman.”
“Bayangan? Bayangan apa?” Jungkook menyingkirkan salju ditangan Dahyun, lantas memakaikan sarung tangan hangat berbulu untuk menghangatkan tangan Dahyun yang sedingin es. Kemudian menarik tangan gadis itu, membawanya untuk duduk di salah satu bangku dekat pepohonan.
“Umm … ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi aku … bisa melihat kapan dan bagaimana seseorang itu mati hanya dengan menatap mata mereka selama tiga detik.”
Jungkook melongo. “Wah … “ Terdiam sesaat, sepertinya dia masih tercengang. “Film apa yang semalam kau tonton? Pemeran utamanya bisa mengetahui soal kematian? Wah, keren sekali. Siapa penulisnya?”
Dahyun berdecak. “Aku serius Bae Jungkook! aku … entah bagaimana bisa seperti ini. Semenjak menyaksikan kedua orangtuaku meninggal di depan mataku sendiri, aku bisa melihat semua itu.” Dahyun mencoba menjelaskannya setenang mungkin supaya Jungkook percaya—walaupun kenyataannya memang sangat sulit untuk diterima, tapi dia ingin Jungkook percaya padanya.
“Perlu kubuktikan?” Jungkook tidak menjawab tapi Dahyun langsung mengedarkan pandangannya. Mencoba melakukan kontak mata dengan orang-orang sekitar sealami mungkin.
“Kau lihat? Seorang kakek yang sedang makan bersama cucunya direstoran itu? Tak lama lagi, cucunya akan meninggal karena ditabrak mobil sedangkan si kakek masih hidup sampai dua bulan kedepan dan akan meninggal di rumah sakit karena penyakitnya. Dia menderita kanker, keluarganya sepertinya belum diberi tahu karena jika sudah tahu, sekarang pasti dia sudah dirawat di rumah sakit,” jelas Dahyun panjang lebar.
“Wah, keren. Berbakat sekali jadi aktris, pasti kau akan terkenal.” Lagi-lagi Jungkook hanya menganggapnya sebagai candaan membuat Dayuni menghela napas sebal.
“Ish! Aku harus bagaimana lagi supaya kau percaya?!” pekiknya, mengalihkan pandangannya dengan pipi menggembung, sebal. Jungkook yang melihatnya jadi tidak tega dan gemas sendiri.
“Baiklah, coba sini.” Jungkook meraih kedua bahu Dahyun. Membuat posisi mereka jadi saling berhadapan. Jungkook menatap Dahyun tepat ke matanya. “Lihat aku, coba baca aku. Apa aku benar-benar akan mati karena bunuh diri?”
Dahyun memfokuskan pandangannya tapi sekeras apapun dia mencoba, dia tetap tidak melihat apapun kecuali bayangannya sendiri ada didalam mata bulat Jungkook.
“Aku tidak bisa membacamu. Aku hanya bisa melihatnya saat kita …” Dahyun tak melanjutkan perkataannya, Jungkook penasaran.
“Saat kita?” tanyanya, meminta Dahyun untuk melanjutkan perkataannya.
“Saat kita berciuman. Itu sebabnya aku selalu kehilangan kontrol diri saat menciummu. Maaf.” Dahyun menunduk, malu sekali.
Jungkook membeku, apa yang barusaja dia dengar? Dia bukannya mengakui kalau Dahyun memang memiliki kelebihan khusus. Lelaki itu justru tak percaya kalau selama ini dia dipermainkan oleh Dahyun. Kesal karena sempat berpikir kalau Dahyun mungkin menyukainya karena selalu bersemangat saat berciuman dengannya tapi nyatanya, Dahyun hanya melakukan itu supaya dia bisa membacanya? Wah … Jungkook jadi merasa dikhianati.
“Kaget, ya? Aku juga. Tapi anehnya, aku malah merasa kalau yang aku lihat bukanlah masa depanmu karena kau jelas-jelas menangis di sana. Terdengar pilu sekali begitu tembakan telah diluncurkan. Bukan kau yang mati jadi aku masih penasaran, masa depan siapa itu sebenarnya. Apa mungkin, kau memiliki seseorang yang kau cintai saat ini?”
Jungkook kembali melirik ke arahnya sekilas lalu mengalihkan pandangannya kembali. Sepertinya dia merajuk. Dahyun menghela napas lalu melihat ke arah langit yang penuh dengan kembang api begitu salju sudah tidak turun lagi. Cantik sekali pemandangannya.
“Kau benar, aku memiliki seseorang yang kucintai saat ini.” ujar Jungkook tiba-tiba.
Dahyun menoleh, sangat bersemangat hingga matanya berbinar. “Sungguh?! Siapa?”
Jungkook menatap Dahyun lamat. Mereka saling berpadangan. “Gadis unik yang baru saja mengaku bisa melihat kematian seseorang. Gadis keras kepala yang sangat sulit untuk dibantah ucapannya dan sekarang, gadis itu tengah berada dihadapanku sembari bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa? kenapa dia mencintaiku?”
Dahyun terbatuk. Mengalihkan pandangannya dan mengambil sebotol air mineral di dalam tasnya. Langsung meminum sisanya sampai habis. Pipinya jelas sudah memerah tapi dia memilih untuk tidak percaya semudah itu. Jungkook kan suka bercanda. “Karena aku sedang berbaik hati. Cepat kau tertawa dan katakan padaku kalau perkataanmu barusan hanyalah candaan?!”
“Siapa yang bercanda? Aku serius kok. Tidak pernah seserius ini malahan.” Jungkook menundukan kepalanya lalu mencuri sebuah kecupan di pipi Dahyun, membuat jantungnya berdebar tak karuan saat lelaki itu berbisik, “I Love You, Min Dahyun.”
“Waktumu hanya tersisa sepuluh hari lagi. Datanglah kemari atau kau akan berakhir mati di tanganku. Ingat, nyawamu sekarang adalah miliku, kau tidak bisa terus bersembunyi, gadis manis.”
Teror demi teror terus dia dapatkan. Kepala Dahyun rasanya akan pecah. Frustasi sekali. Ingin membanting ponselnya tapi ia masih membutuhkan benda pipih itu. Tidak punya uang untuk membeli yang baru dan malu sekali kalau harus meminta pada Jungkook. Hidupnya sudah cukup menyedihkan dengan menumpang makan dan tinggal di rumahnya. Seperti parasit, tapi Jungkook sama sekali tidak keberatan. Malah senang karena memiliki teman tinggal, dia jadi tidak kesepian.
“Jungkook-ah, sebenarnya apa pekerjaanmu? Seorang pelukis? Fotografer? Atau ahli bela diri?” Dahyun bertanya-tanya karena lelaki itu hanya diam di rumah dan melakukan ketiga hal itu diwaktu-waktu tertentu, seperti sedang melakukan hobi, bukannya pekerjaan yang biasanya sudah terjadwal rutin.
Jungkook menggeleng. “Tidak semuanya.” Lelaki itu mengarahkan kamera ke arah Dahyun lalu memotretnya, kemudian duduk di samping gadis itu. “Aku hanya seorang pengangguran yang sedang menghabiskan sisa kekayaan orangtuaku.”
Jungkook menunduk, tersenyum tipis yang lebih terlihat seperti tengah menertawakan dirinya sendiri. “Sudah kubilangkan, kalau aku ini hanya orang yang tidak berguna. Aku melakukan semua itu hanya supaya aku tidak bosan dan gila.”
Dahyun terdiam. Tanpa berbicara, tangannya spontan menyentuh bahu Jungkook, membuat lelaki itu bersandar dibahunya. Tangannya menepuk-nepuk punggung lelaki itu dengan lembut, memberinya kekuatan. “Tidak ada yang tidak berguna di dunia ini. Semua makhluk hidup pasti memiliki jalannya masing-masing. Kau hanya terjebak di lingkungan yang salah saja. Sudah waktunya bagimu untuk keluar dari kurungan ini dan menghadapi dunia dengan segala kemampuanmu.”
Jungkook mendengarkan, tangannya menyentuh tangan Dahyun dibahunya lantas meletakan tangan mungil itu di kepalanya. Menyuruh Dahyun untuk mengelus kepalanya lembut. Dahyun tersenyum, menuruti saja kemauannya dan mulai mengelus surai yang sudah memanjang itu.
“Kau tahu, saat melihatmu, aku merasa seperti melihat sebuah burung cantik yang terkurung dalam sangkar dengan pintu terbuka. Padahal kau sadar, bisa keluar dari sangkar itu kapanpun kau mau. Kau hanya takut untuk melangkah keluar. Berpikir apakah sayapmu berfungsi atau tidak, orang-orang akan menyukaimu atau justru memburumu. Kau memiliki banyak bakat, Jungkook. Kau sangat berharga.”
Jungkook tersenyum. Rasanya damai sekali jika mendengar Dahyun sudah berbicara panjang lebar seperti ini, dengan posisi sedekat ini. Hangat sekali, ingin peluk tapi ragu. Mau minta gengsi, sudah syukur Dahyun mau mengelus rambutnya seperti ini.
“Dahyun-ah, apa kau mau terus bersamaku selama sisa hidupmu?”
Perkataan itu lolos begitu saja dari bibirnya. Dahyun terdiam, elusan di rambutnya berhenti membuat Jungkook menegakkan tubuhnya, menatap gadis itu dengan lembut.
“Ayo hidup bersama. Mungkin ini terdengar seperti sebuah lamaran tapi aku sungguh-sungguh. Tidak tahu lagi, bagaimana nasibku jika kau memilih untuk pergi.”
Dahyun balas menatap Jungkook. Tatapannya berbeda, ada sedikit keraguan dan kepedihan di sana. “Bukankah sebelumnya kau mengajakku untuk bunuh diri bersama? Keinginanmu sekarang sudah berubah?” tanyanya.
Jungkook kaget, Dahyun masih mengingatnya rupanya. “Ya, itu dulu. Sekarang aku berubah pikiran. Kau menyuruhku untuk keluar dari sangkar, kan? Jadi ayo, kita melarikan diri bersama-sama.”
Dahyun tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. Helaan napas kembali keluar dari bibirnya. “Baiklah, aku akan terus bersamamu tapi aku tidak bisa berjanji bisa menemanimu lebih lama.”
“Wae? Kau tidak menyukaiku?”
Dahyun menggeleng. “Bukan itu, aku hanya … tidak bisa menjajikan hal yang belum pasti.”
“Kau … akan pergi?”
“Mungkin? Tapi aku masih belum tahu, masih belum mengerti juga dengan bayangan yang ada pada dirimu. Ck, sudahlah, kita juga tidak mungkin berciuman setiap hari.”
Sebenarnya, Dahyun diam-diam suka mencium bibir Jungkook saat lelaki itu masih tertidur, tapi percuma saja, bayangan itu tidak muncul. Bayangan atau gambaran itu hanya muncul ketika mereka melakukannya bersama-sama, karena ada timbal balik yang membuat gairah dan keinginan untuk memiliki itu semakin kuat.
“Memangnya, apa yang kau lihat dariku?” tanya Jungkook. Lelaki itu kembali memotret pemandangan dihadapan mereka saat ini.
Matahari terbenam berwarna kuning keemasan yang seolah berbaur dengan pepohonan dan permukaan tanah yang telah diselimuti salju. Tangkapan kamera Jungkook tidak pernah jelek. Dia memang berbakat.
“Umm … aku akan memberitahumu jika waktunya sudah tepat. Sudah kubilang kan, kalau aku masih perlu melihat kelanjutannya. Gambaran yang kulihat selama ini masih belum cukup.”
Jungkook kembali berjalan ke arahnya, lalu menangkup kedua pipi Dahyun, membuat gadis itu mendongak ke arahnya. “Lalu? Tunggu apa lagi? Kau boleh menciumku dan mendapatkan apapun yang kau mau,” ujarnya. Penuh godaan dan melihat dari cara Jungkook menatapnya, Dahyun yakin kalau lelaki itu memang menginginkannya juga.
Gadis itu tidak menjawab, ia hanya memejamkan matanya dan membiarkan lelaki itu kembali menikmati bibirnya. Sinar emas matahari terbenam seolah menjadi lampu sorot mereka dan saat itulah, Dahyun dapat melihat kelanjutan gambaran yang selama ini dia lihat.
Benar dugaannya. Gambaran yang dia lihat didiri Jungkook rupanya memang berhubungan dengan masa depannya—masa depan mereka. Saat dirinya mati bersimbah darah di atas salju. Jungkook ternyata ada di sana, memeluk tubuhnya dengan erat dan menangis pilu ditengah badai salju. Lalu tak lama setelah itu, Jungkook menjatuhkan dirinya di jembatan sungai han yang sedingin es. Mereka berdua mati, ketika semua orang berpesta merayakan tahun baru.
Nasib mereka sama. Keduanya sama-sama dibuang oleh keluarga sendiri. Kekurangan kasih sayang dan yang paling penting, tidak memiliki seseorang untuk bersandar. Itu saja sudah menyakitkan. Lalu, kenapa takdir juga seolah belum puas untuk menyengsarakan mereka? Dahyun tidak mengerti. Air matanya tanpa sadar mengalir seiring dengan ciuman mereka yg semakin menuntut.
Jungkook tersenyum begitu maniknya melihat wajah Dahyun yang tertidur dihadapannya. Damai sekali, terlihat sangat cantik walaupun dengan mata memejam. Tangan kekarnya terulur, mendekap tubuh polos Dahyun hingga tubuh mereka saling bersinggungan. Mencium bahu dan tengkuknya berkali-kali, Jungkook sangat mencintai gadisnya ini.
Dahyun menggeliat, agaknya dia terganggu karena lelaki itu terus menciumi tubuhnya. Ketika maniknya terbuka, Jungkook mengulas senyum lebar sembari berkata dengan suara seraknya, “Good morning, darling.”
Alih-alih menjawab, Dahyun malah menenggelamkan wajahnya di dada bidang Jungkook. “Aku masih mengantuk, ingin seperti ini lebih lama lagi.”
Jungkook terkekeh, akhir-akhir ini Dahyun jadi lebih manja padanya. Mereka memang tidak melangsungkan pesta pernikahan tapi keduanya sudah melakukan sumpah pernikahan dihadapan pendeta lima hari yang lalu. Foto prewedding nya saja diambil menggunakan kamera Jungkook, dengan bantuan tripod dan timer.
Bagi Dahyun, itu sudah cukup untuk menunjukan kepastian hubungan mereka walaupun tetap saja, Jungkook ingin pernikahan mereka dirayakan seperti orang lain.
“Tidak lapar? Sekarang sudah siang.”
“Emm … belum. Aku masih sangat lelah, hari ini kau yang memasak ya,” ujar Dahyun masih betah diposisinya. Lelaki itu merasa geli karena gerak bibir Dahyun di dadanya terasa sangat menggelitik.
“Bukankah kemarin juga aku yang memasak? Dua hari yang lalu juga. Jika diingat, kau hanya memasak beberapa kali saja semenjak kita menikah.”
Dahyun menjauhkan wajahnya, menatap kesal Jungkook. “Ck, suamiku ini perhitungan sekali. Padahal ini juga ulah siapa. Tubuhku sampai lemas karena melayanimu, jika kau lupa.” Wanita itu membalikan tubuhnya, memunggungi Jungkook namun lelaki itu segera memeluknya dari belakang.
“Iya iya, aku akan memasak. Ingin sarapan dengan apa, hm?”
“Apa saja, asal enak.”
Jungkook mengecup pipi dan tengkuk Dahyun sebelum bangun dari tempat tidur mereka. “Besok sudah tahun baru, sepertinya kita harus membeli daging.” Lelaki itu sudah beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Seolah tertampar oleh kenyataan, manik Dahyun langsung terbuka begitu mendengar kata tahun baru. Wanita itu agak beringsut dari tidurnya untuk mengecek tanggal. Tangannya bergetar hingga kalender di tangannya jatuh begitu saja.
Dahyun sangat kaget melihat tanggal yang tertera di sana. 31 Desember, itu artinya waktunya hanya tersisa sampai tengah malam. Belum lagi pesan teror yang baru saja masuk ke ponselnya semakin membuat Dahyun takut.
“Sudah cukup kau bersembunyi gadis manis. Aku tahu dimana kau berada. Waktumu hanya sampai tengah malam. Jika kau belum menyerahkan diri juga, maka aku akan langsung menembakmu dimana pun kau berada atau … aku perlu membunuh suamimu dulu? Pikirkan itu baik-baik.”
Memang, sejak awal seharusnya Dahyun tidak meremehkan mereka. Selain memiliki usaha prostitusi, mereka juga rupanya tergabung dengan komplotan mafia yang paling ditakuti di negeri ini. Pemerintah bahkan sudah angkat tangan dan memilih untuk tidak ikut campur, saking berpengaruhnya mereka di sini.
Jungkook sudah memanggilnya untuk turun ke bawah. Dahyun memejamkan matanya sesaat, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia harus tenang dan mulai menyusun rencana dari sekarang.
Satu hal yang pasti, ia tidak ingin Jungkook ikut terseret dalam masalah ini. Tidak boleh, ia tidak akan memaafkan dirinya kalau Jungkook sampai mati ditangan mereka. Dan ketika Dahyun menyadari keberadaan seseorang yang sedang mengintai rumah ini dibalik pepohonan besar itu, gadis itu semakin yakin kalau mereka sedang dalam bahaya. Tempat ini sudah tidak aman lagi.
Dahyun kembali mengambil ponselnya lalu mengetikan sebuah pesan. “Aku akan datang sebelum tengah malam jadi, kuperingatkan kau untuk menepati janjimu, Tuan. Jangan sakiti suamiku, dia tidak tahu apapun.”
Jungkook terbangun. Kepalanya pening sekali karena terlalu banyak minum. Mengedarkan pandangan, keadaan rumahnya berantakan sekali dengan bau daging dan beberapa botol minuman yang telah kosong tergeletak disembarang tempat. Padahal mereka hanya berpesta berdua tapi sudah sekacau ini.
“Dahyun-ah, kau ada dimana?!”
Jungkook menahan kepalanya dengan tangan, menunggu kedatangan Dahyun yang mungkin akan muncul dari kamar mandi atau dari luar namun wanita itu tidak kunjung menghampiri atau sekedar menyahut membalasnya. Rumah ini terlalu hening, seolah hanya ada dirinya saja di sini.
Saat Jungkook bangkit berdiri, selembar kertas jatuh ke bawah. Lelaki itu memungutnya, kesadarannya masih belum terkumpul, efek mabuk dari minuman itu masih sangat terasa.
“Aisshh, sadarlah Bae Jungkook!”
Mencoba untuk fokus, Jungkook mulai membaca kalimat demi kalimat yang Dahyun torehkan dalam kertas itu, dan begitu ia melihat jarumnya yang sudah mengarah ke pukul 23.30 KST, lelaki itu langsung menyambar mantelnya dan berlari menerjang badai salju yang tengah berlangsung dengan mobilnya
Jungkook membanting stirnya kesal. Menjelang tahun baru, jalanan macet total karena badai salju yang sangat ekstrim membuat beberapa jalan tertutupi bongkahan salju. Keluar dari mobilnya, lelaki itu berlari sekuat tenaga menuju tempat itu.
Mengabaikan beberapa mobil yang mengklaksonnya bahkan sempat hampir tertabrak karena Jungkook berlari serampangan. Kacau sekali dengan efek mabuk yang belum sepenuhnya menghilang ditambah pikirannya yang sangat kalut karena takut terjadi sesuatu pada Dahyun.
Dia tidak rela Dahyun meninggalkannya. Tidak mau wanitanya terluka. Dahyun miliknya, biarpun wanita itu sudah dibeli oleh seseorang. Dahyun tetaplah istrinya.
“DAHYUN-AH!”
Jungkook berteriak ketika ia melihat wanita itu sudah ditangkap oleh orang-orang berpakaian hitam. Dahyun menoleh, sangat terkejut melihat kehadiran Jungkook. Tidak mengira kalau lelaki itu akan datang kemari tapi sekarang sudah terlambat. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk melarikan diri karena dia sudah tertangkap.
Lelaki itu berlari ke arahnya, tak mempedulikan orang-orang yang sudah berjaga ditiap sisi daerah itu. Memegang pistol yang kapanpun bisa ditembakkan hingga melumpuhkan kakinya ataupun sekaligus mematikannya. Jungkook tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah Dahyun, hidupnya sudah tidak memiliki arti tanpa kehadirannya.
Tapi Dahyun kembali ditarik dan perintahkan untuk berjalan memasuki mobil yang telah disediakan. Wanita itu berontak, dia kembali menoleh ke belakang di mana Jungkook masih berlari ke arahnya.
Ia menggeleng, meminta Jungkook untuk tidak mendekat namun lelaki itu malah semakin mempercepat larinya.
“BERHENTI JUNGKOOK! JANGAN MENDEKAT! KUMOHON PERGI DARI SINI!” teriaknya sekuat mungkin.
Dan ketika waktu menunjukan angka 00.00 tepat, tembakan diluncurkan bertepatan dengan suara lonceng tahun baru yang menggema.
Waktu seolah terhenti, Jungkook ambruk ketika tembakan itu mendarat di kakinya. Tembakan kedua kembali diluncurkan, kali ini mengenai perutnya yang membuat lelaki itu langsung memuntahkan darah.
Dahyun menjerit, berusaha melepaskan cengkraman ditangannya.
“HENTIKAN! KUMOHON HENTIKAN!” Tangisnya pecah saat melihat Jungkook masih bisa melemparkan senyum padanya dengan keadaan seperti itu.
Cengkraman ditangannya tiba-tiba saja terlepas. Dahyun langsung berlari menghampiri Jungkook yang sekarat. Meraih kepalanya, menjadikan pahanya sebagai bantal untuk lelaki itu. Dahyun sudah tak kuasa menahan tangisnya melihat keadaan Jungkook yang sekacau ini. Darah dimana-mana, tapi lelaki itu masih bisa mengukir senyum dibibirnya.
“Mi-mian … selama ini aku selalu meragukan kemampuanmu.” Jungkook berkata susah payah. Dahyun menggeleng, ia bahkan sudah tak sanggup berbicara lagi.
“Aku … aku juga senang bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu tapi mian … aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Aku—uhuk! Uhuk!” Jungkook terbatuk, darah kembali keluar dari mulutnya. Pandangannya semakin melemah, dengan bergetar, tangan penuh darahnya menyentuh pipi Dahyun.
“Tolong, hiduplah untukku. Saranghae, Min Dahyun.”
DOR!!!
Tembakan ketiga diluncurkan, membuat tubuh itu langsung benar-benar lemas tak sadarkan diri. Jungkook mati.
“ANDWAE!!!”
“JUNGKOOK!!!”
Menjerit frustasi, Dahyun memeluk tubuh itu semakin erat. Air matanya terus mengalir menatap lelaki itu yang sudah bersimbah darah. Persis yang ia lihat dibayangannya, namun Jungkook telah menggantikan posisinya.
“Sudah kubilang bukan, kau jangan memberitahu siapapun. Lihatlah akibatnya, aku tidak segan-segan menghukum orang yang tak menuruti keinginanku.” Lelaki itu, Kang Jimin—orang yang membelinya. Sosok bejatnya tersembunyi dengan apik dibalik wajah dan senyuman bak malaikatnya.
Dahyun terus memeluknya erat, tangisannya menyayat. Melihat Jungkook yang seperti ini membuatnya merasa hancur berkeping-keping. Penyesalannya memenuhi benak membuatnya sesak.
“Mian, mianhe. Hiks.”
Salju kembali turun, seolah menyambut hari pertama di tahun baru. Orang-orang itu kembali mendesak Dahyun untuk pergi dari sana tapi Dahyun menggeleng, bersikukuh ingin terus berada di sana memeluk Jungkook walaupun lelaki itu sudah tiada.
“Tuan kumohon, tembak saja aku.” Dahyun mendongak, menatap Jimin yang menatapnya datar dengan air matanya yang masih terus berlinang.
“Kumohon, bunuhlah aku.”
Entah lelaki beriris sipit itu mengasihaninya atau justru sudah menyerah padanya, ia malah mengarahkan bawahannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Dahyun masih ingat perkataan terakhirnya. “Ini hukumanmu. Nyawamu telah bebas karena lelaki ini sudah menebusnya dengan nyawanya sendiri. Selamat menikmati hari-hari penuh penderitaanmu, gadis manis.”
Setelah lelaki itu pergi, Dahyun sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika salju mulai menyelimuti jasad Jungkook yang semakin dingin, Dahyun terus memeluknya erat.
“Jungkook-ah, jangan pergi.”
Tahun demi tahun berlalu. Dahyun bertahan hidup dengan menggunakan uang Jungkook yang bahkan masih belum habis sampai sekarang. Lelaki itu rupanya menjual beberapa foto hasil jepretannya dan harganya fantastis. Sudah dia bilang kan, kalau Jungkook itu berbakat, lelaki itu hanya tidak mengakuinya saja atau mungkin tidak bisa mengakuinya.
Maniknya menatap nanar foto prewedding mereka yang masih dipajang. Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasanya Jungkook masih ada di sini walaupun ia tidak bisa melihat wujudnya. Lelaki itu seolah mengawasinya, Dahyun dapat merasakannya.
“Mamma! Mamma!”
Perhatian Dahyun langsung teralihkan, wanita itu segera menghampiri putranya yang baru berusia dua tahun. Bae Hyunki, wajahnya mirip sekali dengan ayahnya, Jungkook.
Kehadiran Hyunki seolah memberikan kekuatan untuk Dahyun supaya tetap bertahan. Wanita itu tidak bisa membayangkan jika malam itu, ia tidak segera ditemukan oleh orang-orang yang tak sengaja lewat disana, mungkin Dahyun juga sudah menyusul Jungkook dengan janin yang entah sejak kapan sudah ada dalam kandungannya.
Dahyun mensejajarkan tubuhnya dengan makhluk kecil didepannya saat ini. Menyentuh pipi bulatnya dengan lembut. “Ada apa, hm? Mau bermain dengan Mama?” tanyanya.
Hyunki menggeleng, telunjuk mungil anak itu terus menunjuk ke depan, seolah ada seseorang di sana. Posisi mereka saat ini ada dihalaman rumah.
Bibir mungilnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. “Pappa! … pappa!” ucapnya lantang masih terbata-bata. Pupil Dahyun melebar, wanita itu segera melihat ke arah anaknya menunjuk. Dan ketika maniknya menangkap presensi Jungkook yang tengah tersenyum ke arahnya, air matanya otomatis meluncur.
“Jung … kook?” Lelaki itu tersenyum lebar, melambai hangat kepadanya seolah mengucapkan selamat tinggal. Sosoknya terasa sangat dekat namun tetap mustahil untuk digapai. Salju kembali turun. Dari yang asalnya sedikit, jadi semakin lebat. Menghapus sosok yang semula berdiri di sana, kembali menghilang tanpa jejak.
Dahyun tersenyum miris, pada akhirnya Jungkook tidak akan pernah kembali. Namun tanpa ia sadari, lelaki itu sudah mewujudkan 3 keinginannya. Memiliki pacar, menikah dan memiliki anak. Jungkook sudah membuatnya merasakan 3 hal itu tapi tetap saja, rasanya sangat hampa tanpa kehadirannya.
Musim dingin ini terasa sangat dingin tanpa sosoknya. Pertemuan mereka sangat singkat, bahkan usia pernikahan mereka hanya lima hari tapi sangat membekas hingga membuat Dahyun tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun dan fokus membersarkan anaknya. Anak mereka.
“Aku merindukanmu … Jungkook.”
T H E E N D
Epilog
“Kalau kita punya anak mau dinamai siapa?” Jungkook memainkan rambut Dahyun, wanita itu tengah berbaring di lengan kekarnya, posisi ternyaman bagi mereka.
“Emm … aku tidak begitu pandai membuat nama. Memangnya kau mau anak perempuan atau laki-laki?” Dahyun malah balik bertanya.
Jungkook berpikir sesaat. “Aku tidak masalah mau anak perempuan atau laki-laki. Dua-duanya sama-sama menggemaskan. Kalau anaknya laki-laki pasti setampan aku, dan jika perempuan maka akan lebih cantik dari mamanya.” Dahyun mencubit pinggang lelaki itu sebal membuat Jungkook mengaduh. “Iya iya, secantik mamanya. Masa ke calon anak sendiri kamu cemburu, hm?” Jungkook menjawil hidung bangir Dahyun gemas.
“Kau sih, menyebalkan! Jadi siapa namanya? Nanti biar aku catat supaya tidak lupa.”
“Hmm, Junghyun? Dajung? Hyunkook?”
“Ya, itu hanya potongan nama kita yang disatukan. Tidak ada yang lain?”
“Hyunki? Hyunki bagaimana? Nanti dia akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan bijaksana. Yang paling penting, dia juga akan melindungimu. Menjadi malaikat kecil kita yang sangat tampan. Seperti aku,” ujar Jungkook sembari terkekeh. Lelaki itu memang sangat bangga dengan wajah dan tubuh yang dimilikinya.
Dahyun mengangguk-ngangguk saja, “Nama yang bagus, artinya juga bagus. Aku tulis nama itu saja ya.”
“Hmm, semoga dia tumbuh sesuai arti namanya.” Jungkook mengecup kening Dahyun lama lalu mendekap tubuh mungil itu dengan erat.
Epilog pt. 2
Dahyun kecil selalu merasa penasaran akan sesuatu. Sosoknya yang ceria selalu membawa kebahagiaan bagi orang yang melihatnya sampai kejadian kecelakaan kereta yg menimpa kedua orangtuanya merenggut semua kebahagiaan itu.
Di depan matanya sendiri, kecelakaan itu berlangsung. Saat itu Dahyun baru pulang dari sekolahnya, seragam smpnya bahkan masih ia kenakan. Melihat bagaimana kondisi mengenaskan kedua orangtuanya, tubuh bergetar menahan sesak. Seorang lelaki tanpa sengaja menyenggol bahunya. Tubuh Dahyun yg lemas langsung limbung hingga kepalanya terantuk tiang cukup keras. Untuk sesaat, kepalanya berdengung hebat.
Lelaki yang baru saja menyenggolnya langsung memegangi tubuhnya panik. Meneriaki namanya yg ada di nametag seragam berulang kali.
"Dahyun! Min Dahyun! Sadarlah!"
Bangun-bangun, Dahyun sudah ada di rumah sakit. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya dia memiliki kemampuan itu. Kemampuan melihat kematian seseorang.
Dan ya sesuai dugaan, lelaki yang tanpa sengaja menyenggolnya, meneriaki namanya hingga membawanya ke rumah sakit adalah Jungkook. Bae Jungkook.
[]
Gimana? Banjir air mata, gk? •́ ‿ ,•̀
(atau cuma aku yg nyesek pas ngetik cerita ini? ಥ_ಥ)
Review + Rate cerita ini disini ya
(☞゚∀゚)☞
Boleh banget kalo mau ngereview di snapgram (sg) juga, sekalian mention ig aku (kimarmyla) ya (。•̀ᴗ-)✧
P.S. 60 votes + 30 komen to unlock new story! 💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro